• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN SAMOSIR

B. Penyelesaian Sengketa Warisan

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 12 ayat (1) menyatakan: “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman”. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (2) menyatakan: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Maka profesi hakim dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, adalah hakim sebagai pejabat

kekuasaan kehakiman yang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya.

Dalam penelitian ini, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir yang memeriksa dan mengadili perkara perdata (perceraian) dalam tingkat pertama yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) tingkat pertama. Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) yang dimintakan banding serta Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) tingkat terakhir tentang perkara yang dimintakan kasasi.

Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat Batak. Sejak tahun 1961 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yaitu Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun

kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).

“Walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.”79

Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hak mewaris anak perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian dari harta ayahnya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimana anak perempuan Batak Toba menggunakan hukum nasional, hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan, dalam melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris.

Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarkhi dapat ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut.

Berdasarkan penelitian lapangan sejak berdirinya Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, belum pernah ada sengketa warisan. Namun melalui penelusuran kepustakaan bahwa ada beberapa putusan dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pewarisan putusan Kasasi tersebut No.

79

Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal 208.

179 /Sip/1961 tanggal 1 Nopember 1961 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 204/1959 tanggal 29 Desember 1959 jo. Putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe Nomor.3/S 1957 tanggal 8 September 1958 yaitu: Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu vs Benih Ginting, yang menjadi tonggak sejarah bagi anak perempuan menyatakan bahwa anak perempuan dengan anak laki-laki sama-sama berhak mewaris. Adapun duduk perkaranya sebagai berikut:

Kasus Posisi:80

Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas dalil:

1. bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu;

2. bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak anak laki-laki, dan setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo tanah itu harus diwarisi oleh penggugat-penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu tersebut.

3. bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja Empat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 Nomor. 69 anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak buat memakai tanah itu selama mereka hidup.

4. bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut.

5. bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut penggugat-penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe memberi putusan:

a. Mengakui di dalam hukum, bahwa ladang perkara berasal dari pusaka mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh penggugat-penggugat, sebab mendiang Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu ayah kandung penggugat-penggugat, karena ia (Rolak Sitepu) telah mati masap (tidak ada keturunan anak laki-laki) selain dari kedua pengugat-penggugat;

80

R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15.

b. menentukan di dalam hukum untuk menyudahi/memutus pemakaian tergugat atas ladang terperkara dan menyerahkannya kepada penggugat-penggugat.

Maka Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September 1958 Nomor.3/S 1957, mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk menyerahkan ladang ”Juma Pasar” kepada para penggugat. Namun dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan tanggal 29 Desember 1959 Nomor 204/1959, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan dalam mengadili kembali menolak gugatan penggugat-penggugat. Kemudian dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, keberatan-keberatan yang diajukan pada pokoknya adalah: Bahwa menurut hukum adat Karo anak perempuan (dimaksudkan Rumbane, yaitu ibu tergugat) adalah bukan ahliwaris dari ayahnya, dan bahwa penggugat-penggugat kasasi adalah menurut hukum adat Karo ahliwaris dari Rolak Sitepu dan berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia.

Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan bahwa di tanah Karo masih tetap berlaku hukum yang hidup. Seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya;

2. Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa

putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan;

3. Bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya; 4. bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan penggugat-penggugat

untuk kasasi tidak dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi Medan, meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, ada kasus yang telah menjadi yurisprudensi untuk kalangan masyarakat Batak Toba, yang sebelumnya putusan tersebut didasarkan atas yurisprudensi No.179K/Sip/1961 dan No.100/K/Sip/1967, yaitu No.136/K/Sip/1967.

Kasus Posisi:81

Salmah (pr) menggugat Hadji Fahri dan Siti Dour (pr), anak kandung dari mendiang Hadji Muhammad. Arsjad di muka Pengadilan Negeri Padangsidempuan pada pokoknya atas dalil:

1. bahwa almarhum ada meninggalkan beberapa bidang tanah dan beberapa rumah yang berasal dari harta pencaharian;

2. bahwa semua harta peninggalan tersebut dikuasai dan dinikmati sendiri oleh saudara penggugat yaitu Hadji Fahri.

3. dst...

81

Pada Tingkat Pertama, gugatan Salmah (pr) selaku pengugat dikabulkan sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji Muhammad. Arsjad diadakan pembahagian menurut hukum adat Batak “Holong Ate”, yaitu penggugat mendapat 1 (satu) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Negeri No.91/1956 Per.Ps. tanggal 12 Pebruari 1958). Namun penggugat Salmah (pr) tidak puas atas putusan tersebut, lalu mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan, dengan yang menjadi persoalan adalah sebagai berikut:

1. Hukum apakah yang dipergunakan ? hukum adat atau hukum Islam ?

2. Apakah benar yang didalilkan 2 rumah tersebut diserahkan dengan memakai wasiat ?

3. dst...

Pertimbangan hukum dari Hakim judex factie bahwa:

1. Yang dipergunakan ialah hukum adat meskipun di sana sini di dalam tubuh hukum adat itu ada terdapat faktor-faktor dari Hukum Islam.

2. Dalil terbanding/tergugat tidak dapat dibuktikan. 3. dst...

Pada Tingkat Banding, permohonan Salmah (pr) selaku pembanding dikabulkan sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji Muhammad. Arsjad diadakan pembahagian yaitu pembanding mendapat 2 1/2 (dua setengah) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.201/1958 Perdata tanggal 5 Agustus 1964).

Namun, terhadap putusan banding tersebut membuat Hadji Fahri mengajukan kasasi dengan keberatan-keberatan untuk kasasi sebagai berikut:

1. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan memutus bertentangan dengan apa yang telah terbukti karena tidak dapat dibuktikan adanya warisan, semua rumah asal sudah terbakar, semua yang ada sekarang sudah didirikan oleh orang lain.

2. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan salah menerapkan hukum hukum adat sebab menurut adat Holong Ate yang dapat diberikan oleh ahli waris kepada anak perempuan ialah bagian yang dibagi dengan sukarela di hadapan raja-raja adat, anak perempuan tidak berhak menentukan harta mana yang hendak diterimanya sebagai holong ate, dan ahli waris tidak diwajibkan untuk menyerahkan harta yang bukan harta peninggalan. Terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas maka Hakim Judex Factie berpendapat bahwa:

1. Bahwa keberatan butir (1) tidak dapat dibenarkan, karena keberatan mengenai penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.

2. Bahwa keberatan butir (2) tidak dapat dibenarkan, karena menurut pendapat Mahkamah Agung putusan Pengadilan Tinggi yang mempergunakan hukum adat Batak Holong Ate telah memberikan bagian warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan kemajuan kedudukan wanita dan hak-hak wanita di tanah Batak, yaitu 2

1/2 pintu rumah beserta tanah pekarangannya yang tersebut pada surat gugat, adalah sudah tetap dan adil.

Dari pertimbangan hukum di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi (Hadji Fahri) tersebut ditolak.

Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Tapanuli dan dapat dianggap sebagai suatu tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal warisan di Tapanuli.

Untuk melengkapi penulisan ini, perlu dicantumkan beberapa kasus sengketa waris anak perempuan secara nasional:82

Tabel 9. Sengketa Waris Anak Perempuan

Persepsi Para Pihak Pilihan Pengaduan No Lawan

Sengketa

Harta

warisan Laki-laki Perempuan Pilihan Hukum

Perempuan Adat Negara 1. 2. 3. Kakak sulung laki-laki. Saudara kandung laki-laki. dst ... Rumah, tanah seluas 50m2. sawah, tanah, ladang, rumah, kebun di 37 tempat berbeda, perhiasan ...

Ingin hukum adat: perempuan tidak berhak mewaris. Perempuan sudah dibeli suami, wajib

membeli rumah.

Variasi pandangan dlm kelompok

pihak laki2: hy anak laki2 yang

berhak mewaris harta perkawinan, tdk keberatan perempuan mendpt bagian warisan. ... ...

Tidak ingin hukum adat. Merasa punya hak atas bagian harta perkawinan orangtua. Dilahirkan dari ibu

yang sama.

Meskipun perempuan, harus dianggap sbg ahli waris jg meminta menuntut pembagian sama rata dengan anak

laki-laki. ... Harta pusaka tunduk pada hukum adat. Harta pencaharian: tidak pada hukum adat... Mengggugat ke PN ... - Upaya nego-siasi gagal ... - PN, PT, MA memenang- kan anak Perempuan ... 82

Dari Tabel tersebut merupakan sebagian dari kasus-kasus sengketa waris yang terjadi di Indonesia yang diteliti oleh Sulistyowati Irianto dalam memperoleh gelar Doktornya dalam bidang Antrologi Hukum yang berjudul Perempuan Di antara Berbagai Pilihan Hukum.

Nomor 1 dari Tabel tersebut merupakan data yang diperoleh di lapangan yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus tersebut merupakan sengketa antara AP vs PP. Kasus ini memperlihatkan strategi anak perempuan (AP) yang dibantu oleh saudara-saudara kandungnya melawan kakak sulung laki-laki, untuk mempertahankan sepetak rumah yang menjadi tempatnya bertuduh. Saudara laki-laki yang selalu berupaya menjual rumah peninggalan orangtuanya itu adalah seorang Sarjana Hukum (satu-satunya sarjana dalam keluarganya), mempunyai pekerjaan yang cukup baik, dan sudah mendapatkan bagian terbesar dari harta ayahnya. Sementara itu saudara perempuan lawan sengketanya tidak memiliki apa-apa, kecuali rumah petak di atas tanah 50 m2 yang disengketakan itu. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hubungan persaudaraan mereka, dan sampai saat ini tidak ada penyelesaian.

Namun Nomor 2 dari Tabel tersebut berbeda, karena merupakan data yang diperoleh dari studi dokumen yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus tersebut merupakan sengketa antara Muj, Pel dan Ter vs Raja Pulung M dan Raja Meriah M (Putusan MA No.182/K/Sip/1970). Kasus waris ini menyangkut harta yang sangat banyak berupa ladang, kebun, sawah, rumah yang terletak di 37 tempat yang berbeda. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya harta yang disengketakan

juga meliputi benda bergerak berupa berbagai perhiasaan yang beratnya 478 gram. Perseteruan terjadi antara anak-anak perempuan melawan saudara-saudara kandung mereka yang laki-laki, memperebutkan harta mendiang orangtua mereka. Baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung memenangkan pihak anak perempuan.

Dengan demikian upaya yang dilakukan anak perempuan untuk mendapat hak yang dituntutnya baik melalui musyawarah keluarga atau musyawarah adat, bahkan mengajukan gugatan sengketa warisan ke pengadilan merupakan suatu kemenangan untuk memperoleh hak/bagian bersama-sama dengan saudaranya laki-laki atas harta peninggalan dari orangtua mereka.

Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap praktek di atas dengan menetapkan secara tegas kedudukan yang sama dalam hak waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan. “Namun pada sisi lain pertimbangan hukum dalam putusan Mahakamah Agung tidak dikaitkan dengan filosofi, sejarah Hukum Waris Adat Batak Toba dan nilai-nilai yang hidup pada masyarakatnya.”83 Sehingga tidak semata-mata berisi pertimbangan persamaan kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dari aspek kemanausiaan, perkembangan peradaban manusia dan pendapat pribadi majelis hakim. Menurut Barita LM. Simanjuntak dalam disertasinya bahwa:

“Putusan Mahkamah Agung selanjutnya dipahami sebagai penafsiran kaidah Hukum Waris Adat Batak Toba yang baru sehingga dalam perkembangannya

83

Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan

otoritas badan peradilan (Mahkamah Agung) turut mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, padahal keputusan Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya sekedar mengukuhkan, menguatkan kembali saja landasan sejarah dan filosofi Hukum Waris Adat Batak Toba yang sesungguhnya.”84

84

Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait