• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN SAMOSIR A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba

1. Sejarah Batak

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa “bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).41

“Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”.”42

Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru tanah Batak.

Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.

41

Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997, hal. 17.

42

Anak dari Si Raja Batak ada 2 orang yaitu: a.Guru Tatea (Satia) mempunyai 9 anak yaitu:

1) Putra 5 orang, yaitu: a). Saribu Raja, b). Limbong Mulana, c). Sagala Raja, d). Malau Raja, e). Raja Biak-biak 2) Putri 4 orang, yaitu:

a). Boru Paromas, b). Boru Pareme, c). Boru Bidang Laut, d). Nan Tijo.

b.Raja Isombaon (Naga Sumba) mempunyai 3 orang putra, yaitu: 1) Tuan Sori Mangaraja,

2) Raja Asi-asi,

3) Sangkar Som-Alidang.

Maka dari turunan Si Raja Batak sudah mulai memakai marga, pada mulanya nama itulah yang kemudian menjadi marganya sehingga banyak terdapat marga-marga pada orang Batak.

2. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut sistem garis keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga43 merupakan suatu bentuk kelompok yang turun-temurun mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan pertalian darah. Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang-orang kakek bersama, dan garis keturunan

43

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, 2005, hal. 715. Menyebutkan marga adalah kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.

itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.”44

Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut “martarombo” atau ”martutur” adalah dengan marga.

”Perkataan marga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya jalan atau, satu arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat”.45 Menurut Djaren Saragih bahwa ”pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang baru pertama kalinya bertemu yang ditanya adalah marganya bukan namanya, bukan tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak.46

Dalam kehidupan sehari-hari, marga sangat berguna bagi orang batak, antara lainnya:

a. mengatur tata pergaulan, b. mengatur tata cara adat,

c. mengatur hubungan kekeluargaan.47

Ada beberapa marga yang dominan dijumpai di Kecamatan Pangururan, di antaranya marga Simbolon, Sitanggang, Naibaho, Simarmata.

44

J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta, 1986, hal. 9.

45

T.M. Sihombing, Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 1986, hal. 57.

46

Djaren Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo,

dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980, hal. 9. 47

Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di

Pada masyarakat Batak Toba dikenal 3 (tiga) warna yaitu merah, hitam dan putih dengan istilah 3 (tiga) bolit, artinya bahwa alam semesta terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu Banua Toru, Banua Tonga dan Banua Ginjang. Penguasa Banua Toru ialah Batara Guru, Penguasa Banua Tonga ialah Debata Sori dan Penguasa Banua Ginjang ialah Mengala Bulan. Kegiatannya dikenal dengan sebutan "Debata Si Tolu Sada". Pembagian alam ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan Batak antara lain :

a. Rumah adat Batak terdiri dari Bara, Bagas, dan Bonggar. b. Ornamen (gorga) Batak terdiri dari 3 (tiga) warna

c. Bonang manalu terdiri dari 3 (tiga) warna

d. Talitali (berbentuk topi) juga terdiri dari 3 (tiga) warna

e. Dalihan Na Tolu: somba Marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru.

Di kalangan masyarakat batak ”Dalihan Na Tolu” mengandung makna yaitu ”Somba mar hula hula”, “Elek marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”. Artinya ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun kegiatan lainnya di masyarakat batak. Dilihat dari posisi “Dalihan Na Tolu”, terdapat perbedaan struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat), akan tetapi melalui peran “Dalihan Natolu” seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Menurut S. Sagala, bahwa Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum

(adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak.48 Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo).

”Somba mar hula hula”, berarti bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hula-hula diibaratkan seperti mata ni ari binsar yang artinya memberikan cahaya hidup di segala bidang, yang harus dihormati karena diangggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. “Elek marboru” berarti bersikap mengasihi atau menyayangi putri/boru dari semarga (yang termasuk kelompok boru adalah pihak keluarga Hela termasuk orang tuanya dan keturunannya, setelah anak perempuannya kawin, ia akan ikut dengan marga suaminya), dan ”Manat mar dongan tubu” berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat (semarga menurut garis keturunan bapak). Menurut Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat bahwa ”Budaya Dalihan Na Tolu perlu dilestarikan jangan sampai punah dengan cara mewariskan kepada generasi muda khususnya pemuda Batak, karena budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia.”49 Dalihan Na Tolu juga berfungsi menyelesaian perselisihan di antara suami istri, bersaudara dan juga dalam acara pernikahan, sehingga Dalihan Na Tolu sebagai falsafah batak masih dipertahankan. Dalihan Na Tolu harfiah adalah “tiga tungku sejarangan”. Ini

48

S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1996, Yayasan Budaya Batak, Medan, hal. 46.

49

Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

merupakan sistem kekerabatan adat Batak yang terdiri dari hula-hula (bride giver), boru (bride taker) dan dongan tubu (kelompok saudara dalam satu marga).

Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli).

Menurut Pengetua Adat Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho) bahwa: ”3 (tiga) unsur Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ditambah lagi satu lagi burju mardongan sahuta (berhubungan baik dengan teman sekampung), jika tidak baik akan dikucilkan di tengah-tengah masyarakat”.50 Sejalan juga dengan pendapat Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon) yang mengatakan ”Sebuah keluarga kurang burju/baik di lingkungannya terlihat dari kurang kompaknya anggota masyarakat di sekitar itu bila ada sebuah keluarga membuat suatu acara adat/pesta”.51 Dengan Dalihan Na Tolu merupakan suatu kerangka yang sangat baik, bagaimana orang Batak berinteraksi dengan lingkungannya, yang kaya dengan sistem nilai yang baik dan dapat bertahan sepanjang zaman. Karena, sistem nilai yang ada di dalamnya sangat universal dengan

50

Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan,

Op.Cit. 51

Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan,

nilai-nilai religius yang sangat dalam. Akar dari sistem nilai Dalihan Na Tolu adalah kerendahan hati. Menurut Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam Sitanggang) bahwa:

”bagaimana tidak, seorang orang Batak harus hormat sama ”hula-hula”nya, tanpa syarat. Tidak dikatakan, hormatilah hula-hulamu, kalau dia kaya, punya jabatan, atau baik. Demikian juga, pada saat kita hula-hula, harus elek kepada boru, walaupun dalam tatanan kekerabatan Batak, Boru adalah kelumpok yang dapat kita minta untuk melayani kita (marhobas), tetapi dalam kedudukan kita yang lebih tinggipun kita harus elek. Manat mardongan tubu, juga merupakan satu tatanan interaksi masyarakat Batak kepada keluarga yang semarga. Kenapa dikatakan manat (hati-hati) dengan dongan sabutuha, sangat jarang di dalam umpama/umpasa yang memberikan kita solusi, untuk mendamaikan orang yang sabutuha kalau terjadi konflik di antara mereka. Kalau mar-hula-hula, kita masih bisa membawa makanan kepada hula-hula untuk minta maaf. Demikian juga marboru, kita bisa memberikan ulos untuk minta maaf”.52

Berdasarkan hasil penelitian melalui jawaban responden tentang tanggapan terhadap struktur kekerabatan Batak Toba, dapat di lihat pada Tabel-2 berikut ini:

Tabel 2. Struktur Kekerabatan Batak Toba

n=30

No Jawaban Responden Jumlah %

1 Tetap dipertahankan 20 67%

2 Disederhanakan tanpa menghilangkan intinya 10 33%

3 Tidak tahu 0 0%

Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel tersebut, dapat diketahui bahwa budaya Batak Toba masih tetap dipertahankan merupakan tanggapan yang tidaklah begitu dominan (sebanyak 60%), bila dibandingkan dengan jawaban responden lainnya (sebanyak 40%) yang mengatakan bahwa adat batak perlu disederhanakan tanpa menghilangkan

52

Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

intinya/maknanya. Struktur kekerabatan dari budaya Batak Toba merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia sebenarnya harus tetap dipertahankan dan dijaga walaupun ada penyederhanaan tetapi jangan sampai menghilangkan nilai ataupun ciri khas budaya itu sendiri, karena lama-kelamaaan bukan hanya menghilangkan budaya saja tetapi juga masyarakatnya.

Sejalan dengan itu, Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon) yang mengatakan bahwa: ”Dalam acara-acara resmi adat batak dari dulu sampai sekarang ada mengalami penyederhanaan, sehingga acaranya semakin simpel dan waktu yang dibutuhkan relatif tidak lama”.53

Adat adalah kebiasaan/hasomalon yang diawali dari kesepakatan komunitas tertentu dalam masyarakat batak, makanya banyak pelaksanaan adat batak yang berbeda dari satu marga dengan marga lainnya atau di satu daerah dengan daerah lainnya. Contoh, di Toba kalau seorang bapak meninggal, maka yang memberi ulos saput adalah hula-hula, sedangkan di Humbang yang memberi ulos saput adalah tulang. Kelebihan adat batak adalah adanya pepatah: "aek godang tu aek laut dos ni roha do sibaen na saut", sehingga perbedaan tersebut dapat di atasi.

Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati oleh warga masyarakat.

53

Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan,

Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang stagnasi dan konservatisme.

Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.

Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, Napinungka ni ompunta na parjolo yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi kita perbaiki dari belakang

Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang. Ungkapan ini menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain:

Aek godang tu aek laut

Nangkok si puti tuat si deak

a i na ummuli ima tapareak, Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot, sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.

Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat yang telah ditentukan.

“Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang

tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip”.54

Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura) menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh) helai sampai 800 (delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari (diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.

Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan

54

Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon).

Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit).

“Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan.”55

Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.

55

Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Adat secara umum dapat di bagai 2 (dua) yaitu:

a. Adat formal, yang biasa dapat dilihat dari pelaksanaan acara adat Batak, mulai dari lahir, besar, menikah, sampai meninggal. Banyak sekali praktek adat Batak yang berkaitan dengan siklus hidup orang Batak. Kalau ada anak lahir, datanglah mertuanya "mamboan aek ni unte", "pasahat ulos parompa", paebathon.

Setelah besar, anak laki-laki biasanya "manulangi tulang", untuk minta izin mau menikah dengan orang lain, biasanya hanya anak laki-laki yang paling sulung, acara pernikahan, sampai acara yang berkaitan dengan orang yang meninggal. Semua ini adalah merupakan bagian dari adat formal.

b. Adat Batak material yang lainnya, banyak terkandung di dalam umpama/umpasa Batak, yang di dalamnya terkandung sistem nilai yang sangat baik.56

Dari penjelasan di atas, adat Batak formal, akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Jangankan masalah waktu, yang mengakibatkan dibiasakannya "ulaon sadari", mungkin pada saatnya nanti, pesta adat Batak bisa dilakukan melalui video conference, tidak harus ada di tempat yang sama. Tapi jangan juga ditiadakan sama sekali. Adat formal Batak adalah laboratorium bagi orang Batak untuk mempraktekkan adat Batak material. Dengan mengikuti pesta-pesta/acara adat Batak, maka pemahaman akan adat Batak material akan semakin baik. Adat Batak formal sangat dilandasi oleh satu prinsip "dos ni roha sibaen na saut" (konsensus), tapi adat Batak material adalah suatu kerangka sistem nilai Batak yang membuat budaya Batak lestari.

Perlu juga diuraikan bahwa dalam masyarakat Batak, kata "Horas" adalah sapaan universal (akrab) dari masyarakat batak yang berarti "selamat". Pada hakekatnya kata "Horas" juga merupakan doa spontanitas kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terlindung dari hal-hal yang tidak diinginkan.

56

Ulos Batak terkenal karena bentuk dan motifnya yang spesifik. Ulos pada mulanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun gigitan serangga. Kemudian fungsi ulos berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan bentuknya beraneka ragam selain untuk melindungi tubuh juga diyakini bahwa ulos secara filosofis mengandung makna untuk melindungi rohani (tondi) manusia, sesuai dengan suasana maupun bentuk adat yang dilaksanakan. Pada saat tertentu ulos juga digunakan untuk :

a. Topi (Tali-tali),

b. Pakaian kebesaran (topi, ampe-ampe dan abit).

Selain itu Ulos Batak dicontohkan dalam perumpamaan yaitu ulos ganjang dan ulos si godang rambu. Artinya semoga panjang umur, banyak rejeki dan semoga banyak keturunan (torop pomparan). Ulos batak adalah untuk melindungi/ mengayomi badan dan rohani manusia (mangulosi badan dohot tondi).

Oleh karena itu, Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam Sitanggang) menyimpulkan bahwa “adat batak dalam berbagai bentuk upacara resmi adat perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda, khususnya generasi batak, karena sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, ditakutkan akan hilang karena perubahan zaman.”57

57

Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

BAB III

KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS

Dokumen terkait