• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

B. Hak Mewaris Anak Perempuan

Hukum waris mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.

Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bentuk susunan kemasyarakatannya, yaitu sistem keturunan dan kekerabatannya. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa : “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”.66 Pada kenyataannya pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang sama. “Di Indonesia dijumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem

64

Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan,

Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008. 65

Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Wawancara, pada tanggal 5 April 2008. 66

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 211.

kewarisan individual…, kedua sistem kewarisan kolektif..., ketiga sistem kewarisan mayorat…”.67

a. Ciri sistem pewarisan individual ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana menurut hukum perundang-undangan KUH Perdata dan hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa yang parental, atau juga pada keluarga-keluarga Batak yang patrilineal.

b. Ciri sistem pewarisan kolektif ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi atau dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat (badan hukum adat). Sistem pewarisan ini dikenal di Minangkabau dan juga di Lampung. c. Sedangkan ciri sistem pewarisan mayorat ialah bahwa harta peninggalan

orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur (pusaka tinggi) tetap utuh tidak di bagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua lelaki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga di Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di lingkungan masyarakat matrilineal Sumando dan Sumatera Selatan dan Lampung.

Di kalangan masyarakat Batak sendiri pun dijumpai adanya sistem pewarisan. Masyarakat Batak yang dikenal menganut ciri kekeluargaan bercorak patrilineal yaitu

67

Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 43.

sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. Di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan wantia di dalam pewarisan. Hilman Hadikusuma mengatakan, “dengan ciri kekeluargaan patrilineal itu masyarakat Batak menganut milik perseorangan. Jadi bersistem individual”.68

Masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari masyarakat Batak secara keseluruhan bertumpu pada garis keturunan yang ditarik menurut garis bapak. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat di Kecamatan Pangururan sistem pewarisannya berciri individual.

Kata “pewaris” ini digunakan untuk menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris. Pewaris adalah empunya harta peninggalan, atau empunya harta warisan. Pewarisan adat harus diingat pada susunan kekerabatan yang mempengaruhinya dan bentuk perkawinan yang dilakukan ketika hidupnya pewaris.

Pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, susunan kekerabatannya mempertahankan garis keturunan pria (patrilineal) sebagaimana berlaku di Batak pada umumnya, maka yang berkedudukan sebagai pewaris adalah kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara-saudara pihak ayah), sedangkan kaum perempuan bukan pewaris. Jadi ibu atau pihak ibu, saudara-saudara ibu pria dan wanita bukan ahli waris. Pria yang berhak menjadi pewaris, adalah pria yang

68

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 24.

melakukan perkawinan dengan pembayaran jujur atau dalam adat perkawinan di Batak Toba disebut dengan perkawinan taruhon jual (eksogami-patriarcht).

Ahli waris adalah orang yang berhak mendapat harta warisan. Tetapi ada orang yang tidak merupakan ahli waris, namun ia turut mendapat harta warisan misalnya pemberian. Dalam kekerabatan patrilineal semua anak lelaki adalah ahli waris, sedangkan anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat warisan sebagai pemberian. Begitu pula istri sebagai janda bukan ahli waris dari suaminya yang telah meninggal, tetapi jika anak-anaknya masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa dan memelihara atas harta warisan tersebut adalah istrinya, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa dan harta warisan akan dibagikan, maka si istri boleh mendapat bagian, atau ia ikut pada anak yang tertua.

Di masyarakat Batak Toba seperti halnya di tanah Batak pada umumnya anak perempuan bukanlah ahli waris, tetapi mereka selama hidupnya (belum kawin) berhak memakai dan menikmati harta orangtuanya dalam batas kebutuhan penghidupannya.

Bahkan, janda bukan merupakan ahli waris dari suami tetapi merupakan penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki, maka begitu juga sebenarnya suami bukan waris dari isterinya yang meninggal karena menurut alam pikiran dalam sistem kekerabatan ini isteri adalah milik suami, apalagi harta bawaan dan harta pencahariannya yang selama perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dan tidak terbagi bagi kedudukannya.

Maka untuk seorang duda dapat dikatakan tidak ada masalah, ia tetap berkewajiban mengurus anak dan harta kekayaan mereka. Apakah ia kelak kawin lagi dengan mengambil adik kandung si isteri ataukah dengan orang lain tidak mempunyai kedudukan harta warisan, oleh karena hak mewaris tetap pada anak-anaknya yang lelaki.

Warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu sudah dibagi atau belum terbagi atau memang tidak dibagi. Jadi apabila membicarakan tentang harta warisan maka berarti mempersoalkan harta kekayaan seseorang (pewaris) karena telah wafat dan apakah harta kekayaan orang itu akan (dapat) dibagi, atau belum dapat dibagi atau memang tidak dapat dibagi.

Pada umumnya seorang yang meninggal dunia atau seorang pewaris ada memiliki dua bahagian harta benda yaitu harta pusaka dan harta pencaharian. Di samping kedua bagian harta tersebut mungkin juga ditemukan adanya harta yang diperoleh atau didapat seseorang pewaris semasa hidupnya sebagai hadiah dari orang lain, maka untuk harta demikian dapat dipersamakan dengan harta pencaharian.

Ada dua macam harta peninggalan, yaitu:

1. Harta bawaan, ialah harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan seperti warisan, pemberian.

2. Harta pencarian, ialah harta yang diperoleh selama suami isteri dalam perkawinan, sebagai harta bersama, seperti rumah dan sebagainya.

Menurut hukum adat Batak Toba bahwa yang dimaksud dengan harta pusaka adalah harta yang diperoleh atau didapat seseorang, dimana harta tersebut diperolehnya dari kakeknya/ompungnya yang telah meninggal.

Umumnya, objek harta pusaka adalah berupa tanah (tano), rumah (jabu), dan sawah (hauma). Walaupun ada juga seseorang memiliki harta bergerak (lumbung padi, ternak, pohon, piutang) yang diperolehnya dari kakeknya yang telah meninggal, harta demikian umumnya tidak dipandang sebagai harta pusaka. Menurut pandangan orang Batak Toba sulit rasanya untuk mengetahui atau menentukan apakah harta bergerak itu merupakan harta yang diperoleh dari kakeknya atau tidak. Di samping itu harta bergerak sangat mudah diasingkan dibandingkan dengan harta yang tidak bergerak.

Sedangkan harta pencaharian adalah segala harta yang tidak termasuk ke dalam harta pusaka. Untuk harta pencaharian ini tidak dibedakan dengan harta yang diperoleh seseorang sebagai hadiah dari pemberian orang lain.

Untuk harta pencaharian dapat juga diberikan kepada anak laki-laki yang melangsungkan perkawinan yang tidak dibicarakan sewaktu pembagian harta warisan sesuai dengan adat. Karena pewarisan harta pencaharian, proses pewarisannya diserahkan sepenuhnya kepada pewaris. Di sini pengaruh kerabat dekat suaminya tidak ada dan terhadap anak perempuan juga dapat diberikan harta pencaharian ini.

Sedangkan dengan harta pusaka yang masih terasa adanya pengaruh kerabat dekat si pewaris apabila harta tersebut hendak diwariskan. Seorang ahli waris yang memperoleh bagian dari harta warisan berupa harta pusaka, kemudian dari harta

penggunaan harta pusaka ini dia menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian.

Proses pewarisan yang merupakan pengoperan barang-barang harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya dapat dilakukan ketika pewaris itu masih hidup atau setelah meninggal dunia.

Menurut Hilman Hadikusuma:

“Yang dimaksud dengan proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah wafat”.69

Pada masyarakat Batak Toba, pewarisan semasa hidupnya pewaris biasanya dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae (mandiri, tidak satu rumah), yang pemberiannya dilakukan secara lisan saja.

Apabila seorang anak kawin tetapi belum manjae, maka anak tersebut bersama isterinya berada dalam satu rumah dengan orang tuanya, karena anak tersebut beserta isterinya belum merupakan “ripe” yang berdiri sendiri menurut hukum adat. Tetapi apabila kelak anak tersebut manjae, yang berarti berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka oleh orang tuanya dia diberi arta panjaean berupa sebagian dari harta benda orang tuanya sebagai modal permulaan bagi keluarga baru dari anaknya. Setelah anak tersebut dipanjae barulah ia dapat

69

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Loc.Cit, hal. 95.

disebut sebagai ripe yang mandiri menurut hukum adat. Harta yang diterima anak tersebut (arta panjaean) selalu diperhitungkan pada waktu orang tuanya meninggal, terutama jika pada saat meninggalnya orang tua tersebut masih ada ahli waris yang belum menerima bagiannya.

Dengan diberikannya panjaean yang terdiri dari sebagian harta benda ayah kepada anaknya sewaktu manjae, maka pada saat tersebutlah berakhir pertanggungjawaban bapak tersebut anaknya dalam hidup bermasyarakat dan sekaligus berakhirlah pertanggungjawabannya untuk memenuhi kebutuhan hidup isteri anaknya (parumaen-nya).

Pewarisan semasa hidupnya pewaris terutama kepada semua anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae (mencar) atas segala harta bendanya, terjadi apabila ayah dan ibu tidak kuat lagi bekerja. Setelah diadakannya pewarisan tersebut, maka ayah atau ibu seakan-akan menumpang kepada anak-anaknya.

Pewarisan semasa hidupnya pewaris bisa juga terjadi walaupun ayah dan ibu masih sehat. Dalam hal ini jika ayah mempunyai tiga orang anak, maka ayah membagi segala harta bendanya atas empat bagian. Tiap-tiap anak termasuk ayah sendiri memperoleh satu bagian.

Berdasarkan hal-hal yang diutarakan diatas, maka ternyata bahwa pewarisan di daerah Kecamatan Pangururan bisa juga terjadi pada waktu pewaris masih hidup, di mana segala kewajiban dari pewaris termasuk kewajibannya kepada dirinya sendiri berpindah bersama segala harta bendanya kepada para ahli warisnya. Para ahli waris tersebutlah yang melangsungkan pengerjaan segala kewajiban pewaris

termasuk mengurus kepentingan diri pribadi dari pewaris sendiri. Juga bisa terjadi hanya sebahagian dari kewajiban pewaris yang berpindah bersama sebahagian harta bendanya kepada ahli waris yang menerima kewajiban tersebut.

Apabila pemberian oleh si ayah kepada anaknya yang perempuan dilakukan pada waktu pewarisan, ataupun diterima oleh anak perempuan tersebut pada waktu pembagian harta peninggalan oleh saudara-saudaranya, maka pemberian itu disebut “ulos na so buruk”, artinya kain yang tak kunjung buruk. Jelaslah bahwa menurut hukum adat Batak Toba, anak perempuan walaupun bukan ahli waris, tetapi berdasarkan lembaga holong ni ate anak perempuan patut mendapat pemberian dari harta peninggalan ayah kandungnya. Mengenai pengakuan terhadap lembaga holong ni ate ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968 Reg. No. 136 K/Sip/1967. Tentang hal-hal tersebut diatas, maka oleh karena itu adalah merupakan pesan pewaris sewaktu ia masih hidup, maka pesan tersebut barulah mempunyai kekuatan untuk berlaku sesudah pewaris tersebut meninggal.

Lebih lanjut, untuk mengetahui apa yang menjadi alasan anak perempuan dijadikan sebagai ahli waris dapat dilihat pada Tabel-4 berikut ini:

Tabel 4. Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris

n=30

No Jawaban Responden Jumlah %

1 Persamaan Hak. 16 53%

2 Kasih sayang/perhatian. 9 30%

3 Supaya ada yang jaga kampung/huta. 5 17%

Jumlah 30 100 %

Dari Tabel tersebut, responden lebih banyak menjawab anak perempuan dijadikan sebagai ahli waris (53%), hal ini dikarenakan sudah adanya perubahan pandangan bahwa saat ini antara anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap sama, sedangkan memilih alasan kasih sayang/perhatian sebanyak 30% dan supaya ada yang jaga kampung sebanyak 17%. Dalam hal pewaris masih meninggalkan janda, anak perempuan yang belum kawin ataupun anak laki-laki yang belum dewasa, hal mana merupakan kewajiban dari pewaris, yang sesudah ia meninggal dunia hanya dapat dipenuhi dengan harta peninggalan, maka selama hal tersebut masih ada, biasanya harta peninggalan dibiarkan tetap tidak terbagi hingga kewajiban tersebut kelak dapat dipenuhi.

Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa: “pada prinsipnya setuju bila anak perempuan mewaris bersama saudaranya laki-laki walaupun tidak sama, sepanjang ada harta peninggalan yang akan dibagikan, karena didasarkan pada persamaan hak dan adanya lembaga holong ate yang dijadikan sebagai yurisprudensi”.70

Jika hal tersebut sudah dipenuhi, yakni pada saat meninggalnya janda pewaris dan pada saat kawinnya anak perempuan pewaris ataupun pada saat sesudah dewasanya anak laki-laki dari pewaris, barulah para ahli waris dapat memperoleh bagian yang bersih.

Jika para ahli waris tidak sabar, dan ingin dengan segera sesudah meninggalnya pewaris membagi harta peninggalan, maka mereka dapat membagi

70

Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara, tanggal 11 April 2008.

harta peninggalan menurut perbandingan dari jumlah anak laki-laki dari pewaris dengan memperhitungkan kewajibannya dari pewaris yang belum dipenuhi. Beban harta peninggalan lainnya yang segera sesudah meninggalnya pewaris dapat dilunasi, adalah hutang pewaris semasa hidupnya berupa uang ataupun tenaga. Juga termasuk ongkos-ongkos penguburan serta segala biaya-biaya yang diperlukan dalam upacara-upacara adat untuk penguburannya.

Jikalau harta peninggalan sudah terbuka untuk dibagi-bagi maka sebelum dibagi-bagi, terlebih dahulu harus dilunasi segala hutang pewaris termasuk ongkos penguburan. Dan jika harta peninggalan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban pewaris ataupun tidak cukup untuk membayar hutang dan ongkos penguburannya, maka para ahli waris tersebut yang melunasinya.

Setelah dipenuhi segala kewajiban pewaris, dilunasi segala hutang serta ongkos penguburannya dan dilaksanakan pesan-pesannya mengenai barang-barang tertentu yang tidak bertalian dengan pewarisan, maka apabila masih ada kelebihannya, barulah harta peninggalan terbuka untuk dibagi-bagi oleh para ahli warisnya. Harta peninggalan yang akan dibagi oleh para ahli waris, tidaklah diperhitungkan menurut nilai kesatuannya berupa uang, tetapi tiap benda dipandang tersendiri menurut jenisnya. Jika anak yang sulung memperoleh rumah, maka anak yang bungsu memperoleh rumah, sedang anak yang lainnya dari pewaris memperoleh jenis harta peninggalan yang lain.

Jikalau tidak ada perselisihan di antara para ahli waris, maka pembagian harta peninggalan sudah dapat terlaksana di rumahnya pewaris. Namun apabila ada

perselisihan diantara para ahli waris mengenai bagian-bagian mereka, maka diperlukan turut campurnya kelompok Dalihan Na Tolu.

Dalam hukum waris adalah, anak laki-laki yang mewarisi harta peninggalan bapaknya. Jika ada anak laki-laki, hanya merekalah yang menjadi ahli waris. Apapun yang diperoleh bapak melalui keringatnya sendiri, dipungka, tidak pernah boleh jatuh ke tangan satu anak saja, dia mesti dibagi-bagi di antara semua anak lelaki, atau tetap tidak dibagikan. Anak perempuan bersama harta peninggalan ayahnya berpindah ke tangan ahli waris yang kemudian berdasarkan kebijaksanaannya sendiri atau adat menentukan bagian yang menjadi perolehan anak perempuan tersebut. Apalagi seorang janda dengan atau tanpa anak laki-laki tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, hanya boleh mengelola harta peninggalan suaminya sebelum kemudian beralih ke tangan ahli waris. Jika janda tersebut tidak mempunyai keturunan, atau hanya keturunan anak perempuan, maka harta peninggalan suaminya beralih ke kerabat dari suaminya.

Ahli waris dalam adat Batak Toba adalah anak laki-laki. Namun anak perempuan melalui upacara adat dapat meminta bagian dari harta kekayaan ayahnya baik semasa hidup ayahnya maupun sesudah meninggal dunia. Ada pemberian yang dapat dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya selagi masih kecil, ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada pertunangan anak perempuan selagi dia masih anak kecil, ada pemberian yang diserahkan sesudah dan selama dia berumah tangga, atau yang serahkan kepada anak-anaknya.

Tetapi apa yang dapat diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam arti hak, melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya agar diberi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-laki, imbauan tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh. Biasanya anak perempuan harus mengajukan permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya menjelang ajal, atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada, melalui upacara manulangi. Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak laki-laki yang belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah, atau jika masih ada ibu yang ongkos hidupnya harus diambilkan dari harta peninggalan.

Besarnya bagian yang diserahkan kepada anak perempuan tergantung dari keadaan. Anak sulung yang mengambil keputusan, harus mempertimbangkan hak dan kepentingan semua adik laki-laki dan adik perempuan. Menurut Vergouwen bahwa “hampir tidak pernah terjadi hubungan yang sumbang antara hula-hula dan boru karena perkara ini, paling-paling hanya tarik urat mengenai apa yang pernah dijanjikan tetapi tidak diberikan. Hakim biasanya tidak pernah repot dalam menghadapi perselisihan semacam itu”.71

Jika ibu masih hidup dan anak-anak perempuan belum menikah, si ibu akan disetujui mengelola bagian terbesar harta kekayaan, dan ahli waris akan menetapkan besarnya pauseang (hadiah perkawinan) bagi anak perempuan bila ia menikah. Hadiah ini biasanya hanya bagian kecil saja sebagai pengakuan atas hak mereka selaku uaris juga. Namun banyak juga keluhan pahit anak-anak perempuan, dan ibu

71

yang hanya melahirkan anak perempuan, karena begitu bapak atau suami meninggal, ahli waris bersikeras menjalankan haknya untuk memberlakukan perwalian dan pengelolaan, menyita segala-galanya.

Mereka hanya bersedia memberi kepada perempuan jumlah yang hampir-hampir tidak mencukupi untuk menutup keperluan yang paling pokok, dan juga tidak mau memberi apa-apa lagi kepada anak perempuan yang sudah kawin di luar apa yang sudah diterima sebagai pauseang.

Garis keturunan yang mengikuti jalur laki-laki berkonsekuensi pada sistem pewarisan. Warisan jatuh ke tangan keturunan laki-laki. Namun tidak berarti anak perempuan tidak mendapat bagian. Apakah perempuan mendapat bagian atau tidak, akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara laki-lakinya. Menurut secara tradisional falsafahnya adalah anak perempuan kawin dengan anak orang lain, mengapa ia harus mendapat warisan. Namun prinsip ini sekarang menurutnya, sudah bergeser, perempuan juga harus mendapat seperti laki-laki.

Harta adalah benda bergerak (perhiasan, ternak, dll), dan inilah yang dapat diberikan kepada anak perempuan. Warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga, oleh karena itu warisan harus jatuh ke tangan laki-laki saja. Harta pencaharian atau harta yang didapat selama perkawinan boleh diberikan kepada anak laki-laki maupun anak perempuan, tetapi anak laki-laki tetap harus mendapat bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki bertanggung jawab atas adik-adiknya, bila adik-adiknya menderita anak laki-laki harus membantu.

Bahwa orang batak agak lain, karena warisan dibagikan sewaktu seseorang masih hidup. Ada warisan yang diberikan sewaktu orang tua masih manjae (mandiri). Anak-anak laki-laki diberi sawah, kebun, rumah. Anak laki-laki bungsu menempati kedudukan yang istimewa. Ia dianggap kawan sehidup semati oleh orang tuanya. Ia orang yang terakhir dilahirkan dan harus dekat dengan orang tuanya. Dialah yang harus memberangkatkan orang tuanya ke kuburan. Oleh karena itu harta orang tuanya akan diberikan kepadanya.

Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orangtua dapat berupa benda tidak bergerak (seperti rumah dan sawah) maupun benda gerak (seperti cincin dan gelang). Berdasarkan hasil penelitian lapangan diperoleh jawaban melalui responden tentang warisan yang diberikan kepada anak perempuan, seperti terlihat pada Tabel-5 berikut ini:

Tabel 5. Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan

n=30

No Jawaban Responden Jumlah %

1 Rumah. 2 6%

2 Tanah (sawah/ladang). 6 20%

3 dll (seperti perhiasan, dll) 22 74%

Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel tersebut terlihat, bahwa anak perempuan telah mendapat warisan

Dokumen terkait