TESIS
OLEH
ABI YASER HANDITO
097011041/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
ABI YASER HANDITO
097011041/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : Abi Yaser Handito Nomor Pokok : 097011041
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH,MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,MHum) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN) (Prof. Dr. Runtung, SH. MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung , SH. MHum.
Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum. 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS.
Nama Mahasiswa : Abi Yaser Handito
Nim : 097011041
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : STATUS KEPEMILIKAN HARTA BENDA
PEMBERIAN ORANG TUA SEMASA HIDUPNYA
KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT
BATAK KARO
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat peryataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang Membuat Pernyataan
Abi Yaser Handito
i
pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu.
Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.
Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Lokasi penelitian adalah pada lima desa (desa Tambaklau Mulgap I,desa Sempa Jaya, desa Rumah Berastagi, desa Gundaling I dan desa Lau Gumba) di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan adalah hak milik pribadi yang tidak perlu dikembalikan ke dalam boedel warisan. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik daripada hak pakai saja, sehingga tidak perlu dikembalikan ke dalam bodel warisan pada saat orang tua meninggal dunia.
ii
inheritance is given when the testators are still alive. The process of bequeathing the property from parents to their heirs in the Karonese tradition is sometimes conducted when the parents (testators) are still alive. This process is conducted in harmony in front of Anak Beru, Senina, and Kalimbubu.
Inheritance in the Karonese tradition is regarded as a token of love and affection and maintaining good relationship between parents and their children. In practice, however, there are still many problems, especially if the inheritance is given when the parents are still alive, or the dead parents have left a valid will. The child (or children) who do not inherit will file a complaint.
This condition is, of course, not in accordance with the real purpose of bequeathing inheritance. It is not uncommon that the problem of inheritance will cause dispute among those who claim as the heirs.
The location of the research was at five villages: Tambaklau Mulgap I village, Sempa Jaya village, Rumah Berastagi village, Gundaling I village, and Lau Gumba village. They were located in Berastagi Subdistrict, Karo District, North Sumatera Province. The type of the research was descriptive analytic, using judicial sociological (empirical) approach and was conducted qualitatively. The drawing of the conclusions was done with inductive approach.
The results of the research showed that the status of giving movable property, when the parents were still alive, to their boys or girls does not need to be categorized as inheritance. Besides that, the giving of property to heirs (male or female) nowadays should be dominantly with the status of property rights and not with the status of the right of use so that it was not necessary to be categorized as inheritance.
iii
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar MAGISTER KENOTARIATAN di Universitas Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan
memilih judul : “STATUS KEPEMILIKAN HARTA BENDA PEMBERIAN
ORANG TUA SEMASA HIDUPNYA KEPADA ANAK DALAM HUKUM
WARIS ADAT BATAK KARO (Studi Kecamatan Berastagi Kabupaten
Karo).” Saya menyadari masih banyak kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pendoman dimasa yang akan datang.
Didalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara kusus kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum., serta Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH. MS., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing
kepada saya dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN. dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. MHum., selaku
iv
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN. Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. MHum. Selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para
karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta, Herdiyanto,SH. yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil, sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan Ibunda Sri Haryani yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang dan doa restu. Serta terima kasih kepada adik saya dr. Ardina Dwi Utari dan Dinda Rahma Sesha atas segala dukungan dan doa-doanya..
v
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada keluarga besar Bapak Syaiful Bachri S.Sos atas doa, dukungan dan nasehat-nasehatnya. Serta Vinny Aryanti, SE. belahan hati yang tak pernah lelah untuk menunggu dan memberikan semangat, memberikan perhatian, cinta dan sayang serta doa, sehingga saya dengan lapang dapat menyelesaikan penulisan dan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Henry Purba,SH., Mersita SH, M,Kn beserta keluarga dan Buchler Tarigan, SH, beserta keluarga yang telah sangat banyak memberikan masukan dan saran khususnya tentang adat-istiadat karo sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Medan, Kepala Kesatuan Bangsa Politik Dan Perlindungan Masyarakat, Camat Berastagi, Kepala Desa Tambaklau Mulgap I, Kepala Desa Gundaling I, Kepala Desa Rumah Berastagi, Kepala Desa Sempa Jaya, Kepala Desa Lau Gumba serta pihak-pihak yang telah membantu saya dalam penelitian tesis ini.
vi
Medan.
Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada kawan-kawan seperjuangan dan sahabat saya, Rahmat SH, Doni SH, Rudi SH, Wina SH, Nida SH, Agustina SH, Pudio SH, Roy SH, Dedi SH, serta seluruh kawan-kawan angkatan 2009 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara..
Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah.
Akhirnya, semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.
Medan, Oktober 2011
vii
I. Identitas Pribadi
Nama : Abi Yaser Handito
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 30 September 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah Agama : Islam
Alamat : Jl. Dr. Mansyur No. 41 Medan
II. Keluarga
Nama Ayah : Herdiyanto, SH. Nama Ibu : Sri Haryani
Nama Adik : dr. Ardina Dwi Utari Dinda Rahma Sesha
III. Pendidikan
SD Negeri 10 Timor Leste Tamat Tahun 1998
SLTP Negeri 6 Jakarta Tamat Tahun 2001
SMU Negeri 53 Jakarta Tamat Tahun 2004
viii
ABSTRAK... i
ABSTRACT………..………...ii
KATA PENGANTAR...iii
RIWAYAT HIDUP...vii
DAFTAR ISI ...viii
DAFTAR TABEL ...xi
DAFTAR ISTILAH ...xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………1
B. Perumusan Masalah………..……….………11
C. Tujuan Penelitian ……….……..………...11
D. Manfaat Penelitian ……….…….…..12
E. Keaslian Penelitian……….…14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi………..……....15
1. Kerangka Teori………..……….…15
2. Konsepsi………..….23
G. Metodologi Penelitian ………..….25
ix
5. Alat pengumpulan Data ………28
6. Analisis Data ………..………29
BAB II PEMBERIAN HARTA BENDA ORANG TUA SEMASA HIDUP KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO DI KECAMATAN BERASTAGI
A. Profil Singkat Kecamatan Berastagi………...……31
B. Hukum Waris Adat Karo……….…………...…37
C. Pemberian Harta Benda Orangtua Semasa Hidup Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Karo Di kecamatan
Berastagi ……….…….…..…...42
BAB III TITEL PEMBERIAN HARTA BENDA ORANG TUA SEMASA HIDUP KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO DI KECAMATAN BERASTAGI
A. Titel Pemberian Harta Benda Orangtua Semasa Hidup Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak
karo……….………..…57
B. Titel Pemberian Harta Benda Orangtua Semasa Hidup
x
A. Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Semasa Hidup Menurut Hukum Waris Adat Batak Karo ……….….78
B. Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Semasa Hidup Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung ………...91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……….……..………..100
B. Saran ……….………..101
DAFTAR PUSTAKA ……….……...103
xi
Nomor Judul Halaman
1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 32
2. Tingkat Pendidikan Responden ………... 33
3. Pemberian Harta Benda Orang Tua Semasa Hidup
Kepada Anak ……… 48
4. Bentuk Pemberian Harta Orangtua Semasa Hidup
Kepada Anak ……… 49
5. Tujuan Pemberian Harta Orangtua Semasa Hidup
Kepada Anak ……… 53
6. Titel Pemberian Harta Orangtua Semasa Hidup
Kepada Anak ………... 66
7. Status Kepemilikan Pemberian Harta Benda
xii
2. Merga si lima artinya marga yang terdiri dari Sembiring, Tarigan, Perangin-angin, Karo-karo, dan Ginting
3. Sangkep Sitelu artinya landasan sistem kekerabatan adat istiadat karo yang terdiri dari anak beru, senina dan kalimbubu
4. Anak Beru artinya kelompok penerima anak perempuan untuk diperistri
5. Senina artinya orang yang berdasarkan kelahirannya mempunyai satu kakek
dan nenek yang sama baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu
6. Kalimbubu artinya kelompok pemberi anak perempuan kepada kelompok
tertentu
7. Kekelengen artinya kasih sayang
8. Sereh artinya upah perkawinan
9. Penampat artinya uang pemberian
xiii
13. Pemere Kalimbubu artinya harta bawaan istri
14. Pemere arinya pemberian
15. Pemberian Tedik-tedik artinya pemberian yang dilakukan secara diam-diam
16. Perpenca artinya perabot rumah tangga
17. Uis artinya pakaian adat
18. Mas artinya perhiasan
19. Taneh artinya tanah
20. Jabu artinya rumah
21. Perkawinan Jujur artinya suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki - laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan
i
pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu.
Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.
Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Lokasi penelitian adalah pada lima desa (desa Tambaklau Mulgap I,desa Sempa Jaya, desa Rumah Berastagi, desa Gundaling I dan desa Lau Gumba) di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan adalah hak milik pribadi yang tidak perlu dikembalikan ke dalam boedel warisan. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik daripada hak pakai saja, sehingga tidak perlu dikembalikan ke dalam bodel warisan pada saat orang tua meninggal dunia.
ii
inheritance is given when the testators are still alive. The process of bequeathing the property from parents to their heirs in the Karonese tradition is sometimes conducted when the parents (testators) are still alive. This process is conducted in harmony in front of Anak Beru, Senina, and Kalimbubu.
Inheritance in the Karonese tradition is regarded as a token of love and affection and maintaining good relationship between parents and their children. In practice, however, there are still many problems, especially if the inheritance is given when the parents are still alive, or the dead parents have left a valid will. The child (or children) who do not inherit will file a complaint.
This condition is, of course, not in accordance with the real purpose of bequeathing inheritance. It is not uncommon that the problem of inheritance will cause dispute among those who claim as the heirs.
The location of the research was at five villages: Tambaklau Mulgap I village, Sempa Jaya village, Rumah Berastagi village, Gundaling I village, and Lau Gumba village. They were located in Berastagi Subdistrict, Karo District, North Sumatera Province. The type of the research was descriptive analytic, using judicial sociological (empirical) approach and was conducted qualitatively. The drawing of the conclusions was done with inductive approach.
The results of the research showed that the status of giving movable property, when the parents were still alive, to their boys or girls does not need to be categorized as inheritance. Besides that, the giving of property to heirs (male or female) nowadays should be dominantly with the status of property rights and not with the status of the right of use so that it was not necessary to be categorized as inheritance.
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang
peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris
itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.
Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa
hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya
seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat
hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia itu.1
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum.
Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para
warisnya.2
Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangat
erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hukum
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung , 1983, hal. 11
2
merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun
kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beraneka
ragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk
hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau
kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis
keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau
kelompok-kelompok etnik.3
Dasar hukum berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S (Indische
Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), termasuk juga berlakunya hukum
waris adat yaitu :
“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan
bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang
didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….”
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (Generatie)
kepada turunannya.4
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari
3
Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966, hal.7
4
alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu :
a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,
Seram,Nusa tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau
menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi). 5
Di Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya aneka
hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak sendiri-sendiri
berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing, demikian juga halnya hukum adat
dalam masyarakat Batak Karo. Hal ini sejalan dengan pendapat Hazairin yang
mengatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam
pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan
keturunannya matrilineal, patrilineal, parental masih nampak kebenarannya.”6
5
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.23 6
Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa
masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat yang masih sangat kental dan
sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam
mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan,
kelakuan dan juga dalam hal waris.
Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada masyarakat adat
Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak (Patrilineal) yaitu didasarkan
atas dasar pertalian darah menurut garis bapak.7 Sehingga hanyalah anak laki-laki
yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat
bapaknya, jika ia telah kawin.8
Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan telah
menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu
dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat
Batak Karo adalah anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah
kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada kerabat suaminya.
Garis keturunan dalam masyakat karo ditarik berdasarkan marga (dalam
bahasa Batak Karo disebut Merga) yang mengakibatkan timbulnya hubungan
kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Batak karo
mengenal lima jenis marga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap
7 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,hal.240
8
anggota masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima marga
ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu :
a. Marga Karo-Karo
b. Marga Ginting
c. Marga Tarigan
d. Marga Sembiring
e. Marga Perangin-angin
Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo tersebut diambil
berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan perkawinan yang
dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu.
Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai marga
yang sama atau karena ibu mereka bersaudara (Senina Sepemeren) atau karena isteri
mereka bersaudara (Senina Separibanen) atau karena suami mereka bersaudara
(Senina Secimbangen), Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak
perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari pihak yang
mengawini anak perempuan tersebut.
Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru, Senina, dan
Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat adat
Khusus dalam hal perkawinan, masyarakat adat Batak Karo dikenal adanya
pemberian jujuran atau biasa disebut perkawinan jujur9 yang dilakukan oleh wali
kerabat pria dengan upacara adat dan diikuti dengan pemberian harta bawaan oleh
kerabat wanita untuk dibawa mempelai wanita ke dalam perkawinan jujur. Inilah
yang membawa akibat lepasnya hubungan adat si wanita dari kerabatnya masuk ke
kerabat pria. Maka dari sistem kekerabatan dan sistem perkawinan jujur inilah yang
pada akhirnya dapat ditarik alur dalam pembagian warisan adat Batak Karo.
Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada umumnya
melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli
waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula
pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup.
Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang
universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris
meninggal dunia (semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris
pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari
salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat, harta warisan itu
adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta
9 Perkawinan jujur
semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat
ia mati”. 10
Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan didapat
karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi
atau jasa atau karena sesuatu tujuan.11
Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih
banyak dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap pemberian yang
dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Tapanuli disebut Holong
Ate, Indahan Arian, atau Pambaenan yang merupakan suatu bentuk pemberian harta
benda oleh orang tua kepada anaknya. Pada masyarakat Lampung ada kemungkinan
isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau
kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan. 12
Di lingkungan masyarakat adat Daya-kendayan Kalimantan Barat
kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada
Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai
wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara
memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan
mengikuti si istri. 13
10
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Medan : Bina Sarana Balai Penmas SU, (tanpa tahun), hal.145
11
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.51 12
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977, hal.161 13
Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya merupakan suatu
bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada
umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat patrilineal seperti pada
masyarakat adat Batak Karo.
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah hanya anak
laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi anak laki-laki
tidak dapat membantah pemberian harta yang dilakukan orang tua semasa hidupnya
kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada
prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta
benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak
membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini adalah Pemere yaitu pemberian
atas tanah atau ladang dari harta pusaka. Biasanya Pemere diberikan kepada anak
yang sudah berumah tangga sebagai harta untuk diusahainya dan sebaai tempat untuk
mencari nafkah. Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai
bentuk tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal awal
yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya.14
Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya
dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua
14
(pewaris) masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di
depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga
dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya pemberian
tersebut. 15
Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk
kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan
tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan
khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang
dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal
dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris
yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.
Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta
pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak
jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal
dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya.
Salah satu contoh terhadap perkara perdata Nomor 225/Pdt.G/2009/Pn-Mdn. Antara
SBT dan anak-anaknya, MBS dan anak-anaknya melawan LRB, dan MBB yang
kasus posisinya sebagai berikut.
Awalnya SB memiliki beberapa bidang tanah dari hasil perkawinannya
dengan istrinya TBS dan hasil perkawinannya tersebut mempunyai empat orang anak
yaitu PB (laki-laki), MB (laki-laki), LRB (perempuan), dan MBB (perempuan).
15
Seiring waktu anak pertama yaitu PB pun menikah dengan MBS dan memilki 3 orang
anak, begitu juga dengan anak kedua MB yang menikah dengan SBT dan memiliki 5
orang anak, dari perkawinan MB tersebut kemudian SB sebagai orang tua
memberikan sebidang tanah kepada MB dan SBT sebagai bentuk upah perkawinan
adat.
Namun keadaan berubah ketika SB dan TBS meninggal dunia masing-masing
pada tahun 1992 dan 2001 yang disusul juga oleh 2 orang anaknya yaitu PB dan MB
meninggal dunia masing-masing pada tahun 2002 dan 2003, yang secara hukum
maka ahli waris yang berhak terhadap harta warisan SB dan TBS yaitu SBT dan
anak-anaknya, MBS dan anak-anaknya yang menggantikan kedudukan suami mereka
sebagai ahli waris, serta LRB, dan MBB.
Maka ketika diadakan pembagian waris secara adat kepada MBS dan
anaknya, SBT dan anaknya, Pihak dari LRB, dan MBB tidak sepakat terhadap
pembagian waris adat tersebut yang merasa tidak adil. Dikarenakan harta pemberian
yang diterima oleh SBT dianggap bukanlah suatu pemberian dalam upah perkawinan
adat melainkan termasuk kedalam harta warisan SB dan TBS, yang pada akhirnya
pihak dari LRB, dan MBB menuntut ke Pengadilan Negeri Medan agar harta
tersebut harus dibagi secara rata.
Kasus Posisi tersebut merupakan salah satu contoh permasalahan warisan
yang terjadi pada masyarakat adat khususnya pada masyarakat adat Batak Karo.
perlu dikaji lebih lanjut. Sehingga pada saat orang tua meninggal dunia, status
kepemilikan harta benda tersebut tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli waris
dan tidak menjadi sumber sengketa diantara mereka yang merupakan ahli warisnya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tesis : Status Kepemilikan
Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam
Hukum Waris Adat Batak Karo (Studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di identifikasi permasalahan
sebagai berikut :
1. Mengapa orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak
pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi ?
2. Bagaimanakah titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidupnya
kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi?
3. Bagaimanakah status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua
semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di
Kecamatan Berastagi?
C. Tujuan Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif
penulisan tersebut.16 Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian tesis
ini adalah :
1. Untuk mengetahui alasan orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda
kepada anak pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi.
2. Untuk mengetahui titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa
hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan
Berastagi.
3. Untuk mengetahui status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua
semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di
Kecamatan Berastagi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan.17Secara operasional penelitian dapat berfungsi sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menunjang pembangunan,
mengembangkan sistem dan mengembangkan kualitas manusia.18
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang
timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam
16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hal.118 17 Bahder Johan Nasution , Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2008, hal.10
kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum
diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa
yang seyogyanya atas isu yang diajukan.19 Bertitik tolak dari tujuan penelitian
sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat
memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu
sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk
sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun
sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang
berhubungan dengan harta pemberian yang diberikan orang tua semasa hidup
kepada anaknya menurut sistem hukum waris adat Batak Karo.
b. Secara praktis
Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat Karo di masa mendatang
apabila terjadi permasalahan terkait harta pemberian orang tua semasa
hidupnya kepada anak menurut sistem hukum waris adat Batak Karo.
Memberikan pengertian dan pemahaman yang dapat berguna serta
memberikan sumbangan pemikiran dan penjelasan bagi mereka yang hendak
mempelajari dan mengkaji harta pemberian orang tua semasa hidupnya
kepada anak menurut sistem hukum adat Batak Karo.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang dengan judul “Status
Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak
Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo belum pernah dilakukan terhadap
permasalahan yang sama.
Pada Tahun 2009 ditemukan penelitian atas nama Frans Cory Melando
Ginting peserta program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara medan, dengan
judul tesis “Perkembangan Hukum waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo di
Kecamatan Merdeka”. Beberapa Pokok Permasalahan yang diangkat adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat adat Batak
Karo di kecamatan Merdeka.
2. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak
Karo di Kecamatan Merdeka.
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris
Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di di Kecamatan Merdeka.
Penelitian Frans Cory Melando Ginting tersebut difokuskan pada
perkembangan dalam kaitannya dengan pergeseran hukum waris adat pada
masalah utama adalah status hukum kepemilikan harta benda pemberian orangtua
kepada anak dalam hukum waris adat Batak Karo dan lokasi penelitian adalah di
Kecamatan Berastagi.
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian
karena telah memenuhi dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung
aspek kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa
masukan serta saran-saran yang bersifat membangun.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelittian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.20 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai kasus
atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.21
Pada dasarnya Teori yang berkenaan dengan judul penulis diatas adalah Teori
yang berkenaan dengan sosiologi hukum yaitu Teori yang dikemukakan oleh Eugen
Ehrlich. Dalam bukunya berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”.
Dari bukunya tersebut terdapat konsep “living law”, Konsep ini menekankan bahwa,
20 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006, hal.6
hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat, atau dengan apa yang disebut dengan hukum adat . 22
Dalam penjelasan umum Alinea I Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan
bahwa :
“Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis,ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”23
Pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang
menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar)
maupun hukum yang tidak tertulis (hukum adat).
Seperti dijelaskan pada pasal 131 I.S (Indische Staatssregeling) ayat 2 b (Stb
1925 no .415 jo.577), Mengenai dasar berlakunya hukum adat termasuk juga
berlakunya hukum waris adat di Indonesia yaitu :
“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan
bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang
didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….”
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
22
Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II,Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2007, hal.18
23
tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (Generatie)
kepada turunannya.24
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari
alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu :
a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,
Seram,Nusa tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau
menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan didalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi). 25
Dengan demikian berlakunya sistem hukum adat di Indonesia tergantung
kepada daerahnya masing-masing sesuai adat dan kebiasaan mereka. Hal ini juga
ditegaskan oleh Soepomo yang mengatakan bahwa :
24
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Lok. cit 25
“Hukum Adat merupakan hukum yang melingkupi hukum yang berdasarkan
keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan,
dimana ia memutuskan perkara.”26
Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa
masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat yang masih sangat kental dan
sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam
mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan,
kelakuan dan juga dalam hal waris.
Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada masyarakat adat
Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak (Patrilineal) yaitu didasarkan
atas dasar pertalian darah menurut garis bapak.27 Sehingga hanyalah anak laki-laki
yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat
bapaknya, jika ia telah kawin.28
Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan telah
menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu
dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat
Batak Karo adalah anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah
kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada kerabat suaminya.
26
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Lok. cit
27 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Lok. cit 28
Garis keturunan dalam masyakat karo ditarik berdasarkan marga (dalam
bahasa Batak Karo disebut Merga) yang mengakibatkan timbulnya hubungan
kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Batak karo
mengenal lima jenis marga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap
anggota masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima marga
ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu :
a. Marga Karo-Karo29
Karokaro terdiri dari submarga : Karokaro Sinulingga, Karokaro Surbakti,Karokaro Kacaribu,Karokaro Sinukaban,Karokaro Barus, Karokaro Simbulan, Karokaro Jung, Karokaro Purba, Karokaro Ketaren, Karokaro Pertampilen, Karokaro Gurusinga,Karokaro Kaban,Karokaro Sinuhaji, Karo Sekali, Karokaro Kemit, Karokaro Bukit, Karokaro Sinuraya, Karokaro Samura, Karokaro Sitepu.
30
Ginting terdiri dari submarga : Ginting Ajar Tambun, Ginting Babo, Ginting Beras, Ginting Capah, Ginting Garamata, Ginting Gurupatih, Ginting Jadibata, Ginting jawak, Ginting Manik, Ginting Munte, Ginting Pase, Ginting Seragih, Ginting Sinusinga, Ginting Sugihen, Ginting Suka, Ginting Tumangger,
31
Tarigan terdiri dari submarga : Tarigan Sibero, Tarigan Tua, Tarigan Silangit, Tarigan Tambak,Tarigan Tegur, Tarigan Gersang, Tarigan Gerneng, Tarigan Gana-gana, Tarigan Jampang, Tarigan Tambun, Tarigan Bondong, Tarigan Pekan,Tarigan Purba
32Sembiring
terdiri dari submarga : Sembiring Kembaren, Sembiring Sinulaki, Sembiring Keloko di Pergendangen, Sembiring Sinupayung, Sembiring Colia, Sembiring Pandia, Sembiring Gurukinayan,Sembiring Berahmana, Sembiring Meliala,Sembiring Pande Bayang, Sembiring Tekang, Sembiring Muham, Sembiring Depari, Sembiring Pelawi, Sembiring Busuk, Sembiring Sinukapar,Sembiring Keling,Sembiring Bunuh Aji
33
Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo tersebut diambil
berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan perkawinan (perkawinan
jujur)34 yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru, Senina, dan
Kalimbubu.
Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai marga
yang sama atau karena ibu mereka bersaudara (Senina Sepemeren) atau karena isteri
mereka bersaudara (Senina Separibanen) atau karena suami mereka bersaudara
(Senina Secimbangen), Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak
perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari pihak yang
mengawini anak perempuan tersebut.
Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru, Senina, dan
Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat adat
Batak Karo, termasuk dalam hal pembagian warisan.
Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada umumnya
melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli
waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula
pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup.
Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang
universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris
34 Perkawinan jujur
meninggal dunia (semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris
pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari
salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat, harta warisan itu
adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta
semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat
ia mati”. 35
Pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidup tentunya merupakan
suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada
umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat adat Batak Karo.
Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya,
seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pada masyarakat
adat Batak Karo pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan
Anak beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga dihadiri oleh
penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya pemberian tersebut. 36
Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk tanda
kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal awal yang diberikan
kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangganya.
Hak seorang anak yang menerima harta pemberian pada pokoknya adalah
sebagai hak untuk dimiliki. Pada saat harta pemberian itu diberikan telah beralih hak
35
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Lok. cit
36
si ayah kepada si anak. Hak tersebut tidak diambil kembali dari si anak tersebut oleh
si ayah maupun oleh ahli waris yang lain. Tetapi sifat kepemilikan harta pemberian
itu masih terikat pada boedel harta warisan yang harus diperhitungkan nanti pada
waktu pembahagian harta warisan di antara para ahli warisnya.
Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk
kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Oleh
karena itu dasar keputusan orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan
harta semasa hidupnya kepada anak tersebut sehingga memiliki dasar yang kuat pada
saat orang tua meninggal dunia dan tidak menjadi masalah diantara para
ahliwarisnya.
Untuk mengetahui dasar keputusan orang tua dalam memberikan harta benda
semasa hidupnya kepada anak tersebut, dapat dikaji Teori Keputusan yang
dikemukakan oleh Teer Har, yakni :
“Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.”37
Teori Keputusan menegaskan bahwa Keputusan diambil berdasarkan
nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan tersebut .
Dalam hal ini Teori Keputusan diperlukan untuk menjelaskan dasar keputusan
orang tua dalam memberikan harta benda semasa hidupnya kepada anak berdasarkan
nilai-nilai yang hidup dalam hukum adat Batak Karo sehingga memperoleh suatu
kejelasan agar pada saat orang tua meninggal dunia, status kepemilikan harta benda
tersebut tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli warisnya dan tentunya tidak
menjadi sumber sengketa diantara mereka yang merupakan ahli warisnya.
2. Konsepsi
Konsep merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi
dan realita.38Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi
operasional39
Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif
konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari
segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut.
Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.40
Konsep merupakan “alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh
38 Masri Singarimbun dkk., Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES,1989,hal.34 39 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta : RajaGrafindo, 1998, hal.307
suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.41
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.42 Selanjutnya
konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah
dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta
mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya
adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep
merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara
variabel-variabel yang ingin menetukan adanya gejala empiris.43
Beranjak dari judul tesis ini yaitu “Status Kepemilikan Harta Benda
Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat
Batak Karo” maka dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi
kata dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut ;
a. Status adalah kedudukan terhadap suatu objek tertentu (harta benda) yang
berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.
b. Kepemilikan adalah perihal kepunyaan terhadap suatu barang yang
berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.
41 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1996, hal.70
42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal.7
c. Harta benda adalah harta benda milik orang tua yang diperoleh semasa
hidup.
d. Pemberian adalah suatu proses terhadap pemberian suatu barang yang
diberikan atas dasar kasih sayang maupun silaturahmi antara orang tua dan
anak.
e. Hukum adalah peraturan atau norma yang mengikat dan mengatur
pergaulan hidup masyarakat dalam kaitannya terhadap pengaturan objek
tertentu (harta benda) yang berasal dari pemberian orang tua semasa
hidup.
f. Waris adalah suatu cara peralihan hak dari seseorang yang telah
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup terhadap suatu obyek
tertentu.
g. Adat adalah suatu aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala oleh sekumpulan masyarakat dalam hal ini masyarakat adat Batak
Karo.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan
Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian ini bertujuan untuk
tertentu.44 Sehingga penelitian ini menggambarkan status kepemilikan harta benda
pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak dalam hukum waris adat batak
karo serta menganalisis masalah-masalah yang timbul yang berhubungan dengan hal
tersebut secara terperinci dan kritis selanjutnya mencoba menarik kesimpulan dan
memberikan masukan-masukan berupa saran.
Bahan-bahan penelitian ini akan diperoleh secara kuesioner atau angket, yaitu
sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hak yang ia ketahui.
Untuk memperkuat bahan-bahan penelitian ini maka dilakukan wawancara
kepada Camat, Kepala Desa, Kepala Lingkungan dan masyarakat pada Kecamatan
Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis (empiris).
Yuridis sosiologis (empiris) berarti penelitian ini mempelajari bahan pustaka dan data
yang terdapat dari hasil wawancara dan dibandingkan Undang-Undang yang sedang
berlaku sekarang.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo,
Provinsi Sumatera Utara. Namun mengingat luasnya wilayah di kecamatan Berastagi
tersebut maka diambil 5 (lima) desa sebagai sampel yaitu :
a. Desa Tambak Lau Mulgap I b. Desa Sempa Jaya
c. Desa Rumah Berastagi d. Desa Gundaling I e. Desa Lau Gumba
Pengambilan Sampel dilakukan secara purposive sampel yaitu penentuan
sampel berdasarkan pertimbangan pribadi si peneliti secara terencana dan terararah.
Adapun yang menjadi pertimbangan si peneliti bahwa pemberlakuan waris adat di
daerah tersebut masih dilakukan secara murni menurut hukum waris adat Batak
Karo.
3. Populasi dan Sampel, Responden Penelitian
Sebagai populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat
Batak Karo yang telah melakukan pemberian harta di Kecamatan Berastagi
Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.
Hal ini dimaksudkan untuk melihat bentuk-bentuk harta warisan dalam
pembagian warisan pada masyarakat Batak Karo. Maka dalam penelitian ini penulis
mengambil sampel 7 (tujuh) orang dari setiap desa dimana yang akan diwawancarai
adalah orang yang telah melakukan pemberian harta semasa hidup sesuai dengan adat
4. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan
ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen,
maupun Peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan hukum waris
adat pada masyarakat Batak Karo.
b. Studi Lapangan (Field Research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan
masyarakat dan pemerintah yang berada dalam Kecamatan Berastagi,
Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara.
5. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara
sebagai berikut :
a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data
sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.45 Sehingga untuk
mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan
yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil
penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo.
b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan yang
telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka),
yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya
agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya
kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di
lapangan.
6. Analisis Data
Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui
verifikasi data sekunder dan data primer. Untuk selanjutnya dilakukan
pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah
sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang
sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.46
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan
mengumpulkan data primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan
pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca
dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam
bentuk persentase.
Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase
dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh
gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam
pelaksanaan warisan di Kecamatan Berastagi, Kabupatan Karo. Selanjutnya
dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai
BAB II
PEMBERIAN HARTA BENDA ORANG TUA SEMASA HIDUP KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO DI
KECAMATAN BERASTAGI
A. Profil Kecamatan Berastagi
Kecamatan Berastagi dengan pusat pemerintahannya di Berastagi,
merupakan salah satu dari 13 (tiga belas) Kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Karo Provinsi Sumatera Utara.
Kecamatan Berastagi secara geografis terletak diantara 2°50’ Lintang
Utara, 3°19’Lintang Selatan, dan 97° 55’ - 98°38’Bujur Timur.47
Secara administratif Kecamatan Berastagi berbatasan dengan
wilayah-wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Deli Serdang
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Kabanjahe
3. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tigapanah
4. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Simpang Empat
Pusat pemerintahan wilayah Kecamatan Berastagi terletak pada ketinggian
1400 M diatas permukan laut, dengan suhu berkisar antara 16° s/d 27° C dengan
kelembapan udara rata-rata 28%. Musim hujan lebih panjang dibanding kemarau
dengan perbandingan 9 : 3. Awal musim hujan bulan agustus, berakhir bulan Januari
47
dan musim hujan kedua dari bulan Maret – Mei setiap tahunnya dengan curah hujan
pertahun antara 1000 s/d 4000 mm.48
Wilayah Kecamatan Berastagi luasnya 30,50 Km², dengan jumlah penduduk
laki-laki dan perempuan sebanyak 46.686 jiwa dengan kepadatan 1.530 jiwa yang
mayoritas dihuni oleh suku Karo dan tersebar pada 10 Kelurahan/Desa yakni ,
sebagaimana terdapat dalam Tabel No.1 sebagai berikut :
Tabel No.1
Sumber : Proyeksi Penduduk BPS Kabupaten Karo (2009)
48
Berdasarkan tabel diatas menggambarkan bahwa jumlah penduduk
perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki yakni penduduk perempuan
sebanyak 24.823 jiwa sedangkan penduduk laki-laki sebanyak 21.863 jiwa.
Penduduk di Kecamatan Berastagi, khususnya di desa/kelurahan sampel
memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi. Hal ini dapat terlihat mulai dari yang
tidak tamat SD, Tamat SD atau yang sederajat, tamat SMP atau yang sederajat, tamat
SMA atau yang sederajat, tamat Akademi atau yang sederajat, dan yang tamat
Perguruan Tinggi sebagaimana tergambar dalam tabel No.2 berikut ini :
Tabel No.2
Tingkat Pendidikan Responden
NO TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH %
1 Tidak Tamat SD 2 5,71
2 Tamat SD / Sederajat 7 20,00
3 Tamat SMP / Sederajat 7 20,00
4 Tamat SMA / Sederajat 8 22,85
5 Tamat Akademi 5 14,28
6 Tamat Perguruan Tinggi 6 17,14
TOTAL % 35 100
Dari tabel tersebut menggambarkan bahwa tingkat pendidikan penduduk
di Kecamatan Berastagi, khususnya pada Kelurahan/Desa sampel yaitu Sempa jaya,
Tambaklau Mulgap I, Rumah Berastagi, Gundaling I dan Lau Gumba lebih dominan
dengan tingkat pendidikan tamat SMA atau yang sederajat.
Penduduk pada Kecamatan Berastagi sebagian besar berprofesi sebagai
petani dikarenakan keadaan alam dan topografi di Kecamatan Berastagi sangat cocok
untuk sektor pertanian yang dapat ditanami sayur mayur dan buah-buahan. Keadaan
tanah di Kecamatan Berastagi sangat subur akibat zat belerang yang dihembuskan
oleh angin dari gunung sibayak dan gunung sinabung sehingga tanahnya
mengandung unsur tanah debu hitam,andosol, sebagai hasil letusan kedua gunung
tersebut.49
Sektor pertanian menjadi potensi terbesar untuk mendukung perekonomian
masyarakat di Kecamatan Berastagi. Dari sektor pertanian tersebut telah
menghasilkan tanaman-tanaman hasil pertanian yang sangat subur khususnya berupa
sayur-mayur, buah-buahan; dan bunga yang sebagian besar di suplai ke Sumatera
Utara hingga ke pulau Batam, Pulau jawa bahkan telah diekspor ke Singapura,
Malaysia, Brunei, Jepang, Philipina, Belanda dan negara asing lainnya.50
Sektor pertanian menjadi lapangan kerja yang paling utama bagi
masyarakat Berastagi. Hal ini dapat dilihat dari areal perladangan/persawahan
merupakan areal yang paling luas di Kecamatan Berastagi. Adapun areal perladangan
49
Ibid,hal.30 50
tersebut banyak ditanami dengan tanaman buah-buahan seperti jeruk dan
sayur-sayuran terutama kol, wortel, bawang prei, daun sop, dan lain-lain. Areal persawahan
banyak digunakan untuk menanami padi dan sayur-sayuran air seperti selada air
(kurmak), selada, daun sop dan sebagainya yang memerlukan pengairan yang cukup
besar sehingga sangat cocok dibudidayakan di daerah persawahan.51
Areal pemukiman menjadi areal terluas kedua, hal ini terjadi mengingat
Kecamatan Berastagi merupakan daerah yang telah banyak penduduknya karena
banyaknya para perantau yang datang ke Berastagi. Sehingga dengan demikian areal
pemukiman penduduk pun semakin bertambah jumlahnya seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk tersebut. Peralihan fungsi lahan pada akhirnya juga
terjadi untuk menanggulangi masalah tersebut misalnya lahan yang sebelumnya
digunakan sebagai lahan pertanian diubah menjadi areal pemukiman, lahan yang
sebelumnya kosong atau bahkan masih berupa hutan semak belukar dibuka menjadi
areal perladangan dan bahkan untuk daerah pemukiman bagi penduduk dan
sebagainya. 52
Kecamatan Berastagi merupakan salah satu daerah penghasil tanaman
pertanian terbesar di Tanah Karo sehingga untuk menunjang hal tersebut pemerintah
setempat membuka pasar-pasar atau yang lebih dikenal dengan pajak baik pajak
umum maupun pajak sayur sebagai tempat masyarakat baik petani maupun pedagang
51
Seselia Dormauli, Kehidupan Ekonomi, Budaya dan Sosial Kecamatan Berastagi, 12 Juli 2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/Chapter%20II.pdf , (14.30).
52
melaksanakan aktivitas ekonominya memperjual-belikan hasil pertanian tersebut.
Pajak atau pasar ini umumnya tidak hanya digunakan oleh masyarakat di Kecamatan
Berastagi saja akan tetapi juga sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar kecamatan
tersebut atau bahkan dari luar kota seperti Medan, Kabanjahe, Sibolangit, Pancur
Batu dan sebagainya dalam usaha membeli ataupun menjual barang-barang hasil
pertanian dari dan ke daerah tersebut
Kecamatan Berastagi juga merupakan salah satu daerah yang memiliki
potensi untuk pengembangan daerah pariwisata yang besar maka lahan di Berastagi
juga banyak diperuntukkan sebagai lahan pengembangan daerah pariwisata serta
bangunan-bangunan umum yang mendukung kegiatan tersebut serta
kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Sehingga pembangunan sarana-sarana umum sudah
meningkat sehingga taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kecamatan
tersebut juga turut meningkat. Kecamatan Berastagi sebagai daerah pariwisata
terbesar di Tanah Karo juga telah terkenal hingga ke daerah-daerah lainnya di
Provinsi Sumatera Utara ini. Hal ini terjadi mengingat bahwa Berastagi merupakan
daerah yang berhawa sejuk dengan potensi ataupun kekayaan alam yang sangat besar
sehingga sangat menarik minat para wisatawan untuk mengunjunginya. 53
Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi daerah
tersebut. Untuk itu, pemerintah setempat berusaha menyeimbangkannya dengan
menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang cukup dalam bidang
53