1
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar
karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak
menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa
dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih
hidup.1 Berdasarkan penelusuran yang dilakukan hukumonline, kewarisan
menempati posisi nomor dua buku tahunan Yurisprudensi Mahkamah Agung
(MA) hampir setiap edisi terbitan dari tahun per tahun mengutip putusan
perkara waris. Hal tersebut menunjukkan pentingnya masalah waris mendapat
perhatian. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam
di mana saja di dunia ini. Dasar pokok dari semuanya adalah hukum
kewarisan Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
kemudian yang diterapkan di dalam masyarakat seperti peraturan Kompilasi
Hukum Islam. Berdasarkan hukum Islam, sumber utama terdapat dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman pada surat An-Nisa’ (4):11
yaitu:
ظَح ُلْثِم ِرَكّذلِل ْمُكِد ََْوَأ ِِ ُهّللا ُمُكيِصوُي
َقْوَ ف ًءاَسِن ّنُك ْنِإَف َِْْ يَ ثْ نُْْا
ََِْو ُفْص لا اَهَلَ ف ًةَدِحاَو ْتَناَك ْنِإَو َكَرَ ت اَم اَثُلُ ث ّنُهَلَ ف َِْْ تَْ ثا
ِهْيَوَ َ
لُكِل
ُهَل َناَك ْنِإ َكَرَ ت اِِّ ُسُدّسلا اَمُهْ ِم ٍدِحاَو
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Surat tersebut menjelaskan secara rinci tentang sebagian ahli waris
yang berhak untuk menerimanya (anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak,
saudara) dan menjelaskan syarat-syarat serta orang yang berhak mendapatkan
warisan. Kewarisan (al-mirats) yang disebut sebagai faraidh berarti bagian
tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang
kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang
Al-Qur’an dan Al-Hadits.2 Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Hadits Nabi Muhammad SAW pada Kitab Fara’idh Sohih Al
Bukhori yang secara langsung mengatur kewarisan Hadits Nomor 6228 yang
artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Muhammad bin Al Munkadir , ia mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma mengatakan; aku pernah sakit, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dan Abu Bakar menjengukku dengan berjalan kaki. Keduanya mendatangiku ketika aku sedang pingsan, maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berwudhu', dan sisa wudhunya beliau guyurkan kepadaku sehingga aku siuman (sadar). Maka aku bertanya; 'Bagaimana yang harus aku lakukan terhadap hartaku?, bagaimana yang harus aku putuskan terhadap hartaku?”
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam sama sekali tidak menjawab
sepatah kata pun hingga turun ayat waris.3 Permasalahan mengenai kewarisan
Islam di Indonesia selain dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Hadist waris
2 Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
Hlm. 16-17.
juga diatur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam. Pasal 171 KHI Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 menentukan bahwa hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan
oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun
hak-haknya. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.4
Salah satu pembahasan dalam ilmu waris adalah pembahasan tentang
penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak
menerima warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan
kemerdekaan budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah
perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain,
penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan
setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.5
Dalam hubungannya dengan waris mewarisi pada keluarga beda
agama, maka ini menunjukkan adanya anggota keluarga yang beragama Islam
dan anggota keluarga yang beragama non Islam. Dalam kondisi seperti ini
4Tim Redaksi Fokus Media, 2014, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Fokus Media, Hlm.56.
5
akan bersentuhan dengan persoalan waris beda agama bila pihak pewaris
meninggal dunia. Dalam hukum Islam telah ditentukan bahwa berlainan
agama bisa menjadi penghalang mewaris.6
”Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mukmin) (QS. An-Nisa: l4l)”.7
Firman Allah SWT menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak
boleh tunduk pada orang kafir, dan orang kafir tidak boleh menaklukkan
orang mukmin, dan Allah tidak akan memberi akses ke arah itu.
لاق ملسو هيلع ها يضر ديز نَ ةماسأ نع و
Terlihat jelas dalam pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c
Kompilasi Hukum Islam yang mensyaratkan harus beragama Islam. Pasal
tersebut menyebutkan bahwa: “Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
6T.M Hasbi Ash Shiddieqy, 19997, Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Hlm. 46-48. 7
Hadits di atas merupakan salah satu dasar para ulama dalam
menetapkan kesepakatan mengenai ketentuan bahwa keluarga dekat (suami
atau istri, bahkan anak sekalipun) yang tidak muslim/muslimah bukan
merupakan ahli waris. Meskipun ada ketentuan yang menyatakan bahwa
seorang ahli waris harus beragama Islam dan telah dikuatkan dengan hadits
yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan waris mewaris antara
seorang muslim dengan non muslim, tetapi pada praktiknya masih ada
putusanhakim yang memberikan hak waris kepada seorang ahli waris non
muslim melalui wasiat wajibah. Hal ini sebagaimana putusan Pengadilan
Agama Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj, yang memberikan hak waris kepada
anak yang berbeda agama (non-muslim).
Membaca putusan diatas menurut penulis adanya kesenjangan antara
harapan (das sollen) dengan kenyataan (das sein), maka penulis merasa
tertarik untuk mengangkat suatu judul dalam skripsi ini mengenai
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS
KEPADA AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA MELALUI WASIAT
WAJIBAH”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Membatasi permasalahan dalam suatu penelitian merupakan salah
satu hal yang sangat penting dalam suatu rangkaian pelaksanaan penelitian
ilmiah guna menghindari terjadinya kekaburan dan penyimpangan terhadap
waktu yang relatif kurang pada diri penulis. Oleh sebab itu perlu kiranya
penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti.
Sesuai dengan judul skripsi penulis maka penulis di sini akan
membatasi penelitian pada Tinjauan Yuridis terhadap pembagian harta waris
kepada ahli waris yang beda agama dengan pewaris. Jadi hanya kepada anak
kandung yang berbeda agama (murtad) dengan pewaris. Berdasarkan uraian
dan latar belakang masalah di atas maka penulis dapat merumuskan
permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan ahli waris beda agama dengan pewaris dalam
kompilasi hukum Islam?
2. Bagaimana pertimbangan hakim mengenai wasiat wajibah untuk memutus
perkara Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai suatu tujuan dan manfaat tertentu
yaitu sesuatu yang di harapkan atau suatu manfaat tertentu dari hasil
penelitian yang akan dilakukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris beda agama dengan pewaris
dalam kompilasi hukum Islam.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim mengenai wasiat wajibah untuk
memutus perkara Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj.
Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum pada khususnya.
b. Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan kedudukan ahli waris beda agama dalam perspektif hukum
Islam.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai ilmu tambahan dan
masukan bagi aparat penegak hukum, mahasiswa, masyarakat umum dan
khususnya bagi penulis sendiri.
D. Kerangka Pemikiran
Berbicara pembagian waris berarti membicarakan faraidh atau
kewarisan dan berarti pula membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang
yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Fiqh mawarits mengandung
arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal
peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih
hidup.8 Pembagian harta warisan menurut hukum Islam sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan Hadist, kepastian bagian masing-masing ahli waris di
dalam Al-Qur’an mengikat secara hukum bagi setiap pribadi muslim.
Komposisi bagian masing-masing ahli waris merupakan bagian yang paling
adil baik dipandang secara vertikal maupun horizontal. Khusus mengenai
keseluruhan harta warisan terdapat ketentuan yang menyangkut bagian
tertentu yang dapat diwasiatkan oleh seseorang.9
Timbulnya sengketa kewarisan adanya keadaan berlainan agama
sebagai penghalang (mamnu’) untuk menerima warisan, dalam hal ini sering
menjadi konflik di antara para ahli warisnya.10 Kenyataan demikian telah ada
dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini, untuk Terjadinya gugat
waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan
Negerimenunjukkan fenomena ini.11 Sedangkan dalam masalah gugatan waris
seorang muslim dengan non-muslim dapat diselesaikan melalui Pengadilan
Agama karena pewaris adalah seorang muslin, dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Pengadilan Agama mengatakan bahwa
Pengadilan Agama berhak memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara-perkara orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 KHI Inpres Nomor 1 tahun 1991
menentukan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing. Penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau
hal-hal yang dapat mengugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta
9Sudarsono, 1992, Pokok-pokok Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, Hlm. 288 10Zakiah Darajat, 1995, Ilmu Fiqh Jilid III, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, Hlm. 27 11
peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.12 Hal-hal yang
dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu:
a. Pembunuhan,
b. Berlainan agama,
c. Perbudakan, dan yang tidak disepakati ulama adalah berlainan negara.13
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata dalam bukunya Fiqh
Mawaris, Hukum Kewarisan Islam, menjelaskan bahwa kedudukan berlainan
agama sebagai penghalang kewarisan telah menjadi ijma’ seluruh umat Islam.
Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang
Islam. Namun apabila di antara orang yang berlainan agama tersebut
mewasiatkan kepada yang lainnya untuk menerima hartanya setelah
kematiannya, maka wasiat tersebut apabila tidak lebih dari sepertiga dapat
dilaksanakan tanpa memerlukan izin dari para ahli waris, sebab perbedaan
agamaitu hanya menghalangi pewarisan tidak menghalangi wasiat.14 Dasar
hukumnya adalah Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW sebagai berikut:
اق ملس هيلع ه يضر ي نب ماسأ نع
"
ملس لا يا
ملس لا فا لا ا فا لا
Artinya: “Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Nabi SAW., Bersabda: Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (Muttafaq 'alaih).
12Ahmad Azhar Bazhar Basyir, 1990, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia,Hlm.16
13Muslich Maruzi, 1981, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Pustaka Amani, Hlm. 13 14
Demikian juga hadis riwayat Ashhab al-Sunah(penulis kitab-kitab al-Rasulullah SAW bersabda: tidak ada waris mewarisi terhadap
orang yang berbeda agama” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Nasa’i juga meriwayatkan dari Usamah bin Zaid).15
Hadist di atas mengisyaratkan bahwa tidak ada waris mewarisi
antara muslim dengan orang kafir, demikian juga sebaliknya. Demikian juga
jumhur ulama sepakat bahwa berlainan agama menjadi penghalang
mewarisi.16 Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi
tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan si mati, dan bukan pada saat
pembagian warisan yang dijadikan pedoman, demikian kesepakatan
mayoritas ulama.17
15
Salim Bahreisy dan Abdullah Bahreisy, 2005, Tarjamah Bulughul Maram, Surabaya: Balai Pustaka, Hlm. 476.
16Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, 1409/1989, Bidayat
al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al- Jiil, Hlm. 413-417
17
Sering terjadi saat ini jika ahli waris beda agama banyak para hakim
menggunakan atau memutuskan dengan memberikan wasiat yang berupa
wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda agama. Istilah wasiat itu
sendiri diambil dari washaitu-ushi ashi syai’a (aku menyambun sesuatu)
dalam syariat, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh
seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi
wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.18
Sementara ini wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang
bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam
keadaan tertentu.19 Menurut suparman wasiat wajibah adalah wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan
atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilaksanakan baik
diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh
si yang meninggal dunia, jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan
bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki tetapi
pelaksanaannya didasarkan kepada alsan-alasan hukum yang membenarkan
bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.20
Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama
dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 180
ْ إ ْو ْلا مك حأ ضح ا إ ْم ْيلع ب ك
ف ْع ْلاب نيب ْق ْْا نْي لاوْلل ّيصوْلا اً ْيخ ت
ني ّ ْلا ىلع اًّ ح
18 Sayyud Sabiq,2008, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara Jilid 4, Hlm.523 19 Fatchur Rahman, 1979, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang,Hlm.63
20
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda -tanda) maut, jika ia meninggal harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara
ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa (Q.S al-baqarah: 180)”.
Definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem
hukum Islam Indonesia tidak diatur secara jelas. bahkan dalam fiqh
merupakan fenomena yang masih terjadi perdebatan, maksudnya semua
fuqaha dalam ilmu fiqh mengakui adanya wasiat wajibah hanya beberapa saja
yang mengakui bahwa wasiat wajibah itu ada. Menurut sebagian ulama yang
berpendapat bahwa wasiat wajibah dalam Fiqh tidak ada dasar hukumnya.
Wasiat wajibah tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam
Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yaitu ““Subyek hukumnya adalah anak
angkat terhadap orangtua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh Negara”.
Wasiat wajibah diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam
timbul untuk penyelesaian permasalahan antara pewaris dengan anak
angkatnya sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orangtua angkat.21
Dalam ilmu Figh Mawaris juga mendefinisikan dasr hukum wasiat wajibah
itu sendiri seperti bukunya Suparman yang mendefinisikan wasiat wajibah
yaitu sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak
bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.22
21Destri Budi Nuraheni dkk, 2010, Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia,
Mimbar Hukum Vol. 22 Nomor 2, Hlm. 132
E. Metode Penelitian
Pembahasan dalam penelitian seperti dikemukakan penulis diatas,
maka dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisa dan
mengembangkan permasalahan dalam skripsi ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang dapat digunakan dalam
suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu
juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam
masyarakat.23 Dalam hal ini penulis menggunakan cara dengan menguji
secara yuridis mengenai permasalahan yang diteliti dalam putusan Nomor:
2/Pdt. G/2011/PA.Kbj, yang dikaji dengan menggunakan Kompilasi
Hukum Islam, Al-Quran, As-Sunnah serta Hadist. Sehingga akan
mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti dalam
skripsi ini.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analitis.
Deskriptif Analitis ialah menggambarkan masalah yang kemudian
menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah
dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandaskan kepada
23
teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan.24Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan cara mengkaji peraturan yang terkait
dengan putusan Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj, peraturan tersebut seperti
Kompilasi Hukum Islam, Al-Qur’an, As-Sunnah (Hadist) dan pendapat
para ulama.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam pembuatan skripsi ini dilakukan pada
Direktorat Putusan Mahkamah Agung.
4. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Untuk penelitian ini diperlukan data primer dan data sekunder,
adapunjenis data dan metode pengumpulan data yang digunakan adalah
sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data dilapangan. Data ini diperoleh dengan mengadakan
interview atau wawancara secara langsung dengan responden di lokasi
penelitian. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian
yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih
bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi
atau keterangan-keterangan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah datayang berupa bahan kepustakaan.
Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan studi atau penelitian
24
kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen maupun buku-buku yang ada kaitannya
dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana.
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1) Bahan hukum primer:
a) Al-Qur’an dan As-Sunnah
b) Hadist dan pendapat ulama
c) Instruksi Presiden No. 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
2) Bahan hukum sekunder:
1) Referensi, yaitu buku-buku perpustakaan yang berkaitan
dengan sengketa waris beda agama.
2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.
3) Bahan hukum tersier:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
2) Kamus Hukum.
5. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data
belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum
dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih
merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data
jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup
maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kaliamat yang
sistematis.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu
uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data
dan pemahaman hasil analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data
diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah
diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman bahan
dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan
analisis terhadap penerapan peraturan secara tertulis yang berkaitan
dengan sengketa waris beda agama.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini disajikan dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab I berisi Pendahuluan yang di dalamya menguraikan tentang latar
Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab II berisi Tinjauan Pustaka yang di dalamnya menguraikan tentang
Tinjauan Umum Tentang Waris yang meliputiPengertian Hukum kewarisan,
Sumber Hukum Waris, Asas-asas Hukum Waris, Sebab dan Penghalang Waris
Tentang Wasiat meliputi Pengertian Wasiat, Sumber-sumber Wasiat, Asas
Wasiat dan yang Tiga Tinjauan Umum Tentang Wasiat Wajibah.
Bab III berisi Hasil Pelitian dan Pembahasan yang di dalamya
menguraikan tentang penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari
putusan Nomor 2/Pdt. G/2011/PA. Kbj yang dianalisis sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunah, Hadist, Pendapat para ulama serta Instruksi
Presiden No 1 Tahun 1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam sehingga
terjawabnya bagaimana kedudukan ahli waris beda agama serta pertimbangan
hakim mengenai wasiat wajibah dalam perkara Nomor: 2/Pdt. G/2011/PA.
Kbj.
Bab IVberisi Penutup yang di dalamnya menguraikan tentang
kesimpulan umum yang didasarkan pada analisis data dan pembahasan
penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan