ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS
TIDAK PUNYA ANAK
(Studi Kasus di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik)
SKRIPSI
Oleh
Haniatul Badi’ah
NIM. C71211169
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek
Pengalihan Nama Atas Harta Waris Sebab Ahli Waris Tidak punya anak (Studi Kasus Di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik)‛ merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana deskripsi praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik? Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik?
Data penelitian dihimpun melalui teknik observasi dan wawancara dengan informan yang terkait dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif dengan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulakan bahwa Pada tahun 1999 Wiro Wongso Kamdu Meninggal dunia yang meninggalkan ahli waris yaitu Ranti (istri) dan 5 orang anaknya. Dari 5 anak tersebut masing-masing memiliki keturunan kecuali Najih. Usia perkawinan Najih sudah 10 tahun lamanya. Dirasa oleh keluarga usia perkawinan Najih sudah cukup lama, pihak keluarga terutama Najwa menyarankan agar Najih mengasuh anak Najwa untuk diangkat menjadi anak angkatnya. Akan tetapi, Najih menolaknya. Tiga tahun berlalu, Najih memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki dari tetangganya di Surabaya. Ketika warisan sudah dibagi, tanah waris bagian dari Najih telah dialihkan nama kepemilikannya oleh Najwa dengan alasan karena Najih tidak punya anak dan adanya i’tikad buruk dari Najwa yang tidak ingin harta waris saudaranya (Najih) jatuh ditangan anak angkat Najih sebagai hibah. Karena pada dasarnya Najwa ingin menjaga harta waris Najih dari tangan orang yang tidak ada hubungan darah atau nasab dengannya. Dalam hukum Islam tidak mengenal adanya pengalihan nama atas harta waris, melainkan peralihan harta waris dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris. Hal inilah yang disebut dengan asas ijba<ry. Praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak menurut hukum Islam tidak ada nash yang menjelaskan secara gamblang. Akan tetapi, masalah ini penulis menqiyaskan dengan masalah adanya anggapan bahwa masyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh karena itu, akal menganggap baik atau mashlahah untuk menyamakan hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh harta warisan.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada para Ahli waris dan
perangkat desa Bangeran disarankan: Pertama, bagi ahli waris diharapkan agar
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II TINJAUNAN UMUM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN TERHADAP HARTA WARIS DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya ... 19
B. Syarat dan Rukun Waris ... 23
C. Asas-asas Waris ... 25
D. Harta Warisan ... 29
E. Macam-macam Ahli Waris ... 36
F. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan ... 40
H. Anak Angkat ... 45
I. Mekanisme Penyelesaian Masalah Warisan ... 46
BAB III PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK A. Selayang Pandang Masyarakat Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik ... 48
1. Kondisi Geografis Desa Bangeran ... 48
2. Sosial Pendidikan ... 49
3. Sosial Ekonomi ... 50
4. Keadaan Sosial Keagamaan ... 50
B. Praktek Pelaksanaan Pengalihan Nama Atas Harta Waris Sebab Ahli Waris Tidak punya anak Di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik ... 52
C. Akibat Praktek Pengalihan Nama Atas harta Warias Sebab Ahli Waris tidak punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik ... 58
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebijakan Praktek Pengalihan Nama Atas Harta Waris Sebab Ahli Waris Tidak punya anak Di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik ... 60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam nasakah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedomantransliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
No. Arab Indonesia Arab Indonesia
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. ا ج د ر س ش ص ض ’ b t th j h} kh d dh r z s sh s} d{ ظ ع ف ق ك ل م و ه ء ي t{ z{ ‘ gh f q k l m n w h ’ y
Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987).
B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
TandadanHuruf Arab Nama Indonesia
fath{ah kasrah d{ammah a i u
Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika
hamzah ber kh{arakat sukun atau didahului oleh huruf berh{arakat sukun.
2. VokalRangkap (diftong)
TandadanHuruf Arab
Nama Indonesia Ket.
ْي
ْو
fathah dan ya‘
fathah danwawu
ay
aw
adan y
adan w
Contoh: - bayna ( يب)
- mawdu>‘ (عوضوم)
3. VokalPanjang (mad)
TandadanHuruf Arab
Nama Indonesia Keterangan
ا
ي
و
fathah dan alif
kasrah dan ya‘
d{ammah danwawu
a>
i>
u>
a dan garis di atas
i dan garis di atas
u dan garis di atas
Contoh : - al-jama>‘ah ( ع لا) - yadu>ru (رو ي)
- takhyi>r (ريي ت)
C. Ta>’ Marbu>t{ah
Transliterasi untuk ta>‘ marbu>t{ah ada dua:
1. Jika hidup (menjadimud{a>f) tansliterasinya adalah t.
2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalahh.
3. Contoh : Shari>‘at al-Isla>m (ماساا يرش)
: Shari>‘ah Isla>miyah ( يماسإ يرش)
D. PenulisanHurufKapital
Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perjalanan hidup manusia akan mengalami kelahiran dan
kematian. Semua itu mempunyai dampak dan akibat hukum terhadap
lingkungan sekitar, terutama dengan orang-orang yang hidup dekat
dengannya, baik dalam arti keluarga atau dalam arti lingkungan.
Kematian seseorang membawa dampak dan akibat hukum kepada
dirinya, keluarganya, dan lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu,
kematian tersebut menimbulkan kewajiban bagi kerabat si mayit yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian itu timbul
pula akibat hukum lain secara otomatis , yaitu adanya hubungan ilmu hukum
yang menyangkut hak para keluarga (ahli waris) terhadap seluruh harta
peninggalannya.1
Jadi, dengan meninggalnya seseorang maka terjadilah proses kewarisan
yaitu ‚suatu proses pemindahan dan pengalihan harta kekayaan seseorang
yang telah meninggal dunia‛.
Kewarisan berfungsi sebagai pergantian kepemilikan harta benda dari
pewaris kepada ahli waris. Oleh karena itu dalam hal kewarisan memerlukan
syarat-syarat tertentu.
1Suparman Usman Dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
2
Syarat pertama, meninggalnya muwa>rrith (orang yang mewariskan
atau meninggalkan harta benda).2 Yang dimaksud dengan meninggalnya
pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan ahli waris atau
sebagian ahli waris dari pewaris mengetahuinya, atau telah ditetapkan vonis
oleh hakim terhadap orang yang hilang itu tidak diketahui tempat tinggal
dan keadaannya secara pasti, sehingga hakim menetapkan bahwa orang
tersebut telah meninggal.3
Syarat kedua, hidupnya ahli waris ialah perpindahan harta waris
mutlak harus kepada ahli waris yang benar-benar masih hidup, karena orang
yang sudah meninggal tidak berhak untuk mewarisi. Dan Syarat ketiga
adalah tidak adanya penghalang-penghalang kewarisan.
Ditinjau dari bagian-bagian yang diterima, ahli waris itu terbagi
menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Ahli waris as}ha>b al furu>d{ (utama), yaitu kelompok ahli waris yang
menerima bagian tertentu sesuai dengan furudul muqaddarah
(bagian-bagian waris) yang ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah.
2. Ahli waris ‘as}abah, yaitu kelompok ahli waris yang tida
mendapatkan bagian-bagian pasti. ‘As}abah disini dibai menjadi 3,
yaitu:
2Ibid, 24.
3Muhammad Ali Al S}abuni, Al-Maris Fi Al Syari’at Al-Islamiyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab Wa As-
3
1) ‘As}abah bi an nafsi>, yaitu semua orang lai-lai yang berkaitan
keturunannya kepada pewaris tanpa adanya selingan
perempuan. Mereka mewarisi berdasarkan diri mereka yang
sangat dekat keturunannya dengan pewaris, tanpa memerlukan
orang lain agar dapat waris secara ushubah.
2) ‘As}abah bi al ghoir, yaitu kelompok ahli waris perempuan yang
membutuhkan ahli waris lain untuk menjadikannya menjadi
ashobah dan berserikat dalam menerima ashobah.
3) ‘As}abah ma’ al ghoyr, yaitu kelompok ahli waris perempuan
yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadikannya
ashabah tetapi tidak berserikat atau bersama dalam menerima
‘ushubah.
3. Ahli waris dhawi al arh}a>m yaitu ahli waris yang tidak termasuk ahli
waris ashabul furud dan ahli waris ashobah, mereka dianggap
kerabat yang jauh pertalian nasabnya.4
Di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik ada sebuah
kasus tentang praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris
tidak punya anak, sebelumnya Wiro Wongso Kamdu menikah dengan Ranti
yang memiliki 5 orang anak yang terdiri dari 4 anak laki-laki dan 1anak
perempuan, yaitu Ahmad, Dakir, Layin, Najih dan Najwa.
4A. Sukris Sarmada, Trensendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakrta: Pt Raja
4
Pada tahun 1999 Wiro Wongso Kamdu Meninggal dunia yang
meninggalkan ahli waris yaitu Ranti (istri) dan 5 orang anaknya. Dari 5 anak
tersebut masing-masing memiliki keturunan. Najwa memiliki 5 anak, Ahmad
memiliki 4 anak, Dakir memiliki 2 anak, Layin memiliki 2 anak, sedangkan
Najih tidak memiliki anak. Usia perkawinan Najih sudah 10 tahun lamanya.
Dirasa oleh keluarga usia perkawinan Najih sudah cukup lama, pihak
keluarga terutama Najwa menyarankan agar Najih mengasuh anak Najwa
untuk diangkat menjadi anak angkatnya. Akan tetapi, Najih menolaknya.
Tiga tahun berlalu, Najih memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki dari
tetangganya di Surabaya. Ketika warisan sudah dibagi, tanah waris bagian
dari Najih telah dialihkan nama kepemilikannya oleh Najwa dengan alasan
karena Najih tidak punya anak dan adanya i’tikad buruk dari Najwa yang
tidak ingin harta waris saudaranya (Najih) jatuh ditangan anak angkat Najih
sebagai hibah. Karena pada dasarnya Najwa ingin menjaga harta waris Najih
dari tangan orang yang tidak ada hubungan darah atau nasab dengannya.5
Najih merasa bahwa dia masih berhak untuk memliki harta waris dari
wiro wongso kamdu, akan tetapi Najwa tidak meminta izin kepada Najih
untuk mengalihkan harta warisnya.
Disini muncul masalah bahwa Najwa mengalihkan nama harta waris
Najih tanpa sepengetahuan dan seizin Najih sehingga Najih merasa tidak
dianggap lagi sebagai ahli waris dengan sebab Najih tidak punya anak.
5
Dijelaskan dalam Kompilasi hukum Islam buku II Pasal 183
menyatakan bahwa ‚Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya‛. 6
Hal ini bertolak belakang dengan permasalahan keluarga besar Najwa
yang mana tidak bersepakat melakukan perdamain dalam pengalihan nama
atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak. Sesuai dengan pasal di
atas, para ahli waris tidak melakukan musyawarah dalam melakukan
tindakan pengalihan nama yang dilakukan oleh Najwa. Najwa melakukan
permintaan pengalihan nama atas harta waris di Balai Desa yang di bantu
oleh Kepala desa Bangeran. Saat itu, Kepala desa tidak mengetahui bahwa
tanah itu adalah warisan milik Najih yang akan dialihkan oleh Najwa sebab
Najih tidak mempunyai keturunan. Sehingga Kepala desa Bangeran
menerima permintaan Najwa untuk mengalihkan nama harta waris tersebut.
Berangkat dari permasalahan diatas, penulis berkeinginan untuk
melakukan penelitian dan membahasnya dalam sebuah skripsi dengan judul
‚Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Pengalihan Nama Atas Harta
Waris Sebab Ahli Waris Tidak Punya Anak Studi Kasus Di Desa Bangeran
Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik‛.
6
B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi
permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:
1. Deskripsi pengalihan nama harta waris sebab ahli waris tidak punya
anak.
2. Pengertian hukum kewarisan menurut hukum Islam.
3. Syarat dan rukun hukum kewarisan Islam.
4. Asas-asas hukum kewarisan Islam.
5. Faktor-faktor terjadinya hukum kewarisan Islam.
6. Macam-macam ahli waris.
7. Harta waris dalam hukum kewarisan Islam.
8. Analisis hukum Islam terhadap praktek pengalihan nama atas harta waris
sebab ahli waris tidak punya anak.
Dari identifikasi masalah tersebut, penulis membatasi pada dua
permasalahan, yaitu:
1. Deskripsi pengalihan nama harta waris sebab ahli waris tidak punya
anak.
2. Analisis hukum Islam terhadap praktek pengalihan nama atas harta
7
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi praktek pengalihan nama atas harta waris sebab
ahli waris tidak punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun
Kabupaten Gresik?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktek pengalihan nama atas
harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di Desa Bangeran
Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat
penelitian serupa sehingga dapat menimbulkan penelitian yang berulang.
Topik utama yang dijadikan objek penelitian dalam skripsi ini adalah
kewarisan.
Pembahasan tentang kewarisan telah banyak dikaji oleh beberapa
penulis, diantaranya:
1. Skripsi Sayyid Muhammad al-Maliki, dengan judul ‚Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Ahli Waris Yang Tidak Mendapatkan Bagian Karena
Belum Menikah (Studi Kasus Di Desa Padelegan Kecamatan Pademawu
Kabupaten Pamekasan)‛. Dalam skripsi ini membahas tentang adanya
8
belum menikah di Desa Padelegan Kecamatan Pademawu Kabupaten
Pamekasan.7
2. Skripsi Sri Purwani, dengan judul ‚ Analisis Hukum Islam Terhadap
Tidak Adanya Hak Waris Anak Perempuan Pada Masyarakat Batak Karo
(Studi Kasus Di Desa Rumah Berastagi Kecamatan Berastagi Kabupaten
Karo)‛. Dalam skripsi ini membahas mengenai hak wanita pada
masyarakat adat Batak, namun lebih khusus terhadap hak waris anak
perempuan.8
3. Skripsi Khairun Nida, dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap
Kasus-Kasus Pembagian Harta Warisan Di Desa Teluk Serikat
Kecamatan Banjang Kabupaten Hulu Sunga Utara Kalimantan Selatan‛.
Dalam skripsi ini lebih membahas kepada alasan-alasan yang melatar
belakangi munculnya pasal 183 KHI dan bagaimana hukumnya menurut
pandangan hukum islam terhadap pasal tertentu.9
4. Skripsi Jannatul Firdaus, dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap
Sengketa Tanah Waris Yang Tidak Dibagikan (Studi Kasus Di Desa
Blumbungan Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan)‛. Dalam
skripsi ini membahas tentang adanya sebidang tanah waris yang tidak
7Sayyid Muhammad Al-Maliki, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ahli Waris Yang Tidak
Mendapatkan Bagian Karena Belum Menikah (Studi Kasus Di Desa Padelegan Kecamatan
Pademawu Kabupaten Pamekasan)‛ (Skripsi--Iain Sunan Ampel Surabaya, 2012), 8.
8Sri Purwani, ‚ Analisis Hukum Islam Terhadap Tidak Adanya Hak Waris Anak Perempuan Pada
Masyarakat Batak Karo (Studi Kasus Di Desa Rumah Berastagi Kecamatan Berastagi Kabupaten
Karo)‛ (Skripsi—Uin Sunan Ampel Surabaya, 2014), 7.
9 Khairun Nida, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus-Kasus Pembagian Harta Warisan Di
Desa Teluk Serikat Kecamatan Banjang Kabupaten Hulu Sunga Utara Kalimantan Selatan‛,
9
dibagikan setelah kematian pewaris sampai beberapa tahun yang terjadi
di Desa Blumbungan Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan.10
5. Skripsi Nurul Hidayah, dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap
Anak Kandung Yang Tidak Mendapatkan Bagian Warisan (Studi Kasus
Di Desa Gili Timur Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan)‛. Dalam
skripsi ini lebih menfokuskan pembahasan pada anak kandung yang tidak
mendapatkan bagian warisan karena faktor letak rumah bapak M. Susito
ke rumah saudara dan orang tuanya jauh dan bapak M. susito telah
mampu dalam kehidupannya.11
Secara umum, pembahasan dalam skripsi yang telah disebutkan di
atas menyangkut masalah Ahli waris yang tidak mendapatkan harta
waris. Namun penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dengan
penelitian sebelumnya, antara lain :
1. Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah Ahli waris yang tidak
punya anak dan harta warisnya telah dialihkan oleh saudara
kandungnya sendiri.
2. Pada penelitian ini dikaji tentang analisis hukum Islam terhadap
praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak
punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
10Jannatul Firdaus, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Sengketa Tanah Waris Yang Tidak
Dibagikan (Studi Kasus Di Desa Blumbungan Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan)‛,
(Skripsi--Iain Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 7.
11Nurul Hidayah ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Anak Kandung Yang Tidak Mendapatkan
Bagian Warisan (Studi Kasus Di Desa Gili Timur Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan
10
E. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan utama penelitian ini
yaitu:
1. Mengetahui deskripsi praktek pengalihan nama atas harta waris sebab
ahli waris tidak punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun
Kabupaten Gresik.
2. Melakukan analisis hukum Islam terhadap praktek pengalihan nama atas
harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di Desa Bangeran
Kecamatan Dukun Kabuaten Gresik.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat
sekurang-kurangnya dalam 2 hal sebagai berikut :
1. Secara Teoritis, untuk memperluas wawasan keilmuan dan menambah
khazanah intelektual, khususnya yang berkaitan dengan praktek
pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak
yang ditinjau dari hukum Islam.
2. Secara Praktis, diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan, referensi, dan
acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya terutama kaitannya dengan
masalah praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak
11
G. Definisi Operasional
Sebelum membahas lebih jauh dari topik pembahasan ‚Analisis
Hukum Islam Terhadappraktek Pengalhan Nama Atas Harta Waris Sebab
Ahli Waris Tidak punya anak (Studi Kasus Di Desa Bangeran Kecamatan
Dukun Kabupaten Gresik)‛, perlu didefinisikan istilah pokok dari judul
tersebut guna menghindari subjektifitas pemikiran dari bahasan yang keliru
dan mendapat gambaran yang jelas dari judul tersebut.
Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum
yang bersumber dari Al-Quran, Hadits, dan pendapat
para ulama ahli hukum (ijtihad para ulama’), serta
Kompilasi Hukum Islam.
Pengalihan Nama : Cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan
dengan cara mengalihkan hak milik atas suatu
kebendaan dari pemilik yang lama kepemilik yang
baru.
Harta Waris : Harta Waris yaitu harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris (orang yang meninggal) selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.12
12
Ahli Waris Yang Tidak Punya Anak : Ahli Waris yang tidak punya anak
adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu
atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada
hubungan keluarga dengan si meninggal dunia dan
berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan
yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris), akan
tetapi ahli waris tidak mempunyai keturunan dalam
pernikahannya.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Data tentang praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli
waris tidak punya anak di desa Bangeran kecamatan Dukun
kabupaten Gresik.
b. Data tentang para pihak yang terlibat dalam praktek pengalihan
nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di desa
Bangeran kecamatan Dukun kabupaten Gresik.
13
2. Sumber Data
Sumber data adalah sumber dari mana data diperoleh. Adapun
sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
skunder.13
a. Sumber Data Primer
Sumber primer adalah sumber data yang dibutuhkan untuk
memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan objek
penelitian, sumber primer disini diambil dari beberapa informan
kunci, sedangkan yang dimaksud informan kunci adalah partisipan
yang karena kedudukannya dalam komunitas memiliki pengetahuan
khusus mengenai orang lain, proses, maupun peristiwa secara lebih
luas dan terinci dibandingkan orang lain.14 Sumber data ini
meliputi:
1) Ahli waris
2) Para Tokoh Agama atau para Tokoh Masyarakat, Perangkat
Desa serta warga yang mengetahui tentang pengalihan nama
waris sebab ahli waris tidak punya anak.
13Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2010), 12.
14
b. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder merupakan sumber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya
melalui orang lain atau berupa dokumen.15
Buku-buku yang terkait dengan pembahasan dalam hukum
waris, diantaranya:
1) Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif Di Indoesia.
2) Wahbah Az-Zuhayly, Fiqh Al-Islam Waadillatuhui.
3) M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata..
4)
Abi< ‘Isa< Muh{ammad bin ‘I<sa< bin Su<ratun, Sunan at Timidhi< ,juz ra<bi’.
5) Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam.
6) R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Pertdata.
7) Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia.
8) Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di
Indonesia.
15Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, Cet Iv,
15
9) Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam.
10) Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran.
3. Teknik Pengumpulan Data
Tekni pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
1. Observasi
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
menggunakan mata tanpa adanya pertolongan alat standar lain ntuk
keperluan tersebut.16
Dalam penelitian ini, observasi dibutuhkan
untuk mengamati praktek pengalihan nama atas harta waris sebab
ahli waris tidak punya anak di desa Bangeran kecamatan Dukun
kabupaten Gresik.
2. Wawancara
Dalam penelitian ini juga digunakan teknik wawancara.
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.17 Wawancara
dilakukan dengan :
a) Pihak ahli waris.
b) Tokoh Agama Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten
Gresik.
16 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Pt. Rineka Cipta,
Ed. Revisi, Cet. 13, 2006), 43.
16
c) Kepala Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
3. Dokumentasi
Dalam teknik dokumentasi, peneliti menyelidiki
benda-benda tertulis, seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan dan sebagainya.18
Dari hasil pengumpulan dokumentasi
yang telah diperoleh peneliti dapat memperoleh data mengenai
praktek pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak
punya anak di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis dengn
menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
a. Deskriptif Analisis
Deskriptif analisis yaitu dengan cara menuturkan dan
menguraikan serta menjelaskan data yang terkumpul. Metode ini
digunakan untuk mengetahui gambaran tentang praktek pengalihan
nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di desa
Bangeran kecamatan Dukun kabupaten Gresik.
b. Pola Pikir Deduktif
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pola pikir
deduktif yakni berangkat dari keadaan-keadaan yang bersifat umum,
kemudian diteliti dan ditemukan sebuah pemecahan persoalan yang
17
bersifat khusus.19
dimulai dengan menyatakan keadaan atau
fenomena hukum yang terjadi di desa Bangeran kecamatan Dukun
kabupaten Gresik dianalisis menggunakan teori-teori hukum Islam.
Tahapan ini, penulis akan menganalisis praktek pengalihan
nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak studi kasus
di desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik analisis
hukum Islam dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu
menggambarkan hasil penelitian tentang adanya fakta pengalihan
nama harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di desa
Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik, kemudian
dipadukan dengan teori-teori hukum Islam yang bersifat umum
tentang waris.
I. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi sistematis dan
kronologis sesuai dengan alur berpikir ilmiah, maka dibutuhkan sistematika
pembahasan yang tepat. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
18
pustaka, tujuan penelitian, kegunanaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, meliputi pembahasan mengenai landasan teori tentang
pengertian waris dan dasar hukumnya, syarat dan rukun waris, asas-asas
hukum waris, harta warisan, macam-macam ahli waris dan sebab-sebab
penghalang kewarisan.
Bab ketiga, merupakan data penelitian tentang pelaksanaan
pengalihan nama harta waris sebab ahli waris tidak memiliki keturunan di
Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabuaten Gresi, yang berisi gambaran
umum wilayah Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik,
praktek pengalihan nama harta waris sebab ahli waris tidak punya anak di
Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik, dan akibat praktek
pengalihan nama harta waris sebab ahli waris tidak memiliki keturunan di
Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik.
Bab keempat, merupakan analisis hukum Islam terhadap praktek
pengalihan nama atas harta waris sebab ahli waris tidak punya anak (studi
kasus di Desa Bangeran Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik).
19
BAB II
TINJAUNAN UMUM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN TERHADAP HARTA WARIS DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Waris Dan Dasar Hukumya
Apabila orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan
sampai kepada 3 (tiga) masalah pokok yang satu dan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan atau dengan perkataan lain yang satu merupakan
rangkaian atau akibat dari yang lain.
Masalah pokok tersebut yaitu: pertama, adanya seseorang yang
meninggal dunia. Kedua, seseorang tersebut meninggalkan harta
peninggalan. Ketiga, meninggalkan orang-orang yang mengurusi dan
berhak atas harta peninggalan tersebut.1
Al irth menurut bahasa adalah seseorang masih hidup setelah yang
lain mati, di mana orang yang masih hidup itu mengambil apa yang
ditinggalkan oleh orang yang mati. Menurut fiqih adalah apa yang
ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena
kematiannya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i. ‘ilmul mira<th
adalah kaidah-kaidah fiqih dan perhitungan yang dengannya diketahui
dengan setiap ahli waris akan peninggalan mayit. 2
1M. Idris Ramulyo, Perandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Hukum Perdata (Bw), Cetakan Ke-1(Jakarta: Radar Jaya Offset, 1994 ), 101.
2 Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al Isla>my Wa Adillatuhu<, Jilid 10 (Jakarta: Gema Insani, 2001),
20
Dalam ajaran Islam, hukum waris disebut dengab istilah ( ضِئَارَف).
Kata fara<id{ adalah bentuk jamak dari fari<d{ah yang berasal dari kata fard{u
yang berarti ketetapan, pemberian (sedekah). 3
Para Ulama Fikih memberikan definisi ilmu faraid sebagai berikut:
a. Penentuan bagian bagi ahli waris.
b. Ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh syari’at Islam.
c. Ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta
mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib
dimiliki oleh orang yang berhak.4
Dengan demikian, ilmu faraid dapat didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka
bagi ahli waris.5
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
(Pasal 171 ayat a KHI).6
Di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits terdapat ketentuan-ketentuan
pembagian warisan yang secara rinci dan jelas. Al-Quran merupakan
sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan tentang
3 Louis Makluf, Al Munji<d Fi< Al Lughoh Wa Al I’la<m, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), 577. 4 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Medan: Rajawali Pers, 2012), 49.
21
ketentuan fard{ tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum dalam surat
An-Nisa’ ayat 7, 11-12, 176 dan surat-surat yang lain. 7
Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Al-Nisa ayat 7 yaitu :
Artinya :
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.8
Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Al-Nisa ayat 176
yaitu : Artinya :
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
7Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 23-30.
22
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.9
Hadith Nabi yang anatara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA:
َانَثدَح
ِّّاُدْبَع
ُنْب
ِن ْْرلاِدْبَع
,
َنْرَ بْخَأ
ُمِلْسُم
ُنْب
َارْبِإ
َمْيِ
,
َانَثدَح
بْيَُو
,
َانَثدَح
ُنْبا
سِوَاط
ْنَع
ِهْيِبَأ
ْنَع
ِنْبِإ
سَاّبَع
ِنَع
ِِّبنلا
ىلَص
ُّا
ِهْيَلَع
َملَسَو
َلاَق
:
اْوُقَِْْا
َضِئَارَفْلَا
َاهِلَِِْ
َامَف
َيِقَب
َوُهَ ف
َلْوَِِ
لُجَر
رَكَذ
.
10(2105)
Artinya:Bercerita kepada kita ‘Abdullah bin ‘Abdirrah{ma<n, memberi kabar kepada kita Muslin ibn Ibra<hi<m, bercerita kepada kita Wuhayb, bercerita kepada kita Ibn T{a<wis dari ayahnya dari Ibn ‚Abba<as dari
Nabi Muhammad SAW bersabda : ‚Berilah orang-orang yang
mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing,
sedangkan kelebihannya diberikan kepada ‘ashobah yang lebih
dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama‛ (HR. Bukhari dan Muslim)‛
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum melaksanakan
pembagian warisan (faraid) sebagaimana yang tercantum dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah wajib.
Dalam faraid ada batasan-batasan dan kaidah-kaidah yang berkaitan
dengan keadaan-keadaan ahli waris karena posisinya sebagai s{a<hib fard{
(pemilik bagian), ‘as}abah atau dhawi al arh}a>m, juga hal-hal yang datang
kemudian seperti h{ujub (penghalang mendapatkan warisan karena ada
pewaris lain), ra<d, dan halangan mendapatkan warisan. Oleh karena itu,
ilmu faraid mengandung tiga unsur yaitu :
a. Mengetahui keadaan orang yang mendapatkan warisan.
b. Orang yang tidak mendapatkan warisan.
9 Ibid, 191.
10Abi< ‘Isa< Muh{ammad bin ‘I<sa< bin Su<ratun, Sunan at Timidhi< , juz ra<bi’(Bayru<t Li<bna<n: Da<rul
23
c. Mengetahui bagian masing-masing ahli waris dan h{isa<b (hitungan)
yang membawa ke situ.11
Adapun objek dari ilmu faraid adalah cara pembagian peninggalan
mayit kepada orang-orang yang berhak. Adapun penggaliannya adalah
dari Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’. Qiyas dan Ijtihad tidak bisa masuk
dalam ilmu faraid kecuali ketika sudah menjadi ijma’ . realitanya bahwa
para fuqoha menggunakan Qiyas dalam beberapa masalah warisan.12
B. Syarat Dan Rukun Waris
Warisan mempunyai tiga rukun, antara lain13 :
a. Orang yang mewariskan (muwa>rrith). Yaitu orang mati yang
meninggalkan harta atau hak. Muwa>rrith harus benar telah meninggal
dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini
berarti bahwa tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan, pemberian
atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak
termasuk ke dalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau
pembagian ini disebut hibah.
b. Orang yang mewarisi (wa<rith) hidup pada saat orang yang mewariskan
meninggal duania dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam
pengertian hidup di sini adalah:
11 Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al Isla>my Wa Adillatuhu..., 341. 12 Ibid, 341.
24
1) Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang
yang mewariskan meninggal dunia.
2) Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya,
dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan
bahwa ia masih hidup. Apabila dalam waktu yang ditentukan ia
tidak juga kembali maka bagian warisnya dibagikan kembali kepada
ahli waris. Dan apabila dua orang yang mempunyai hubungan nasab
meninggal bersamaa waktunya, atau tidak diketahui siapa yang
lebih dulu meninggal dunia, maka keduanya tidak saling mewarisi
karena ahli waris harus hidup ketika orang yang mewariskan
meninggal dunia.
c. Yang diwarisi (al mauru<th). Yakni peninggalan. Al mauru<th disebut juga
mira<th dan irth, yaitu harta yang dtitinggalkan oleh orang yang
mewariskan atau hak-hak yang mungkin diwariskan. Seperti hak qis{as{,
hak menahan barang yang dijual karena sudah terpenuhinya harga dan
hak barang gadaian karena terpenuhinya pembayaran hutang.14
Jika salah satu dari rukun-rukun ini tidak ada maka tidak ada
kewarisan. Sebab, warisan adalah ungkapan dari perolehan hak seseorang
terhadap harta orang lain karena bagian, ashobah atau rahim. Jika salah
satu dari hal itu tidak ada maka tidak ada warisan.
Untuk membuktikan warisan, disyaratkan tiga hal, yaitu :
25
a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan
harus dibuktikan, bisa secara hakiki, hukmi atau taqdiri dengan cara
menganalogikan orang-orang yang mati.
b. Hidupnya orang yang mewarisi: hidupnya orang yang mewarisi setelah
kematian orang yang mewariskan harus terwujud juga, bisa dengan
kehidupan hakiki dan tetap atau disamakan dengan orang-orang yang
masih hidup dengan perkiraan (taqdiri).15
c. Mengetahui arah warisan. Harus diketahui arah yang menyebabkan
warisan. Yakni hendaklah diketahui bahwa dia adalah orang yang
mewarisi karena arah kekerabatan nasab, karena arah (alasan) suami
istri, keduanya, atau karena arah wala’. Hal ini karena adanya
perbedaan hukum dalam masalah-masalah tersebut.16
C. Asas-Asas Hukum Waris
Asas-asas hukum kewarisan dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat
hukum waris yang terdapat dalam al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang
diajarkan oleh Rosulullah SAW.
15 Hidup Hakiki adalah hidup yang stabil, Tetap (Dalam Keadaan Bernyawa Dan Disaksikan Oleh
Orang Lain) Pada Orang Yang Disaksikan Setelah Matinya Orang Yang Mewarisi. Taqdiri Adalah Hidup Yangtetap Karena Diperkirakan. Hal Ini Dikhususkan Untuk Kasus Janin Ketika Orang Yang Mewariskan Meninggal. Jika Janin Terpisah Dalam Keadaan Hidup Yang Tetap Pada Saat Dimana Ketika Orang Yang Mewariskan Mati, Janin Itu Ada Meskipun Pada Saat Itu Dia Baru Berupa Segumpal Daging Atau Segumpal Darah Maka Dia Terbukti Berhak Mendapatan Warisan. Kewujudan Hidupnya Diperkirakan Karena Dia Lahir Dalam Keadaan Hidup.
26
a. Asas Ijbari
Secara etimologi kata ‚ijbari‛ mengandung arti ‚paksaan‛, yaitu
melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hukum waris berarti
‚terjadinya peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada
yang mash hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan
hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris
(semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi
terjadinya peralihan tersebut‛17
Hal ini berarti bahwa peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak ahli waris
atau pewaris. Ahli waris langsung menerima kenyataan pindahnya harta
si menginggal dunia kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah
ditentukan. Dilihat dari si pewarispun ia tidak dapat menolak peralihan
tersebut.18
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat
dari segi:
1) Segi peralihan harta
2) Segi jumlah pembagian
3) Segi kepada siapa harta itu beralih
17Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995),36.
27
Dari segi peralihan harta dapat dilihat dari Firman Allah suran
an-Nisaa ayat 7 :
Artinya :
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.19
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari
kerabat garis keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan. Asas ini
secara nyata dapat dilihat dari Firman Allah surat al-Nisaa ayat 7:
Artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.20
Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis ke
samping (yaitu melalui ayah dan ibu).21
19 Tim Disbintalad, Al-Qur’an Terjemah Indonesia..., 142. 20 Ibid.
28
c. Asas Individual
Asas individual adalah setiap ahli waris (yang secara individu)
berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris
lainnya (sebagaimana halnya dengan pewarisan kolektif yang dijumpai
di dalam ketentuan Hukum Adat).22
Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris dari
harta pewaris dimiliki secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya
tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan bagian yang diperolehnya
tersebut. Sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menentukan
(berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan
bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk
menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqh
disebut dengan ‚ahliyat al-wujub‛23
d. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan
dan kegunaan.
Dengan perkataan lain dapat dikemukaan bahwa faktor jenis
kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas
keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem
22 Ibid, 37.
29
garis keturunan patrilineal, yang ahli warisnya hanyalah keturunan
laki-laki saja/garis kebapakan).24
e. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan
harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan
perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan)
seandainya ia masih hidup. Walaupun ia berhak untuk mengatur
hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa
ia masih hidup dan bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia
meninggal dunia.25
D. Harta Warisan
Apabila seorang manusia sebagai individu meninggal dunia, maka
pertanyaan yang pertama kali muncul adalah bagaimana hubungan yang
meninggal dunia dengan yang ditinggalkan serta beberapa ragam pula
coraknya dan mungkin pula ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
baik oleh si yang meninggal dunia mupun yang masih hidup terutama dalam
masalah kekayaan dari si yang meninggal dunia. Demikian itu membutukan
aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana caranya hubungan yang
meninggal dunia dengan harta benda yang ditinggalkan, siapa yang
mengurus atau mewarisi, bagaimana cara peralihan harta benda yang
ditinggalkan, siapa yang mengurus atau mewarisi, bagaimana cara peralihan
30
harta tersebut kepada yang masih hidup. Maka timbullah masalah kewarisan,
salah satunya yakni masalah harta benda. 26
Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta warisan, ada
baiknya diutarakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ‚harta
peninggalan‛ atau dalam bahasa arab disebut dengan ‚tirkah/tarikah‛. Tirkah
adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik
yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan serta hak-hak
yang bukan hak kebendaan.27
Dari uraian definisi di atas dapat disimpulkan bahwa harta
peninggaa\lan itu terdiri dari:
a. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda
tidak bergerak, piutang-piutang (juga termasuk diyah wajibah/denda
wajib, uang pengganti qishash).
b. Hak-hak kebendaan
Yang temasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti
sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.
c. Hak-hak yang bukan kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaan
ini seperti hak khiyar, hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi salah
26 Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Cetakan Ke- 1, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), 47.
31
satu anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan, dan
lain-lain). 28
Dala pasal 171 ayat e Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris (orang yang
meninggal) selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tahjiz), pembayaran hutang, dan pemberian untuk kerabat.29
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih
dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta
peninggalan si mayat yang terdiri dari:
a. Zakat atas harta peninggalan
Zakat atas harta peninggalan yaitu zakat yang semestinya harus
dibayar oleh si mayat, akan tetapi zakat tersebut belum dapat
direalisasikan, lantas ia meninggal maka untuk itu zakat tersebut harus
dibayar dari harta tinggalannya tersebut, seperti zakat pertanian, dan
zakat harta.
b. Biaya pemeliharaan mayat
Yang dimaksud dengan biaya perawatan jenazah adalah biaya
yang digunakan untuk merawat jenazah mulai dari memandikan,
mengafani, menshalatkan, menguburkan dan lain-lain yang
menyangkut terhadap keperluan jenazah. Kewajiban ahli waris
28 Ibid, 78.
32
terhadap pewaris adalah mengurus dan menyelesaiakn sampai
pemakaman jenazah selesai. 30
Besarnya biaya tidak boleh terlalu besar juga tidak boleh terlalu
kurang. Tetapi dilaksanakan secara wajar. Menurut imam Ahmad,
biaya perawatan ini harus didahulukan daripada hutang. Sementara
imam Hanafi, imam Malik, dan imam Syafi’i pelunasan hutang harus
didahulukan. Alasannya, jika hutang tidak dilunasi terlebih dahulu,
maka jenazah itu ibarat bergadai. 31
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang
ditinggalkan si mayit tidak mencukupi, maka harta yang ada itu
dimanfaatkan, kekurangannya menjadi tanggungjawab keluarga.
Ulama Hanafiyah , Syafi’iyah dan Hanabilah membatasi pada keluarga
yang menjadi tanggungannya ketika si mati masih hidup. Alasannya
karena semasa hidupnya merekalah yang memperoleh kenikmatan dari
si mayit, mereka pula yang menerima harta warisan jika ada kelebihan,
maka wajar mereka harus bertanggungjawab memikul biaya
perawatan.32
Apabila biaya jenazah tidak cukup dari harta peninggalan yang
bersangkutan, maka diambil dari harta para ahli waris yang wajib
dalam memberikan nafkah jenazah semasa hidupnya. Apabila yang
wajib menafkahinya atau tidak mampu maka biaya tahjiz jenazah
30 Kompilasi Hukum Islam , Tim Permata Press, Pasal 175 Ayat1 a.
31Fathur Rohman Halm 121. Abdul Al’azim Syaraf Al-Din, Ahka>m Al-Mira>th Wa Al Wasiah Fi>
Al Syari’at Al Islamiyah, Kairo: Da>r Al Hadis, 1382/1962, 6.
33
ditanggung oleh baitul mal. Kalau baitul mal tidak atau tidak mampu,
maka biayanya ditanggung oleh hartawan umat Islam atau menjadi
beban semua umat Islam sebagai kewajiban kifayah.
Madzhab hanafi, syafi’i dan maliki berpendapat biaya jenazah
istri menjadi tanggungan suami, walaupun istrinya kaya, sedang
menurut madzhab Hambali biaya jenazah istri tidak merupakan
tanggungan suami.33
c. Biaya utang-utang yang masih ditagih oleh kreditor (pemberi pinjaman)
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu
tetentu (yang disepakatai) sebagai akibat dari imbalan yang telah
diterima oleh orang yang utang. Apabila seseorang yang meninggalkan
utang pada orang lain yang belum dibayar, maka sudah seharusnya utang
tersebut dilunasi dari harta peninggalannya sebelum harta itu dibagikan
kepada ahli waris.34
Jumhur ulama mengklasifikasikan utang menajdi 2 macam, yaitu:
1) Utang kepada sesama manusia (dayn al ‘iba<d), utang kepada sesama
manusia ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya dibagi menjadi
dua. Pertama, utang yang berhubungan dengan wujud harta disebut
dayn ‘ainiyah. Kedua, hutang yang tidak bersangkutan dengan
wujud harta disebut dayn mut{laqah.35
33 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan..., 59. 34 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., 38.
34
2) Utang kepada Allah SWT (dayn Allah), utang kepada Allha
maksudnya adalah semua utang yang berkaitan dengan hak Allah
SWT seperti utang nazar, utang zakat, kafarah dan lain-lain.
Ulama-ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa pelunasan utang
kepada Allah SWT lebih diutamakan daripada utang kepada manusia.36
Sebaliknya, menurut menurut madzahab Maliki, utang kepada Allah
SWT dilunasi sesudah melunasi utang kepada sesama manusia.
Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, tidak ada
ketentuan mengenai mana yang wajib didahulukan.37
d. Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaan
kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang menyerahkan itu
meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah. Apabila
seseorang meninggal dunia semasa hidupnya berwasiat atas sebagian
harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain, wajib
dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya.
Sebagian ulama seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa wasiat
hukumnya fardu ‘ain, dasar hukumnya Firman Allah (QS. An Nisa : 11)
Sedangkan imam Abu Dawud dan para ulama salaf juga berpendapat
36 Sayyid Sabiq, Fiqh Al- Sunnah, Jilid Iii (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1984), 605.
37 Al Sabuni, Muhammad Ali, Al-Mawaris Fi Al-Syari’atil Islamiyah, Terjemahan Zaini Dahlan,
35
bahwa wasiat hukumnya wajib, dasar hukumnya Firman Allah (QS.
Al-Baqoroh : 180).38
Wasiat yang dimaksud disini adalah wasiat yang bukan untuk
kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh
lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan.39
Dijelaskan juga dalam Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam :
a. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
1) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah
selesai.
2) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih
piutang.
b. Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris
hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
Setelah dilakukan pembagian harta warisan menurut
Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ahli waris mengetahui dengan jelas
bagian warisan masing-masing, barulah ia berhak menghibahkannya
kepada orang lain. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadari bagiannya. (Pasal 183 KHI). Karena syarat harta boleh
dihibahkan dalam Islam haruslah jelas, dapat diserahterimakan dan
telah dimiliki dengan sempurna. Apabila harta tersebut belum jelas
38 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris..., 42.
36
atau belum dapat diserahterimakan atau belum dimiliki, maka tidak
sah untuk dihibahkan dan tidak sah diperjualbelikan.40
Demikian juga dengan porsi bagian masing-masing, tidak
dapat diubah atau dibatalkan walaupun para ahli waris sendiri
merelakannya. Ilmu kewarisan mengatur pembagian harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, merupakan
manifestasi pengakuan Islam terhadap adanya hak milik perorangan.
Hak milik perorangan akan berakhir saat seseorang meninggal
dunia, dan berpindah kepada ahli waris.41
E. Macam-macam Ahli Waris
Ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan menurut agama
Islam adalah orang yang mempunyai hubungan pewarisan dengan orang yang
mewariskan, yaitu kekerabatan yang didasarkan pada hubungan nasab atau
keturunan, perkawinan, perbudakan, dan seagama Islam.42 Secara umum, ahli
waris dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu: Ahli waris
Sababiyah dan Ahli waris Nasabiyah. Apabila dilihat daris segi
bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu: ahli waris
as}ha>b al furu>d{, ahli waris ‘as}abah, ahli waris dhawi al arh}a>m.43
40 Al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim Bin Ali, Al-Muhazzba Fi Fiqh Al-Imam Al- Syafi’i, Juz 1,
(Beirut: Daar Al Fikr, T,T), 446.
37
1. Ahli Waris Nasa<biyah
Ahli warisa nasa<biyah adalah ahli waris yang pertalian
kekerabatannya kepada muwarith berdasarkan hubungan darah. Ahli
waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8 orang
perempuan.
Ahli waris laki-laki berdasarkan urutan kelompoknya sebagai
berikut :
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki garis laki-laki dan seterusnya ke bawah
c) Bapak
d) Kakek dari bapak
e) Saudara laki-laki sekandung
f) Saudara laki-laki seayah
g) Saudara laki-laki seibu
h) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
i) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
j) Paman dari saudara ayah sekandung
k) Paman seayah
l) Anak laki-laki paman sekandung
m) Anak laki-laki paman seayah
Adapun ahli waris perempuan semuanya 8 orang antara lain :
a) Anak perempuan
38
c) Ibu
d) Nenek garis bapak
e) Nenek garis ibu
f) Sudara peremuan sekandung
g) Sudara perempuan seayah
h) Saudara perempuan seibu44
2. Ahli Waris Saba<biyah
Ahli waris saba<biyah adalah ahli waris yang hubungan
pewarisannya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu :
a) Sebab perkawinan, yiatu suami atau istri
b) Sebab memerdekaan hamba sahaya
Sebagai ahli waris sabibiyah, mereka dapat menerima warisan
apabila perkawinan suami istri tersebut sah. Begitu juga hubungan yang
timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dibuktikan
menurut hukum yang berlaku.45
3. Ahli Waris As}ha>b al furu>d{
Pada penjelasan di bawah ini tidak dipisahkan lagi antara ahli
waris nasabiyah dengan ahi waris sababiyah. Pertimbangannya mereka
sama-sama sebagai as}ha>b al furu>d{. Pada umumnya as}ha>b al furu>d{ adalah
perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang menerima bagian
44 Ibid, 50.
39
tertentu adalah bapak, kakek dan suami. Selain itu akan mendapat
bagian sisa (‘as}abah).46
4. Ahli Waris ‘as}abah
‘As}abah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al
furud sebagai penerima bagian sisa. Ahli waris ‘as}abah terkadang
menerima bagian banyak, terkadang juga menerima bagian sediki, ada
juga yang tidak menerima sama sekali karena harta warisannya telah
habis dibagi oleh as}ha>b al furu>d{.
Adapun macam-macam ahli waris ‘as}abah ada 3 macam, yaitu :
a) ‘As}abah bi an nafsi>, yaitu semua orang laki-laki yang berkaitan
keturunannya kepada pewaris tanpa adanya selingan perempuan.
Mereka mewarisi berdasarkan diri mereka yang sangat dekat
keturunannya dengan pewaris, tanpa memerlukan orang lain agar
dapat waris secara ushubah.
b) ‘As}abah bi al ghoir, yaitu kelompok ahli waris perempuan yang
membutuhkan ahli waris lain untuk menjadikannya menjadi
ashobah dan berserikat dalam menerima ashobah.
c) As}abah ma’ al ghoyr, yaitu kelompok ahli waris perempuan yang
membutuhkan ahli waris lain untuk menjadikannya As}a>bah tetapi
tidak berserikat atau bersama dalam menerima ushuba.47
46 Ibid, 54.
47 A. Sukris Sarmada, Trensendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakrta: PT Raja
40
5. Ahli Waris Dhawi Al Arh}a>m
Ahli waris dhaw al Arh}a>m ahli waris yang tidak termasuk ahli
waris ashabul furud dan ahli waris ‘as}abah, mereka dianggap kerabat
yang jauh pertalian nasabnya.48
F. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan
Selain sebab-sebab seseorang mendapatkan warisan, ada juga ahli
waris yang terhalang untuk mendapatkan harta waris, antara lain49 :
a. Perbudakan
Seorang budak adalah milik dari tuannya secara mutlak, karena
itu ia tidak berhak untuk memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi
orang yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun sesuai
dengan Firman Allah SWT dalam Q.S al- Nahl ayat 75:
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya
bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui[833].50
48Ibid, 176.
41
Perbudakan dianggap sebagai sebab terhalangnya ahli waris
karena:
1) Seorang budak dianggap tidak cakap menguasai harta benda.
2) Status keluarga terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus, karena ia
menjadi keluarga asing.
b. Pembunuhan
Abu Hurairah menyampaikan sabda Rasulullah SAW bahwa
pembunuh tidak mewaris dari pewaris yang dibunuh.
َانَثدَح
َةَبْ يَ تُ ق
,
َانَثدَح
ُثْيللا
ْنَع
َقَاحْسِإ
ِنْب
ِّّاِدْبَع
ِنَع
ِّيِرْزلا
,
ْنَع
ِنْبِدْيَُْ
ِنَا ْْرلاِدْبَع
,
ْنَع
ِْبَأ
َةَرْ يَرُ
ِنَع
ِِّبنلا
ىلَص
ُّّا
ِهْيَلَع
َملَسَو
َلَاق
" :
ُلِتَاقْلاَأ
ُثِرَيَِ
ُ "
2112
َ
51 Artinya:Bercerita kepada kita Qutaibah, bercerita kepada kita Layth dari Ishaq bin ‘Abdillah dari Zuhriy, dari Humaid bin ‘Abdir Rahman, dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : ‚pembunuh tidak dapat mewarisi‛ (2116).
c. Berlainan Agama
Berlainan agama dalam hukum waris Islam dimaksudkan bahwa
seorang yang beragama Islam tidak dapat mewarisi kepada orang non
muslim, demikian juga sebaliknya sebagai mana sabda Rasulullah SAW.
دَح
َانَث
ُنْبُدْيِعَس
ِنَا ْْرلاِدْبَع
يِمْوُزْحَمْلا
ُرْ يَغَو
دِحَاو
اْوُلَاق
:
دَح
َانَث
ُنَايْفُس
,
ِنَع
ِّيِرْزلا
ح
,
دَح
َانَث
َع
يِل
ُنْب
رْجُح
,
َنْرَ بْخَأ
ُمْيَشُ
,
ِنَع
ِّيِرْزلا
,
ْنَع
ِّيَلَع
ِنْب
ْيَسُح
,
ْنَع
ُنْبِورْمَع
ُنَامْثُع
,
ْنَع
ُأ
َاس
َةَم
ِنْب
دْيَز
:
نَأ
َلْوُسَر
ِّا
ىلَص
ُّا
ِهْيَلَع
َملَسَو
.
اَق
َل
:
َِ
ُثِرَي
ُمِلُسُمْلا
اَكْلا
ُرِف
ََِو
ْلا
َاك
رِف
َمِلْسُمْلا
.
52 Artinya:51Abi< ‘Isa< Muh{ammad bin ‘I<sa< bin Su<ratun, Sunan at Timidhi< , juz ra<bi’(Bayru<t Li<bna<n: Da<rul
Fikr, 2005), 35.
42
Bercerita kepada kita Sa’i<d bin ‘Abdirrahma<n al Mahzumiy dan selain itu telah berkata : bercerita kepada kita Sufya<n, dari Zuhry, bercerita kepada kita ‘Ali bin Hujrin, memberi kbar kepada kita Hushaym, dari Zuhry dari