• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PERLAKUAN TERHADAP ANAK

PEREMPUAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan )

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh:

NIM. 030905011 Berliana Hetty Lumban Gaol

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Berliana Hetty Lumban Gaol NIM : 030905011

Departemen : Antropologi

Judul : Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

Medan, September 2008 Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Dra. Rytha Tambunan, M.Si) (Drs. Zulkifli Lubis, MA) NIP. 131 882 277 NIP. 131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji, syukur serta sembah sujud penulis persembahkan ke hadirat Tuhan Yesus yang Maha Kuasa atas berkat dan kasih karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah “Perubahan Perlakuan

terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba”. Penulis telah

berusaha menyusun skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Penulis juga mengharapkan adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu moral maupun material. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan memberikan penghargaan yang setulus-tulusnya yang diajukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan FISIP USU.

2. Bapak Drs. Humaizi, MA, selaku PD I atas fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

(4)

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Antropologi FISIP USU.

5. Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.soc, M.sc, selaku dosen penasehat akademik, yang telah memberikan nasehat serta arahan kepada penulis selama perkuliahan.

6. Dra. Rytha Tambunan, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan masukan teoritis dan metodologis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh kebijaksanaan, bimbingan, kesediaan serta ketulusan hati beliau dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Staf Pengajar FISIP USU, khususnya para Dosen Departemen Antropologi yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.

8. Seluruh Staf Pegawai FISIP USU, khususnya kak Sri yang telah membantu dalam pengurusan administrasi dan seluruh berkas.

9. Bapak Batara Lumban Gaol, selaku Kepala Desa Pollung, serta para informan yang telah bersedia memberikan informasi yang penulis butuhkan selama penelitian. Terutama bapak Yunus Lumban Gaol yang selalu bersedia dengan hati yang ikhlas memberikan bantuan tenaganya buat penulis, serta bapak Gontam Lumban Gaol yang memberikan dukungan doa dan semangat pada penulis.

(5)

Sinaga, yang rela mengorbankan segala-galanya demi keberhasilan dan demi kemajuan anak-anaknya.

11. Abang dan kakak Ipar yang terkasih, serta adik-adik saya serta nenek saya Riamin br. Purba yang telah memberikan semangat dan bantuan serta doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan meraih gelar sarjana. Tidak lupa ucapan terima kasih buat paraman saya yang selalu membuat penulis tersenyum.

12. Spesial ditujukan buat abang yang terkasih Andi Marusaha Manullang yang setia dan tulus memberikan cinta, dukungan, doa dan semangat yang tidak henti-hentinya kepada penulis sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Keluarga besar baik di kampung maupun yang di Medan ini yaitu keluarga bapak M. Manullang/ br. Munthe serta semua anak-anaknya yang terkasih, yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(6)

15. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan bantua dari berbagai pihak. Penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan dan melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2008 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Masalah………...1

1.2. Perumusan Masalah.………...…...…………..8

1.3. Lokasi Penelitian…….………...………..9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………...………..10

1.5. Tinjauan Pustaka………….………...………11

1.6. Metode penelitian……….………...………...17

1.6.1. Tipe Penelitian………..17

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data………...17

1.7. Analisa Data………...20

BABII GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Desa Pollung………..21

2.2. Letak Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Pollung……….…22

2.3. Komposisi Penduduk Desa Pollung……….…25

2.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin………....26

2.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur……….…26

2.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa………...27

2.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………...…28

2.3.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan………29

2.3.6. Komposisi Pendidikan Berdasarkan Mata Pencaharian…………31

2.4. Pola Pemukiman………...33

2.5. Sarana dan Prasarana………..……..35

2.5.1. Sarana Pemerintahan………...………..35

2.5.2. Sarana Pendidikan……….35

(8)

2.5.4. Sarana Kesehatan Masyarakat……….…..36

2.5.5. Sarana Jalan dan Transportasi………...…37

2.6. Bentuk Pemerintahan………...……39

BAB III NILAI BUDAYA MASYARAKAT YANG MENOMORDUAKAN ANAK PEREMPUAN 3.1.Masyarakat Batak Toba……….…………...40

3.2.Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba………...41

3.3.Wujud Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba………...44

3.3.1. Hagabeon………..…45

3.3.2. Hamoraon……….…....46

3.3.3. Hasangapon………..………47

3.4.Kedudukan Anak Laki-laki dan Anak Perempuan pada Adat Budaya Batak Toba………..……48

3.5. Kedudukan Anak Laki-laki pada Adat Budaya Batak Toba……...49

3.5.1. Anak Laki-laki sebagai Penerus Keturunan Marga...……...51

3.5.2. Anak Laki-laki sebagai Ahli Waris...………...53

3.5.2.1. Jenis-jenis Harta Pusaka Tinggi……….54

3.5.2.1.1. Golat………...………...………..54

3.5.2.1.2. Jabu Silaon………...….……..54

3.5.2.1.3. Homban………..…….55

3. 3.5.2.1.4. Tambak………...………….55

3.5.3. Anak Laki-laki sebagai Pelaksana Aktivitas Adat...……….55

3.5.4. Anak Laki-laki Diutamakan dalam Pendidikan...………….……56

BAB IV PERUBAHAN PERLAKUAN TERHADAP ANAK PEREMPUAN 4.1. Perlakuan terhadap Anak Perempuan Sebelum Mengenal Modernisasi……….…………....58

4.1.1. Anak Perempuan Bukan Penerus Keturunan Marga...63

4.1.2. Anak Perempuan Bukan sebagai Ahli Waris...………..…...63

4.1.3. Anak Perempuan Bukan sebagai Pelaksana Aktivitas Adat…….66

4.1.4. Anak Perempuan Tidak Diutamakan dalam Pendidikan………..66

(9)

4.3.Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Perubahan Perlakuan

terhadap Anak Perempuan……….………. 84

4.3.1. Masuknya Agama Kristen………...84

4.3.2. Perekonomian yang Semakin Mapan ……….………..87

4.3.3. Masyarakat Semakin Berpendidikan ………88

4.3.4. Pembauran Kebudayaan………. ….……….89

4.3.5. Semakin Majunya Teknologi Informasi………90

4.3.6. Sifat Meniru………..90

4.4. Indikator yang Menunjukkan Terjadinya Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan………..91

4.4.1. Perempuan Telah Merantau ……….91

4.4.2. Perempuan Telah Berpendidikan………...93

4.4.3. Perempuan Mulai Diberikan Haknya Dalam Mendapat Warisan………....96

4.4.4. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga……….97

4.5. Kasus-kasus………..98

4.5.1. Kasus dalam Pendidikan………...98

4.5.2. Kasus dalam Harta warisan……….101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………....105

5.2. Saran………..107

DAFTAR PUSTAKA……….108

LAMPIRAN

1. Daftar Istilah 2. Daftar Informan

3. Pedoman Pengumpulan Data/ Daftar Pertanyaan 4. Peta Lokasi Penelitian

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Pemenfaatan Areal Tanah ………....24

Tabel 2.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis kelamin………26

Tabel 2.3. Komposisi Penduduk Menurut Umur………...27

Tabel 2.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………...29

Tabel 2.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan…………...…30

Tabel 2.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian………..…32

Tabel 2.7. Sarana dan Prasarana………38

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk yang Merantau………...91

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1. Anak Perempuan yang sedang sedang Memberi Makan

Ternaknya………..82 Gambar 4.2. Anak Perempuan Pulang dari Ladang………...83 Gambar 4.3. Laki-laki yang sedang Minum sambil menonton di Kedai………...92 Gambar 4.4. Ibu K. Sinaga yang sedang Menanam Kopi………..95 Gambar 4.5. Ibu Adi yang sedang Bekerja di Ladang………...98 Gambar 4.6. Anak Sekolah yang Pergi Sekolah dengan Jalan Kaki………100 Gambar 4.7. Perempuan Janda yang Berhasil Mempertahankan Harta

(12)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba”. Disusun oleh Berliana Hetty Lumban Gaol, 2008. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 109 halaman, 9 tabel, 7 gambar dan lampiran yang terdiri dari daftar istilah, daftar informan, pedoman pengumpulan data, peta lokasi penelitian dan surat izin penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana proses perubahan perlakuan terhadap anak perempuan yang direspon oleh orang Batak Toba secara umum serta yang direspon oleh anak perempuan secara khusus. Penelitian ini juga melihat bentuk-bentuk perjuangan anak perempuan agar ada perubahan perlakuan terhadap anak perempuan secara nyata. Modernisasi merupakan sebuah perubahan yang terjadi pada sikap pribadi menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari tirai kekuasaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi serta studi kepustakaan.

Budaya Batak Toba membuat masyarakat selalu berkeinginan untuk memiliki anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa anak laki-laki sebagai penerus marga, pelaksana aktivitas adat, ahli waris serta diutamakan dalam pendidikan. Untuk itu anak laki-laki selalu diusahakan untuk maju, sebab keberhasilan anak laki-laki merupakan kebanggaan bagi sebuah keluarga. Berbagai usaha dilakukan demi tercapainya harapan tersebut. Sedangkan perempuan berada pada posisi yang lemah yang dituntut oleh nilai budaya untuk selalu patuh dan hormat terhadap anak laki-laki.

(13)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba”. Disusun oleh Berliana Hetty Lumban Gaol, 2008. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 109 halaman, 9 tabel, 7 gambar dan lampiran yang terdiri dari daftar istilah, daftar informan, pedoman pengumpulan data, peta lokasi penelitian dan surat izin penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana proses perubahan perlakuan terhadap anak perempuan yang direspon oleh orang Batak Toba secara umum serta yang direspon oleh anak perempuan secara khusus. Penelitian ini juga melihat bentuk-bentuk perjuangan anak perempuan agar ada perubahan perlakuan terhadap anak perempuan secara nyata. Modernisasi merupakan sebuah perubahan yang terjadi pada sikap pribadi menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari tirai kekuasaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi serta studi kepustakaan.

Budaya Batak Toba membuat masyarakat selalu berkeinginan untuk memiliki anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa anak laki-laki sebagai penerus marga, pelaksana aktivitas adat, ahli waris serta diutamakan dalam pendidikan. Untuk itu anak laki-laki selalu diusahakan untuk maju, sebab keberhasilan anak laki-laki merupakan kebanggaan bagi sebuah keluarga. Berbagai usaha dilakukan demi tercapainya harapan tersebut. Sedangkan perempuan berada pada posisi yang lemah yang dituntut oleh nilai budaya untuk selalu patuh dan hormat terhadap anak laki-laki.

(14)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk evolutif, tumbuh tahap demi tahap yaitu dari bayi menjadi kanak kemudian dewasa, lalu tua dan pada akhirnya meninggal. Pada umumnya manusia dilihat dari jenis kelamin ada dua yaitu laki-laki dengan perempuan. Berarti kata perempuan merupakan gambaran dari segi biologis yaitu, mengacu pada seks atau jenis kelamin. Mendengar kata perempuan, maka dapat diketahui identitas, peran, fungsi, pola perilaku serta kegiatan, dimana posisi perempuan sangat dipengaruhi oleh budaya setempat (Weiner, 1986: 6-7).

Peran serta posisi perempuan dalam bermasyarakat tergantung pada nilai budaya yang mengaturnya. Seringkali orang langsung dapat menimpulkan bahwa perempuan sebagai mahluk yang dinomorduakan akibat budaya patriarkhi, padahal asumsi tersebut tidak terjadi pada semua kelompok masyarakat. Misalnya, masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan prinsip matrilineal. Prinsip matrilineal memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan wanita, sehingga semua kaum kerabat ibu termasuk dalam batas kekerabatannya, sedang semua kaum kerabat ayah berada di luar batas itu (Koentjaraningrat, 1998: 123).

(15)

pendidikan yang lebih tinggi dan berhasil di perantauan, sebab keberhasilan anak perempuan merupakan suatu kebanggaan bagi mereka. Setiap anak yang berhasil dalam pendidikan serta yang sukses dalam perantauan diharapkan harus sudah mampu untuk membangun kampung halamannya. Masyarakat Minangkabau selalu menanamkan kepada semua yang keluar dari daerahnya, harus mampu menerapkan segala yang diperoleh selama di daerah lain untuk membangun daerahnya baik yang melanjutkan pendidikan maupun bekerja.

Akses dalam harta warisan, saat ini telah banyak sorotan, dimana anak perempuan sudah mulai menuntut haknya dalam harta warisan dari orang tuanya. Tulisan Sulistyowati (2003: 200-210) menceritakan tentang perempuan Batak Toba yang sudah mulai menuntut haknya dalam mendapatkan harta warisan. Perempuan yang sudah janda sudah berhasil mendapatkan warisan dari keluarga mereka walaupun dengan membutuhkan perjuangan yang sangat panjang. Anak perempuan terutama perempuan yang sudah janda menciptakan budaya hukum sendiri, serta tahap-tahap pilihan hukum, yaitu yang pertama yang didasarkan pada ketentuan adat, jika tidak berhasil, sebagai pilihan kedua adalah digugat ke Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung sehingga akhirnya dimenangkan oleh perempuan.

(16)

dari Hak Azasi Manusia. Hal tersebut menghasilkan perlindungan terhadap kasus pelecehan seksual sosial, kekerasan dalam rumah tangga serta kasus pemerkosaan (Poerwandari, 1997: 22).

Kasus pelecehan seksual selama ini tidak pernah diperhatikan, pada hal sebenarnya kasus ini sering dialami oleh perempuan. Kekerasan rumah tangga juga selama ini dianggap sebagai masalah dalam keluarga yang bersangkutan saja, pada hal kekerasan tersebut sangat berpengaruh terhadap semua anggota keluarga terutama pada anak-anaknya yang menyangkut masa depan bangsa. Kasus pemerkosaan juga selama ini tidak begitu dicermati oleh pihak hukum kerena adanya hukum yang mengatur masyarakat yaitu hukum adat. Penyelesaian dilakukan di dalam lingkungan masyarakat saja, sehingga tidak ada satu hukum yang membuat anggota masyarakat jera dan takut. Sorotan ini menjadi diperhatikan oleh negara dan dengan adanya hukum perlindungan ini membuat perempuan merasa terbantu dan terlindungi.

Berdasarkan beberapa kajian-kajian tersebut di atas menunjukkan adanya perjuangan-perjuangan anak perempuan dalam mendapatkan akses untuk memilih hal-hal seperti yang telah didapatkan anak laki-laki. Anak perempuan sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi penerus silsilah tetapi mengenai harta warisan sudah mulai diberikan, mempunyai kesempatan yang sama dalam mengecap pendidikan, serta pendapat istri sudah mulai diperhitungkan oleh suami dalam mengambil sebuah keputusan dalam keluarga.

(17)

dipinggir pagar rumahnya, karena informasi mereka mungkin sebatas tingkat rukun tetangga. Sekarang perempuan mendapat peluang untuk tahu lebih banyak. Kalau badan mereka mungkin masih saja terikat dalam grafitasi rumahnya, dunia justru kini yang secara rutin menjenguknya melalui televisi, radio atau barang cetakan lainnya.

Media massa setiap saat memberitahukan hal-hal yang terjadi di luar. Media informasi ini tersebar keseluruh pelosok masyarakat, dimana media tersebut masuk juga ke dalam kelompok masyarakay Batak Toba. Masyarakat Batak Toba secara umum telah membuka diri dan telah menerima media tersebut. Melalui televisi, radio dan surat kabar tersebut tidak jarang menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan. Media tersebut acapkali menampilkan kaum perempuan yang sudah ikut berperan dalam pendidikan dan pekerjaan. Telah banyak anak perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan yang baik dan bukan hanya dikaitkan dengan rumah saja.

(18)

Jumlah anak perempuan setiap tahunnya dapat dikatakan lebih banyak yang berhasil dalam pendidikan. Hal ini kemungkinan karena perbandingan jumlah anak perempuan lebih banyak dari anak laki-laki. Hal ini juga dapat terbukti dengan lebih banyaknya anak laki-laki dijumpai yang tinggal di desa. Menurut para informan, anak perempuan hampir semuanya keluar dari desa dengan tujuan yang berbeda. Kebanyakan diantara mereka bertujuan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dan sebagian lagi bertujuan untuk bekerja. Anak perempuan juga sudah mulai diberikan harta warisan oleh orang tuanya. Anak perempuan juga sudah menjadi ahli waris jika tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan, padahal sebelumnya jika tidak memiliki anak laki-laki-laki-laki maka harta warisan akan jatuh ke saudara laki-laki dari ayah.

Perempuan janda juga sudah di serahkan kuasa untuk tetap memiliki dan mempergunakan warisan dari suaminya yang meninggal. Di lapangan juga diperoleh data yang menunjukkan sudah adanya perempuan yang menjadi kepala rumah tangga serta yang berperan ganda.

Terjadinya perubahan perlakuan terhadap anak perempuan menjadikan perempuan Batak Toba sudah banyak yang berhasil baik dalam pendidikan maupun dalam dunia kerja, pada hal budaya Batak Toba lebih mengutamakan anak laki-laki. Artinya nilai anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan pada budaya Batak Toba.

(19)

berubah sampai kapanpun dan tetap sebagai peran anak laki-laki. Anak laki-laki yang bertanggung jawab atas kelangsungan klen ayahnya, sedangkan anak perempuan akan keluar dari klen ayahnya setelah menikah. Hal inilah yang menyebabkan hak dan kewajiban antara anak laki-laki dengan anak perempuan berbeda. Kedua: anak laki-laki berperan sebagai ahli waris utama peninggalan harta orang tuanya. Hal ini karena anak laki-laki sebagai penerus silsilah ayahnya tetapi sekarang perempuan mulai diberikan harta warisan oleh orang tuanya. Ketiga: anak laki-laki sebagai pelaksana utama dalam aktivitas adat. Hal ini

karena hanya anak lakilah yang mengerti tentang adat. Sejak kecil anak laki-laki sudah diajarkan tentang adat sedangkan anak perempuan tidak, tetapi suami sudah muali meminta pertimbangan dari istri dalam mengambil sebuah keputusan. Keempat: anak laki-laki diutamakan dalam pendidikan, karena anak laki-laki

sebagai penerus keturunan. Masyarakat Batak mengutamakan anak laki-laki untuk berpendidikan karena dapat mengharumkan nama keluarga.

Perkembangan zaman dan masuknya unsur-unsur kebudayaan baru serta hasil interaksi dengan berbagai suku bangsa lain mempengaruhi kehidupan masyarakat Batak Toba. Didukung oleh masyarakat yang mau membuka diri secara umum dan mau menerima dan menyaring unsur-unsur baru sehingga menimbulkan terjadinya perubahan. Tujuan dari perubahan ini adah agar masyarakat dapat mengikuti perkembangan zaman.

(20)

menyesuaikan diri dengan masyarakat lain yang telah mengikuti perkembangan zaman. Perubahan dalam masyarakat terdiri dari dua macam yaitui perubahan secara lambat dan perubahan secara cepat yang mengarah pada perubahan yang semakin sempurna dari keadaan sebelumya. Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan dan lain sebagainya. Manusia hidup atas dasar kebiasaan, dimana kebiasaan ini akan hilang bila terjadi suatu perubahan (Koentjaraningrat, 1970: 89).

Perubahan ini didukung oleh adanya modernisasi yang merupakan perubahan yang berupa perkembangan dalam pembangunan ke arah modern atau ke arah yang lebih maju atau positif. Perubahan didukung oleh masuknya agama Kristen, dimana agama mengajarkan suatu perasaan keagamaan yang mendalam yang menganggap derajat manusia adalah sama. Berdasarkan hal ini posisi laki-laki dengan perempuan adalah sama. Faktor utama pendukung perubahan adalah tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Pendidikan dapat berpengaruh untuk memperluas ilmu pengetahuan, serta ilmu pengetahuan telah menyediakan informasi-informasi dan teknologi baru yang diperlukan oleh orang-orang yang secara sadar ingin menambah dorongan mereka sendiri ke arah perubahan yang lebih baik.

(21)

mengutamakan anak perempuan seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Berdasarkan pengetahuan tersebut perlakuan terhadap anak perempuanpun berubah yang menjadikan anak perempuan Batak Toba sadar akan pentingnya pendidikan, merantau untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik serta sudah diberikan harta warisan oleh orang tua.

1.2. Perumusan Masalah

Masyarakat Batak Toba menganut prinsip keturunan patrilineal yang memperhitungkan garis keturunan dari laki-laki. Suami menjadi kepala keluarga yang akan menguasai istri, anak-anak serta harta benda milik keluarganya. Istri harus bertugas untuk melayani suami, mengurus dan mendidik anak-anak serta mengatur rumah. Artinya, dalam rumah tangga ditemui adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan.

Kehidupan masyarakat Batak Toba selalu berada dibawah pengaturan nilai budaya. Artinya, masyarakat Batak Toba harus selalu hidup sesuai nilai budaya dan diharapkan tidak menimpang dari aturan yang berlaku. Sebuah keluarga Batak Toba yang hidup sesuai nilai budaya, harus adanya anak laki-laki yang dilahirkan sebagai penyambung silsilah marga supaya jangan terputus. Keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki akan terputus dalam silsilah dan tidak diperhitungkan lagi. Hal inilah yang membuat keinginan masyarakat Batak Toba mengusahakan kehadiran anak laki-laki.

(22)

oleh masuknya unsur-unsur baru ke dalam masyarakat yang mulai mengklaim anak perempuan untuk lebih maju. Fakta menyatakan bahwa anak perempuan yang lebih berhasil dalam pendidikan bahkan sampai pada tingkat perguruan tinggi, anak perempuan juga kebanyakan merantau serta anak perempuan juga sudah mulai menuntut warisan, ketika dalam sebuah keluarga tidak ada anak laki-laki. Berbagai macam perjuangan dilakukan oleh anak perempuan guna untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk maju.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses perubahan perlakuan terhadap anak perempuan yang direspon oleh orang Batak secara umum dan direspon oleh perempuan-perempuan Batak Toba secara khusus.

2. Bentuk-bentuk perjuangan anak perempuan agar perubahan perlakuan terhadap anak perempuan secara nyata.

1.3. Lokasi Penelitian

(23)

dalam mendapat warisan. Desa ini berada di wilayah pedalaman yang jauh dari kota, sehingga masih dianggap sebagai desa yang masih terpencil.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan cara memperlakukan anak perempuan dimana sebelumnya anak perempuan selalu dinomorduakan dalam budaya Batak Toba. Secara akademis bahwa hasil penelitian ini merupakan bahan untuk skripsi guna memperoleh gelar sarjana program Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara Medan.

(24)

1.5. Tinjauan Pustaka.

Masyarakat Batak Toba memiliki nilai yang terkandung dalam budayanya sendiri, sama dengan etnik lain. Warga masyarakat yang mengerti akan nilai-nilai budaya dengan sendirinya sudah mengetahui apa yang pantas dilakukan dan yang harus dihindari agar tidak melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Nilai budaya juga dapat dijabarkan dalam aturan-aturan. Aturan-aturan ini merupakan nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1970: 381).

Nilai budaya terungkap dalam bentuk wujud aspeknya yaitu pada sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat. Sistem kekerabatan adalah pola tingkah laku berdasarkan pengalaman dan penghayatan yang menyatu secara terpadu dalam wujud ideal kebudayaan. Wujud ideal dari nilai budaya Batak Toba adalah dilihat dari prinsip keturunan yang berlaku pada masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1970: 106) orang Batak memperhitungkan prinsip keturunan itu secara patrilineal. Artinya garis keturunan dihitung dari garis ayah atau pihak laki-laki, untuk itu orang Batak Toba selalu menginginkan kehadiran anak laki-laki. Hal ini menimbulkan hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dengan perempuan, jadi selalu dilakukan berbagai usaha supaya ada anak laki-laki yang dilahirkan dalam sebuah keluarga.

(25)

memperoleh keturunan berhenti. Alasannya anak jauh lebih bernilai dibandingkan harta benda. Anak adalah harta yang paling berharga dan yang paling penting dalam sebuah keluarga Batak Toba.

Berdasarkan nilai anak, maka peran anak laki-laki secara umum yaitu: anak laki-laki sebagai penerus silsilah marga, anak laki-laki sebagai ahli waris, dan anak laki-laki selalu diutamakan dalam aktivitas-aktivitas adat. Berdasarkan peran-peran anak laki-laki tersebut, maka anak laki-laki jugalah yang lebih diutamakan dalam pendidikan.

Menurut Aritonang (1988: 50-57) mengatakan ada pandangan yang menunjukkan anak laki-laki yang terpenting bagi masyarakat Batak Toba yaitu: anakkonhi do naummarga di au, anakkonhi do hasangapon di au dan anakkonhi

do hamoraon di au. Artinya anakku itulah yang paling berharga bagiku, anakku

itulah kehormatanku dan anakku itulah kekayaanku. Ketiga hal ini melukiskan perjuangan dan pengorbanan orang tua untuk mengusahakan pendidikan setinggi-tingginya dan untuk keberhasilan anak-anaknya. Inilah pemahaman orang Batak tentang nilai anak, sekaligus pendorong utama untuk mendidik dan mengusahakan pendidikan anak-anaknya setinggi mungkin. Bagi orang Batak, nilai anak sangat tinggi dan nilai tinggi anak ini berhubungan erat dengan tiga serangkai cita-cita tertinggi orang Batak yaitu: hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Hagabeon; yang mengharapkan bahwa keturunan harus berlanjut,

(26)

sebuah pepatah ”maranak sapulu pitu marboru sapulu onom”, yang artinya: masyarakat Batak Toba itu mengembangkan keturunan dengan tujuh belas anak laki-laki dan enam belas anak perempuan. Pepatah ini maksudnya agar masyarakat Batak mampu mengembangkan keturunan sebanyak mungkin supaya marganya tetap berlanjut. Hagabeon yang diidamkan oleh masyarakat Batak bukan sekedar penerus generasi saja, tetapi yang membedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan terlihat dalam tingkat pendidikan yang diperoleh anak (Irianto, 2003: 8-9).

Hamoraon; yang berarti kekayaan, selain dalam arti kekayaan material

juga mencakup dalam pemilikan anak. Hal ini dapat dilihat dari istilah ”Anakkonhi do Hamoraon Di au”. Artinya: ”anakku merupakan kekayaan dalam

hidupku”. Kekayaan yang dimaksud disini mempunyai pengertian yang luas. Pada masyarakat Batak Toba hamoraon adalah: mempunyai anak terutama anak laki-laki serta anak tersebut berkualitas dan sudah meraih sukses dalam hidupnya yang juga ditujukan pada keberhasilan pendidikan (Irianto, 2003: 8-9).

Hasangapon; suatu keluarga akan dihormati dan menjadi terpandang apa

(27)

setiap anak, semakin tinggi pula budi bahasa dan semakin baik kelakuan mereka (Irianto, 2003: 8-9).

Nilai anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Secara umum perempuan diartikan sebagai seorang manusia yang mempunyai jenis kelamin vagina, yang dapat mengandung, melahirkan dan menyusui yang kebanyakan mempunyai sifat lemah lembut. Perempuan juga dikenal sebagai makhluk yang pasif, lemah perasa, tergantung dan menerima keadaan. Berdasarkan hal ini membuat secara kultural derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki yang menyebabkan perempuan selalu di nomorduakan. Perempuan dinilai sebagai makhluk rumah yang berarti mengurus pekerjaan rumah, melayani suami serta mengurus anak yang telah dianggap sebagai pekerjaan yang wajib dilakukan perempuan. Pada kehidupan sehari-hari perempuan diwajibkan untuk selalu menghormati laki-laki dan telah membudaya yang sulit untuk berubah.

Menurut Haviland (1993:250-252) pada umumnya kebudayaan selalu bersifat dinamis, atau selalu mengalami perubahan baik secara lambat maupun cepat. Semua kebudayaan pada suatu waktu berubah karena berbagai macam sebab. Kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa hal itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah terutama pengaruh zaman yang semakin maju.

(28)

kebudayaan mencakup aturan-aturan, atau norma-norma, atau nilai-nilai yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat (Suparlan 1982).

Faktor yang mendukung untuk terjadinya perubahan kebudayaan adalah adanya pembauran kebudayaan, masuknya unsur-unsur baru ke dalam masyarakat yang menjadikan perubahan ini dapat terwujud yang didukung oleh masyarakat suatu kelompok dapat membuka diri untuk menerima hal yang baru dan tidak menutup diri terhadap perkembangan zaman. Contoh dengan adanya teknologi informasi, seperti televisi yang setiap saat dapat menyiarkan acara yang terjadi di luar.

Keterbukaan masyarakat terhadap dunia luar sangat membantu terjadinya perubahan. Berdasarkan keterbukaan tersebut masyarakat dapat mengetahui pada masyarakat lain, anak perempuan juga diutamakan baik dalam pendidikan, serta diperlakukan seimbang dengan anak laki-laki. Masyarakat jadi sadar akan pentingnya perlakuan yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan supaya dapat menunjang kemajuan.

(29)

orang tuanya. anak perempuan juga telah menjadi salah satu unsur yang diperhitungkan dalam keluarganya dengan pendidikan yang diperolehnya.

Perubahan perlakuan terhadap anak perempuan pada masyarakat Batak Toba menimbulkan adanya modernisasi dimana modernisasi didukung oleh pendidikan yang semakin maju, perekonomian yang semakin mapan serta masuknya teknologi yang lebih modern ke dalam masyarakat yang sangat mendukung terjadinya perubahan kearah yang lebih maju.

(30)

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu yang bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci bagaimana terjadinya perubahan perlakuan terhadap anak perempuan pada masyarakat Batak Toba. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kedudukan anak perempuan dalam keluarga Batak Toba yang pada akhirnya berhasil memperoleh kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk maju. Anak perempuan telah banyak yang berhasil dalam pendidikan dan sudah mulai diberikan warisan oleh orang tuanya.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tentang terjadinya perubahan perlakuan terhadap anak perempuan pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen di desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Data yang diperlukan dikumpulkan dari para informan dengan melakukan pendekatan terhadap para informan yang dianggap perlu dalam kelengkapan skripsi ini.

Supaya memperkuat data yang ada, penulis melakukan pencarian dan pencatatan data melalui dokumen-dokumen dari kantor kepala desa Pollung. Selain data dari kantor kepala desa Pollung, penulis juga melakukan pencatatan dari buku-buku, artikel dan internet yang berhubungan dengan budaya Batak Toba dan yang berkaitan dengan perubahan perlakuan terhadap anak perempuan.

(31)

gelisah dan ada juga yang secara cetus dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penulis. Informan yang santai memberikan informasi adalah mereka yang mengerti dan paham akan keperluan penulis, sedangkan sebagian informan gugup dan gelisah adalah karena mereka merasa takut dan segan untuk memberikan informasi.

Penulis melihat adanya kesamaan pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan saat di luar rumah. Sumber penghasilan masyarakat adalah pertanian. Sebagian besar masyarakat bekerja di sawah dan di ladang. Penulis melihat laki-laki dengan perempuan baik yang remaja sampai dewasa bahkan yang sudah tua sama-sama pergi ke ladang dan melakukan pekerjaan yang sama. Sementara di rumah yang berperan adalah perempuan secara umum dan laki-laki hanya membantu dengan keinginannya sendiri.

Pengamatan dilakukan terhadap hubungan antara suami dengan istri, anak laki-laki dengan anak laki-laki, anak laki-laki dengan saudara perempuan, anak perempuan dengan anak perempuan, ayah dengan anak laki-laki, ayah dengan anak perempuan serta ibu dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak perempuan. Penulis mengamati hubungan yang terjadi diantara sesama anggota keluarga guna memperkuat informasi dari para informan.

(32)

menggunakan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara dalam hal menghindari terjadinya kelupaan data yang diperoleh dalam menulis hasil laporan.

Wawancara mendalam dilakukan dengan kepala desa Pollung. Penulis mengetahui siapa-siapa saja orang yang mengerti akan adat Batak Toba dari kepala desa. Penulis juga melakukan wawancara kepada para orang tua yang memiliki anak laki-laki dengan anak perempuan yang anak-anaknya sudah ada yang tamat dari SMU. Selain itu wawancara juga dilakukan kepada anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah duduk di bangku SMU, Perguruan Tinggi bahkan yang sudah bekerja. Dari lembaga keagamaan penulis mengambil seorang informan yaitu Pendeta GKPI yang memberikan informasi tentang budaya Batak Toba secara tertulis dan pada prakteknya.

Wawancara dilakukan kepada informan pangkal. Informan pangkal yang penulis jadikan adalah kepala desa dan para penetua adat. Dari kepala desa diperoleh keterangan atau data-data yang berhubungan dengan penduduk, tingkat pendidikan masyarakat serta perbandingan antara anak laki-laki dengan anak perempuan berdasarkan tingkat pendidikan. Sedangkan dari para penetua adat diperoleh informasi yang berhubungan dengan nilai budaya Batak Toba serta pelaksanaannya.

Informan kunci yaitu anak perempuan mulai dari yang sudah duduk di bangku SMU sampai Perguruan tinggi. Selain itu yang dijadikan sebagai informan kunci yaitu orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya sampai Perguruan Tinggi.

(33)

biasa ini adalah untuk melengkapi data yang telah diperoleh guna memperkuat data yang sudah ada. Wawancara dilakukan beberapa kali sampai penulis merasa data yang diperlukan sudah diperoleh dari para informan. Wawancara dihentikan saat informasi yang didapat sudah berulang-ulang.

1.7. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisa kembali secara kualitatif. Proses analisis data pada penelitian ini dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara serta studi kepustakaan. Lalu disusun secara sistematis agar lebih mudah dipahami.

Data yang diperoleh dari kepala desa adalah merupakan data awal yang sangat membantu peneliti dalam melakukan penelitian. Data yang diperoleh itu adalah data-data yang berhubungan dengan penduduk, tingkat pendidikan masyarakat serta perbandingan antara anak laki-laki dengan anak perempuan berdasarkan tingkat pendidikan. Sedangkan data yang diperoleh dari para orang tua yang telah menyekolahkan anak-anaknya sampai ke Perguruan Tinggi adalah tentang bagaimana cara memperlakukan anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan data yang diperoleh dari masyarakat sekitar dipergunakan sebagai informasi tambahan.

(34)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Singkat Desa Pollung

Desa Pollung merupakan desa yang telah lama berdiri yaitu pada tahun 1942 yang didirikan oleh marga Banjar Nahor. Nama Pollung dalam bahasa Batak Toba berarti berkumpul. Pollung disahkan menjadi nama desa ini karena desa ini sering digunakan oleh masyarakat untuk tempat pertemuan atau perkumpulan.

Masyarakat dari berbagai desa sering melakukan pertemuan di desa ini, jika ada sesuatu yang harus dibicarakan terutama mengenai masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Bukan hanya tempat berdiskusi dari berbagai desa saja, tetapi juga berbagai macam marga. Hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat sepakat membuat nama desa ini Pollung. Sesuai dengan nama tersebut menurut pengertian masyarakat Batak Toba adalah berdiskusi dan bermusyawarah.

(35)

Setelah diadakannya pemekaran wilayah pada tanggal 28 Juli 2003, desa Pollung mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat dari dipindahkannya Ibukota Kecamatan Pollung ke desa Hutapaung. Desa ini juga dulunya mempunyai sebuah pasar untuk berbelanja yang dilaksanakan setiap sekali dalam satu minggu. Nama pasar ini disebut oleh masayarakat dengan sebutan Onan Pollung. Sekarang lokasi pasar tersebut telah pindah ke kota Dolok Sanggul. Perubahan dalam bentuk administrasi desa juga ada, dimana desa ini menjadi mandiri dan dapat mengatur sendiri kegiatan serta sistem administrasinya.

Desa Pollung dulunya memiliki 4 dusun. Atas keputusan bersama yaitu antara warga dengan kepala desa, maka desa ini menjadi 3 dusun. Pusat pemerintahannya berada di dusun 1 yaitu Lumban Siantar. Sementara satu dusun yang yang telah dipisahkan dari ketiga dusun ini telah menjadi sebuah desa baru yang dipimpin oleh seorang kepala desa baru.

2.2. Letak Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Pollung

Desa Pollung merupakan daerah yang berada di wilayah Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Propinsi Sumatera Utara. Desa Pollung adalah salah satu dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Pollung.

Desa Pollung ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: -Sebelah Utara berbatasan dengan desa Ria-ria

(36)

Secara administratif Desa Pollung dibagi atas 3 dusun. Dusun I terdiri dari: Lumban Siantar, Sosor Panambohan, Lumban Tonga, Huta Baringin, Sosor Nagugun, Pangkirapan, Tapian Nauli, Lumban Sinaga, Sitabo-tabo. Dusun II terdiri dari: Huta Godang, Huta Bolon, Sosor Dolok-dolok, Toga Dalan Nauli. Dusun III terdiri dari: Tornauli, Lumban Dolok, Sosor Sahala, Sosor mangulahi. Setiap Dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun yang dipilih oleh kepala desa atas persetujuan warga desa.

Sebelum dilaksanakannya pemekaran wilayah pada tanggal 28 Juli 2003, kondisi jalan sangat buruk sekali. Pada musim panas jalan penuh dengan debu, yang membuat para pejalan kaki kotor karena debu. Sementara pada musim hujan, jalan itu berlumpur. Saat jalan berlumpur, maka sangat susah dilewati oleh angkot serta membuat para pejalan kaki kotor.

Setelah pemekaran, desa Pollung mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi juga termasuk salah satunya pada jalan. Jalan menuju desa Pollung sudah beraspal. Angkotpun sudah berjalan dengan lancar. Para pejalan kaki tidak pernah mengeluh lagi seperti waktu jalan dalam keadaan rusak.

(37)

Pollung ini terletak di atas tanah yang memiliki ketinggian ± 1450 m dari permukaan laut.

Areal desa Pollung adalah seluas ± 350.5 Ha. Areal ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh warga desa untuk kepentingan hidup mereka. Areal ini memberikan banyak manfaat, sesuai fungsi areal yang cocok untuk digunakan. Pemanfaatan areal ini dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1

Pemanfaatan Areal Tanah Desa Pollung

No. Pemanfaatan Tanah Luas (Ha) Persentase

01 Sawah 125 35,6

02 Perkebunan Rakyat 75 21,3

03 Perkuburan 1 0,3

04 Tanah Wakaf 3 0,8

05 Ladang 75 21,4

-6 Tegalan 10 2,9

07 Rawa 5 1,5

08 Jalan 1,5 0,5

09 Bangunan 5 1,5

10 Pemukiman 48 13,6

11 Lain-lain 2 0,6

Jumlah 350,5 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

(38)

Ha yaitu 21,3 %, dimana areal tanah lebih luas digunakan untuk areal persawahan dan perkebunan rakyat.

Ada dua jalan untuk menuju Desa Pollung yaitu: lewat Berastagi dan lewat Siantar. Penulis hanya lewat jalan Berastagi, kalau pergi ke Desa Pollung, dengan alasan dapat ditempuh dengan waktu yang lebih singkat dari pada lewat Siantar. Menuju Desa Pollung dari kota Medan harus melewati: Berastagi, Kabanjahe dan Sumbul.

Jarak dari kota Medan ke Desa Pollung adalah sejauh 330 Km. Lama tempuh perjalanan dari kota Medan ke Desa Pollung ± 6 jam. Kondisi jalan menuju Desa Pollung sudah beraspal. Alat transportasi khusus menuju Desa Pollung dari Medan tidak tersedia yang ada hanya Sampri dan Sanggulmas serta BTN. Bus tersebut hanya sampai ke kota Dolok Sanggul. Besar ongkos dari Medan ke Dolok Sanggul adalah Rp. 35.000. Ongkos dari Dolok Sanggul ke Desa Pollung sebanyak Rp. 5.000. Desa Pollung memiliki jarak 2 Km dari pusat pemerintahan Kecamatan, sedangkan dari ibukota Kabupaten berjarak 12 Km.

2.3. Komposisi Penduduk Desa Pollung

(39)

2.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Desa Pollung memiliki jumlah penduduk sebanyak 1647 jiwa, yang terdiri dari 347 KK (Kepala Keluarga). Komposisis penduduk Desa Pollung berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase

1 Laki-laki 757 46

2 Perempuan 890 54

Jumlah 1647 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

Berdasarkan tabel 2.2 di atas, terlihat bahwa penduduk Desa Pollung berjumlah 1647 jiwa. Dimana jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Jumlah penduduk laki-laki adalah sebanyak 757 jiwa yaitu 45,9 %, sedangkan jumlah penduduk perempuan adalah 890 jiwa yaitu 54,1 %.

2.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur

(40)

Tabel 2.3

Komposisi Penduduk berdasarkan Umur

No. Umur Jumlah Persentasi

1 0-4 70 4,3

2 5-9 127 7,7

3 10-15 352 21,4

4 16-20 181 11

5 21-24 162 9,8

6 25-45 640 38,9

7 46-54 75 4,5

8 55 keatas 40 2,4

Jumlah 1647 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

Berdasarkan tabel 2.3 di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk menurut umur yang terbesar adalah golongan umur 25 sampai 45 tahun yaitu dengan jumlah penduduk 640 jiwa yaitu 38,9 %. Penduduk pada usia ini adalah tergolong pada usia produktif dengan usia muda dan masih aktif untuk bekerja. Urutan yang kedua yaitu pada golongan umur 10 sampai 15 tahun dengan jumlah penduduk 352 jiwa yaitu: 21,4 %. Sedangkan urutan yang terkecil adalah penduduk golongan umur 55 tahun ke atas dengan jumlah penduduk 40 jiwa yaitu 2,4 %.

2.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa

(41)

yang tinggal di desa ini, pada umumnya adalah warga pendatang yang disebabkan oleh beberapa faktor.

Keberadaan marga lain disebabkan karena proses perkawinan dan pekerjaan. Misalnya: laki-laki marga lain yang memperistri anak perempuan desa ini, dimana mereka tinggal menetap di desa ini yang sering disebut dengan sonduk hela. Artinya: laki-laki dari kelompok kerabat lain menikahi anak perempuan dari

Desa Pollung, kemudian si perempuan tidak tinggal di kelompok kerabat laki-laki melainkan si laki-lakilah yang tinggal di kelompok kerabat perempuan dan menetap di desa ini.

Selain karena faktor perkawinan ada juga karena faktor pekerjaan. Marga lain yang tinggal di desa Pollung karena faktor pekerjaan adalah karena dia seorang guru atau berprofesi dibagian kesehatan. Warga yang ditempatkan menjadi tenaga pengajar di desa ini, harus tinggal dan hidup di desa ini juga dan terhitung sebagai anggota masyarakat desa ini selama waktu yang telah ditentukan. Sebagai contoh: bapak W. Sinaga. Mereka tinggal di desa Pollung karena ditugaskan sebagai tenaga pengajar, tetapi setelah tiba waktu pekerjaannya selesai maka mereka akan pindah dari desa ini.

2.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

(42)

Komposisi penduduk Desa Pollung berdasarkan agama yang dianut secara terperinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No. Jenis Agama Jumlah Persentase 1 Agama Kristen Protestan 1351 82 2 Agama Kristen Khatolik 296 18

Jumlah 1647 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

Berdasarkan tabel 2.4 di atas, dapat dilihat bahwa penduduk Desa Pollung hanya menganut agama Kristen Protestan dan agama Kristen Khatolik. Dapat dilihat pada tabel, bahwa sebagian besar penduduk Desa Pollung menganut agama Kristen Protestan dengan jumlah 1351 jiwa yaitu 82 %, sedangkan penduduk yang menganut agama Kristen Khatolik adalah 296 jiwa yaitu 18 %.

2.3.5. komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

(43)

Adapun komposisi penduduk Desa Pollung berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Pendidikan Jumlah Persentase

1 Tidak Sekolah 46 3,1

2 Tidak Tamat SD 147 9,9

3 Tamat SD 268 18

4 Tidak Tamat SLTP 143 9,6

5 Tamat SLTP 255 17,1

6 Tidak Tamat SLTA 105 7,1

7 Tamat SLTA 256 17,2

8 D1-D3 215 14,4

9 Sarjana 54 3,6

Jumlah 1489 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

(44)

Pendidikan di desa ini sudah cukup baik pada saat ini. Di tingkat Sekolah Dasar tiap kelas diajar oleh satu orang guru, namun khusus untuk Bahasa Inggris belum ada. Katanya sudah sempat diterapkan pelajaran Bahasa Inggris lama kelamaan tidak diterapkan lagi. Sedangkan untuk anak sekolah SLTP sudah memiliki satu orang guru dalam setiap bidang studi, bahkan ada yang dua orang dalam satu bidang studi.

Berdasarkan tabel diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat Desa Pollung sudah mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan masa depan. Penduduk Desa Pollung telah banyak yang menduduki bangku perkuliahan walaupun masyarakatnya masih hidup sederhana. Penduduk Desa Pollung telah menunjukkan ungkapan orang Batak yaitu: anakkonki do hamoraon di au (anakku merupakan kekayaan bagi hidupku). Orang tua akan

berjuang untuk pendidikan anak-anaknya walaupun keadaan orang tua adalah sederhana.

2.3.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

(45)

Tabel 2.6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)

1 Petani 650 90,5

2 PNS 39 5,4

3 Pedagang 12 1,7

4 Swasta 17 2,4

Jumlah 718 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

Berdasarkan tabel 2.6 di atas, dapat dilihat bahwa sumber mata pencaharian penduduk yang paling besar adalah hidup sebagai petani dengan jumlah 650 jiwa yaitu 90,5 %. Hal ini disebabkan karena Desa Pollung merupakan daerah pertanian. Masyarakat Desa Pollung hidup dari hasil pertanian yaitu: persawahan, tanaman kopi dan palawija. Pada urutan kedua, sumber mata pencaharian penduduk desa ini adalah sebagai pegawai negeri. Di desa ini juga terdapat masyarakat pembuat meja, kursi dan jendela yang dijadikan sebagai sumber mata pencahariannya. Urutan terakhir yaitu pada masyarakat yang bersumber mata pencaharian sebagai pedagang.

(46)

2.4. Pola Pemukiman

Pemukiman penduduk di Desa Pollung tidak terlalu rapat atau padat. Pola pemikiman penduduk di desa ini merupakan suatu kesatuan yang pada umumnya berada dalam kompleks desa secara mengelompok. Letak rumah penduduk didalam desa perkampungan saling berdekatan. Sebagian dari rumah-rumah tersebut berjejer secara teratur dan menghadap jalan. Sebagian lagi bangunan rumah itu secara berkelompok yang terdiri dari dua baris yang saling berhadap-hadapan.

Rumah-rumah penduduk sebagian berbentuk permanen, seperti halnya rumah-rumah di kota. Masih ada rumah Batak yang dijumpai di desa ini yang disebut dengan Ruma Bolon. Ada juga sebagian rumah penduduk yang masih berlantai papan atau rumah yang memiliki kolong. Masyarakat yang masih memiliki rumah berkolong, maka mereka memanfaatkan kolong rumah mereka tersebut untuk tempat kayu bakar dan tempat ayam. Sementara kandang ternak seperti: kerbau pada umumnya mereka buat dibagian belakang atau samping rumah penduduk, dan mereka buat dibagian pinggiran dari kompleks rumah.

(47)

Pemenuhan kebutuhan terhadap air minum, penduduk pada umumnya menggunakan air dari sumur yang dibangun atas kebersamaan dan persetujuan penduduk. Dulunya disediakan bak mandi umum yang dibangun atas swadaya masyarakat, akan tetapi bak umum tersebut telah rusak dan tidak layak untuk dipakai lagi untuk mengambil air bersih, tempat mandi dan tempat mencuci.

Keperluan mencuci, para penduduk desa memanfaatkan kolam yang ada di pinggir jalan. Sedangkan untuk keperluan air masak mereka gunakan dari air sumur. Bagi sebagian masyarakat yang mempunyai anak gadis, sudah terbiasa mereka mencuci dan mandi ke sungai. Jarak rumah penduduk ke sungai memang lumayan jauh tetapi airnya jauh lebih bersih. Secara khusus untuk digunakan jadi air minum, mereka mengambil dari pancuran mata air yang letaknya di pinggir sungai. Masyarakat juga menampung air hujan untuk dijadikan air minum, air mandi serta mencuci yang ditampung kedalam ember dari pancuran rumah masing-masing.

Rumah-rumah penduduk di desa Pollung belum selengkap rumah yang ada di kota. Setiap rumah sangat jarang ditemukan WC dan kamar mandi. Rumah yang telah memiliki kamar mandi lengkap dengan WC hanya terdapat pada beberapa rumah saja. Di desa Pollung ini terdapat 3 buah warung/ kedai sampah yang menjual bahan-bahan keperluan sehari-hari, seperti: garam, cabe, ikan, rokok dan lain-lain.

(48)

(PLN). Air PAM belum masuk ke desa ini. Oleh karena itu masyarakat memanfaatkan air sungai dan air sumur.

2.5. Sarana dan Prasarana

2.5.1. Sarana Pemerintahan

Desa Pollung merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Saat ini diperintah oleh seorang kepala desa yang merupakan hasil pemilihan secara langsung yaitu bapak kepala desa Batara Lumban Gaol. Kepala desa mengurus segala hal-hal yang berkaitan dengan administrasi desa. Dalam rangka menjalankan roda pemerintahan, di desa Pollung terdapat sebuah kantor kepala desa. Untuk menjaga keamanan dan ketahanan desa terdapat pos siskamling yang dibangun oleh penduduk setempat.

2.5.2. Sarana Pendidikan

(49)

anak-anak yang bersekolah ke Ibukota Kecamatan ada yang kost dan sebagian besar pulang pergi dari desa ini. Hal terakhir ini dimaksudkan untuk menghemat biaya sekolah si anak. Selain itu tenaga si anak masih dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga pagi-paginya dan mengerjakan ladang dan perkebunan setelah pulang dari sekolah.

2.5.3. Sarana Peribadatan dan Agama Penduduk

Penduduk desa Pollung menurut kepala desa yang memimpin di desa tersebut, seluruhnya beragama Kristen. Sebelum desa Pollung dibagi kedalam 3 dusun ada penduduk yang beragama lain di desa itu. Agama Kristen yang dianut yaitu agama Kristen Protestan dan agama Kristen Khatolik. Tempat beribadah terdapat 3 buah gereja Protestan yaitu: HKBP, GKPI, HKI, serta 1 buah gereja Khatolik.

Masalah keagamaan ini, penduduk setempat sangat taat menjalankan ibadahnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya perkumpulan (partamiangan), perkumpulan bagi orang tua. Perkumpulan untuk para remaja bagi gereja Protestan menyebut dengan sebutan Naposobulung, untuk remaja gereja Khatolik menyebutnya dengan Pemuda-pemudi (PP).

2.5.4. Sarana Kesehatan Masyarakat

(50)

disembuhkan. Penyakit masyarakat biasanya hanya demam, flu batuk dan rematik saja. Kesehatan ini juga dapat dilihat dari masih adanya warga yang masih hidup dengan umur 80 keatas.

Sarana kesehatan yang terdapat di desa Pollung terdapat 1 buah Puskesmas pembantu yang melayani secara umum dan dibuka setiap hari. Jarak antara Puskesmas dengan rumah penduduk yang harus ditempuh adalah sejauh 1,5Km. Tiga buah Posyandu yang diadakan 2 kali dalam sebulan. Petugas kesehatan yang melayani masyarakat terdiri dari 1 orang bidan dan 1 orang perawat kesehatan. Ditinjau dari jumlah penduduk, maka jumlah petugas kesehatan itu sangat kurang dari yang dibutuhkan.

2.5.5. Sarana Jalan dan Transportasi

Kondisi jalan sangat buruk sekali sebelum jalan menuju ke desa Pollung diperbaiki. Pada musim hujan, jalannya akan berlumpur bahkan ada yang tergenang air yang membuat setiap yang melewatinya akan kotor dan sulit untuk melewatinya. Pada musim hujan juga, membuat jalan licin sehingga sulit untuk dilalui oleh kendaraan beroda dua apalagi kendaraan beroda empat. Sementara pada musim kemarau membuat jalan berdebu.

Setelah pemekaran wilayah kondisi jalan yang ada di desa Pollung yang berjarak ± 12 Km dari Ibukota Kecamatan sudah cukup memadai. Jalan yang digunakan masyarakat untuk menuju Dusun I dengan Dusun yang lainnya sudah beraspal. Masih ditemukan sebagian yang bercampur dengan batu.

(51)

mengangkut hasil pertanian dari desa ini ke pasar untuk dijual, masyarakat menempuh perjalanan dengan membawa hasil pertaniannya dengan berjalan kaki. Sesudah desa Pollung mengadakan pemekaran, maka terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Kondisi jalan menuju desa Pollung inipun sudah cukup baik. Membuat masyarakat desa Pollung mudah menjual hasil pertaniannya ke kota Dolok Sanggul.

Tabel berikut ini akan menjelaskan tentang prasarana dan sarana sosial yang dimiliki oleh desa Pollung.

Tabel 2.7

Sarana dan Prasarana Sosial Budaya di Desa Pollung

No. Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah 1 Gedung Sekolah

a. SD N 2

b. SLTP 1

2 Tempat Ibadah

a. Gereja Protestan 3 b. Gereja Khatolik 1 3 Lapangan Olah Raga

a. Sepak Bola 1

b. Lapangan Voli 1

4 Fasilitas Kesehatan

a. Puskesmas 1

b. Posyandu 3

Jumlah 13

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung Tahun 2006

(52)

Sekolah Menengah Atas (SMA). Banyak anak-anak mereka yang melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) keluar desa yaitu Hutapaung atau mereka ke kota Dolok Sanggul.

2.6. Bentuk Pemerintahan

Desa Pollung merupakan wilayah Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Propinsi Sumatera Utara. Propinsi Sumatera Utara berada di wilayah pimpinan seorang Gubernur, Kabupaten Humbang Hasundutan dipimpin oleh seorang Bupati, Kecamatan Pollung dibawah pimpinan seorang Camat dan desa Pollung berada dibawah pimpinan seorang Kepala Desa. Keseluruhan dari hal-hal yang menyangkut keadaan desa merupakan pertanggung jawaban bersama dibawah pimpinan Kepala Desa.

(53)

BAB III

NILAI BUDAYA MASYARAKAT YANG MENOMORDUAKAN

ANAK PEREMPUAN

3.1. Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu dari ratusan kelompok masyarakat yang tersebar di Indonesia. Masyarakat Batak Toba berdiri dengan satu identitas budaya. Masyarakat Batak Toba berasal dari daerah tertentu yang memiliki bahasa dan adat istiadat sendiri. Adat istiadat tersebut merupakan ciri pembeda dengan masyarakat lain yang ada di dunia. Masyarakat Batak Toba hidup dibawah pengawasan adat istiadat yang berperan mengatur keseluruhan tingkah lakunya.

Pada hakekatnya masyarakat Batak Toba secara keseluruhan berasal dari daerah dataran tinggi Tapanuli bagian Utara seperti: Tarutung, Siborong-borong, Dolok Sanggul, Samosir, Porsea dan lain-lain. Masyarakat Batak Toba yang berdiam di luar daerah tersebut adalah orang-orang yang pergi merantau dan tinggal menetap di daerah tujuannya, sedangkan masyarakat Batak Toba yang tetap berdiam di daerah tersebut dinamakan halak namangingani bona pasogit (masyarakat yang tinggal di kampung halaman).

(54)

akan dihukum sesuai hukum negara. Perbedaannya adalah dalam hukum adat, anggota masyarakat dihukum sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat itu dan bukan hukum negara. Hukuman tersebut datang dari anggota masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang memiliki adat istiadat sendiri, norma hukum dalam bermasyarakat, dinamakan masyarakat yang berbudaya.

Setiap etnik masyarakat memiliki kebudayaan tersendiri yang dijadikan sebagai tatacara sikap perilaku dalam masyarakat. Sama halnya dengan etnik Batak Toba yang memiliki kebudayaan tersendiri. Batak Toba memiliki nilai yang terkandung dalam kebudayaan sendiri. Nilai budaya dapat dijabarkan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Masyarakat yang mengerti akan nilai budayanya, berarti masyarakat tersebut sudah mengetahui apa yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan (Koentjaraningrat, 1970: 381).

Aturan-aturan yang merupakan nilai budaya digunakan menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya berfungsi sebagai pemberi arah dan pendorong tingkah laku manusia sehari-hari. Nilai budaya terungkap dalam bentuk wujud aspeknya yaitu pada sistem kekerabatan dalam masyarakat.

3.2. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

(55)

juga untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang (Lubis, 1999: 112).

Berdasarkan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari anak laki-laki. Anak laki-laki memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai anak laki-laki, maka dianggap napunu karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahnya. Silsilah yang tidak dapat berlanjut lagi, sama halnya bahwa seseorang itu tidak akan pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga (Rajamarpodang, 1992: 105).

Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan patrilineal mempunyai nilai yang sangat penting. Pada urutan generasi setiap ayah yang mempunyai anak laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilinealnya. Seorang ayah mempunyai dua atau lebih kelompok keturunan yang masing-masing mempunyai identitas sendiri.

Apabila mereka berkumpul maka akan menyebut ayah tadi ompu parsadaan. Ompu berarti: kakek, moyang laki-laki; sada adalah satu, jadi

merupakan titik temu mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu (nasaompu) dari generasi ke generasi akan menjadi satu marga. Marga merupakan suatu pertanda bahwa orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek bersama atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek menurut garis patrilineal (Bruner dalam Lubis, 1999: 112).

(56)

keturunannya. Setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya dan bukan marga ibunya dibelakang nama pribadinya. Berdasarkan prinsip patrilineal, maka kekuasaan berada ditangan laki-laki.

Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya harus selalu memelihara kepribadian dan rasa kekeluargaan harus tetap terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu,

maka yang pertama ditanya adalah nama marganya dan bukan nama pribadi atau tempat tinggal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan diantara mereka.

Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martarombo. Dengan martutur mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan didalam hal martutur yaitu: ” Jolo tiniptip sanggar, asa binaen huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya adalah: ”untuk membuat

sangkar haruslah terlebih dahulu dibuat bahannya, dan untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya”. Dengan demikian, orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.

(57)

terhadap marga lain yang terjadi akibat perkawinan. Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga didalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba yang disebut dengan Dalihan na Tolu.

Dalihan na Tolu dalam bahasa Indonesia adalah tungku nan tiga. Tungku

adalah alat memasak, dimana periuk dan belanga diletakkan di atasnya untuk memasak makanan. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambang struktur sosial mereka. Sebab terdapat tiga golongan penting didalam masyarakat Batak Toba yaitu hula-hula, boru, dan dongan sabutuha (Simanjuntak, 2006: 99-103).

Menurut Koenjaraningrat (1984, 125-128) Dalihan na Tolu tersebut selalu tercermin dalam setiap aspek-aspek kehidupan masyarakat Batak Toba, aktivitas-aktivitas hidup bersama terdapat pada pesta-pesta seperti: perkawinan, mendirikan rumah, dan upacara keagamaan. Pada setiap pesta dalam masyarakat Batak Toba harus kelihatan tiga kelompok kerabat yaitu: hula-hula, dongan sabutuha dan boru yang mempunya hubungan khusus dengan orang yang menyelenggarakan

pesta (suhut). Ketiga kelompok tersebutlah yang disebut dengan Dalihan na Tolu.

3.3. Wujud Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba

(58)

Sebuah masyarakat yang hidup berkelompok, pastinya mempunyai tujuan hidup yang merupakan nilai budaya yang harus diwujudkan. Seseorang harus selalu berusaha untuk mewujudkan tujuan hidupnya walaupun dengan cara yang sangat sulit dan dengan pengorbanan.

Tujuan hidup merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Masyarakat Batak Toba juga mempunyai tujuan hidup yang sudah menjadi bagian dari budayanya. Berdasarkan nilai budaya, masyarakat Batak Toba harus mewujudkan tiga tujuan hidup yaitu: Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon. Setiap masyarakat Batak Toba selalu berusaha untuk mencapai tujuan hidup ini dan telah terwarisi terhadap setiap generasi berikutnya (Irianto, 2003: 12).

Ketiga tujuan hidup masyarakat Batak Toba ini akan dijelaskan selanjutnya. Tujuan hidup ini dijadikan sebagai sumber aspirasi setiap orang dalam jalannya sebuah keluarga. Tujuan hidup ini mempengaruhi hak dan kewajiban setiap orang dalam sebuah keluarga. Hak dan kewajiban ini nantinya juga akan mempengaruhi tingkah laku setiap anggota keluarga, yang juga akan menentukan sikap yang pantas bagi setiap anggota keluarga sesuai dengan posisi dalam keluarga tersebut.

3.3.1. Hagabeon

Hagabeon bagi masyarakat Batak Toba diartikan diberkati karena

(59)

saja. Supaya tujuan hidup hagabeon terwujud, maka masyarakat Batak Toba harus mempunyai keturunan anak laki-laki yang menjadi penerus keturunan. Semakin banyak anak laki-laki, maka semakin baik bagi keluarga Batak Toba.

Anak merupakan hal yang terpenting bagi masyarakat Batak Toba. Anak laki-lakilah yang dapat dijadikan sebagai ukuran kebahagiaan bagi sebuah keluarga. Sebuah keluarga akan merasa kesunyian dan selalu resah tanpa kehadiran seorang anak. Bukan hanya karena tidak mendapatkan sumber kebahagiaan, tetapi juga karena mereka merasa malu pada anggota masyarakat yang lain. Keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki akan dianggap kurang sempurna. Keluarga tersebut juga akan merasa takut kalau silsilahnya akan terputus dan tidak mempunyai generasi lagi. Keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki berarti belum menjadi keluarga sempurna (tidak gabe). Keluarga yang telah dilengkapi dengan kehadiran anak laki-laki berarti keluarga tersebut sudah mencapai hagabeon.

3.3.2. Hamoraon

Hamoraon dalam arti yang sebenarnya adalah kekayaan yang

dihubungkan hanya dengan harta benda milik seseorang yang dijadikan sebagai pengukur kemakmuran. Secara tradisional bagi masyarakat Batak Toba pngertian hamoraon tersebut berbeda sesuai budaya mereka. Masyarakat Batak Toba

mengartikan hamoraon adalah bukan hanya kekayaan material saja tetapi dihubungkan dengan anak yang mereka miliki.

Hamoraon bagi masyarakat Batak Toba adalah mengacu pada anak

(60)

merasa dirinya kaya dan tidak akan merasa malu lagi bergaul sama anggota masyarakat yang lain. Mereka akan disenangi oleh anggota masyarakat. Hal ini dapat digambarkan dengan ungkapan ” anakkonki do hamoraon di au”. Artinya adalah masyarakat Batak Toba menganggap anak laki-laki itu adalah kekayaan dalam dirinya. Tidak ada kekayaan yang melebihi kehadiran anak laki-laki. Selain ungkapan tersebut ada juga ungkapan ” banyak anak banyak rejeki”. Artinya, semakin banyak anak laki-laki yang dimiliki, maka keluarga tersebut akan merasa dirinya semakin kaya dan bahagia. Kehadiran anak laki-laki dalam sebuah keluarga akan menjadi awal kebahagiaan bagi mereka.

3.3.3. Hasangapon

Hasangapon sama artinya dengan kehormatan. Pada masyarakat Batak

Toba sumber kehormatan bukan hanya karena kekayaan yang dimiliki. Keluarga masyarakat Batak Toba akan dihormati dan akan terpandang ditengah-tengan masyarakat, jika mempunyai harta sekaligus anak laki-laki. Anak laki-laki dapat mengangkat nama baik keluarganya.

(61)

semakin baik budi bahasa si anak dan semakin disenangi oleh anggota masyarakat.

Menurut Zulkarnaen (1995: 23) anak adalah: semua yang lahir dari seorang ibu sebagai hasil konsepsi antara suami istri, biasanya melalui perkawinan yang sah atau hukum yang berlaku. Ketiga pandangan hidup di atas bukan mengacu pada baik anak laki-laki maupun anak perempuan melainkan hanya mengacu pada anak laki-laki saja. Hal ini disebabkan oleh budaya patrilineal masyarakat Batak Toba. Adanya pandangan anak laki-laki yang selalu terpenting bagi masyarakat Batak Toba, telah terwarisi dari generasi ke generasi berikutnya dan sulit untuk berobah.

Tujuan hidup ini dipandang oleh orang Batak sebagai sesuatu yang sangat berharga yang harus diwujudkan. Ketiga tujuan hidup itu sangat dihubungkan terhadap pendidikan. Bagi masyarakat Batak Toba, pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kemakmuran. Berdasarkan hal itulah masyarakat Batak Toba selalu mengusahakan anak laki-laki yang harus menginjakkan kaki di bangku pendidikan.

3.4. Kedudukan Anak Laki-laki dan Anak Perempuan pada Adat Budaya

Batak Toba

(62)

Sebuah pepatah mengatakan: ”membesarkan seorang anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain”. Pepatah tersebut berarti: jika anak laki-laki dengan anak perempuan disamakan haknya, maka sama saja memperkaya atau menambah kekayaan orang lain. Setelah menikah perempuan akan tinggal dengan suaminya. Seorang perempuan akan membawa miliknya kepada keluarga suaminya.

Mengapa perempuan lebih menyukai laki-laki, itu karena anak perempuan akan meninggalkan rumah suatu hari nanti. Sementara anak laki-laki menawarkan janji akan masa depan atas menantu perempuan serta para cucu. Perempuan yang melahirkan anak laki-laki diperlakukan lebih baik daripada perempuan yang hanya melahirkan anak perempuan, apalagi pada perempuan yang tidak bisa mempunyai anak sama sekali. Perlakuan seperti itu berlanjut kepada generasi selanjutnya. Anak laki-laki disusui lebih sering dan lebih lama dibanding saudara perempuannya. Anak laki-laki lebih sering mendapat perawatan dokter daripada anak perempuan serta anak laki-laki dididik secara lebih serius.

3.5. Kedudukan Anak Laki-laki pada Adat Budaya Batak Toba

Menurut Panggabean (2004: 30) pada adat Batak Toba, laki-laki disebut sebagai ”tampuk ni pasu-pasu, ihot ni ate-ate, tum-tum ni siubeon”. Artinya adalah anak laki-laki itu adalah segalanya, dan sangat berharga bagi orang Batak Toba. Seseorang yang tidak mempunyai anak laki-laki disebut ”terbang ke udara dan hanyut terbawa angin”. Orang Batak Toba mati-matian supaya mempunyai

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ahli waris utama yang berlaku di tanah Batak adalah terhadap anak laki-laki meskipun harta benda yang telah dibawakan kepada anak-anak perempuan tidak boleh

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna anak perempuan pada ayah Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dengan menggunakan metode fenomenologi dan melibatkan

Tujuan dari transkripsi dalam tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan cara penyajian ende marhaminjon yang dilakukan saat prosse manige dalam kebudayaan masyarakat Batak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyajian ende marhaminjon, untuk menganalisis makna-makna tekstual yang terkandung dalam ende marhaminjon, serta

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyajian ende marhaminjon, untuk menganalisis makna-makna tekstual yang terkandung dalam ende marhaminjon, serta

Selain makna teks, penulis juga akan menjabarkan berbagai hal tentang melodi yang terdapat dalam ende marhaminjon tersebut. Sebelum pekerjaan analisis musik dilaksanakan,

Kajian Tekstual Dan Musical Doding Ni Paragat Pada Masyarakat Simalungun Di Kelurahan Girsang I Kecamatan Girang Sipangan Bolon – Simalungun.. Medan: Fakultas

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi yang