• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT BATAK TOBA. (Studi Kasus Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT BATAK TOBA. (Studi Kasus Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan) SKRIPSI"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Kasus Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten

Humbang Hasundutan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

Oleh :

SANTI FRONIKA LUMBAN GAOL 140905087

ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Kasus Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang

Hasundutan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian terbukti lain dan tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Maret 2018 Penulis

Santi F Lumban Gaol Nim.140905087

(3)

ABSTRAK

Santi Fronika Lumban Gaol, NIM 140905087. 2017. Skripsi ini berjudul Perkawinan Semarga Masyarakat Batak Toba (Studi Kasus Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 106 halaman, 1 gambar, 8 foto, 1 tabel, 4 bagan.

Penelitian ini membahas tentang masyarakat Batak Toba bermarga Marbun di desa Parsingguran II yang melakukan perkawinan semarga, serta melihat faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan endogami yang melanggar sitem perkawinan yang dianut suku Batak Toba.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perkawinan semarga dan menguraikan faktor apakah yang menyebabkan masyarakat desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung melakukan perkawinan semarga serta mendeskripsikan bagaimanakah masyarakat desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung mengatur perkawinan semarga atau perkawinan Batak secara endogami pada upacara perkawinan adat.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik observasi serta wawancara mendalam. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi, dan data sekunder yang didapat dari sumber buku dan juga referensi jurnal dan juga internet. Sumber data dalam penelitian ini yaitu: Informan, yaitu masyarakat Marbun yang melakukan perkawinan semarga.

Hasil dari penelitian menjelaskan faktor penyebab perkawinan semarga, yaitu lokasi desa Parsingguran II yang terisolasi dan jauh dari jangkauan transportasi. Faktor pendidikan hingga perkumpulan kerohanian, mobilisasi pada zaman dahulu sangat terbatas, perkembangan zaman atau globalisasi yang semakin modern mengakibatkan penerapan nilai-nilai hukum adat tidak sesuai dengan keadaan zaman yang modern, dan kurangnya pemahaman hukum adat Batak Toba pada generasi zaman sekarang menyebabkan pudarnya nilai-nilai dalihan na tolu. Hal ini juga disebabkan oleh tidak terealisasinya sanksi yang dibuat oleh leluhur Batak Toba sebagai hukuman bagi masyarakat Batak Toba yang melakukan perkawinan semarga. Perkawinan semarga yang terjadi di desa ini justru telah ditanggapi oleh masyarakat dengan biasa, seolah hal tersebut bukan lagi pelanggaran terhadap hukum adat Batak Toba. Akibat yang ditimbulkan perkawinan semarga saat ini bukanlah lagi hanya sanksi adat ataupun sanksi sosial, namun hal lain yang ditimbulkan adalah perubahan keteraturan atau posisi dan kedudukan dalam struktur marga setiap orang yang melakukan perkawinan semarga.

Kata-kata Kunci : Adat Batak Toba, Perkawinan Semarga, Masyarakat Batak

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih yang tidak terhingga serta rasa syukur, terucap kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Maha segalanya, yang telah memberikan cinta tidak terhingga, nikmat yang tidak berujung. Terimakasih atas berjuta kesempatan untuk selalu melihat ke atas, melihat ke langit demi mensyukuri segala hidup dengan pelajaran yang sangat berharga setiap saatnya. Terimakasih atas ketertundukan dalam doa yang telah membuat diriku bangga dan bahagia hadir sebagai mahlukMu.

Kepada keluarga tercinta, Ayah B. Lumban Gaol, Ibu R. Tampu Bolon (Almarhum) dan Ibu R.Zebua pemilik telapak kaki surga saya, jika ada balasan untuk setiap perbuatan baik yang saya lakukan saat ini, semuanya untuk Ayah dan Ibu dahulu. Selalu sehat ayah tersayang, doakan anakmu menjadi seseorang yang selalu takut akan Tuhan, seorang yang selalu rendah hati dan menjadi seorang anak yang selalu bisa kau banggakan. Doaku selalu menyertaimu ayah sayang, semoga dirimu diberikan umur yang panjang, dan engkau selalu berbahagia di hari tuamu. Dan aku berjanji, suatu saat engkau melihat pada putrimu ini dan engkau akan mengatakan “Dulu dia hanya seorang putri kecilku yang tidak tau apa-apa, putri kecil manja yang menangis saat keinginan hatinya tidak dipenuhi, putri kecil yang hanya mengandalkan aku dalam setiap kehidupannya. Sekarang, dia sudah menjadi seorang gadis tangguh, gadis dewasa yang benci menangis untuk hal-hal emosional yang menguras pikiran. Gadis yang kuandalkan di bumi manusia yang kini kupijak. Gadis yang menganggap aku adalah segalanya

(5)

sementara aku bukan apa-apa untuk orang lain. Jika dulu aku yang menjaganya, kini dia yang menjagaku”

Kepada Abang saya yang terkasih Erwin Lumban Gaol, abang tercinta yang serindu apapun tidak bisa saya temui, sekuat apapun saya panggil sudah tidak bisa menoleh. Terimakasih bang telah bertahan menjadi bagian dari keluarga kita selama 24 tahun, terimakasih bang telah menjadi sosok abang idaman selama 20 tahun sudah saya hidup. Terimakasih sudah memahami, memaafkan dan mengajari setiap kali saya melakukan kesalahan dengan mengatakan "Is't okay baby. Sometimes it's hard to do the right thing". And this never ending story. I'm more than grateful for the time we spent . I'm lucky, I know.

Saya harus selalu menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Berat sekali melakukannya, karena itu berarti saya harus menikam hati sendiri setiap detik. Dan apakah abang tau, hal yang paling menyedihkan dalam hidup saya adalah saat saya bahagia menjadi adikmu, seseorang yang sangat berarti bagi saya. Hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan saya harus membiarkanmu pergi. But, God is closest to those with broken hearts. Mungkin Tuhan ingin memberi saya sebuah pelajaran yang berharga dari sebuah kehilangan dan sakit hati. Pasti ada alasan kenapa Tuhan mematahkan hati saya. Pasti ada alasan juga kenapa saya dipertemukan denganmu hanya sesaat. Dari sanalah saya akan belajar banyak hal, belajar tentang merelakan hal yang memang bukan untuk saya. Belajar tentang ikhlas meskipun saya tidak merelakannya. Belajar untuk menerima kenyataan.

Dan saya harus bisa melewati dan kuat menghadapi itu semua. Mungkin dengan

(6)

cara seperti itu, Tuhan melatih saya agar saya menjadi pribadi yang lebih kuat lagi.

I miss you bang, I know it feels like forever, I guess that's just a price I've gotta pay. Jika nanti saya terlihat baik-baik saja tanpamu, percayalah itu sandiwara terbaik saya bang. Dari kehilanganmu, dari perpisahan denganmu yang saya hadapi, saya berjanji akan belajar mengikhlaskan, merelakan, percaya bahwa tidak ada satupun yang bisa saya miliki seutuhnya. Just one chance, just in case there's just one left bang, I wanna say I Love You Bang Erwin Lumban Gaol.

Abang telah membuktikan jika dikatakan laki-laki bukan ketika badannya berotot, atau dia yang selalu memenangkan pertarungan, atau sebanyak apa puntung rokok yang dibuangnya, termasuk seberapa banyak wanita yang menjadi koleksi mantan terindah, tetapi dia laki-laki ketika berani bertanggung jawab pada setiap pilihannya, sesakit apapun keadaanya. Abang juga telah mengajarkan saya bahwa keluarga adalah surga di dunia. Kita tidak perlu mulai menyayanginya kembali, karena rasa sayang itu tidak akan pernah berhenti. Itulah yang lucu dari keluarga, kita bisa membenci kelakuan anggota keluarga kita, tetapi jauh di dalam lubuk hati kita ada sebuah ikatan yang tidak akan pernah putus. Selalu ada sedikit dalam diri kita yang menginginkan sosok mereka, tidak peduli betapa sebagian besar diri kita menolaknya.

Terimakasih juga telah menjadi keluarga dan saudara terbaik saya, untuk Bang Jolly, Bang Riko, Kak Rita, Bang Rinto, Kak Tetty, ini nih kakak yang paling pengertian. Terimakasih Eda Diva dan Eda Immanuel. Keponakan cantikku, Diva, Clara, Dame. Keponakan tampanku, Isem, Pungka, Immanuel,

(7)

Salomo. Adik adik tersayangku. Odylia Zaskya, Lasma, Kishi Georgia. Kalian semua alasan kenapa aku bisa bertahan setelah jatuh sejatuhnya dan nyaris tidak tertolong karena kehilangan. Selalu sehat, dan mari kita jadikan kepergian Bang Erwin tercinta kita sebagai pelajaran betapa kita seharusnya saling komunikasi dan bertukar pikiran.

Saya juga mengucapkan terimakasih banyak kepada dosen pembimbing saya, Bapak Yance yang mencurahkan banyak ilmu, waktu, dan tenaga untuk membimbing saya dengan baik mulai dari proses pembelajaran hingga saat bimbingan skripsi. Tidak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing akademik saya, Bapak Nurman Ahcmad.

Terimakasih kepada Bapak Dr.Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU, terimakasih kepada Bapak Drs.

Agustrisno M.SP selaku Sekretaris Departemen Antropologi. Begitu juga kepada dosen-dosen lainnya (Ibu Aida, Pak Ermansyah, Bu Sabariah, Bu Tjut, Bu Nita, Pak Lister, Pak Wan, Bu Rhyta, Pak Hamdani, Pak Zulkifli, dll) yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan, dengan berbagai pengalaman yang berbeda-beda pastinya. Semoga ilmu yang diberikan nantinya dapat saya pergunakan dengan baik.

Dan yang terindah, yang termanis, ke pada mereka yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang dan motivasi dalam setiap jengkal kehidupan saya, terkhususnya dalam proses penyusunan skripsi ini berlangsung.

Dari dosen pembimbing dan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya sahabat yang selalu ada. Terimakasih banyak

(8)

untuk Yessi Siburian, teman curhat, teman sepiring berdua, teman begadang, teman sok tau, dan teman yang mau direpotin, padahal dia sendiri juga repot.

Teman keluarga Man, Monika (Moniman), Jessika (Jesiman), Lastrika (Tikaman), teman terbaik se Antropologi. Tidak terkecuali untuk teman yang juga selalu ada, teman yang hobinya sama untuk membicarakan keburukan orang lain bersama- sama. Ada Ririn Purba, Satya Bakara, Eunike, Irwansyah Sitorus, Andrean Nugraha. Kesayangan saya Yonma Situmorang, yang lagi sama-sama rindu dengan sahabat lama Veronika Ananda. Kepada Windi Fitri, pembaca terbaik yang pernah saya miliki setelah sekian lama menjadi penulis. Terimakasih juga kepada semua teman-teman Antropologi FISIP USU stambuk 2014

Terimakasih Darwin A Chen yang hadir dan membuat saya berhenti mencari yang terbaik.

Medan, Maret 2018 Penulis

Santi F Lumban Gaol

(9)

RIWAYAT HIDUP

Santi Fronika Lumban Gaol, lahir pada tanggal 03 November 1997 di Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Anak bungsu (tujuh bersaudara) dari pasangan B. Lumban Gaol dan R.Tampu Bolon. Dan kini limpahan kasih sayang yang diterima oleh penulis dari Ibu R.Zebua, Ibu tersayang setelah Ibu R.Tampu Bolon berpulang. Dan melalui beliau, penulis berkesempatan menjadi seorang kakak dari tiga orang adik-adik cantik. Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di St.Lusia Dolok Sanggul, dan belajar selama dua semester di SD St.Maria Dolok Sanggul. Kemudian pindah ke SD negeri 177677 Pollung hingga lulus. Setelah tamat dari Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Pollung selama 4 semester, dan menyelesaikan 2 semester lagi di SMP Negeri 2 Dolok Sanggul. Pada tahun 2011, Penulis kembali melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Dolok Sanggul dan mengambil jurusan IPS hingga lulus. Penulis menempuh pendidikan setelah tamat SMA hingga kini, yaitu di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tepatnya pada jurusan Antropologi Sosial melalui SBMPTN

Penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan seperti:

1. Peserta Inisiasi Antropologi USU pada tahun 2014

(10)

2. Panitia Cadangan Inisiasi Antropologi pada tahun 2015 3. Panitia Natal Antropologi pada tahun 2015

4. Panitia Inti Inisiasi Antropologi pada tahun 2016 5. Anggota INSAN dari 2014 hingga saat ini

6. Anggota KMK (Kebaktian Mahasiswa Kristen) USU pada tahun 2015 7. Anggota IMHU (Ikatan Mahasiswa Humbang Hasundutan USU) pada

tahun 2014

8. Angota IMPAR (Ikatan Mahasiswa Parsingguran)

9. Peserta Training Of Fasilitator di Pantai Wisata Mangrove tahun 2016 10. Penulis juga pernah melakukan TBM (Tinggal Bersama Masyarakat) di

desa Rumah Pil-Pil, Kecamatan Sibolangit pada tahun 2017

Penulis memiliki kegemaran dalam bidang tulis menulis meski tidak pernah berkeinginan untuk menjadi pekerjaan, tetapi pada tahun 2017 penulis sudah pernah menerbitkan dua buah novel berjudul “Unconditional, Cinta Sang Malaikat Tanpa Sayap” dan juga novel berjudul “Filantropi”. Penulis juga salah satu penulis aktif pada sebuah situs online yang seluruhnya berisi tentang penulisan cerita, terhitung seluruh cerita yang pernah ditulis penulis di sana telah mencapai 26 karya.

Alamat E-mail : santifronika@gmail.com

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk segala berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perkawinan Semarga Masyarakat Batak Toba” (Studi Kasus Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan).

Adapun tujuan penulis menyelesaikan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Skripsi ini disusun oleh penulis berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan bersama dengan informan yang menjadi penyedia informasi dalam skripsi ini. Adapun penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah: Bab I memuat deskripsi mengenai latar belakang dari penulisan, tinjauan pustaka, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan, metode penelitian, dan pengalaman peneliti di lapangan.

Bab II menjelaskan tentang lokasi penelitian, baik dari keadaan geografisnya, maupun struktur penduduk yang ada di lokasi penelitian. Di bab ini juga dipaparkan pengamatan penulis terhadap lokasi penelitian. Bab III berisi tentang silsilah Marbun. Bab IV mengenai perkawinan semarga masyarakat Batak serta bagaimana realisasi sanksi perkawinan semarga Toba di Parsingguran 2

Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian tentang perkawinan semarga. Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar

(12)

kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan. Penulis telah melakukan berbagai usaha, dan sebisa mungkin memberikan waktu dan tenaga yang optimal dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik yang membangun kearah perbaikan. Banyak hal-hal yang terkadang menyulitkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, tetapi penulis optimis untuk bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan berusaha menyusun skripsi yang berkualitas.

Penulis berharap semoga skripsi ini memiliki manfaat untuk semua pihak, dan semoga kebaikan yang diterima oleh penulis dari semua pihak yang ikut serta memberi bantuan dalam proses penyusunan skripsi ini dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Maret 2018 Penulis,

Santi F Lumban Gaol 140905087

(13)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH... iii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR FOTO ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 9

1.3 Perumusan Masalah ... 19

1.4 Tujuan Penelitian ... 20

1.5 Manfaat Penelitian ... 20

1.6 Metode Penelitian ... 21

1.7 Lokasi Penelitian ... 23

1.8 Pengalaman Penelitian ... 23

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 31

2.1 Sejarah Kecamatan Pollung ... 31

2.2 Keadaan Geografis ... 36

2.2.1 Letak dan Geografis ... 36

2.2.2 Struktur Penduduk ... 37

2.2.3 Pengamatan Peneliti Terhadap Lokasi Penelitian ... 38

2.3 Pola Pemukiman ... 43

2.4 Kondisi Sarana dan Prasarana Publik ... 44

2.4.1 Kondisi Sarana dan Prasarana Jalan ... 44

2.4.2 Kondisi Sarana dan Prasarana Pertemuan ... 45

2.4.3 Kondisi Sarana dan Prasarana Pendidikan ... 46

2.4.4 Kondisi Sarana dan Prasarana Kesehatan ... 47

2.4.5 Kondisi Sarana dan Prasarana Tempat Ibadah ... 48

BAB III SILSILAH TOGA MARBUN ... 49

3.1 Kisah Raja Naipospos Dan Keturunannya ... 49

3.2 Silsilah Naipospos dan Keturunan Naipospos ... 52

3.3 Toga Marbun ... 55

3.3.1 Lumban Batu ... 57

3.3.2 Banjarnahor ... 58

3.3.3 Lumban Gaol ... 59

(14)

BAB IV PERKAWINAN SESAMA MARBUN ... 61

4.1 Faktor Penyebab Perkawinan Semarga Di Parsingguran II ... 66

4.2 Alasan Informan Melakukan Perkawinan Semarga ... 80

4.2.1 Marhite Lumban Gaol, Eliker Banjarnahor ... 81

4.2.2 Mangisi Lumban Gaol Dan Sorta Banjarnahor ... 83

4.2.3 Tinus Banjarnahor Dan Kanne Lumban Gaol ... 84

4.2.4 Bahari Lumban Gaol Dan Destina Lumban Gaol ... 85

4.2.5 Harmoko Banjarnahor Dan Trimaywati Banjarnahor ... 88

4.3 Dampak Perkawinan Semarga ... 89

4.4 Cara Pembagian Boru Dan Hula-Hula Dalam Upacara Adat Perkawinan Semarga ... 92

4.5 Pandangan Gereja Terhadap Perkawinan Semarga ... 94

4.6 Realisasi Sanksi Perkawinan Semarga ... 96

BAB V PENUTUP ... 101

5.1 Kesimpulan ... 101

5.2 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104 DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Kabupaten Humbang Hasundutan ... 39

(16)

DAFTAR FOTO

Foto 2.1 Sawah Penduduk Parsingguran II ... 45

Foto 2.2 Ladang Kopi Penduduk Parsingguran II ... 45

Foto 2.3 Ladang Cabai Parsingguran II ... 46

Foto 2.4 Jalan di Parsingguran II ... 47

Foto 2.5 Gedung Serba Guna HKBP ... 48

Foto 2.6 SD N 173413 Pollung ... 49

Foto 2.7 Gereja HKBP Parsingguran ... 51

Foto 4.1 Tugu Yang Melakukan Perkawinan Semarga ... 70

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut Desa di

Kecamatan Pollung, 2016 ... 40

(18)

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1. Keturunan Raja Naipospos ... 52

Bagan 3.2. Keturunan Lumban Batu ... 60

Bagan 3.3. Keturunan Banjarnahor ... 61

Bagan 3.4. Keturunan Lumban Gaol ... 62

(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan antara laki-laki dan perempuan memiliki keunikan tersendiri.

Adanya hubungan biologis sebagai suatu kebutuhan mutlak manusia melahirkan suatu pranata yang dinamakan perkawinan. Perkawinan berisi serangkaian peraturan-peraturan yang memformalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan di mata masyarakat. Dengan kata lain terbentuklah kontrak permanen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun sebuah ikatan.Sudah menjadi hukum alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerja sama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersamanya atau untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera, dan abadi.1

1 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 20

(20)

Arti perkawinan itu adalah suatu ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin, antara seorang pria dan seorang wanita, di mana mereka mengikatkan diri, untuk bersatu dalam kehidupan bersama. Proses yang mereka lalui dalam rangka mengikatkan diri ini, tentunya menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam masyarakat.2

Perkawinan merupakan lembaga yang berkaitan langsung dengan kodrat manusia untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan jenisnya. Melalui perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya secara lebih baik serta dapat mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan kenyamanan hidupnya. Sampai saat ini, meskipun teknologi telah berkembang pesat, secara umum manusia berkembang lebih baik untuk mempertahankan jenisnya melalui perkawinan secara alami. Sebagai suatu lembaga, perkawinan baru dapat memenuhi fungsinya tersebut apabila dilakukan dalam suatu tata aturan, dengan menjungjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. Tata aturan pelaksanaan perkawinan tidak lepas dari budaya dan lingkungan di mana perkawinan tersebut dilaksanakan. Faktor pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan agama yang dianut masyarakat mempengaruhi bagaimana suatu perkawinan dilaksanakan. Pada umumnya perkawinan tidak cukup hanya diatur oleh norma agama maupun norma kesusilaan, tetapi juga diatur dengan norma hukum.3

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Perkawinan bagi masyarakat adat Batak Toba bukanlah merupakan persoalan pribadi antara suami istri saja, termasuk persoalan antara orangtua serta saudara-

2 KBBI online.

3 Proff. H Rusdi Malik, SH, MH. Peran Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta:

(21)

saudara kandung masing-masing. Akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga orangtua si suami dengan marga orangtua si istri, ditambah lagi dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak. Sebelum melangsungkan perkawinan, hal yang perlu diperhatikan adalah melihat dan menelusuri sistem kekerabatan yang dimilikinya dan yang dimiliki pasangannya. Sebab, dalam setiap sistem kekerabatan, memiliki pengaturan atau hukum yang berbeda-beda dalam sistem perkawinan adatnya. Masyarakat Batak Toba memiliki kelompok kekerabatan yang kuat yaitu didasari dengan keturunan garis patrilineal.4 Masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang terjadi antara orang-orang rumpal (marpariban) adalah antara seorang laki laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki Batak sangat pantang kawin dengan wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan ayah. (Soekanto, 2000:217).

Saat ini telah terdapat banyak pasangan yang melakukan pernikahan semarga dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Adanya perbedaan mengenai boleh atau tidaknya dilakukan pernikahan semarga tidak jarang menimbulkan konflik, baik dalam pasangan tersebut maupun dengan lingkungannya. Hal-hal tersebut di atas sangat mendukung dengan kasus dan kejadian yang terjadi di daerah desa Parsingguran II, Kec.Pollung, Kab.Humbang Hasundutan. Terjadi beberapa hal menarik pada perkawinan adat masyarakat di sana yang berbeda dari yang seharusnya terjadi. Dan fokus permasalah dalam peneletian ini adalah fenomena

4 Helga Septiani Manik, “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot Dalam Adat Perkawinan Suku Bangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”, Biokultur,Vol.1,No.1, diakses dari

http/journal.unair.ac.id, 17 Januari 2018, hlm.20-21

(22)

perkawinan semarga yang marak terjadi di desa Parsingguran II, Kec.Pollung, Kab.Humbang Hasundutan. Permasalahan yang menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti karena di daerah tersebut mayoritas Batak Toba yang sebenarnya menggunakan hukum perkawinan eksogami. Di mana sistem ini melarang terjadinya perkawinan semarga.

Hukum eksogami, bahkan sudah melekat dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan, seharusnya masih ada ketakutan untuk melanggarnya. Hambatan untuk benar-benar mematahkan belenggu eksogami adalah rasa takut akan meledaknya roh para leluhur. Rasa takut itu semakin meningkat oleh munculnya beberapa kasus, yaitu pelanggaran sengaja yang dilakukan oleh beberapa pasangan terhadap larangan marsubang (tabu) yang berakhir buruk bagi para pelakunya. Namun yang berbeda di daerah ini adalah, perkawinan semarga yang terjadi di sana sudah ditanggapi masyarakat dengan biasa, seolah perkawinan semarga itu sudah bukan sesuatu yang perlu diributkan atau dipermasalahkan sebagaimana seharusnya.

Daerah Humbang Hasundutan, khususnya di Kec.Pollung adalah mayoritas marga Marbun yang terbagi atas 3 sub marga yaitu: Banjarnahor, Lumban Batu dan Lumban Gaol. Dan ketiga sub marga inilah yang banyak melakukan perkawinan yang melanggar hukum eksogami yang berlaku pada suku Batak Toba. Dan kasus yang paling banyak ditemukan di desa Parsingguran II adalah perkawinan antara Lumban Gaol dengan Banjarnahor, ataupun antara Banjarnahor dengan Lumban Gaol. Namun dari yang peneliti perhatikan sebagaimana peneliti adalah orang asli daerah tersebut, perkawinan semarga itu

(23)

tidak terjadi baru-baru ini saja, dan anggapan yang mengatakan jika perkawinan semarga ini mungkin terjadi karena masuknya modernisasi ataupun globalisasi adalah sebuah anggapan yang kurang tepat. Karena peneliti sendiri melihat banyak tugu-tugu dari para leluhur di daerah peneliti tinggal yang di dalamnya disemayamkan seorang leluhur yang suaminya bermarga Banjarnahor, dan istrinya bermarga Lumban Gaol, dan contoh kasus tersebut adalah keluarga peneliti sendiri.

Oleh karena itu, peneliti beranggapan jika fenomena perkawinan semarga ini terjadi sudah dari dulu. Dan masalahnya adalah mengapa daerah yang mayoritasnya Marbun itu memperbolehkan pernikahan marsubang sesama marga.

Sementara banyak sejarah yang mencatat bagaimana para tokoh serta raja adat termasuk masyarakat Batak yang menolak keras saat dalihan na tolu ingin dihilangkan dengan mengizinkan perkawinan semarga pada masa peran Zending di Toba. Seperti yang dikutip dari buku “Utusan Damai di Kemelut Perang”, yaitu:

Pemerintah berkeinginan memisahkan agama dan pemerintah, misalnya dengan mengizinkan perkawinan melalui catatan sipil, hal mana ditentang oleh pihak Katolik. Lalu pemerintah di bawah kanselir Bismarck bertindak dengan membatasi ruang gerak gereja Katolik, lebih dari 1800 pastor dipenjarakan dan ordo Yesuit dilarang. Sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkannya dengan mengizinkan perkawinan antara orang sesama marga. Namun ide itu mendapat perlawanan dari orang Batak, hingga akhirnya para penginjil saat itu bersedia berkompromi kembali setelah orang Batak menolak ide perkawinan marsubang tersebut.5

5 Uli Kozok. Utusan Damai di Kemelut Perang (Jakarta:Yayasan Ppustaka Obor Indonesia 2010) hal 74

(24)

Marsumbang/marsubang yang termasuk pelanggaran, antara lain natarboan-boan rohana,6 yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto7. Selain larangan marsubang, hubungan lain yang tidak diperkenankan adalah marpadan (kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi.8 Memang dalam hal marpadan, belum ada yang melakukan perkawinan sesama marga yang marpadan di daerah ini. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi."

(menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu).9

Dalam perkawinan pada masyarakat Batak, perkawinan itu bukan hanya masalah antara pria dan wanita yang ingin melakukan perkawinan, tetapi juga menjadi masalah keluarga kedua belah pihak. Dengan kata lain, apabila seorang laki-laki ingin kawin, di dalam menentukan siapa yang menjadi calon istrinya, bukan hanya si laki-laki tersebut, tetapi juga keluarga atau orangtuanya, begitu

6 Natarboan-boan rohana adalah yang dikuasai oleh nafsu-keinginan

7 Iboto adalah saudara perempuan dari anggota marga sendiri

8 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 27

9

(25)

juga sebaliknya bagi seorang wanita yang ingin menikah. Bahkan kadang-kadang suatu perkawinan bisa tidak jadi dilaksanakan jika salah satu orangtua dari pihak- pihak yang akan kawin tidak setuju. Oleh karena itu, pada masyarakat Batak masalah perkawinan bukan hanya masalah pribadi yang mau kawin, tetapi juga masalah keluarga.

Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Batak, perkawinan itu berarti akan bertujuan untuk melanjutkan keturunan suatu marga, dan akan bertambahnya keluarga yaitu orangtua dan keluarga pihak suami ataupun pihak istri. Suatu marga tidak menghendaki keturunan marganya menjadi keturunan yang tidak baik, serta suatu marga tidak menghendaki mempunyai keluarga yang tidak baik.

Oleh karena itu, di dalam menentukan calon suami ataupun calon istri, anak- anaknya, yang nantinya akan menurunkan marganya, dan orangtua dari calon suami maupun calon istri anaknya, akan menjadi keluarganya sendiri, harus benar-benar berasal dari keluarga baik-baik. Dengan demikian kelompok keluarga itu nantinya, termasuk keturunannya menjadi keluarga yang baik-baik di dalam masyarakat.

Khususnya masyarakat Batak Toba, perkawinan itu adalah di mana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama di dalam satu rumah tangga dengan melalui aturan yang ditentukan di dalam ketentuan-ketentuan adat Batak. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Ritusnya adalah sebagai berikut:

(26)

Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu.

Makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya.10 Menurut peraturan dan hukum adat Batak Toba yang berlaku pada zaman dahulu, seseorang yang kawin dengan putri atau putra semarga atau dengan kelompok semarganya, hukumannya dibakar hidup-hidup atau ditenggelamkan ke dalam air (situtungon tu api, sinongnongon tu aek).11

Namun, sanksi yang cukup berat tersebut tidak cukup bagi para masyarakat Kecamatan Pollung, khususnya desa Parsingguran II untuk menghindari mencari jodoh satu marga sendiri. Mungkin juga bukan karena tidak takut akan sanksi yang dulu ditetapkan para leluhur berupa sanksi seperti yang telah diterangkan di atas, tetapi juga realisasi sanksi tersebut yang jarang diaplikasikan oleh masyarakat di sana merupakan alasan mengapa para pemuda dan pemudi yang ingin menikah tidak memiliki rasa jera sama sekali. Dan untuk kasus yang baru-baru ini, hal ini juga didukung dengan adanya HAM (Hak Azasi Manusia) di mana membakar hidup seorang manusia dengan alasan apapun itu berarti sudah melanggar hukum.

Oleh karena itulah, peneliti merasa jika sebenarnya keberlanjutan dalihan natolu tidak lagi begitu kuat di daerah desa Parsingguran II, Kec. Pollung.

10 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hlm, 27

11 Bisuk Siahaan, Batak Toba. Kehidupan Di Balik Tembok Bambu (Jakarta : Kempala Foundation,2005) hlm, 107

(27)

Karena jika demikian, masyarakat desa yang katanya memegang kuat nilai kebudayaan tidak lagi berbeda dengan orang-orang yang tinggal di kota. Karena di kotalah yang biasanya nilai kebudayaan yang mengatur tentang perkawinan tidak lagi terlalu kuat.

1.2 Tinjauan Pustaka

Seperti kita ketahui bahwa kalau diperhatikan secara mendalam maka manusia itu mempunyai dua aspek dalam kehidupannya, yaitu sebagai manusia pribadi dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dua aspek itu tidak mungkin dapat dipisahkan, artinya bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendirian, harus bersama-sama dengan manusia lainnya. Dalam berhubungan dalam interaksinya dengan manusia lainnya yaitu dengan anggota masyarakat lainnya maka terjadilah bermacam-macam bentuk hubungan, baik yang sangat sederhana misalnya saling berbicara, berkomunikasi, kerja sama, berkelahi, bertarung dan sebagainya, ataupun yang sudah bersifat canggih misalnya, pinjaman meminjam, jual beli, perkawinan yang kadang-kadang sudah merupakan suatu lembaga atau institusi dalam masyarakat manusia itu.12 Negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke, dan didiami oleh berbagai suku bangsa, yang semuanya dinamakan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku ini mempunyai adat, dan bahasa yang berbeda-beda. Tetapi walaupun adatnya berbeda tetap mempunyai persamaan.13

12 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 9

13 Prof. H Rusdi Malik, SH, MH. Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Universitas Trisakti 2010) hal, 1

(28)

1.2.1 Pengertian Perkawinan Adat

Menurut Wikipedia, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.14

Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.

Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.

Umumnya perkawinan harus diresmikan dengan pernikahan.

Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat. Van Gennep menamakan semua upacara perkawinan sebagai ”Rites De Passage” (upacara peralihan) yang melambangkan peralihan status dari masing masing mempelai yang tadinya hidup sendiri-sendiri atau berpisah, setelah melampaui upacara yang disyaratkan menjadi hidup bersatu sebagai suami istri,

14 Wikipedia, “Perkawinan”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, 06 Januari 2018, pkl 19.30 WIB

(29)

suatu keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiri. Rites De Passage terdiri atas 3 tingkatan :

a. Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari status semula.

b. Rites De Marga yaitu upacara perjalanan kestatus yang baru.

c. Rites D’agreegation yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.

Demikian pula diketengaskan oleh Teer Haar menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabak dan urusan pribadi (Hilman Hadikusuma, 2003:8). Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh Van Vollenhoven bahwa, dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia (Hilman hadikusuma, 2003: 9 ).

Menurut hukum adat di Indonesia, perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistim perkawinan jujur di mana pelamaran dilakukan pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami, hal ini biasa dijumpai di Bantul, Lampung, Bali. Kemudian “Perkawinan Semanda” di mana pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan, suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri. Hal ini bisa dijumpai di daerah Minangkabau, Semendo Sumatera Selatan. Dan perkawinan bebas yaitu di Jawa, Mencur, Mentas, di mana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan, kedua suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka. Yang

(30)

terakhir ini banyak berlaku di kalangan masyarakat keluarga yang telah maju atau modern.

Menurut J.C. Vergouwen dalam bukunya “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” menjelaskan bahwa perkawinan merupakan “harga mempelai perempuan”. Perempuan dilepaskan dari kelompoknya, tidak sekedar dari lingkungan agnata kecil tempat dia dilahirkan, dengan pembayaran sejumlah uang yang disetujui bersama, atau dengan penyerahan benda berharga.15

1.2.2 Sistem Perkawinan Adat

Sistem perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam. Pertama, Sistim Endogami, yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Kedua, Sistim Eksogami, yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari luar suku keluarganya. Ketiga, Sistim Eleutherpgami, yaitu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun eksogami. Salah satu suku yang mendiami sebagian pulau di Indonesia, yang terdapat di pulau Sumatera, jelasnya Provinsi Sumatera Utara disebutlah suku Batak.16

Berbicara tentang masyarakat Batak bagi orang yang tidak mengetahui kadang-kadang diartikan menunjukkan suatu wilayah yaitu wilayah Batak.

15 J.C. Vergouwen. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Salakan Baru No.1 Sewon Bantul.

Penerbit Lkis Yogyakarta 2004) dehal 197

16 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 10

(31)

Padahal sebenarnya yang disebut Batak adalah merupakan satu suku dari Bangsa Indonesia. Untuk jelasnya dapat disebutkan bahwa suku bangsa Batak terdiri dari:

Pertama, Batak Simalungun, yang mendiami daerah sekitar Sibaganding, dari Sipiso Piso sampai perbatasan Tebing Tinggi, dari Parapat sampai Tongging dekat Saribudolok. Kedua, Batak Karo, yang bertempat tinggal mulai dari Laupakam sampai Gunung Sibayak, Merek sampai Berastagi dan Kabanjahe.

Ketiga, Batak Toba, yang mendiami daerah wilayah dataran tinggi Toba, yaitu di daerah-daerah Toba Holbung, Silindung, Humbang, Pahae dan Pulau Samosir.

Keempat, Batak Pakpak-Dairi, diam di daerah tingkat dua Dairi di sekitar Sidingkalang. Kelima, Batak Angkola, mendiami daerah di sekitar Batang Toru, Padang Lawas, Sipirok dan Padang Sidempuan. Keenam, Batak Mandailing, diam di sekitar daerah Panyambungan, dan Natal.17

Dari sekian banyak segi-segi kehidupan masyarakat Batak, salah satu dari sekian kehidupan itu adalah masalah hukum perkawinan. Masalah perkawinan, adalah masalah yang penting bagi semua manusia, karena perkawinan adalah merupakan satu-satunya cara sampai saat ini untuk melanjutkan keturunan. Demikian juga pada masyarakat Batak, masalah perkawinan adalah masalah yang sangat penting. Oleh karena itu di dalam melakukan perkawinan haruslah terlebih dahulu melalui proses-proses tertentu yang telah ditentukan di dalam hukum adat. Proses-proses ini harus dilakukan,

17 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 11

(32)

serta tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, apabila seorang orang Batak mau melaksanakan perkawinan.18

1.2.3 Cara Menarik Garis Keturunan Batak Toba

Cara menarik garis keturunan maksudnya adalah untuk menentukan, atau mengetahui seseorang itu termasuk keturunan siapa. Untuk dapat melahirkan ataupun menurunkan seorang anak, harus paling sedikit ada dua orang yaitu seorang wanita dan seorang pria. Oleh karena itu pada garis besarnya cara menarik garis keturunan ada 2 macam yaitu: (1) Menarik garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja, yaitu mungkin dari pihak laki-laki, mungkin dari pihak perempuan. Masyarakat yang demikian dinamakan masyarakat Unilateral.

Masyarakat yang menarik garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja terdiri dari: Pertama, masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) saja, yang disebut masyarakat Patrilineal. Kedua, masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak wanita (ibu) saja, yang disebut masyarakat Matrilineal.

(2) Menarik garis keturunan dari kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Masyarakat yang demikian disebut masyarakat Bilateral ataupun Parental.

Masyarakat Batak termasuk masyarakat Unilateral-Patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir maupun laki-laki ataupun perempuan dengan sendirinya mengikuti klan atau marga dari ayahnya. Dan yang dapat meneruskan marga dan silsilah seorang ayah hanyalah anak laki-laki, sedangkan

18 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 10

(33)

anak perempuan bukanlah penerus marga dan silsilah dari ayahnya. Apabila seseorang wanita kawin, maka anak-anak yang dilahirkannya akan mengikuti marga daripada suaminya. Dengan demikian kedudukan seorang anak laki-laki dalam masyarakat Batak sangat penting. Karena apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki walaupun keluarga itu mempunyai banyak anak perempuan, maka keturunan akan putus dengan sendirinya. Cara menarik garis keturunan yang Unilateral Patrilineal inilah yang kita jumpai pada masyarakat Batak.19

1.2.4 Sistem Kekerabatan Batak Toba

Masyarakat Batak yang menarik garis keturunan dari satu pihak yaitu dari pihak laki-laki, terdiri dari kumpulan marga-marga. Atau dengan kata lain bahwa susunan masyarakat didukung oleh berbagai marga. Hubungan antara marga-marga, mempunyai hubungan-hubungan tertentu, disebabkan oleh hubungan perkawinan. Hubungan perkawinan antara marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antara tiap-tiap marga. Marga yang satu mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga yang lain. Karena jumlah marga pada Batak Toba sangat banyak, untuk ini diperlukan uraian tersendiri. Hubungan antara marga yang satu dengan marga yang lain memiliki fungsi tertentu. Fungsi-fungsi ini sangat jelas di dalam upacara-upacara adat. Fungsi inilah yang mendukung susunan masyarakat Batak Toba agar mendukung juga adat-adat yang terdapat pada masyarakat Batak Toba dapat ditentukan menurut dua garis yaitu: Pertama,

19 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 16

(34)

Garis Vertikal, yaitu untuk menentukan hubungan dan kedudukan seseorang menurut garis keturunan dengan menarik garis lurus ke atas maupun ke bawah.

Suatu generasi tertentu yang lebih tinggi satu tingkat akan memanggil generasi yang di bawahnya dengan panggilan tertentu dan demikian sebaliknya, generasi yang lebih rendah akan memanggil suatu panggilan kepada generasi yang lebih tua dari generasi itu. Kedua, Garis horizontal, adalah untuk menentukan hubungan dan kedudukan tingkat cabang dari seseorang menurut urut kelahiran dengan menarik garis lurus ke samping. Seperti telah dikemukakan bahwa masyarakat Batak itu adalah masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki. Oleh karena pada permulaan ada seorang ayah yang disebut ayah asal;

Ayah asal ini membawa sebutan marga sendiri-sendiri. Dalam menentukan anak marga yang mana yang lebih tua, maka ini akan ditentukan anak marga mana yang lahir lebih dahulu.

Suatu marga tertentu mempunyai fungsi tertentu terhadap marga lain, dan demikian sebaliknya. Hubungan-hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan-penggolongan marga di dalam hubungannya dengan marga lain di dalam masyarakat Batak Toba. Penggolongan marga ini yang didasarkan kepada fungsinya menimbulkan suatu sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, yang disebut Dalihan Natolu, artinya tungku yang tiga.

Penggambaran sistem ini dengan tiga tungku, maksudnya karena di masyarakat Batak Toba, di dalam memasak makanan selalu mempergunakan tiga tungku.

Dengan adanya tiga tungku itu maka alat memasak (periuk) dapat diam dengan tegak, dan masakan juga dimasak dengan baik. Demikian juga pada masyarakat

(35)

Batak Toba tiga tungku (dalihan natolu), dapat menegakkan sistem kekerabatan Batak Toba, untuk tetap menegakkan adat-adat, supaya ditaati dan dihormati semua masyarakat Batak Toba. Golongan-golongan yang dimaksudkan di dalam dalihan natolu adalah pertama, dongan sabutuha, arti sebenarnya adalah kawan seperut. Yang berarti lahir dari perut yang sama. Kedua, hula-hula. Ketiga, boru.

1.2.5 Hukum Perkawinan Adat Batak Toba

Bagi masyarakat Batak Toba perkawinan itu adalah di mana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui aturan yang ditentukan dalam ketentua- ketentuan hukum adat Batak. Laki-laki yang mengikatkan diri ini disebut tunggane doli (suami) dan wanita yang mengkatkan diri dengan laki-laki itu disebut tunggane bore (istri). Pada masyarakat Batak Toba, seorang laki-laki dalam menentukan siapa yang pantas menjadi tunggane boru-nya bukanlah hanya masalah laki-laki itu saja, melainkan hak keluarga dan orangtua si laki-laki itu ikut menentukan begitu juga sebaliknya untuk wanita. Pihak keluarga dari yang menjadi suami (tunggane doli) si wanita itu nantinya akan menjadi boru, bagi kelompok marga ayah wanita itu. Setiap keluarga Batak Toba menghendaki agar boru berasal dari keluarga baik-baik. Dengan demikian perkawinan bagi masyarakat Batak Toba, berarti pula menentukan siapa menjadi tunggane doli seorang wanita, dan siapa yang menjadi tunggane boru seorang laki-laki.

Penentuan ini bukan harus para pihak, tetapi juga menjadi urusan para keluarga mereka, karena dengan cara ini, nantinya diharapkan terbentuklah suatu rumah

(36)

tangga baru yang rukun dan harmonis, dan dapat menurunkan marga dengan baik.20

1.2.6 Sistem Perkawinan Batak Toba

Pada masyarakat Batak Toba, sistem perkawinannya adalah secara eksogami, dan asimetris connubium. Perkawinan harus dilakukan dengan orang lain di luar dari marga sendiri, dan tidak boleh melakukan perkawinan secara timbal balik. Apabila terjadi perkawinan dalam satu marga, maka perkawinannya disebut kawin sumbang. Apabila hal ini terjadi biasanya para pihak-pihak yang melakukan perkawinan akan dihukum oleh pemuka-pemuka adat.21

Kawin eksogam marga, pada masyarakat Batak Toba sudah tidak seketat masyarakat Batak Simalungun. Pada masyarakat Batak Toba, marga-marga yang besar, sudah banyak dipecah-pecah menjadi beberapa sub marga yang lebih kecil.

Dan saat ini sub-sub marga yang lebih kecil ini sudah dapat saling kawin, tetapi tidak diperbolehkan menggunakan marga besarnya. Demikian pulalah yang terjadi di daerah desa Parsingguran II Kec. Pollung. Sudah sangat banyak terjadi perkawinan semarga yang berakhir mereka menggunakan sub marga sebagai marga untuk tetap bisa melakukan perkawinan. Oleh karena itu, di daerah desa Parsingguran II Kec. Pollung perkawinan dengan eksogami sudah tidak murni lagi.

20 Djaren Saragih SH, Djisman Samosir SH, Djaja Sembiring SH. Hukum Perkawinan Adat Batak (Bandung: Tarsito 1980) hal, 24

21

(37)

Hal-hal ini juga banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman, dan agama. Pada masyarakat sekarang ini apabila terjadi kawin sumbang, walaupun sangat ditentang dan jarang terjadi, maka diadakanlah suatu pesta yang disebut pesta manompas bong bong. Pada pesta ini dikumpulkan semua anggota marga dan raja-raja adat, dan memotong tujuh ekor kerbau. Pada pesta inilah kedua belah pihak memohon maaf kepada raja-raja adat dan halayak ramai. Pada masyarakat Batak Toba, seorang laki-laki juga dianjurkan kawin dengan pariban atau boru tulangna (anak paman). Apabila hal ini terjadi, maka disebut manguduti, yang artinya menyambung.22

1.3 Perumusan Masalah

Pernikahan semarga menarik untuk diamati karena dilatarbelakangi adanya adat istiadat yang mengatur pernikahan yang diperbolehkan dan dilarang dalam suku Batak. Apabila terjadi suatu perkawinan semarga dalam Batak Toba maka hal itu dianggap sebagai tabu dan pasangan yang menikah itu akan dikucilkan dari masyarakat di mana ia berada. Ini berarti terjadi penolakan terhadap pasangan yang melakukan perkawinan ini, dan yang lebih parahnya lagi, ia tidak akan pernah memperoleh pengakuan dari adat Batak Toba, masyarakat Batak Toba menolak perkawinan semarga alasannya karena masih satu darah atau masih keluarga. Berangkat dari fenomena tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan permasalahan penelitian sebagai berikut:

22Sartika Simatupang, “Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara”, Agustus 2002. Jurnal Pendidikan Antropologi UNIMED. Vol.

1.No. http/journal ipi126560.ac.id, 18 Januari 2018, hlm 17

(38)

1. Apa faktor penyebab masyarakat desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung melakukan perkawinan semarga?

2. Bagaimanakah masyarakat desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung mengatur perkawinan semarga atau perkawinan Batak secara endogami pada upacara perkawinan adat?

1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian tentu harus memiliki tujuan dan manfaat penelitian, adapaun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat Batak Toba yang tinggal di desa Parsingguran II, Kec.

daerah Pollung melakukan perkawinan semarga yang melanggar hukum perkawinan adat Batak Toba, serta bagaimana masyarakat di sana menyikapi setiap terjadi pernikahan semarga yang sudah sering terjadi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui alasan atau penyebab apa yang membuat masyarakat atau pemuda dan pemudi di sana menikahi satu marga sendiri yang diketahuinya melanggar hukum adat perkawinan yang berlaku di sukunya.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Penelitiaan ini diharapkan dapat menyubang pengetahuan bagi para pembaca, memperbanyak pengetahuan serta menyumbang ilmu pada bidang pendidikan mengenai kebudayaan Batak Toba terkhususnya pada bagian perkawinan adat Batak Toba. Terkhususnya pada bagian Antropologi, jika ternyata telah terjadi banyak perkawinan semarga pada masyarakat Batak Toba

(39)

yang melanggar hukum perkawinan eksogami yang dipegang kuat oleh suku Batak Toba.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Kecamatan Pollung yang terdiri dari 13 desa yang mata pencahariannya rata-rata di sektor pertanian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti secara rinci, dibentuk dengan kata-kata, lalu dideskripsikan.

Penelitian kulalitatif merupakan penelitian yang menghasilkan prosedur analisis, penelitian ini akan mengumpukan data kualitatif saat menjawab persoalan dan permasalahan dari permasalahan peneliti.

1.5.1 Sumber Data

Dalam penerapannya, pendekatan kualitatif menggunakan metode pengumpulan data dan metode analisis yang bersifat nonkuantitatif, seperti penggunaan instrumen wawancara mendalam dan observasi partisipasi

1.5.1.1 Data Primer

Merupakan data utama yang diporelah dari observasi dan wawancara 1. Observasi

Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi serta wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Batak Toba desa Parsingguran II, Kec. Pollung yang melakukan perkawinan semarga, pemuka adat-adat di sana, serta masyarakat umum di sana yang memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

(40)

Dan sedikit pemaparan hasil observasi peneliti. Pada kenyataannya, terdapat beberapa keluarga yang melangsungkan perkawinan semarga di Parsingguran II, Kecamatan Pollung. Hal itu terjadi karena ada alasan dan faktor- faktor yang melatarbelakangi sehingga mereka melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan dalam hukum adat Batak Toba mengenai perkawinan semarga. Faktor- faktor tersebut antara lain faktor cinta, faktor agama, faktor keluarga, faktor perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, dan faktor tingkat pendidikan.

2. Wawancara

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan terlebih dahulu membangun hubungan yang nyaman atau rapport dengan masyarakat di sana. Wawancara dilengkapi dengan alat perekam suara (recorder), sebagai alat bantu untuk peneliti untuk menyimpan semua informasi saat melakukan wawancara dengan informan, dan juga menggunkan kamera sebagai alat bantu peneliti untuk melakukan dokumentasi setiap wawancara dan juga pada setiap keadaan yang memerlukan dokumentasi selama proses penelitian.

Peneliti juga menggunakan peralatan tulis untuk membuat catatan ferbatim, untuk memudahkan peneliti menggali lebih dalam lagi tentang setiap situasi yang dihadapi saat melakukan penelitian, dan sebagai acuan untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih relevan.

1.5.1.2 Data Sekunder

Merupakan data pendukung yang dapat menyempurnakan hasil observasi dan wawancara. Data berupa jumlah penduduk di desa Parsingguran, serta berapa jumlah penduduk bermarga Marbun di sana.

(41)

1.6 Lokasi Penelitian

Yang menjadi tempat atau lokasi di mana peneliti melakukan penelitian adalah di Desa Parsingguran II, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.

1.7 Pengalaman Penelitian

Dingin menusuk hingga sum-sum, udara dingin menciumi setiap permukaan kulit yang nyaris membeku dan membiru. Angin sepoi tidak mengizinkan para pengguna jalan, para petani dan semua penghuni Parsingguran untuk keluar dari dalam rumah masing-masing tanpa penghangat tubuh atau jaket.

Senasip dengan orang-orang hebat itu, orang-orang yang menerjang suhu dingin itu untuk mencari tumpukan rupiah demi kelangsungan hidup keluarga, saya juga mengalami perasaan yang sama. Yaitu dingin luar biasa, mengakukan hingga tulang-tulang, bahkan membuat saya sulit untuk sekedar mengangkat tangan untuk menulis.

Sebenarnya, dinginnya daerah Parsingguran II dan sekitarnya. Secara umum untuk setiap daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan, bukan lagi merupakan suatu hal yang mengejutkan untuk saya, karena saya sendiri adalah kelahiran asli Parsingguran dan menghabiskan masa anak-anak, remaja di sana.

Saya juga telah melakukan persiapan untuk mengantisipasi akan dinginnya di sana pada saat penelitian berlangsung. Tetapi kenyataan berkata lain, dingin serta musim penghujan yang saat itu terjadi di Parsingguran ternyata menjadi salah satu

(42)

kendala yang menyulitkan saya dalam rangka penelitian. Suhu serta cuaca tersebut sedikit menganggu rencana yang telah saya susun.

Cara untuk sampai di lokasi penelitian harus dengan menggunakan angkutan umum atau angkutan pribadi. Angkutan umumpun hanya bisa ditemukan pada waktu pagi dan juga sore. Sebelum saya sampai di rumah ataupun lokasi penelitian, saya harus terlebih dahulu melewati simpang tiga di desa Huta Paung. Salah satu desa dengan penduduk Toga Marbun, Lumban Gaol terbanyak di Kabupaten Humbang Hasundutan. Dan berlanjut ke Desa Pollung, yang juga merupakan desa dengan penduduk marga Lumban Gaol lebih banyak dari marga lainnya. Seperti halnya Huta Paung, yang menjadi salah satu tempat berdirinya instansi pendidikan yaitu Sekolah Menengah Atas, di desa Pollung juga didirikan sebuah Sekolah Menengah Pertama. Dan tidak lebih dari 500 meter dari sana, akan ditemukan sebuah tugu Toga Marbun. Yaitu Lumban Gaol Sianggasana.

Salah satu keturunan dari marga Lumban Gaol yang pertama. Tugu ini merupakan salah satu tugu tertua di desa Pollung.

Di sebelah Barat desa Pollung, terdapat sebuah desa yang namanya Pancur Batu. Desa di mana mayoritas penduduk di sana bermarga Lumban Batu.

Dan sebelah Utara desa Pollung, kira-kira 4 km ke dalam, maka sampailah di desa Parsingguran. Desa yang terbagi menjadi 2 buah desa. Yaitu Parsingguran 1 dan juga Parsingguran II. Dalam hal itu, peneliti memilih Parsingguran II sebagai lokasi penelitian, selain karena peneliti adalah penduduk desa Parsingguran II, saya juga akan lebih muda mendapatkan data di Parsingguran II karena

(43)

masyarakatnya sudah mengenal peneliti dan peneliti juga telah mengenal mereka.

Karena sebelum penelitian berlangsung peneliti dan calon informan sudah menjalin hubungan dekat bahkan keluarga.

Pada hari pertama berlangsungnya penelitian, terlebih dahulu peneliti mengunjungi rumah Sekretaris Desa untuk meminta informasi dan data kependudukan desa Parsingguran II, dari jumlah penduduk, hingga jumlah dusun.

Namun untuk mendapatkan data tersebut, peneliti terkendala pada transportasi.

Karena jarak rumah peneliti dengan kediaman sekretaris desa terbilang cukup jauh, maka peneliti memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk bisa sampai di sana dengan berjalan kaki. Tersedia motor sebagai transportasi yang bisa digunakan peneliti yang difasilitasi oleh orangtua, tapi sangat disayangkan, peneliti sendiri tidak bisa mengoperasikan motor. Yang terjadi peneliti terkadang harus menumpang motor yang lewat jalan, mengganggu pekerjaan orangtua dengan meminta tolong diantarkan ataupun harus menempuh jarak itu dengan berjalan kaki.

Seperti jatuh tertimpa tangga pula, hari pertama peneliti melakukan penelitian desa Parsingguran II dan sekitarnya diguyur hujan deras yang menyulitkan segala aktifitas peneliti termasuk pekerjaan para petani di sana.

Meski terkena hujan, saya tetap melanjutkan langkah untuk sampai di rumah Skretaris Desa. Dengan pakaian yang sedikit basah saya tetap dipersilahkan masuk dan mengutarakan keinginan saya datang ke sana. Yang pertama saya

(44)

minta saat sampai di sana adalah data penduduk Parsingguran II perdusun. Dan kemudian beliau mengatakan:

"Begini saja ito, kalau kamu butuh datanya untuk skripsi kamu.

Lebih baik kamu ambil saja data yang lain sekaligus. Data mana yang kira-kira kampu perlukan untuk skripsi kamu. Kamu bisa cek sendiri di dalam labtop saya. Takutnya kamu bolak balik datang kemari dan itu bisa menyusahkan dan mengulur waktu kamu"

Mendengar itu saya langsung bersemangat, seolah mendapatkan durian runtuh. Saya langsung menyalin semua data yang kira-kira saya perlukan untuk skripsi. Tetap saya yang pada akhirnya menggunakan labtop tadi, karena meskipun sang Skretaris memilikinya, beliau tidak begitu paham dalam pengoperasiannya. Dan setelah mendapatkan apa yang saya inginkan, saya kembali ke rumah setelah dijemput oleh ayah saya. Usai makan malam saya membuka labtop dan mulai memeriksa kembali data yang tadi saya peroleh. Dan saat saya memeriksa data kartu keluarga setiap keluarga di Parsingguran II. Saya lumayan syok melihat isi semua kartu keluarga penduduk parsungguran 2. Dari awal saya memang telah mengira-ngira bahwa banyak dari penduduk Parsingguran II yang menikahi satu marga, tapi jumlah yang ada di data melebihi ekspektasi saya. Persentasi pernikahan semarga itu menurut saya terlalu tinggi.

Hari kedua saya kembali melakukan penelitian, saya berencana pergi. Namun sebelum prgi ayah saya mengatakan dalam bahasa Batak yang artinya

"Kamu ke rumah inang udah Melda saja, karena inang uda itu juga menikah semarga. Inang itu boru Banjarnahor sementara Uda itu Lumban Gaol"

(45)

Mendapatkan saran itu, saya pergi ke desa Lumban Hariara. Desa dimana Inang Uda tadi tinggal. Saya diantar ke sana dan bersyukur karena pada saat kami sampai, beliau masih di rumah. Belum pergi ke ladang seperti yang diketahui bahwa penduduk Parsingguran II adalah parpadot. Yang artinya rajin bekerja. Mereka tidak mau membuang waktu sedikitpun untuk bermalas-malasan di rumah. Begitupula Inang Uda Melda sebagai informan saya. Setelah kami saling menyapa dan saya mengutarakan maksud saya datang ke sana kamipun memulai perckapan. Setelah berlalu beberapa lama, sayapun tidak ingin menganggu waktunya lama, saya rasa data saya cukup, saya akhirnya izin untuk pulang. Beliau juga meberitahu saya beberapa tugu dari para marga Marbun yang dulu saling melakukan pernikahan. Dan sayapun melanjutkan kembali penelitian saya untuk pergi ke tempat di mana beliau mengatakan tugu Marbun yang dahulu saling menikah. Di sana mengambil beberapa gambar yang menunjukkan jika perkawinan semarga memang sangat banyak terjadi di desa ini.

Hari ketiga penelitian saya, saya pergi ke desa Huta Julu yang jauhnya kira-kira 3 km dari rumah saya. Di sana saya telah membuat sebuah janji dengan kakak saya yang juga menikah dengan sesama marga Marbun. Kakak saya ini adalah anak dari Bapa Tua saya, yang merupakan abang dari bapak saya. Ayah saya dan Bapa Tua tadi memiliki hubungan dari orangtua mereka yang kakak beradik. Dan dapat disimpulkan jika hubungan yang mengikat saya dan kakak sekaligus informan saya ini adalah oppung kami atau kakek dan nenek kami yang bersaudara. Di desa ini terdapat sawah yang dikerjakan oleh warga di sana.

Karena mata pencaharian di sana tidak hanya di dapat dari kopi, tetapi juga padi.

(46)

Umumnya marga yang ada di desa ini adalah marga Marbun Banjarnahor. Ada beberapa marga lain seperti Nainggolan, Lumban Gaol, Simamora, Sitohang.

Namun jumlah mereka tidak terlalu banyak. Bisa dibilang jika desa ini mayoritasnya Banjarnahor.

Melakukan penelitian di desa sendiri bukanlah hal yang begitu sulit, namun tidak sulit bukan berarti begitu mudah. Banyak hal yang saya lewati selama lebih dari 14 hari di Parsingguran dua untuk mengumpulkan data dan juga melakukan wawancara. Tidak semua hal yang saya rencanakan berjalan sesuai dengan yang saya harapkan, bahkan semua rencana saya cenderung lari dari hasil yang sudah saya ekspektasi. Ada satu hari di mana saat itu saya berencana ke Sibagaras, salah satu desa bagian dari Parsingguran II yang jarak dari rumah saya kurang lebih 600 meter. Saya menempuh jalan ke sana dengan berjalan kaki dengan membawa perlengkapan wawancara saya seperti alat tulis, ponsel dan juga kamera. Namun masih setengah perjalan saya tempuh, ditemani cuaca yang sangat dingin, tiba-tiba saja hujan turun yang membuat saya kesulitan mencari tempat berlindung. Tidak hanya untuk melindungi tubuh saya dari hujan dan kemungkinan sakit, tetapi juga melindungi ponsel pintar dan kamera saya yang sensitif akan air. Dipatok harga yang berbeda jauh, saya lebih dulu melindungi kamera dan berujung ponsel terkena air hujan dan untuk beberapa jam ponsel tersebut sempat padam. Beruntung ayah saya memiliki inisiatifuntuk menjemput dan pada akhirnya membuat saya membatalakan rencana saya melakukan wawancara dengan Mihar yang saya panggil dengan sebutan Tulang.

Gambar

Gambar 1.1 Peta Kabupaten Humbang Hasundutan
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut Desa di  Kecamatan Pollung, 2016
Foto 2.1 Sawah Penduduk Parsingguran II
Foto 2.3 Ladang Cabai Parsingguran II
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran dikatakan efektif jika setelah mengalami proses pembelajaran dengan perangkat yang dikembangkan menggunakan model Group Investigation berbasis RME jika (1)

Layanan Pengadaan Polda Bali Pokja Konstruksi pada Biro Sarpras, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Karosarpras Polda Bali Nomor : Kep /07/XI/2015 tanggal 23

[r]

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

KALENDER PENDIDIKAN DINAS PENDIDIKAN PROVINSI KEPRI HARI EFEKTIF DAN TIDAK EFEKTIF DIDALAM PENYUSUNAN1. TAHUN

Hari Jumat tanggal 15 Januari 2016 peneliti menyerahkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) penelitian untuk dikonsultasikan. Hari ini juga mengambil soal tes yang

Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Carvalho et al., (1996) telah menemukan bahwa rasio antara tebal dinding posterior ventrikel kiri dengan

Processed spectra (smoothing +Savitzky-Golay derivation) of coffee blend (Luwak- Arabica) with different content of adulterant (Arabica) in the range of 200-450