• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik

Kiking Rita rwa n

Ba g ia n Ne uro lo g i

FK-USU/RSUP H. Ad a m Ma lik Me d a n

Abstrak: Meningitis otogenik didefinisikan sebagai meningitis bakterial akut akibat penjalaran infeksi sekunder dari otitis media akut dan kronik, mastoiditis kronik, dan labirinthitis suppuratif. Faktor-faktor penyebab meningitis otogenik banyak antara lain virulensi bakteri, pelepasan sitokin (interleukin-1, interleukin-6, TNF alpha), perubahan permeabilitas dari sawar darah otak, serta menimbulkan kerusakan dari sel-sel neuron. Streptococcus pneumonia merupakan bakteri yang predominant sebagai penyebab meningitis otogenik. Haemophylus influenzae dan P.aeruginosa merupakan penyebab kedua dan staphylococcus aureus ataupun mikroorganisma lain merupakan penyebab yang terjarang. Penegakkan diagnosis meningitis otogenik didasarkan kepada gejala dan tanda klinis dan pemeriksaan laboratorium, terutama analisa cairan serebrospinal. Yang paling penting penegakkan diagnosa dengan suspek meningitis otogenik adalah penanganan penderita secepat mungkin. Adanya pengobatan dengan antibiotika yang adekuat serta tindakan operasi dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari meningitis otogenik.

Kata kunci: meningitis otogenik, meningitis bacterial akut, diagnosa dan pengobatan

Abstract: Otogenic meningitis can be defined as an acute bacterial meningitis that develop secondary to acute, chronic otitis media, chronic mastoiditis and related disorders. Many factors like bacterial virulence, release of cytokines (IL-1,IL-6, TNF alpha), change in blood brain barrier permeability and neuronal toxicity, contribute to the pathophysiology of the disease. Streptococcus pneumoniae is the predominant mocroorganism. Haemophylus influenzae dan P. aeruginosa being the second most important and staphylococcus aureus or other organism have been implicated rarely. The diagnosis of otogenic meningitis should be based on clinical symptoms, signs and laboratory findings, especially CSF features. It is important to emphasize that any patient with suspected otogenic meningitis should be managed properly as soon as possible. The disease continues to be an important cause of morbidity and mortality, and the introduction of antibiotic therapy and surgical procedures has significantly reduced both is morbidity and mortality.

Keywords: otogenic meningitis, acute bacterial meningitis, diagnosis, treatment

PENDAHULUAN

Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis.1

Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang melibatkan arakhnoid dan piamater. Sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak.1

Meningitis otogenik didefenisikan sebagai meningitis bakterial akut akibat penjalaran infeksi sekunder dari otitis media akut dan kronik, mastoiditis kronik,dan labirinthitis suppuratif. Komplikasi intrakranial dari otitis media masih

merupakan suatu problem yang penting. Penjalaran infeksi dari otitis dan mastoiditis bisa menimbulkan komplikasi intrakranial berupa meningitis, brain abscess, ekstradural abscess, lateral sinus thrombosis.2,3

Komplikasi intrakranial dari kasus-kasus otogenik paling sering ditemukan pada pasien-pasien dengan Meningitis otogenik. Akibat tidak adekuatnya pengobatan dengan antibakterial, banyak kasus dengan meningitis otogenik bisa berlanjut dan menimbulkan Mastoiditis kronik. Pada beberapa kasus, otitis dan mastoiditis bisa

menimbulkan Meningitis bakterial akut.3-5

Meningitis merupakan komplikasi intrakranial dari otitis media yang paling sering, kemudian diikuti dengan brain abscess. Menurut Kempf et

al (1998), melaporkan bahwa brain abscess

(2)

Adanya pengobatan antibiotika yang adekuat serta tindakan operasi dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari meningitis otogenik.4,6,7

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 600.000 kasus meningitis terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 180.000 kematian dan 75.000 gangguan pendengaran yang berat. Setidaknya 25.000 kasus baru meningitis bakterial muncul tiap tahunnya di Amerika Serikat, tetapi penyakit ini jauh lebih sering ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Sekitar 75% kasus terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 tahun.4

Menurut Mawson dan Dawes (1979), penderita yang mengalami meningitis otogenik akibat komplikasi dari otitis media berumur sekitar 10-20 tahun, sedangkan menurut Soeseno B (1987) penderita yang mengalami meningitis otogenik akibat komplikasi dari otitis media berumur sekitar antara 13 – 18 tahun.8

Herdiana dan Soeseno B (1996-1999), pada penelitian di RS Dr. Hasan sadikin Bandung, menjumpai 11 kasus penderita meningitis dari 4160 kasus Otitis Media Suppurativa Kronik (OMSK) yang datang berobat (0.26%) dengan usia termuda 2 tahun dan usia tertua 45 tahun. Perbandingan laki-laki dan wanita 8: 3.9

Prevalensi meningitis otogenik dilaporkan antara 19 – 51% pada kasus meningitis bakterial

akut.2 Sedangkan menurut Geyik et al (2002)

rasio meningitis oleh karena akut sekunder dan otitis media kronik pada kasus meningitis bakterial akut sekitar 21%.4 Kangsanarak et al

(1993) melaporkan kasus-kasus meningitis otogenik berasal dari komplikasi intrakranial

0.24% dan ekstrakranial 0.45%.5 Facial

Paralysis, subperiosteal abscess dan labirynthitis merupakan komplikasi dari group komplikasi ekstrakranial dan meningitis serta

brain abscess paling sering dijumpai pada group komplikasi intrakranial.5

PATOGENESIS DAN ETIOLOGI

Bakteria bisa menyebar ke meningens secara langsung, dari bagian parameningeal seperti sinus-sinus paranasal dan telinga bagian tengah. Kapsul polisakharida bakteri, lipopolisakharida, dan lapisan luar protein berperanan untuk invasi dan virulensi kuman.2,10-12

Bakteri dalam SSP akan mengaktifkan sel lain seperti mikroglia, yang dapat mensekresi

IL-1 dan TNF [tumor necrosis factor] alpha

yang akan dipertahankan sebagai antigen dan

dalam jalur imunogenik ke limfosit. Reaksi imun intra SSP ini memicu sebuah sirkulus sejak perangsangan netrofil untuk melepaskan protease dan mediator toksin lain seperti radikal

bebas O2, yang selanjutnya akan meningkatkan

jejas inflamasi pada sawar darah otak, sehingga memudahkan lebih banyak bakteri dan netrofil yang berada pada sirkulasi untuk masuk ke cairan serebrospinalis. Akhirnya respon inflamasi yang timbul pada meningitis bakterial

akan mengganggu Sawar Darah Otak [Blood

Brain Barier], menyebabkan vasogenik edema, hidrosefalus dan infark serebral. 11-14

Sedangkan mekanisme bagaimana bakteri dapat menembus sawar darah otak sampai saat ini belum jelas. Adanya komponen dinding sel bakteri yang dilepaskan kedalam cairan serebrospinal merangsang produksi dari sitokine inflamasi seperti

Interleukin 1 dan 6, prostaglandin dan TNF. Semua faktor inilah yang barangkali menginduksi terjadinya inflamasi dan kerusakan sawar darah otak.12

Perkembangan komplikasi intrakranial dari meningitis otogenik dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yakni:11

1. Penyebaran langsung infeksi melalui tulang yang berdampingan dengan selaput otak,

misalnya: osteomyelitis ataupun

cholesteatoma.

2. Penyebaran infeksi retrograde misalnya

thrombophlebitis.

3. Melalui jalan masuk anatomi normal, oval

window ataupun round window ke meatus akustikus internus, kokhlear dan aquaduktus vestibularis, dehisensi terhadap tulang yang tipis akibat malformasi congenital.

Streptococcus pneumonia merupakan bakteri yang predominant sebagai penyebab meningitis otogenik.14,15 Kaftan et al (2000)

mengatakan streptococcus pneumonia paling

sering sebagai penyebab komplikasi intrakranial otitis media sekitar 64% dan Barry et al (1999)

mengatakan sebanyak 69%.15

Haemophilus influenzae dan Pseudomonas aeroginosa merupakan penyebab kedua sebagai penyebab meningitis otogenik. Sedangkan mikroorganisma lainnya yang sering menyebabkan

meningitis otogenik adalah: Staphylococcus

aureus, Staphylococcus epidermidis, Proteus vulgaris, Salmonella, Mycobacterium, Aspergillus

dan Candida sebagai penyebab yang jarang.4,7,14-16

Bodur et al (2002) menemukan Proteus

(3)

tersebut pada abscess serebri.17 Kangsanarak et

al (1993) menemukan Proteus spp,

Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus

spp merupakan mokroorganisma yang paling

sering diisolasi pada otitis media suppurativa yang bisa menyebabkan komplikasi intrakranial dan ekstrakranial.2,5

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dari meningitis otogenik biasanya dijumpai kombinasi antara tanda dan gejala meningitis dan otogenik. Gejala klinis dari meningitis dijumpai adanya demam, sakit kepala, kaku kuduk, muntah, perubahan dari status mental ataupun kesadaran menurun. Sedangkan pada otogenik dijumpai adanya

otorrhoe, otalgi, gangguan pendengaran, dan vertigo.2,8,10

Kangsanarak et al (1993) menemukan

gejala awal dan tanda yang penting dari komplikasi intrakranial dari otitis media suppurativa antara lain: demam, sakit kepala, gangguan vestibular, gejala meningeal dan

penurunan kesadaran.5 Sedangkan Geyik et al

(2002) selain menemukan gejala dan tanda dari meningitis dan otogenik tersebut diatas, juga

dijumpainya gejala fasialis parese yang jarang

ditemui.4 Albers et al (1999) gejala dari

meningitis otogenis yang paling sering dijumpai

yakni adanya demam dan sakit kepala.6

DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis meningitis otogenik berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin, lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan

Head CT-scan. 2,4,8

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik:

- adanya penyakit telinga tengah yang

mendasarinya, seperti otitis media dan mastoiditis.

- Adanya tanda-tanda dan gejala

meningitis, seperti demam, kaku kuduk dan kesadaran menurun.

b. Laboratorium rutin:

- Adanya peningkatan dari lekosit dan

LED [laju endapan darah] yang menunjukkan proses infeksi akut “shift to the left

c. Lumbal Punksi:

Untuk membedakan meningitis bakterial, viral dan jamur.12

Ta b e l 1.

Meningkat Normal/ sedikit

meningkat

TBC : normal atau sedikit meningkat. AIDS + meningitis kriptokokkus:

meningkat

Mikroorganism Ada Tidak didapatkan Ada Æ jamur

CSF lactic acid > 35 mg/ dl < 35 mg/ dl > 35 mg/ dl

d. Foto Mastoid

Dapat dilihat gambaran opacity dengan

pembentukan pus, hilangnya selulae mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang gambaran abscess.4

e. Head CT-scan

Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral edema, hidrosefalus, abscess serebral, subdural empyema, dan lain-lain.2,4

DIAGNOSIS BANDING

1. Abscess Serebral

Merupakan radang suppurativa lokal pada jaringan otak dan penyebab yang terbanyak dari abscess di lobus temporal. Mikroorganisma penyebab bisa bakteri aerob dan anaerob.

Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli, pseudomonas merupakan organisma yang

terbanyak. Abscess Serebral dapat terjadi oleh

karena penyebaran bakteria piogenik secara langsung akibat infeksi dari otitis media, mastoiditis ataupun sinus paranasal. Gejala klinis dari abscess serebral: Nyeri kepala yang progressif, demam, muntah, papiledema, bradikardi, serta hemiparesis dan homonymous hemianopia.1,2,7,10

Pada pemeriksaan laboratorium dan cairan serebrospinal biasanya tidak memberikan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan CT scan tanpa

kontrast (Non-contrast Computerized

(4)

menyebar luas yang menggambarkan kongesti vaskuler dan edema pada pada pemberian

kontrast (Contrast Enhancement Computerized

Tomography/CECT) enhancement bisa dijumpai atau hanya sedikit. Dan pada perkembangan proses inflamasi selanjutnya terjadi perlunakan otak (softening) dan petechial hemorrhage, yang menggambarkan kerusakan sawar darah otak progressif. Pada stadium ini, CECT menunjukkan area bercorak yang tidak teratur yang enhance, terutama di gray matter.18,19

Dalam mengevaluasi serebritis tahap dini,

pemeriksaan MRI lebih akurat dari pada Head

CT-scan. Oleh karena sensitivitasnya terhadap perubahan kandungan air, MRI dapat mendeteksi perubahan infeksi pada fase permulaan dengan cepat. T1-W1 menunjukkan hipointensitas yang ringan dan efek massa. Sering terlihat sulkus yang menghilang. Pada T2-W1 nampak hiperintensitas dari area inflamasi sentral dan edema sekelilingnya.20

2. Empiema subdural

Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan dapat sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis ditandai dengan peninggian tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah proyektil dan kejang. Gambaran MRI dan CT scan akan membedakan kedua kondisi ini.7,10,14

3. Lateral Sinus Thrombosis

Merupakan suatu thrombophlebitis dari lateral sinus dan merupakan komplikasi intrakranial dari otitis media yang sangat berbahaya. Gejala klinis : demam yang

intermitten meningkat secara irreguler, kedinginan, nyeri kepala, anemia serta adanya tanda Greisinger’s [adanya edema pada daerah post auricular yang melalui vena emissary mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya papil edema.12,15,20

PENATALAKSANAAN

Penanganan penderita meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu diagnosa ditegakkan. Penatalaksanaan meningitis bakterial akut terbagi dua yakni penatalaksanaan konservatif/ medikal dan operatif.2,6-8,10 Pada lampiran 1. ada algorithme pengananan meningitis bakterial akut.11

A. TERAPI KONSERVATIF/MEDIKAL

A.1. Antibiotika

Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut ini pilihan antibiotika atas dasar umur: 12,16,19,20

Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.12,20

Beberapa dosis obat antibiotika (Tabel 3) berdasarkan identifikasi kuman:2,4,10,12,16

Ta b e l 2.

Be b e ra p a p iliha n a ntib io tika b e rd a sa rka n um ur d a n kum a n p e nye b a b

Usia Ba kte ri Pe nye b a b A ntib io tika

0-4 MINGGU Streptococcus group B, atau D, E. Coli, L.

momocytogenes, S. Pneumonia

* Ampicillin + cefotaxim atau * Ampicillin + Aminoglycoside *Acyclovir Æ H. Simplex encephalitis.

4-12 MINGGU Streptococcus group B atau D,

E. Coli, L. monocytogenes, S. Pneumonia, H. Influenzae

* Ampicillin + Cefotaxim/ Cefritriaxone * Chloramfenicol + Gentamycin * + Vancomycin

* + Dexamethason.

3BLN- 7 THN H. Influenzae, N.meningitides,

S.pneumonia

* Cefotaxim/ ceftriaxone

* +Vancomycin pada S. pneumoniae, resistant Cephalosporin

* Chloramfenicol + Vancomycin *+ deksamethason

7-50 TAHUN S. pneumoniae

N. meningitides L.monocytogenes

* Cefotaxime/ ceftriaxone + Ampicilin * Chloramfenicol + Trimethoprim/ sulfamethoxazole.

(5)

* Cefotaxim/ ceftriaxone + Vancomycin * Chloramfenicol/ Clindamycin/ meropenem

> 50 TAHUN S. pneumoniae, H. Influenzae,

Species listeria, P. aeruginosa, N. meningitides

* Cefotaxim/ ceftriaxone + Ampicillin

Bila prevalensi S. pneumonia resistant cephalosporin > 2% diberikan:

* Cefotaxime/ ceftriaxone + Vancomycin * Ceftazidime.

Ta b e l 3.

Be b e ra p a d o sis o b a t a ntib io tika b e rd a sa rka n kum a n

Na m a A ntib io tika Kum a n Pe nye b a b Do sis O b a t

Penicillin G H. Influenza, Pneumococcus,

Staphilococcus non PNC, dan Staphylococcus PNC

Dewasa : 20 million unit/ 6 jam (IV)

Anak-anak: 300.000 unit/ kg/ day (IV) dibagi 3- 4 dosis.

Chloramfenicol S. pneumoniae, H. Influenzae Dewasa : 4 gram/ hari (IV) dibagi 4 dosis

Anak: 100 mg/ kg/ hari (IV) dalam 4 dosis

Ampisillin S. Pneumonia, H. Influenzae Dewasa : 200 mg/kgBB/ hari (IV) dalam 4 dosis

Anak-anak: 200 mg/kgBB/ hari

Ciprofloxacin P. aeruginosa 400 mg/hari

Cefotaxime Streptococcus, stafilococcus,

Haemofilus dan Enterobakter

Dewasa : 12 gr/ hari (IV)

Neonatus < 1 minggu: 50 mg/kgBB/ 12 jam (IV).

Neonatus 1-4 mg: 50 mg/kg/ 8 jam (IV)

Bayi dan ank-anak: 50-100 mg/kg setiap 6 atau 8 jam (IV/IM)

Ceftriaxone H. Influenzae, N.meningitides,

S.pneumonia

Dewasa: 4 gram/ hari (IV)

Anak: 75 mg/ kg (IV) dibagi 2-3 dosis

Ceftazidine P. aeruginosa 6 gram / hari (IV)

Vancomycine Staphylococcus epidermidis Dewasa :2 gr/ hari (IV) selama 21 hari

Anak: 20-40 mg/kg/hari dibagi 2 dosis

Meropenem P. aeruginosa,

N. meningitides.

6 gram/ hari (IV)

(6)

TIDAK YA DUGAAN MENINGITIS BAKTERI

PAPIL EDEMA DAN/ ATAU DEFISIT NEUROLOGIK FOKAL

NEGATIF POSITIF

KULTUR DARAH

TERAPI ANTIBIOTIKA

EMPIRIS

CT Scan Kepala

LESI MASA NEGATIF LESI MASA POSITIF

DIAGNOSA ALTERNATIF KULTUR DARAH

DAN LUMBAL PUNKSI

ANALISA CSS MENINGITIS

PENGECATAN GRAM ATAU UJI ANTIGEN BAKTERI POSITIF

TERAPI ANTIBIOTIKA EMPIRIS TERAPI ANTIBIOTIKA EMPIRIS

A.2. Kortikosteroid

Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik fokal.2,4,10,12

Lebel et al (1988) melakukan penelitian

pada 200 bayi dan anak yang menderita meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0,15

mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika. Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason adalah lebih rendah dibandingkan kontrol.12

(7)

gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.11

B. TERAPI OPERATIF

Penanganan fokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh invasi bakteri.

Selain itu juga dapat dilakukan tindakan thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual

dan cerebellar abcess drainage yang diikuti

antibiotika broad spectrum dan obat-obatan

yang mengurangi edema otak yang tentunya akan memberikan outcome yang baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis media.10,13,14,17,18

KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang sering terjadi akibat meningitis otogenik adalah efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri, gejala sisa neurologis berupa paresis sampai deserebrasi, epilepsi maupun meningitis yang berulang. Pada anak-anak dapat mengakibatkan epilepsi, retardasi mental dan hidrosefalus akibat sumbatan pada saluran CSF ataupun produksi CSF yang berlebihan. Selain itu juga bisa terjadi

deafness.2,10,11,12-14

PROGNOSIS

Angka morbiditas dari otitis media suppurativa dengan komplikasi ekstrakranial dan intrakranial adalah 14,3 % dan 27,9 %. Gangguan gejala sisa neurologik dicatat sebanyak 14% pasien dan yang meninggal akibat komplikasi intrakranial otogenik sebanyak 14%. 5

Sejak era pemakaian antibiotika, angka mortalitas dari meningitis bakterial menurun tajam dan dilaporkan berada diantara 8%- 36%.

Sedangkan peneliti lain Kaftan et al (2000)

melaporkan angka mortalitas 10% dan Kangsanarak et al (1993) sekitar 18,6%.5,15

Geyik et al (2002) pada penelitian secara

univariat, melaporkan status koma pasien, pengobatan antibiotika yang tidak sempurna,

dan peningkatan erythrocyte sedimentation rate

(ESR) berhubungan secara singnifican dengan tingginya resiko kematian. 2,4

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams RD, Victor M, Ropper AH.

Principles of Neurology. 7

th

edition.

New York: McGraw-Hill;1997.

2. Machfoed MH. Otogenic Meningitis. Its Diagnosis and Treatment. Neurona. 2002; ,21:66-69.

3. Kempf HG, Wiel J, Issing PR, Lonarz T. Otogenic Brain Abscess. Laryngorhino-otologie. 1998. 77: 462-6.

4. Geyik MF, Kokoglu OF, Hosoglu S, Ayaz C . Acute Bacterial Meningitis as a complication of otitis media and related mortality factors. Yansei Med. J,2002.43:573-8.

5. Kangsanarak J, Fooanant S, Ruckphaopunt K, Navacharoen N. Teotrakul S. Extracranial and Intracranial complications of suppurative otitis media. Report of 102 cases. J. Laryngol Otol. 1993. 107: 999-1004.

6. Albers FW. Complication of otitis media: the importance of early recognition. Am J. Otol. 1999;20:9-12.

7. Kerr GA. Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th

edition. Great Brittain-Butterworth-Heinemann; 1997.

8. Bogi S, Teti M. Tinjauan kasus otogenik meningitis. Kumpulan Proceding Pertemuan Ilmiah PERHATI. Surakarta.1988.hal.152-5.

9. Herdiana, Bogi S. Meningitis Otogenik. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati. Semarang. 1999. hal. 795-806.

10. Ballenger JJ. Komplikasi Penyakit Telinga. Dalam: Ballenger JJ. Ed. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. h. 432-61.

11. Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. The Lancet 1985. 346: 1675-80.

12. Baoezier F. Meningitis. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan On Neurology 2002. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR/ Dr. Sutomo. 2002:1-20.

13. Helmi, Zainul AD. Panduan

Penatalaksanaan Otitis Media Kronik di Indonesia. Jakarta: PERHATI-KL.2002.

(8)

Disease of the Nose, Throat and Ear. Edisi ke-7. New Delhi: PG Publishing Pte Ltd. 1990. h. 304-16.

15. Kaftan H, Draf W. Intracranial otogenic complication inspite of therapeutic progress still a serious problem. Laryngorhinootologie. 2000; 79: 609-15.

16. Davis LE. Acute Bacterial Meningitis. In: Johnson RT, Griffin JW. Current Therapy

in Neurologic Disease. 5th edition.

USA:Mosby-Year Book,Inc;1997.p.120-31.

17. Bodur H, Colpan A, Gozokucuk R, Akinci E, Cevik MA, Balaban N. Venous sinus thrombosis after Proteus Vulgaris meningitis and concomitant Clostridium abscess formation. Scand J. Infect Dis. 2002;34:694-6.

18. Paparella MM, Shumrick DA, Glukman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology. Volume II: Otology and Neuro-otology. Edisi ke-3. Philadelphia:WB Saunders Company. 1990

19. Lipman J. Meningitis and

encephalomyelitis. In: T E Oh. Editors.

Intensive Care Manual. 4th edition.

Butterworth Heinemann. 1997. p. 416-22.

20. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd edition.

Referensi

Dokumen terkait

banyak terjadi pada pasien terinfeksi HIV karena melemahnya permeabilitas sawar darah otak sehingga monosit lebih mudah melewati sawar darah otak dibandingkan individu

Bayi dan anak dengan meningitis tight junction terbuka sehingga bakteri masuk dalam cairan serebrospinal, terjadi reaksi radang dan menyebabkan permeabilitas.. sawar darah

Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuron otak, selanjutnya

Kadar protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak ( blood barin barrier ), sawar darah otak hilang biasanya terjadi pada

Sedangkan ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri,seperti

Penelitian lain berupa penelitian kohort retrospektif pada 286 pasien meningitis bakteri didapatkan bahwa pemberian antibiotika yang cepat dan adekuat

Sedangkan ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri,seperti

Hal ini sesuai dengan teori bahwasanya tekanan darah tinggi menginduksi kerusakan mikrovaskular berlanjut mikrohemoragik hingga menembus sawar otak dan terjadi neuroinflamasi yang