• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapatasi Budaya Pada Masyarakat Saribudolok ( Kasus: Proses Adaptasai Bahasa Batak Toba, Karo Dan Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Adapatasi Budaya Pada Masyarakat Saribudolok ( Kasus: Proses Adaptasai Bahasa Batak Toba, Karo Dan Simalungun)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ADAPATASI BUDAYA PADA MASYARAKAT

SARIBUDOLOK

( Kasus: Proses Adaptasai Bahasa batak Toba, Karo dan Simalungun)

SKRIPSI

Oleh

Eka Kristiani Damanik

020901024

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

Masyarakat Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai dari sub-etnis Batak, dimana setiap etnis mempunyai kebudayaan yang berbeda. Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang dapat menunjukkan jati diri seseorang. Akan tetapi apa yang terjadi apabila dalam masyarakat yang majemuk itu tidak mempunyai alat komunikasi dalam berinteraksi. Bahasa adalah salah satu alat dalam berinteraksi, oleh sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat yang majemuk mempunyai bahasa persatuan dalam satu daerah. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti bagaimana proses adaptasi bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun yang terjadi pada masyarakat Saribudolok yang majemuk sehingga menimbulkan masyarakat yang madani tanpa menimbulkan konflik.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Alat pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Melalui metode deskriptif dengan panduan teori adaptasi Sosial, interaksi dan Sosiolinguistik, penelitian ini dilakukan terhadap 17 orang informan, dengan tujuan menggambarkan bagaimana proses adaptasi Bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun pada masyarakat Saribudolok. 17 informan ini terdiri dari dua kategori, yaitu penduduk pendatang (Suku Batak Toba dan Karo) dan penduduk asli (Suku Simalungun) yang dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada an Yesus Kristus, karena atas berkat-Nya dan rahmat-Nya yang senantiasa menyertai dan memberkati penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan juga pada saat penyusunan skripsi yang berjudul: “Adaptasi Budaya

Pada Masyarakat Saribudolok ( kasus: Proses Adaptasi Bahasa Batak Toba, Karo

dan Simalungun)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar

Sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menghadapi berbagai hambatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman, kepustakaan dan materi penulis. Namun, berkat pertolongan Tuhan Yesus Kristus yang memberi ketabahan, kesabaran, dan kekuatan kepada penulis dan juga para teman-teman yang selalu memberikan motivasi, dukungan pada saat-saat penulis mengalami kesulitan. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi serta dukungan Doa dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. DR. Arief Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

(4)

3. Ibu Rosmiani, MA, selaku sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Dan juga sebagai dosen tamu dalam ujian komprehensif penulis.

4. Bapak Drs. Junjungan Simanjuntak, Msi, selaku dosen wali sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis, yang telah membimbing penulis semenjak semester pertama sampai pada penyelesaian skripsi ini. Dimana dengan begitu banyaknya kesibukan, beliau masih bersedia meluangkan waktu kepada penulis untuk memberikan masukan berupa nasehat maupun materi yang berguna dalam penulisan skripsi ini. 5. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen Sosiologi dan

dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai materi selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU.

6. Secara khusus dan teristimewa kepada kedua orang tuaku yang tercinta Almarhum Ayahanda J. Damanik dan Ibunda L. br. Purba Siboro yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan didikan dan disiplin sejak penulis masih kecil, nasehat, memberikan motivasi dan memberikan perhatian yang besar bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

(5)

8. Terimakasihku yang sangat besar buatmu abang dan kekasih hatiku R.E.Marselinus Pakpahan yang selalu setia menunggu, memotivasi adikmu yang keras kepala ini. Makasi bangat ya bang

9. Tidak lupa juga buat abagku Sony Manik yang begitu dekat denganku yang sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Makasi ya bang atas bantuanmu selama ini ketika aku dilapangan.

(6)

11.Kepada anak-anak Sos stambuk ’03, 04 dan Stambuk 05 thanks ya

12.terimakasihku ucapkan lagi teman-teman dari kecil aku sampai sekarang yang selalu memberiku semangat dan semangat lagi Iren ( hayo kamu pasti bisa nyusul temanmu ini tinggal kita Berdua lho), erita , masdalena

juantry, elsa, erna, Joy, Togen, Salom, Hotjama dan Tanda H.s. (pulanglah kami rindu), ibanku radon dan lian makasi juga ya. Khusus buatmu toni temanku yang terbaek yang tidak pernah lelah menemaniku dalam perbaikan skiripsiku ini makasi bangat ya.

13. terimakasihku juga buat teman-teman satu kost kak des, kak masda, laskar, pida, citra, lamhot dan dina dan buat castry juga dan enika.

14. Kepada seluruh informan penelitian ini yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberi informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian, dan penulis dapat menyusun laporan penelitian yang berbentuk skripsi ini.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran begitu juga waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari para pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Mei 2008 Penulis

(7)

1.2 Perumusan Masalah ……… 3

1.3 Tujuan Penelitian ……… 4

3.2 Lokasi Penelitian ……… 21

3.3 Unit Analisis dan Informan ……… 21

3.4 Teknik Pengumpulan Data ……… 22

3.5 Interpretasi Data ……… 23

3.6 Jadwal Kegiatan ……… 24

3.7 Keterbatasan Penelitian ……… 25

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 26

4.1.1 Sejarah singkat Kelurahan Saribudolok………26

4.1.2 Letak dan Keadaan Wilayah……… ……… 27

4.1.2.1 Kondisi Iklim dan Letak Geografis……... ……… 27

4.1.2.2 Batas dan Luas Wilayah ……… ……… 28

(8)

4.1.3.1 Komposisi penduduk berdasarkan Suku ……… 31

4.1.3.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan umur ……… 32

4.1.3.3 Jumlah penduduk berdasarkan agama….……… 33

4.1.3.4 Jumlah penduduk berdasakan pendidikan……… 34

4.1.3.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata pencaharian………. 34

4.1.4 Sarana dan Prasarana ………...……… 37

4.1.4.1 Sarana Kesehatan ……… 37

4.1.4.2 Sarana Ibadah ……… 37

4.1.4.3 Sarana Pendidikan……….... 38

4.2 Profil Informan……….. ……….39

4.3. Pembahasan Penelitian………. ……… 48

4.3.1. Kekerabatan Pada Masyarakat Saribudolok... 48

4.3.2. Kehidupan Masyarakat Majemuk Di Kelurahan Saribudolok…………..49

4.3.2.1 Pandangan suku Simakungun Tentang Kahidupan Bersama…………..50

4.3.2.2 Pandangan Suku Toba Terhadap Kehidupan Bersama………56

4.3.2.3 Pandangan Suku Karo Tantang Kahidupan Bersama………..58

4.3.3 Proses Adaptasi Bahasa...………61

4.3.3.1 Faktor- faktor yang mempercepat Proses Adaptasi………..61

4.3.3.2 Pengaruh Proses Adaptasi Terhadap Bahasa Ibu……….65

4.3.3.3. Manfaat Proses Adaptasi………71

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ……… 76

5.2 Saran ……… 78

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jadwal Kegiatan ………. 24

2. Luas Wilayah Menurut Nagori/ Kelurahan Di Kecamatan Silimakuta………. 28

3. Penyabaran Panduduk Bardasarkan Urung Warga (Lingkungan)………. 29

4. Perbandingan Jumlah Panduduk Berdasarkan Suku ………. 32

5. komposisi penduduk berdasarkan umur dan kelompok kerja………..32

6. Perbandingan Jumlah Panduduk Berdasarkan agama………. 33

7. komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………..34

8. komposisi penduduk berdasarkan mata pancaharian………36

9. Sarana Kesehatan………..37

10.Sarana Ibadah………38

(10)

ABSTRAKSI

Masyarakat Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai dari sub-etnis Batak, dimana setiap etnis mempunyai kebudayaan yang berbeda. Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang dapat menunjukkan jati diri seseorang. Akan tetapi apa yang terjadi apabila dalam masyarakat yang majemuk itu tidak mempunyai alat komunikasi dalam berinteraksi. Bahasa adalah salah satu alat dalam berinteraksi, oleh sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat yang majemuk mempunyai bahasa persatuan dalam satu daerah. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti bagaimana proses adaptasi bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun yang terjadi pada masyarakat Saribudolok yang majemuk sehingga menimbulkan masyarakat yang madani tanpa menimbulkan konflik.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Alat pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Melalui metode deskriptif dengan panduan teori adaptasi Sosial, interaksi dan Sosiolinguistik, penelitian ini dilakukan terhadap 17 orang informan, dengan tujuan menggambarkan bagaimana proses adaptasi Bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun pada masyarakat Saribudolok. 17 informan ini terdiri dari dua kategori, yaitu penduduk pendatang (Suku Batak Toba dan Karo) dan penduduk asli (Suku Simalungun) yang dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di sekitar lingkungan kita. Perpindahan yang kita temukan seperti perpindahan penduduk dari negara yang satu ke negara lain, perpindahan dari pulau yang padat penduduknya kepulau yang jarang penduduknya atau perpindahan dari desa ke kota.

Akan tetapi perlu penulis tegaskan bahwa perpindahan yang dimaksud di sini adalah perpindahan suku bangsa yang mendiami satu wilayah. Berdasarkan penelitian Mochtar Naim, ada beberapa suku bangsa di Indonesia yang mempunyai mobilitas perpindahan penduduk yang cukup tinggi, seperti Minangkabau, Banjar, Bugis dan suku Batak.

Indonesia merupakan negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa daerah serta latar belakang yang budaya yang tidak sama. Perpindahan penduduk yang terjadi ini akan meyebabkan munculnya suatu interaksi antara penduduk pendatang dengan penduduk asli. Interaksi menghasilkan proses adaptasi budaya, yang akan menyebabkan banyak terjadi perubahan budaya bagi penduduk asli maupun bagi penduduk pendatang. Perubahan tersebut tampak pada kebiasaan, acara adat istiadat, sistem kekerabatan, kepercayaan dan bahasa.

(12)

Batak. Batak terdiri dari 6 sub suku bangsa yang dibagi secara geografis, yaitu: batak Toba, Karo, Simalungun, Angkola, Mandailing dan Pak-Pak.

Saribudolok adalah daerah yang dikenal sebagai daerah pertanian yang letaknya berbatasan dengan daerah Karo dan Daerah Sidikalang, karena letaknya yang berada diantara dua daerah maka Saribudolok tidak luput dari masyarakat pendatang yakni suku Batak Toba dan Karo. Saribudolok dapat juga dinyatakan sebagai desa dengan masyarakat majemuk. Kemajemukan suku bangsa sebuah daerah berdampak pada perubahan budaya daerah dan bahasa yang digunakan.

Bahasa adalah hal terpenting dalam menjalin hubungan harmonisasi antara individu yang satu dengan individu yang lain karena tanpa adanya bahasa maka tidak akan terjadi komunikasi. Maka dengan demikian interaksi antara pendatang dan penduduk asli tidak akan bisa hidup berdampingan apabila setiap suku memakai bahasa daerah masing-masing. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya konflik yang terjadi akibat salah paham maka dalam suatu daerah yang majemuk memerlukan proses adaptasi bahasa.

Proses adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun, dimana masing-masing etnik berdiam diri tanpa melakukan adapatasi. Pada umumnya adaptasi yang paling sering terjadi adalah adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap penduduk asli.

(13)

masyarakat Simalungun sebagai penduduk asli di Kelurahan Saribudolok yang pada umumnya menguasai atau setidaknya mengerti bahasa daerah dari suku pendatang tersebut khususnya bahasa Karo dan Batak Toba. Dikatakan juga sebagai model saling adaptasi budaya karena banyak juga penduduk pendatang yang sudah menguasai bahasa daerah setempat yaitu Bahasa Simalungun.

Suku Simalungun adalah sebagai objek dalam penelitian di dalam proses Adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Suku Simalungun merupakan penduduk asli di Kelurahan Saribudolok sedangkan suku Jawa, Karo, batak Toba dan etnis China adalah penduduk pendatang. Dalam beberapa kasus dinyatakan bahwa penduduk pendatanglah yang melakukan adaptasi bahasa akan tetapi di desa ini penduduk asli (dominant Kultur) yang pertama sekali yang melakukan adaptasi bahasa.

Hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan penulis tertarik untuk meneliti Proses Adaptasi Bahasa Karo, batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun.

1.2. Perumusan masalah

(14)

1.3. Tujuan penelitian

Secara umum kegiatan penelitian dilakukan dengan suatu tujuan pokok yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian guna mengungkap fenomena- fenomena sosial tertentu.

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana proses adaptasi bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun.

1.3.2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam Proses Adaptasi Bahasa.

1. 4 . Manfaat penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian pastinya penelitian ini mempunyai manfaat bagi penulis.

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1. 4. 1. Manfaat teoritis

a. Untuk meningkatkan kemampuan berfikir peneliti melalui karya ilmiah, sekaligus penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. b. Untuk lebih memahami masalah-masalah dalam masyarakat dalam

mengadapatasikan dirinya dalam berkomunikasi melalui bahasa ditinjau dari kajian sosiologis.

(15)

a. Data- data yang diperoleh nantinya dari lapangan dapat dimanfaatkan bagi pihak- pihak yang berkepentingan.

b. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian yang selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

1. 6. Defenisi Konsep

Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah; 1. 6 1. Adaptasi

Merupakan proses penyesuaian diri dan motivasi yang kuat serta strategi yang dilakukan supaya tetap bertahan hidup di daerah perantauan bagi masyarakat pendatang dan strategi untuk mempertahankan kekuasaan bagi masyarakat asli.

1.6.2. Bahasa

Merupakan alat yang dipakai oleh penduduk untuk berinteraksi melalui proses komunikasi.

1.6.3 Bahasa daerah

Merupakan alat komunikasi berbentuk bahasa, dari suku dan daerah asal masyarakat tertentu.

1.6.4. Adaptasi Bahasa

(16)

1.6.5. Kebudayaan

Semua hasil pikiran manusia yang dituangkan dalam kehidupan sehari-hari dan meliputi cipta, rasa masyarakat dimana bentuk kebudayaan yang dimaksud disini adalah bahasa.

1.6.6. Interaksi

Yaitu adanya hubungan antara pendatang dengan penduduk asli dalam proses sosialnya menggunakan perpaduan bahasa yang berbeda.

1.6.7. Biligualisme

(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Menurut Hassan Shadly (dalam Mansyurdin SH, 1994:43) mendefenisikan masyarakat adalah sebagai golongan besar dan kecil manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh dan pertalian kebatinan yang terjadi dengan sendirinya disini menjadi unsur yang sine qua non (yang harus ada) bagi masyarakat. Masyarakat bukannya ada dengan hanya menjumlah adanya orang-orang saja, diantara mereka harus ada pertalian satu sama lain.

Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 1982 :22) menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Akan tetapi bedanya adalah bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat adalah berbeda, bedanya hanyalah bahwa kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna daripada kebudayaan lain dalam memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya.

(18)

dari ahli sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai Cultural Universals, yaitu:

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia

2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi. 3. Sistem kemasyarakatan.

4. Bahasa. 5. Kesenian.

6. Sistem pengetahuan. 7. Religi.

(19)

menjadi angggota masyarakat berlainan, maka dia akan sadar bahwa adat istiadat kedua masyarakat adalah tidak sama..

Para perantau yang datang dan tinggal serta enetap di luar daerah asalnya, akan selalu disertai dengan poa tingkah laku dan sikap tertentu. Dalam mlakuka perpindahan suku bangsa pendatang akan turut membawa adapt-astiadat, norma dan berbagai bentuk organisasi sosial kedalam lingkungan sosial budaya setempat. Budaya setempat ini bisa merupakan sesuatu yang baru bagi suku pendatang. Ditempat tujuan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari daerah asal akan mengalami perubahan termasuk orientasi terhadap kampong halaman ( Naim : 73 ).

(20)

budayanya dari jamahan atau pengaruh kebudayaan dari luar khususnya unsure budaya luar yang bersifat negative. Untuk mempertahankan agar suku bangsa pendatang dapat hisup bertahan di daerah lain, setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan untuk itu umunya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan itu melengkapi manusia denga cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan fisiologis dari badan dari mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun ligkungan sosialnya menurut R. Ember dan M. Ember dalam ( Ihromi 1987:28 )

Menurut Suharso (1997:48) didalam kebudayaan itu manusia memiliki seperangkat pengesahan yang dipakai untuk memahami serta menginpretasikan dan mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Manusia yang mempunyai pengetahuan, kebudayaan yang dipakai sehubungan dala menhadapai kebudayaan asal sku setempat. Pengetahuan itu tentunya banyak mendukung terhadap proses adaptasi. Manusia berusaha untuk menyesuaikan dirinya di lingkungan yang baru karena didorong untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhab itu sifatnya mendasar bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Jika manusia itu berhasil dalam memenuhi kebutuhannya maka dia akan merasa puas dan apabila tidak maka akan menimbulkan masalah.

Pada dasarnya, manusia mengenal kebutuhan akan biologis dan kebutuhan sosial phsikologis, beberapa kebutuhan ang harus diperhatikan itu adalah:

1. kebutuhan memperolh kepuasan biologi, seperti: makan, minum dan tempat tinggal.

2. kebutuhan akan harga diri.

(21)

4. kebutuhan untuk dikenal.

5. kebutuhan memperoleh prestasi dan posisi.

6. kebutuhan untuk dibutuhkan orang lain dan memperoleh kasih saying. 7. kebutuhan merasa bahagia dalam kelompok.

8. kebutuhan rasa aman dan perlindungan diri.

9. kebutuhan kemerdekaan diri. ( Depdikbud 1984:12 )

Kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam mengadaptasikan dirinya adalah tuntutan kebutuhan akan merasa aman, untuk dikenal dan memperoleh harga diri.

Proses adapatasi bangsa suku bangsa tertentu sehingga adapat diterima dilingkungan yang baru, akan memakan waktucukup yang lama sehingga dapat hidup serasi. Suku bangsa pendatang dapat bkerjasama untuk tujuan tertentu dengan suku setempat. Menurut Suyatno ( 1974: 15 ) proses adaptasi akan cepat terjadi apabila suku bangsa pendatang lebih terbuka terhadapa budaya suku setempat.

(22)

harmonis dan saling menguntungkan sehingga dapat menciptakan alkulturasi, asimilasi dan amalgamasi, sedangkan negative bila ada perbedaan sikap dan kadangkala menjurus kepada konflik.

Sebagai penyebab adanya sikap prasangka maupun streotip karma memiliki hubungan emosional yang menyangkut kelompok suku bangsa dan sebagai penyebabnya adalah alam kaitannya denga hubungan antara kelmpok minoritas dan mayoritas yaiu:

1. kekuasaan factual yang terlihat hubungan antara gologa minoritas dan golongan mayoritas.

2. fakta akan perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. 3. fakta mengenai kesempatan untuk berusaha pada kelompok mayoritas da

minoritas.

4. fakta mengenai unsure geografis, dimana keuargaminoritas menduduki daerah tertentu.

5. fakta mengenai posisi an peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasa oleh kelompok minoritas.

6. potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas daam mempertahankan kehidupannya (Mar”at 1981:114)

(23)

dirinya dengan lingkungan yang baru, baik itu lingkungan sosial budaya maupun fisiknya. Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan di. lingkungannya

Seperti yang sudah dikemukan sebelumya bahwa masyarakat itu tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, akan tetapi masalah yang akan dihadapai adalah bahwa bangsa Indonesia adalah beranekaragam kebudayaannnya sesuai dengan suku bangsa masing-masing. Masalah suatu keanekaragaman tersebut adalah dilihat dari unsur Bahasa. Bahasa adalah merupakan salah satu unsur yang ada dalam kebudayaan, dimana bahasa adalah hal yang terpenting dalam melakukan suatu interaksi dalam masyarakat yang berbeda budayanya.

Manusia telah mempunyai naluri untuk melakukan interaksi dengan sesamanya semenjak ia dilahirkan didunia. Interaksi sesama manusia merupakan suatu kebutuhan ini adalah akibat bahwa manusia itu adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa interaksi dengan manusia lain tidak akan dapat bertahan hidup. Dalam buku sosiologi suatu pengantar, Soerjono Soekanto (1986 : 498 ) mengutip defenisi Gillian dan Gillian dalam buku mereka Cultural

Sosiology yakni interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang

menyangkut hubungan antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial merupakan konsep yang penting dalam sosiologi. Istilah tersebut secara kontak timbal balik atau interstimulasi dan respons antara individu-individu dan kelompok. Adapun ciri-ciri dari interaksi sosial adalah:

(24)

3. Adanya suatau dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung. Adanya suatau tujuan tertentu.

Hal ini sejalan dengan kutipan Soekanto (1990) yaitu interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia”. Lebib lanjut Soekanto (1990) menyatakan ; “ Suatu interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu: kontak sosial untuk berhubungan dengan orang lain dan komunikasi yaitu perasaan yang ingin disampaikan dan memungkinkan adanya kerjasama”.

Menurut Kimbal Young dan Raymond W. Mack ( dalam Soekanto 1982: 58) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa adanya interaksi, tak akan mungkin ada kehidupan bersama; interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-syarat agar interaksi berjalan dengan baik., yaitu:

1. Kontak 2. Komunikasi

Kata kontak berasal dari bahasa Latin con atau cum ( yang artinya bersama-sama) dan tango ( yang artinya menyentuh); jadi artinya secara harafiah adalah “ bersama-sama menyentuh secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan pihak lain tanpa menyentuhnya, seperti dengan berbicara dengan pihak lain.

(25)

lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Kontak dapat terjadi secara langsung yakni melalui gerak dari fisikal organisme

( action of physical organism ), misalnya melalui pembicaraan, gerak, isyarat dan dapat

pula secara tidak langsung, misalnya melalui tulisan atau bentuk komunikasi jarak-jauh, seperti dengan telepon, chatting, dan sebaginya. Sebagaiman yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner dalam Taneko ( 1990:110), interaksi itu adalah suatu aksi dan reaksi diantara orang-orang, jadi tidak memperdulikan secara berhadapn muka secara langsung ataukah melalui symbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu adalah tercakup dalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan satu atau lebih bentuk respons.

Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu muncul apabila seseorang individu memberikan tafsiran tadi, lalu seseorang itu mewujudkan dengan perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingun disampaikan oleh orang lain. Sehubungan dengan komunikasi, Schlegel berpendapat bahwa manusaia adalah mahluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, mentafsirkan makna-makna, obyek - obyek di dalam kesadarannya, dan memutuskan bagiamana dia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu ( Tanneko,1990 :75 ). Gerungan ( 2002 : 57), seorang sarjana psikologi mengatakan bahwa interaksi sosial dirumuskan sebagai berikut: yaitu suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu yang satu mempengaruhi, merubah atau memperbaiki kelakuan individu lain atau kebalikannya.

(26)

. Interaksi tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila dalam suatu kelompok masyarakat tidak terdapat suatu alat pemersatu dalam menyatukan keanekaragaman. Salah satu alat pemersatu adalah bahasa. Bahasa adalah salah satu symbol dalam menentukan komunikasi. Akan tetapi apa yang dilakukan apabila dalam masyarakat majemuk tersebut membawa bahasa masing-masing dalam berinteraksi, maka yang akan terjadi adalah konflik. Untuk menghindari terjadinya konflik maka yang harus diadakan adalah penyesuaian setiap bahasa daerah tersebut ( adaptasi bahasa ).

Soerjono Soekanto (Soekanto,2000:10-11)memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adapatasi merupakan proses penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.

(27)

1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2. Menyalurkan ketegangan sosial.

3. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. 4. Bertahan hidup.

Proses adaptasi biasanya paling sering terjadi di daerah yang masyarakatnya adalah majemuk dimana kemajemukan ini diakibatkan oleh adanya migrasi. Para migrasi dapat membawa dampak bagi daerah tempat dia bermigrasi. Hal ini dapat kita lihat terjadinya perubahan bahasa. Sebagai akibat adaptasi yang dilakukan melalui interaksinya maka dapat mengakibatkan masyarakatnya menjadi bilingualistik atau multilingualisme.

Terjadinya keragaman bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang Keanekabahasan (bilingualisme maupun multilingualisme) tidak homogen, tetapi juga atau variasi karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan juga beragam. Setiap kegitan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang banyak, serta dalam wilayah yang luas ( Chaer 2004: 61)

(28)

untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dapat menggunakan lebih dari dua bahasa/banyak bahasa). Dimana bilingualisme dan multingualisme merupakan model yang sama .

Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian dapat menimbulkan sejumlah masalah ( Chaer, 2004 : 85 )

1. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual.

2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini?

3. Apakah bahasa dalam pengertian langue atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.

4. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian artinya kapan dia harus menggunakan B1-nya dan kapan pula harus menggunakan B2-nya.

5. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya atau sebaliknya.

6. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur.

(29)

untuk mengetahui bahasa orang lain yang disebut bahasa kedua (B2). Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk pertama sekali orang tersebut tidak akan bisa dapat langsung menguasai B2 sebaik B1 karena harus berjenjang dari hanya mulai mengerti sampai pada tahap penguasaan B2-nya sama seperti B1-nya.

(30)

alasan tertentu. Misalnya dalam bisnis dagang (tetapi bagi penutur bilingual yang B1-nya Bahasa Sunda dan B2 Bahasa Jawa haB1-nya dapat menggunakan B2-B1-nya itu untuk orang jawa).

Kita berasumsi bahwa penguasaan terhadap B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari yakni setelah menguasai B1.

Bagi seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B1 karena menguasai B2 hal ini dapat terjadi kalau si penutur bilingual dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya atau hal ini dapat terjadi apabila si penutur bilingual untuk jangka waktu yang lama tinggal di masyarakat penutur yang berbeda. Misalnya orang Batak Toba yang tinggal di daerah Simalungun, dimana masyarakat tutur Toba hanya memungkinkan menggunakan B1 dalam ruang lingkup keluraga sedangkan dalam bahasa sehari-hari dipergaulan penutur tersebut harus menggunakan bahasa setempat sehingga dalam jangka waktu yang lama bahasanya bisa berubah.

(31)
(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dimana penelitian ini mencoba untuk menggambarkan atau melukiskan bagaimana Proses Adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun yang dilakukan oleh masing- masing suku. Penelitian ini hanya untuk mengungkapkan suatu permasalahan, keadaan dan peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta (fact finding).

3.2. Lokasi penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatrra Utara. Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian tersebut adalah atas pertimbangan, bahwa penduduknya adalah majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan penduduknya diketahui dapat menguasai beberapa bahasa daerah sehingga memudahkan peneliti untuk meneliti Bagaimana Proses adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun pada masyarakat Saribudolok

3.3. Unit Analisis dan Informan

(33)

ini adalah para penduduk yang dapat menguasai bahasa daerah baik yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut:

3.4.1. Data primer

Merupakan jenis data pertama yang diperoleh dari lapangan yang diperoleh melalui:

3.4.1.1.Observasi

Yaitu peneliti mengadakan pengamatan secara langsung serta ikut mengambil bagian dalam obyek penelitian untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara langsung ke lapangan mengenai pemakaian bahasa yang dilakukan oleh penduduk setempat dalam berinteraksi yang berada di kawasan Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun.

3.4.1.2.Wawancara Mendalam

(34)

3.4.2. Data sekunder

Merupakan jenis data yang kedua (data pelengkap) untuk mendukung data primer diperoleh melalui studi kepustakaan, seperti buku-buku, jurnal, makalah, surat kabar, internet dan dokumentasi.

3.5. Interprestasi Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema (Moleong, 2002 : 103 ).

(35)

Tabel 1

3.6. Jadwal Kegiatan

KEGIATAN Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6

Pra Penelitian

Penyusunan

Proposal

Perbaikan

Proposal

Persiapan :

Pengurusan

Izin

Penyiapan Instrumen

Penelitian

Penelitian :

Wawancara dan Observasi

di Lapangan

Pasca

Penelitian :

Analisis Data

Penyusunan

(36)

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini termasuk pembuatan surat izin penelitian; terbatasnya data sekunder atau tambahan melalui buku, dokumen dan jurnal yang mendukung terhadap penelitian yang telah dilaksanakan; dan adanya keterbatasan waktu dari para informan. Keterbatasan dalam pengurusan dan pembuatan surat izin penelitian adalah begitu banyaknya rentetan jalur pengurusan surat izin penelitian yang harus peneliti jalani sehingga menyebabkan lamanya waktu yang peneliti habiskan untuk mengurus surat baik di lingkungan fakultas, birokrasi pemerintahan tempat peneliti melakukan penelitian yang terlalu berhati-hati dalam memberikan izin penelitian.

(37)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1.1. Sejarah Singkat Kelurahan Saribudolok

Saribudolok, saribu artinya seribu, dolok artinya bukit. Jadi Saribudolok dapat diartikan sebagai suatu daerah yang terdiri dari seribu bukit, wilayah Saribudolok terbentuk sekitar tahun 1928 yang dipimpin oleh Marga Girsang. Lokasi yang pertama sekali ditempati oleh Sipungka Huta (pembuka kampung) disebut dengan Sardolok

Atas. Dikatakan Sardolok Atas karena letaknya berada di tempat yang paling tinggi.

Akibat pertumbuhan penduduk dan adanya orang-orang yang datang merantau, dengan pertambahan penduduk yang banyak mengakibatkan penduduk memperluas areal pemukiman yang akhirnya perluasan pemukiman ini menyebabkan nama baru yaitu disebut dengan Kampung Kristen karena yang menempati lokasi tersebut terdiri dari keluarga-keluarga pendeta.

Selain nama Kampung Kristen, masih ada yang dinamakan dengan Kampung

Toba, dan Kampung Kopi. Alasan dari pemberian nama tersebut adalah karena di

Kampung Toba ini yang menempatinya adalah para pendatang-pendatang yang berasal

(38)

untuk hidup menetap di Kelurahan Saribudolok ini memiliki alasan bahwa mereka mempertimbangkan mereka dapat hidup layak dengan kesuburan tanah yang ada dan dapat mereka kelola.

Sedangkan alasan mengapa dikatakan Kampung Kopi karena pada awalnya kampung ini banyak ditanami kopi, namun pada saat sekarang tanaman tersebut tidak ditemukan lagi di lokasi ini karena sudah menjadi penyebaran penduduk. Kepadatan penduduk Saribudolok ini mengakibatkan nama-nama kampung yang disebutkan diatas tadi menjadi kabur karena batas-batas perumahan penduduk hampir tidak dapat dipastikan lagi. Pada saat sekarang ini yang menjadi tanda pembagian Kelurahan Saribudolok ini adalah adanya yang disebut dengan jalan Sutomo, Jalan Kartini, Jalan Merdeka, jalan Singgalang, Jalan Pematang Siantar, Jalan Kabanjahe dan lain sebagainya.

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah

4.1.2. 1. Kondisi iklim dan letak Geografis

(39)

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah

Adapun batas-batas Kelurahan Saribudolok adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok Silau Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purba

Berdasarkan topografi kemiringan tanah, Kelurahan Saribudolok berada pada kawasan dataran tinggi sehingga menyebabkan masyarakat cenderung lebih memilih menjadi petani dan pedagang (agen sayur mayur). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1

Luas Wilayah Menurut Nagori/ Kelurahan di Kecamatan Silimakuta Tahun 2006 No Nagori/ Kelurahan Luas (km ) Rasio terhadap luas kecamatan

( % )

(40)

Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa Kecamatan Silimakuta terdiri dari 12 kelurahan atau nagori. Ditinjau dari luasnya wilayah Kecamatan Silimakuta dengan populasi yang cukup padat, maka dalam hal ini penulis membatasi lokasi penelitian yaitu di Nagori/Kelurahan Saribudolok karena daerah ini dianggap mampu mewakili unit analisis penelitian yang dibutuhkan dengan penduduknya yang terdiri dari suku Batak Toba, Karo dan Simalungun dengan luas Wilayah 20,60 Km atau 13,15 %.

4.1.3. Komposisi Penduduk

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang diperoleh oleh peneliti di kantor Kelurahan Saribudolok jumlah penduduk yang terdapat di kelurahan ini berjumlah 7.692 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 1.365 kepala rumah tangga. Jumlah penduduk Kelurahan Saribudolok ini tersebar dalam beberapa lingkungan yang disebut

Urung Warga. Urung Warga ini di bagi menjadi 29. untuk lebih jelasnya mengenai

masalah penyebaran jumlah penduduk dalan urung warga dapat dilihat pada tabel di bawah ini;

Tabel 2

Penyebaran jumlah penduduk berdasarkan lingkungan (Urung Warga) di Kelurahan Saribudolok No Urung Warga (lingkungan) Jumlah Jiwa

(41)

12 Urung warga 012 200 orang

(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)

Berdasarkan tabel di atas kita dapat melihat dengan jelas bahwa Kelurahan Saribudolok dibagi lagi dalam 29 Urung Warga, dimana setiap Urung Warga ini diketuai oleh RT. Pembagian Kelurahan menjadi beberapa Urung Warga dimaksudkan untuk pembagian tugas yang lebih efisien dalam membantu kerja pemerintahan setempat untuk melihat kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Tugas yang paling utama setiap RT di sini juga adalah membantu pemerintahan setempat dalam mendata setiap warganya dalam membuat data statistik Kelurahan Saribudolok.

(42)

4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

Mayoritas penduduk Kelurahan Saribudolok adalah Suku Simalungun. Hal ini dikarenakan yang pertama-tama menempati daerah ini adalah Suku Simalungun (penduduk asli). Akan tetapi pada masa sekarang selain penduduk asli banyak juga suku perantauan yang datang seperti, Suku Karo dan Suku Batak Toba. Untuk lebih jelasnya perbandingan daripada jumlah penduduk bedasarkan suku dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3

Perbandingan jumlah penduduk berdasarkan suku

NO Suku Jumlah jiwa Persentase

1 Simalungun 6.006 orang 78,02 %

2 Karo 914 orang 11,88 %

3 Toba 473 orang 6,15 %

4 Jawa 284 orang 3,69 %

5 China 21 orang 0,27 %

Jumlah 7692 orang 100%

(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)

(43)

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur

Dengan memperhatikan data yang diperoleh peneliti dari data statistik dari lapangan (kantor Kelurahan Saribudolok) maka komposisi penduduk terdiri dari beberapa klasifikasi menurut umur dan kelompok tenaga kerja. Berdasarkan jumlah penduduk yang sebanyak 7.692 jiwa, maka jumlah laki-laki adalah sebesar 3.659 jiwa dan perempuan 4.033 jiwa. Berdasarkan jumlah ini jelas terlihat jumlah perbandingan antara penduduk laki-laki dengan perempuan. Dimana jumlah yang paling banyak itu adalah perempuan.

Jumlah penduduk Kelurahan Saribudolok yang dominan usia angkatan kerja yaitu, 27 tahun sampai dengan 57 tahun. Hal ini disebabkan oleh penduduk yang berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima tahun) masih terikat dengan pendidikan masing-masing.

Tabel 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Kelompok Tenaga Kerja

(44)

4.1.3.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

Kelurahan Saribudolok merupakan daerah yang penduduknya mayoritas suku Simalungun. Sejak jaman dahulu suku bangsa Simalungun itu adalah suku yang menganut Agama Kristen dan Islam. Sama halnya Suku Simalungun yang terdapat di Kelurahan Saribudolok, penduduknya menganut berbagai aliran kepercayaan baik itu agam Kristen Protestan, Khatolik, dan Islam. Tetapi berdasarkan hasil penelitian bahwa penduduk mayoritas menganut agama Kristen Protestan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5

Jumlah Menurut Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase

1 Katolik 3.030 39.4%

2 Protestan 4.053 52.7%

3 Islam 589 7,6%

4 Budha 21 0.3%

5 Hindu -

(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)

(45)

4.1.3.4. Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Masyarakat Saribudolok adalah masyarakat yang sebenarnya sangat peduli terhadapa pendidikan. Akan tetapi banyak sekali anak-anak sekolah yang putus sekolah hanya samapai jenjang SMA sederajat. Hal minim ini dikarenakan faktor kemalasan khususnya untuk pemuda setempat.

Tabel 6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat pendidikan Jumlah

1 SD 1.381

2 SLTP 1.262

3 SLTA 1.357

4 Perguruan tinggi 519

(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi penduduk berdasarkan pendidikan di Kelurahan Saribudolok sudah tergolong penduduk yang berpendidikan atau pendidikan pada masyarakat sudah mulai berkembang, berkembangnya pendidikan di daerah ini karena daerah ini sudah dekat dengan wilayah perkotaan dan didukung juga oleh sarana prsasarana dan perekonomian di Saribudolok juga sangat mendukung. Hal ini dibuktikan banyaknya minat sekolah dari setiap keluarga untuk melanjutkan studi diluar daerah Saribudolok bukan karena tidak adanya Gedung sekolah tapi pemikiran orangtua yanmg ingin anaknya lebih baik daripada pendidikan mereka terdahulu.

4.1.3.5. Mata Pencaharian

(46)

hasil pertanian. Ini terbukti bahwa rata-rata penduduk yang menjadi pegawai baik swasta maupun negeri termasuk pedagang tetap memiliki lahan pertanian untuk dikelola.

Sebagai suatu daerah pertanian yang strategis yakni berada sekitar 1400 meter di atas permukaan laut dan ilkim yang tetap yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dengan perbedaan temperatur antara siang dan malam mencapai 27 – 29 0C. Lahan pertanian sangat subur untuk tanaman hortikultura dan tanaman lainnya. Tanaman yang ada di daerah ini beragam jenis diantaranya ada tanaman keras dan tanaman muda, akan tetapi tanaman muda adalah merupakan pilihan yang utama.

Alasan tanaman muda adalah sebagai tanaman utama dalam pertanian adalah pengurusannya lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil lebih cepat dan yang palimg mendukung itu adalah tanahnya yang subur untuk tanaman capcay ( tanaman muda seperti sayur-mayur). Kelurahan Saribudolok ini dapat dikatakan sebagai tanah yang tergolong subur.

(47)

Untuk lebih mengetahui mata pencaharian penduduk masyarakat Saribudolok dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 7

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata pencaharian Jumlah Persentase

1 PNS 117 7.6%

(Sumber : Data Kelurahan Saribudolok, 2007)

(48)

4.1.4. Sarana dan Prasarana

4.1.4.1. Sarana kesehatan

Jika dilihat dari tingkat kesehatannya, maka Kelurahan Saribudolok dapat dikatakan yang peduli akan kesehatan. Hal ini dapat kita lihat dari sarana kesehatan yang tersedia di daerah ini. Demikian juga masyarakatnya yang sudah mulai berpikir logis mengenai kesehatan ini terbukti adanya kehadiran banyaknya bidan desa yang datang. Selain itu juga apabila masyarakat sakit mereka langsung datang ke dokter untuk berobat. Begitu juga bagi ibu-ibu yang mengandung sudah mau mengkonsultasikan kandungannnya ke bidan-bidan yang ada sampai kepada proses persalinan sudah dipercayakan kepada bidan desa yang ada.

Untuk lebih jelasnya ini dapat kita lihat pada tabel di bawah ini mengenai sarana kesehatan yang ada di Kelurahan Saribudolok

Tabel 8 Sarana Kesehatan

No Sarana Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit 1

2 Puskesmas 1

3 Toko obat 4

4 Apotik 1

5 Klinik 1

6 Posyandu 8

Jumlah 16

(Sumber : Data Kelurahan Saribudolok, 2076)

4.1.4.2. Sarana Ibadah

(49)

Saribudolok ini ada 3 agama yang berkembang akan tetapi tidak semua agama tersebut mempunyai sarana ibadah, misalnya Agama Budha.

Adapun sarana ibadah yang ada di Kelurahan Saribudolok ini adalah sebagai berikut:

Tabel 9 Sarana Ibadah

No Sarana Ibadah Jumlah

1 Mesjid 1

2 Gereja 7

3 Kuil -

4 Vihara -

Jumlah 8

(Sumber : Data Kelurahan Saribudolok, 2006)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah sarana ibadah untuk agama Kristen lebih banyak di bandingkan dengan sarana ibadah untuk Muslim. Hal ini dikarenakan Kristen masih dapat dikelompokkan lagi menjadi dua agama yaitu agama Khatolik yang memiliki 2 rumah ibadah dan Kristen Protestan memiliki 5 sarana ibadah. Untuk Kristen Protestan gedung gereja lebih banyak dibandingkan khatolik karena agama Kristen masih dapat dibagi dalam beberapa aliran, seperi aliran gereja suku (GKPS ),Imanuel, GBI, GKII dan Penthakosta yang masing-masing memiliki gedung gereja.

4.1.4.3. Sarana pendidikan

(50)

Tabel 10

Sarana Pendidikan di Kelurahan Saribudolok

No Jenis Sekolah Jumlah

1 Sekolah Dasar ( SD ) 5

2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) 3

3 Sekolah Menengah Atas ( SMA ) 2

( Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok )

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat jumlah sekolah yang paling banyak adalad Sekolah Dasar. Untuk gedung sekolah masih dapat dibagi yaiyu, untuk SD ada 5, yaitu 2 SD Swasta ( SD Khatolik dan SD GKPS ) dan 3 SD Negri. Untuk SLTP ada 3 diantaranya SLTP Khatolik Bunda Mulia, SLTP negri 1 dan 2 sedangkan untuk SMA terdiri dari SLTA Khatolik Vanduynhoven dan SMA negeri 1.

4.1.4.4. Sarana Angkutan

(51)

4.2. PROFIL INFORMAN

Dalam penelitian tentang “bagaimana proses adaptasi Bahasa Simalungun, Karo dan Toba pada masyarakat Saribudolok, Kelurahan Saribudolok”. Maka untuk menjawab penelitian tersebut peneliti telah melakukan wawancara terhadap beberapa orang informan. Adapaun profil informan dapat dilihat dibawah ini, yaitu:

4.2.1. Barman Girsang

Bapak Barman sebagai keturunan dari Si Pungka Huta dikenal sebagai Tuan

Sardolok ataupun Sipungka Huta (pembuka kampung) yang tinggal di Sardolok Atas

(urung warga 02). Dia merupakan pnduduk asli Kelurahan Saribudolok karena lahir dari daerah ini, yang beragama Kristen Protestan, pendidikan terakhir adalah SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan untuk kegiatan sehari-harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bertani setelah dia pensiun sebagai guru dari sekolah.

Beliau dipilih sebagai informan karena mengetahui sejarah dan perkembangan Saribudolok. Dia juaga mengetahui lebih dari satu bahasa yaitu ; bahasa Simalungun, Karo dan Batak Toba. Dalam mempelajari bahasa lain, bapak Girsang tidak butuh waktu lama untuk menguasainya, karena melalui pergaulan melalui interaksi sehari-hari dengan penduduk sekitar dimana dia tinggal.

4.2.2. Martuah Situmorang

(52)

Tujuan utama kedatangannnya ke Kelurahan Saribudolok untuk mengubah status ekonomi keluarga, dengan inisiatif sendiri dan tidak memiliki keluarga di Saribudolok. Pada awalnya bapak dia hanya bisa menguasai bahasa batak toba dan bahasa Indonesia. Jadi ketika berkomunikasi dengan penduduk setempat dia memakai Bahasa Indonesia. Akan tetapi setelah 3 tahun tinggal di Saribudolok, bapak ini sudah bisa berbahasa Simalungun. Untuk belajar bahasa Simalungun ini, bukanlah melalui proses pembelajaran akan tetapi karena hasil pergaulan sehari-hari dengan masyarakat setempat.

4.2.3. Edy Suranta Ginting

Daerah asal Suranta adalah desa Panribuan yang merupakan daerah Karo. Lahir di Panribuan, 17 April 1978 dan beragama Kristen Protestan. Pendidikan terakhir SMU dan tinggal di Jalan Singgalang (urung warga 10) bermata pencaharian sebagai wiraswasta. Tinggal di Saribudolok sejak tahun 2002.

Tujuan awal datang ke Saribudolok untuk mencari pekerjaan, datang ke Saribudolok karena ajakan dari abang kandungnya yang lebih telah merantau ke Saribudolok. Pada awalnya dia juga hanya bisa menguasai bahasa ibunya saja akan tetapai setelah tinggal di Saribudolok dia bisa menguasai Bahasa Simalungun sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Untuk dapat menggunakan Bahasa Simalungun ini bapak ini hanya membutuhkan waktu 1 tahun yaitu melalui pergaulan.

4.2.4. Robin Pakpahan

(53)

Protestan, pendidikan terakhir SMU dan pekerjaan sebagai petani. tinggal di Saribudolok sejak tahun 1992, tujuan awal datang ke Saribudolok untuk mencari pekerjaan. Awal kehadirannya di Saribudolok karena keluarganya membawanya yang sudah lama yang terlebih dahulu tinggal di daerah tersebut. Awalnya dia tidak mengerti Bahasa Simalungun akan tetapi kalau ditanya sekarang maka dia akan menjawab sudah bisa menggunakan bahasa Simalungun. Untuk menguasai Bahasa Simalungun dia membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk dapat menggunakannya dan inipun bisa dia pelajari adalah melalui pergaulan sehari-hari.

4.2.5. Jhon Mada Simanjuntak

Jhon Mada Simanjuntak adalah suku bangsa Batak Toba. Lahir di Perdagangan, 16 Januari 1959. Beliau bertempat tinggal di Jalan Sutomo (urung warga 07), Agama Kristen Protestan, pendidikan terakhir adalah S-1 dan bekerja sebagai pegawai swasta.Bapak ini tinggal di Saribudolok sejak tahun 1992.

(54)

4.2.6. Pardomuan Sitinjak

Lahir di Sidikalang, 23 November 1972, beragama Kristen Protestan dan awal kedatangannya ke Saribudolok untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Dia merantau ke Saribudolok sejak tahun 1997 bersama dengan keluarganya, mereka hanya menguasai bahasa ibu mereka. Akan tetapi mereka tahu bahwa masyarakat Saribudolok mampu beradaptasi dengan penduduk setempat. Dalam hal penguasaan bahasa Simalungun maka bapak ini tidak begitu canggung memakai bahasa ini dalam kesehariannya. Proses penguasaan bahasa Simalungun yang dilakukan bapak ini juga tidak begitu lama, dia hanya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk dapat menguasai Bahasa Simalungun.

4.2.7. Randiman Damanik

Randiman Damanik adalah informan yang berasal dari Suku Simalungun, lahir di Bandar Raya, 17 Februari 1965. bertempat tinggal di jalan besar Pematang Siantar desa Bandar Raya, beragama Kristen Protestan. beliau dapat menguasai bahasa pendatang tidak tahu kapan pastinya. Informan penduduk asli Saribudolok memperistrikan suku Karo yaitu boru Tarigan. Dalam kesehiriannya mereka sering menggunakan dua bahasa yaitu Simalungun dan Karo. Anak-anak mereka yang semula diajarkan bahasa Indonesia pada akhirnya hilang karena lingkungan anak-anak mereka lebih didominasi Bahasa Simalungun dan untuk bahasa Karo dan Batak Toba juga mereka mengerti artinya.

4.2.8. Ricardo Tarigan

(55)

tinggal di Jalan Kartini dan beragama Katholik. Walaupun suku Karo akan tetapi beliau ini tidak mau disebutkan sebagai suku pendatang karena merasa bahwa dia sudah sangat lama tinggal di Saribudolok bahkan lahir di daerah ini juga. Jadi pad awalnya bapak ini lebih mnguasai bahasa Simalungun dan bahasa Karo. Sedangkan untuk bahasa lain seperti Bahasa batak Toba dia dapat melalui proses pergaulan setiap harinya dan jika ditanya masalah berapa lama dia dapat menguasai bahasa itu maka bapak ini tidak bisa menjawab kapan karena itu mengalir begitu saja tanpa disadari.

4.2.9. M. Sitepu

(56)

4.2.10. Sinar Girsang

Sinar Girsang adalah inforaman dari Suku Simalungun, lahir di Saribudolok, 28 Januari 1952. Bermata pencaharian sebagai pedagang, dalam kesehariannya bapak ini bergaul dengan penduduk setempat dengan suku yang berbeda. beliau memperistrikan dari Suku Karo. Dalam masalah penguasaan bahasa, informan sudah dengan baik bisa menggunakan bahasa pendatang maupun bahasa penduduk setempat. Sama halnya dengan masyarakat penduduk asli lain bapak ini juga tidak tahu kapan pastinya bapak ini dapat bisa menguasai bahasa pendatang. Kalau masalah Bahasa Karo mungkin karena istri bapak ini adalah dari suku karo akan tetapi seperti Bahasa Toba, bapak ini cuma bisa menyatakan tidak tahu kapan yang pasti sejak anak buah saya banyak dari Suku Toba yang lama-lamaan saya juga bisa menyapa mereka dengan bahasa mereka juga.

4.2.11. Nelson Sipayung

(57)

hendak mencari orang upahan untuk bekerja di ladangnya maka harus medekatkan diri dengan para buruh tersebut dengan memakai bahasa mereka agar lebih akrab.

4.2.12. Kencana Karo-Karo

Kencana Karo-karo adalah salah satu informan yang berasal dari Suku Karo, lahir di Medan 27 Desember 1947 dan beragama Khatolik. Dalam kesehariannya informan membuka usaha dagang. Bapak ini sudah cukup lama tinggal di daerah Saribudolok yaitu sejak tahun 1978. Sama dengan informan lain awal kedatangan bapak ini ke Saribudolok karena alasan ekonomi, beliau melihat peluang usaha karena didaerah tersebut belum ada toko perabot. Jika ditanya mengenai penguasaan bahasa maka bapak ini bisa menguasai tiga bahasa yaitu, Bahasa Karo, Toba dan Simalungun.

Tetapi awal kedatangannnya ke daerah ini beliau hanya mengerti Bahasa Karo dan Toba sehingga ketika pertama kali datang Ke Saribudolok dia berkomunikasi dengan masyarakat setempat dengan memakai bahasa Indonesia. Akan tetapi ketika penduduk setempat tahu bapak ini orang Karo maka penduduk setempat menyapanya dengan Bahasa Karo. Bapak ini dapat memahami bahasa lain itu tidak membutuhkan waktu lama karena dalam jangka waktu 7 bulan bapak ini sudah dapat memahami walaupun untuk pengucapannya tidak sefasih bapak ini berbahasa Karo. Anak-anaknya juga yang sebagaian besar sudah berkeluarga ini lebih menguasai Bahasa Simalungun bahkan dalam keseharian dalam rumah tangganya mereka sudah memakai bahasa penduduk setempat.

4.2.13. Jankosan Sitopu

(58)

Beragama Kristen Protestan, berdomisili di jalan besar Pematang Siantar desa Bandar Raya. Awal kedatangan bapak ini ke Saribudolok karena pindah tugas ke SMA negeri 1 Saribudolok. Sebagai suku asli Simalungun sudah tentu ketika pertama kali datang ke Saribudolok informan sudah biasa berkomunikasi dengan penduduk setempat. Sedangkan untuk Bahasa Karo dan Toba. Bapak ini baru bisa setelah 3 tahun tinggal di Saribudolok. Dari 2 bahasa tersebut, maka bapak ini lebih fasih di bahasa Batak Toba sedangkan untuk Bahasa Karo bapak ini hanya bisa mengerti dan untuk pengucapannya masih kaku.

4.2.14. Rodearni Sipayung

(59)

4.2.15. Salom Girsang

Salom Girsang adalah informan yang belum berkeluarga, lahir di Saribudolok, 23 April 1983, beragama Kristen Protestan. Sebagai putra daerah Saribudolok, maka dalam kesehariaanya membuka usaha sendiri yaitu uasaha kolam pancing. Walaupun umur masih muda dan hanya berpendidikan tingkat SMA saja akan tetapi pekerja keras dan sebagai tulang punggung keluarga yang lahir sebagai anak kedua dari dua orang bersaudara.

jika ditanya masalah penguasaan bahasa maka dengan secara gamblang fasih dapat menguasai Bahasa Karo, Toba dan Bahasa Simalungun. dilihat dari intensitas penggunaan bahasa maka bahasa pendatang juga sering digunakannya. Hal ini dipengaruhi oleh peraulan sesama anak muda di daerah ini sangat tinggi didukung anak buahnya kebayakan dari suku pendatang yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu anak buahnya agar lebih dekat hubungan kerja diantara mereka. Informan menguasai bahasa tersebut maka abang iini hanya dari peragaulan sehari-hari dengan tema-teman yang berbeda suku dan hal ini tidak membutuhkan waktu yang lama, cukup 7 bulan mereka sudah bisa akrab.

4.2.16. Tanda Hasahatan Saragih

(60)

di bidang jasa maka informan ini sering berhadapan dengan orang-orang dari berbagai suku bangsa oleh sebab, informan harus bisa menjalin hubungan interaksi yang baik yaitu dengan penguasaan bahasa pelanggannya sendiri. Dalam proses penguasaan bahasa ini tidalah proses yang sulit baginya karena bahasa itu tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui proses yang rumit melalui interaksi secara langsung dengan pelanggan.

4.2.17. Jimmy Tarigan

` Jimmy Tarigan lahir di Tanah Karo, 12 September 1980.. Pendidikan terkhir SMU. Berdomisili di Jalan Kartini, dalam kegiatan sehari-harinya sebagai penjaga di Toko Mas L. Tarigan. Dalam hal penguasaan bahasa informan fasih menggunakan tiga bahasa yaitu Bahasa Karo, Toba dan Simalungun. dalam hal penguasaan bahasa ini maka informan memahami dan mengerti adalah melalui proses pergaulan sehari-harinya dengan tema-teman pergaulan sehari-sehari-harinya yang datang dari berbagai suku. Dalam hal penguasaan proses adapatasi bahasa maka informan hanya membutuhkan waktu 8 bulan saja.

4.3. PEMBAHASAN PENELITIAN

4.3.1. Kekerabatan pada Masyarakat Saribudolok

Dalihan Na Tolu merupakan identitas etnis Batak. Dalam buku “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” ditulis J.C Vergouwen menyebutkan, Dalihan Na Tolu adalah unsur kekerabatan warga masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak memilikigaris penghubung satu sama lain.

(61)

Toba. Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Dongan Sabutuha, Hulahula, Boru. Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong (Toba=Hula-hula), Sanina (Dongan Sabutuha), Boru (boru).

Sementara di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Unsur Daliken Sitelu ini adalah; Kalimbubu (Toba;Hula-hula), Sembuyak atau Senina (Dongan sabutuhaAnakBeru(Boru).(Lumbangaol2008)

Masyarakat Kelurahan Saribudolok adalah suatu masyarakat yang terdiri dari 1365 kepala keluarga yang memiliki ikatan-ikatan persaudaraan dengan penduduk lainnya masih tetap terpelihara. Aktivitas-aktivitas adat atau upacara-upacara lainnya sehingga dalam bermasyarakat penduduk membentuk perkumpulan-perkumpulan marga. Selain itu terdapat juga Serikat Tolong Menolong ( STM ) yang bertujuan sebagai wadah masyarakat apabila diadakan kagiatan-kegiatan perkawinan, kematian dan sebagainya. Organisasi pemuda-pemudi terbentuk dari gereja, yang bertujuan untuk membina muda-mudi yang ada di Kelurahan Saribudolok dan secara kekeluargaan membantu para orangtua dalam kegiatan STM.

(62)

4.3.2. Kehidupan Masyarakat Majemuk di Kelurahan Saribudolok

Masyarakat Kelurahan Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk, yang berarti datang dari berbagai suku bangsa dan tentunya dari latar belakang pribadi suku yang berbeda pula. Perbedaan pandangan setiap suku akan pribadi dan sifat suku masing-masing maka dalam interaksinya harus melakukan adaptasi khususnya mengenai adaptasi bahasa yang berbeda. Untuk itu penulis akan menyajikan pandangan budaya suku bangsa Simalungun, Batak Toba dan Karo. Adapun pandangan tersebut adalah:

4.3.2.1.Pandangan Suku Simalungun Tentang Kehidupan Bersama

Simalungun sebagai sebuah suku bangsa yang memiliki budaya tersendiri dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dahulu kala wilayah Simalungun terbagai atas beberapa kerajaan, satu suku yaitu kerajaan Simalungun. Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Simalungun tidak pernah menonjolkan sifat likalitas wilayah pusat kerajaan itu, melainkan kesemuanya kerajaan itu dirasakan sebagai kerajaan-kerajaan orang Simalungun. Hal ini dapat diketahui dari literatur sejarah yang menerangkan bahwa babakan sejarah di Simalungun yang dimulai dari berdirinya kerajaan Nagur yaitu sekitar abad V – XIII M (Purba 1992). Setelah kerajaan Simalungun mengalami babakan sejarah yang panjang yang ditandai dengan penguasaan Kesultanan Aceh atas wilayah Simalungun sekitar tahun 1350 samapai dengan tahun 1500 M. setelah itu wilayah Simalungun terbagi-bagi atas kerajaan yang lebih kecil. Misalnya Kerajaan Girsang, dimana Kerajaan Girsang ini letaknya adalah di Silimakuta.

(63)

wilayah Simalungun terbagi atas delapan penguasaan raja yang membawahi suatu wilayah kerajaan yang tidak terlalu besar.

Kebiasaan masyarakat pada masa kerajaan-kerajaan Simalungun serta masyarakat dari suku lain dilandasi kebiasaan hidup suku bangsa Simalungun yang dilandasi sebuah tata nilai yang terimpementasi dalam pandangan hidup Simalungun. Tata nilai ini kemudian dijadikan pedoman oleh Masyarakat Simalungun dalam bergaul dengan sesama mereka dan kelompok diluar mereka.

Pandangan hidup Simalungun yang dapat dijumpai pada pustaka-pustaka peninggalan leluhur Simalungun yang sampai sekarang menjadi pedoman hidup Simalungun adalah Habonaron Do Bona, yang artinya kebenaran adalah unsur segalanya bagi kehidupan ( Purba 1992 ) dalam sebuah tulisannya menceritakan bahwa Falsafah Habonaron Do Bona ini merupakan nilai pedoman bagi masyarakat Simalungun untuk bertindak dalam setiap gerak langkah kehidupan mereka, baik itu dalam sisi mata pencaharian hidup, bergaul, berkelurga dan bermasyarakat.

Penghayatan dan praktek langsung petuah ini telah dibuktikan oleh orang-orang Simalungun sejak dahulu kala yang ditandai dengan tidak adanya unsur penipuan, pencurian dan hal-hal buruk lainnya di Simalungun pada masa dulunya. Ungkapan lain yang juga dikenal masyarakat simalungun yang menyangkut hidup bersama yang lebih sederhana dan sering didengarkan dalam Bahasa Simalungun berupa Rumah Siopat

Suhi, Balei silima mullisir, Atian harajaon atian habonaraon, huatas lang deng,

hutaroh lang deng,, hot songon Palei ni rumah, jagian songon baekohni sopou,

(64)

harus didasari kejujuran, keadilan, tidak berat sebelah, saling memperindah satu sama lain agar tercipta keindahan yang murni.

Kejujuran yang diartikan oleh masyarakat Simalungun pada tahapan yang lebih luas lagi ternyata tidak semata-mata menjadi pedoman untuk mengatur tatanan sosial Simalungun semata akan tetapi pengalamalan nilai ini juga berkembang pada asapek hidup bersama dengan siapa dan suku-suku bangsa manapun. Kemampuan hidup bersama dengan suku bangsa lain seperti Batak Toba, Karo dan suku lainnya menunjukkkan sifat keterbukaan suku bangsa simalungun. Hal ini senada juga yang diungkapakan oleh salah satu informan yang menyatakan;

“ Saya rasa…salah satu suku bangsa di SUMUT yang bisa menerima suku lain tanpa pernah menimbulkan gejolak adalah Simalungun. Ini kan bisa dilihat di Saribudolok yang tidak pernah terjadi huru-hara atau perkelahian hanya karena suku saja. Tapi yang paling tampat itu adalah……buktinya orang Simalungun yang ada di Saribudolok ini mau menerima suku lain dan menyapa pendatang itu dengan bahasa pendatang itu sendiri….”(wawancara 20 Januari 08 dengan bapak Kencana Karo-Karo)

Menurut beberapa informan, keadaan yang menyebabkan suku bangsa Simalungun bisa menerima suku lainnya selalu didasarkan atas prinsip Habonaron atau kejujuran. Selama suku bangsa lain tidak merusak, menyakiti dan memperlakukan suku bangsa Simalungun secara baik dengan tetap memperhatikan esensi kejujuran maka selama itu pula suku-suku bangsa pendatang tersebut akan bisa diterima dengan mudah ditengah-tengah masyarakat Simalungun. Kejujuran dinyakini itu sendiri berarti berniat yang benar, berbuat benar, berkehidupan yang benar dan berhati yang benar.

(65)

kehidupan masyarakat Simalungun sendiri. Hal ini seiring dengan pendapat Aminuddin yang menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu, salah satunya adalah untuk mempertahankan kelanggengan kelompok agar tidak mengarah kepada konflik.

Hasil Wawancara yang dilakukan pada informan diketahui bahwa pada dasarnya Suku Simalungun adalah masyarakat yang hidup secara individual namun kekerabatnnya kuat dan masyarakat Simalungun dahulunya tidak kolektif. Seiring dengan masuknya suku-suku ke daerah lain ke daerah Saribudolok pola hidup yang menyendiri itu menjadi kolektif. Walaupun demikian pandangan hidup Habonaron Do

Bona itu tetap menjadi pandangan hidup selama dalam bergaul dengan masyarakat

pendatang. Selama prinsip kebenaran dan kejujuran itu tidak dilanggar oleh suku-suku pendatang maka suku bangsa Simalungun akan selalu menerima suku bangsa tersebut tanpa pernah mempermasalahkan asal usulnya setidaknya hal yang seperti ini yang ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Saribudolok sendiri yang merupakan salah satu pusat kerajaan Simalungun yang samapai sekarang belum pernah terjadi peristiwa jelek yang dilatarbelakangi sifat sentiment.

(66)

adat dan anak-anak dari perkawianan itu akan memakai marga dari suaminya ( Saragih, 1980: 16)

Sistem kekerabatan terkecil pada suku bangsa Simalungun disebut jabu yang merupakan suatu keluarga inti (nuclear family) terdiri dari bapa (ayah), Inang (Ibu) dan anak-anak yang belum menikah. Kelompok kekerebatan yang luas (extended family) dan jabu adalah sada Bapa, yaitu kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak laki-laki yang telah menikah dan tinggal dalam satu rumah dengan kedua orangtuanya.

Kelompok yang lebih luas dari sada Bapa adalah sada ompung yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari keluarga-keluarga beberapa pria yang satu lain (pararel causin). Anggota-anggota dari sada bapa atau satu ayah dan sada ompung atau atau kakek memiliki anak boru jabu yang sama sehingga dalam kegiatan adat anggota dari kelompok kekerabatan sada ompung ini saling membantu.

Adanya budaya orang Simalungun adalah aturan atau hukum yang harus dijaga dan dipelihara selama masih hidup di bumi. Adat budaya diterima sebagai satu kewajiban agar perjalanan hidup pribadi keluarga serta masyarakat berjalan tertib dan sejahtera.

Beradat budaya (maradat) yang dimaksud menurut adat Simalungun agar tertib berkerabat dan bermasyarakat yang mana ke semuanya itu diatur dalam Struktur Tolu

Sahundulan dan Lima Saodoro. Hal ini disebabkan adat Budaya Simalungun sering

disebut adat budaya Tolu Sahundulan Lima Saodoran

Unsur Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran merupakan kesatuan dari tiga

(67)

kekerabatan tersebut di atas ditambah dengan tondong ni tondong (tondong) dan boru

ni boru yang disebut juaga Boru Mintori ( boru dari boru).

Kedudukan ini sifatnya tidak statis dalam arti yang berperan sebagai tondong tidak selamanya dalam setiap pesta adat dia tetap menjadi tondong, melainkan kedudukan itu bisa saja langsung berperan sebagi sanina atau peran sebagai boru, demikian juga sebaliknya.

Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran itu muncul karena adanya perkawinan

yang ditimbulakan oleh ikatan dan integrasi di antara pihak tersebut sehingga seolah-olah merupakan Dalihan Samangadop yang intinya tungku yang saling berhadapan dan

Lima Saodoran ini adalah berbeda-beda

Kedudukan tondong dianggap sebagai penberi kebahagian, pemberi rejeki dan pemberi berkat tertinggi sehingga harus dihormati. Tondong bertugas dan berkewajiban menyelesaikan apabila ada pertikaian dikeluarga seperti terlihat dalam ungkapan

“Tondong Aima Naibata Na Taridah“ (Tondong adalah Tuhan yang Kelihatan). Rasa

hormat kepada tondong juga tercermin dalam ungkapan hormat Martondong (hormat kepada pihak tondong)

Gambar

Tabel 1
tabel dibawah ini.
Tabel 2 Penyebaran jumlah penduduk berdasarkan lingkungan (
Tabel 3 Perbandingan jumlah penduduk berdasarkan suku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan mengungkapkan bahwa: pertama, alasan masyarakat Batak Toba di Binjai memilih menggunakan musik keyboard dan menggunakan repertoar musik populer adalah karena

Adapun alasan pemilihan lokasi untuk penelitian ini oleh karena kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di propinsi Sumatera Utara, sehingga di harapkan di kota Medan akan

Adapun pengaruh negatif yaitu Suku Simalungun menjadi masyarakat yang minoritas di wilayahnya sendiri dan bahasa yang sering digunakan di Kecamatan Tanah Jawa adalah Bahasa

Maka langkah berikutnya adalah menentukan bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di lokasi yang dipilih tersebut. Hal itu merupakan kerangka etnografi.

disimpulkan bahwa frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau. lebih yang tidak memiliki predikat

Nilai yang paling penting menurut bapak secara pribadi yang harus kita warisi kepada anak itu adalah silsilah, tarombo, supaya dia kelak tahu dan paham tentang Sangkep Sitelu,

Masyarakat di Desa Banuroja Kecamatan Randangan merupakan suatu kesatuan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai macan suku bangsa, agama, adat-istiadat dan

Adapun yang dijadikan populasi pada penelitian ini adalah dua perkampungan rumah adat Suku Batak Toba yaitu di Lumban Sitio yang terdiri dari 8 rumah dan di Huta Lumban Pasir yang