• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnisitas dan Perilaku Politik : Studi Kasus: Preferensi Politik Masyarakat Etnis Batak Toba Pada pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Etnisitas dan Perilaku Politik : Studi Kasus: Preferensi Politik Masyarakat Etnis Batak Toba Pada pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo 2005"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ETNISITAS DAN PRILAKU POLITIK

(STUDI KASUS : PREFERENSI POLITIK MASYARAKAT ETNIS BATAK TOBA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG KABUPATEN KARO 2005)

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA ILMU POLITIK

OLEH

DMITRI STEFANO E.P.T

020906050

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MEDAN

(2)

Etnisitas dan Perilaku Politik :

Studi Kasus: Preferensi Politik Masyarakat Etnis Batak Toba Pada pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo 2005.

Nama : Dmitri Stefano.E.P.T. Nim : 020906050

ABSTRAKSI

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (PILKADA) terkait dengan

peran serta masyarakatnya dalam memberikan dukungan suara kepada partai politik dan kandidat yang ada. Proses Pemilihan Kepala Daerah Langsung ini akan menghadirkan perilaku politk dari masing-masing pemilih. Dan banyak faktor yang akan mempengaruhi preferensi kandidat dari pemilih tersebut. Salah satu faktoe tersebut adalah etnis yang dianggap sebagai faktor penting dalam perilaku pemilih di Indonesia.

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di desa Rumah Berastagi kabupaten Karo. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara umum perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam hubungannya dengan preferensi calon Kepala Daerahnya pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 sekaligus untuk mengetahui seberapa besar partisipasi mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah pemilih yang terdaftar dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di desa Rumah Berastagi Kabupaten Karo. Adapun ruang lingkup dari penelitian ini bahwa penelitian dilakukan terhadap etnis Batak Toba. Penelitian dilakukan terhadap responden yang telah berhak memilih yaitu yang telah berusia 17 tahun keatas atau sudah menikah. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian ini kepustakaan dan penelitian lapangan dengan menggunakan angket. Dalam peneltian ini digunakan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Dan dengan menggunakan rumus Taro Yamane maka jumlah responden yang diperlukan sebanyak 88 orang.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengaruh etnisitas akan hilang pada etnis Batak Toba di desa Rumah Berastagi dikarenakan adanya kehomogenan calon Kepala Daerah yang kesemuanya berasal dari etnis mayoritas. Hal ini menyebabkan masyarakat etnis Batak Toba akan menjadi pemilih yang rasional dengan mempertimbangkan untung dan rugi dengan melihat program-program yang ditawarkan oleh calon-calon Kepala Daerah. Selain itu diketahui bahwa partisipasi etnis Batak Toba cukup besar hanya dalam mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Langsung tetapi kurang aktif dalam aktivitas politik praktis lainnya selain Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Kata kunci : Etnis, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Preferensi Kepala Daerah

(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I : PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH ... I 1. 2. PERUMUSAN MASALAH ... 12

1. 3. RUANG LINGKUP PENELITIAN ... 12

1. 4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 13

1. 5. KERANGKA TEORITIS ... 13

1. 6. KERANGKA KONSEP ... 38

1. 7. DEFINISI OPERASIONAL ... 40

1. 8. METODOLOGI PENELITIAN ... 41

1.8.1 JENIS PENELITIAN ... 41

1. 8.2 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 41

1. 8.3 LOKASI PENELITIAN ... 43

1. 8.4 TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL ... 43

1. 8.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 44

1. 8.6 TEKNIK ANALISA DATA ... 44

1.9. SISTEMATIKA PENULISAN ... 46

(4)

BAB II: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II. 1 KEADAAN GEOGRAFI DESA ... 47

II. 1.1 KEADAAN ALAM ... 47

II. 1.2 LUAS WILAYAH ... 47

II. 1.3 LETAK DAN BATAS WILAYAH ... 48

II. 2 DEMOGRAFI ... 48

II. 2.1 JUMLAH PENDUDUK DAN JUMLAH KEPALA KELUARGA ... 48

II. 2.2 TINGKAT PENDIDIKAN PENDUDUK ... 48

II. 2.3 MATA PENCAHARIAN PENDUDUK ... 49

II. 2.4 AGAMA PENDUDUK ... 50

II. 2.5 SUKU PENDUDUK ... 51

II. 2.6 FASILITAS KESEHATAN PENDUDUK ... 53

II. 3 POTENSI DAERAH ... 53

II. 3.1 PERTANIAN ... 53

II. 3.2 PERDAGANGAN ... 54

II. 4 SISTEM PEMERINTAHAN ... 55

BAB III: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA III. 1 PENYAJIAN DATA ... 56

III. I.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 56

III. 1.2 EVALUASI TENTANG PARPOL DAN MEDIA MASSA ... 61

(5)

III. 1.3 PERILAKU POLITIK ETNIS BATAK TOBA

PADA PILKADA 2005 ... 69

III. 2 ANALISA DATA ... 80

BAB IV: PENUTUP

IV. 1 KESIMPULAN ... 86

IV. 2 SARAN-SARAN ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

LAMPIRAN

(6)

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Proses perkembangan terhadap wacana tentang Pemilihan Kepala Daerah terus

mengalami perkembangan dari sejak tahun 1945 hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan

keluarnya berbagai produk hukum diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 dan

diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbaharui

lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20041

Reformasi telah membawa perubahan dalam Pemilihan Kepala Daerah dengan

lahirnya Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Undang-undang tersebut merupakan bagian dari paket liberalisasi politik yang dilakukan

pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yang terkesan dibuat terburu-buru disaat isu

desentralisasi begitu meluas dan menjadi wacana publik. Trauma terhadap pelaksanaan

Pemilihan Kepala Daerah masa Orde Baru, yang ditandai dengan intervensi pusat secara

berlebihan, menjadi semangat pembuat Undang-Undang. Ihwal epala daerah diatur dalam

Pasal 34 sampai Pasal 40 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas

memuat ketentuan-ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dalam pelaksaan Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan lebih rinci tentang

Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 151/2000 tentang .

1

(7)

tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala

daerah.

Kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagaimana

tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersama.”

Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan:

“Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahapan pencalonan dan pemilihan.”

Berdasarkan PP No. 151 Tahun 2000, tahapan-tahapan itu terdiri dari (1)

pendaftaran bakal calon; (2) penyaringan bakal calon; (3) penetapan pasanan calon; (4)

rapat paripurna khusus; (5) pengiriman berkas pengiriman; (6) pelantikan. Semua

tahapan itu dirancang agar Kepala Daerah terpilih adalah benar-benar seorang pemimpin

yang mumpuni, yaitu memnuhi kualifikasi administrasif yang disyaratkan, mengenal dan

dikenal oleh masyarakat daerah, memiliki kompetensidan kapabilitas memimpin daerah

serta visi, misi dan strategi membangun daerah2

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Undang-undang Nomor 22

Tahun 22 Tahun 1999 sangat sentral. Tafsir dari bunyi Pasal 34 tersebut adalah bahwa

siapapun yang memperoleh suara mayoritas secara otomatis akan mendapatkan posisi

sebagai Kepala Daerah. Pemerintah pusat bertugas hanya mengesahkan hasil yang telah

diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal itu dipertegas Pasal 40 yang berbunyi

“Pasangan Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh .

2

(8)

suara terbanyak pada pemilihan,…, ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala

daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden3

“Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan

.”

Ketentuan persyaratan Kepala daerah diatur sedemikian rupa (Pasal 33) dan tetap

membuka kemungkinan penilaian politis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena

mekansme pemilihan melalui fraksi (alat partai). Dibandingkan dengan persyartan

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975, persyaratan dalam Undang-undang Nomor

22 Tahun 1999 lebih sederhana dan terukur. Sedangkan masa jabatan ditetapkan 5 tahun.

Dalam Pasal 41 dikatakan:

4

“Bagi kepala daerah yang pertnggungjawavabannya ditolak untuk kedua kalinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden

.”

Adapun ketentuan mengenai pemberhentian terdapat dalam Pasal 49 sampai Pasal

54. Pada prinsipnya, kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk

memberhentikan Kepala Daerah sangat besar. Pada tingkat alas an pemberhentian yang

paling banyak mendapat sorotan adalah butir g Pasal 49 berbunyi :” mengalami krisis

kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan

keterangan atas kasus itu ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Pada tingkat

lain, terkait pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 46 ayat (1) sampai (3) . Pada

ayat (3) disebutkan:

5

Pemilihan Kepala daerah secara langsung adalah salah satu mekanisme baru

(9)

langsung merupakan salah satu bentuk dinamika demokratisasi lokal di Indonesia.

Konsep yang ditawarkan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung

adalah sebuah mekanisme yang melibatkan masyarakat secara langsung dalam memilih

kepala daerahnya6

Dasar hukum pelaksaaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

secara langsung ( Pemilihan Kepala Daerah )langsung adalah Undang-Undang

No.32/2004 tentang pemerintah daerah. Adapun petunjuk pelaksanannya tertuang dalam

Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2005 tentang tata cara pemilihan, pengesahan,

pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa

Undang-Undang No.32/2004 merupakan produk perundangan pertama dalam sejarah .

Dipilihnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) secara

langsung menandai popularitas paradigma demokrasi parsitipatoris dan sekaligus

surutnya popularitas paradigma demokrasi representasi (demokrasi perwakilan) atau

pemenangan para penganjur demokrasi masa terhadap demokrasi elit. Artinya, Pemilihan

Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung melengkapi pembaharuan sistem

politik kontemporer hasil reformasi politik dan hukum ketatanegaraan.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur dan Wakil

Gubernur maupun Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Walikota, secara langsung oleh

rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih

pemimpin di daerah. Dengan demikian masyarakat memiliki kesempatan dan kedaulatan

untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi

(otonom, seperti mereka memilih lembaga eksekutif maupun wakil-wakilnya dalam

lembaga legislatif).

6

(10)

politik Indonesia yang mengatur Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah)

langsung.

Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan pemilihan langsung baru untuk

pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Karo dalam pemilihan bupati periode

2005-2010. Perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini memungkinkan

masyarakat untuk menentukan siapa figur yang akan memimpin di daerahnya. Dengan

Pemilihan Langsung ini masyarakat akan mempunyai preferensi terhadap calon-calon

yang diusung partai politik. Preferensi itu sendiri dapat diartikan……….

Masyarakat itu sendiri tidak dapat melepaskan faktor etnisitas di dalam

menentukan/ melihat preferensi terhadap calon-calon Kepala Daerah yang bersaing di

dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung tersebut. Dengan demikian perilaku

politik ada kaitannya dengan etnisitas.

Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemilihan pokok penelitian atau pengkajian

ini:

Pertama, Perilaku politik dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai

hubungan dengan etnisitas/kesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu unsur

pembentuk perilaku politk, selain masih ada faktor-faktor yang lain, seperti pengaruh luar

melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lain-lain. Namun bagi

bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai sekarang masih

menjadi salah satu yang termasuk terpenting. Kesadaran akan etnisitas masih cukup besar

dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau perorangan maupun dalam kehidupan

(11)

Kedua, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung baru untuk pertama kalinya

diselenggarakan di Berastagi. Sebelumnya sebagaimana halnya di seluruh Indonesia,

kepala Daerah tidak dipilih secara langsung. Hal tersebut menarik untuk diteliti untuk

mengetahui kesiapan masyarakat di dalam melaksanakan demokrasi langsung.

Ketiga, Pemilihan perilaku etnis Batak Toba didasarkan pada pertanyaan

bagaimanakah berlakunya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik dalam Pemilihan

kepalan daerah langsung yang calonnya semua dari golongan etnis lain.

Salah satu perwujudan dari etnistas dapat ditemukan sebagai budaya politik. Di

Indonesia sesuai dengan kemajemukan sukubangsa terdapat budaya politik dari

kehidupan politik yang beraneka ragam, Maka dapat dilihat bahwa setiap etnis maupun

daerah mempunyai ciri-ciri atau corak khas tertentu yang membedakan antara satu

dengan yang lainnya. Dan setiap etnis yang ada di Indonesia tersebut mempunyai pola

dan sistem budaya masing-masing yang mempengaruhi struktur dan sistem masyarakat

dan politiknya sebagaimana yang dapat dlihat dari contoh-contoh berikut7

1. Sistem kemasyarakatan suku Nias: Pada masa sebelum kedatangan orang Belanda

(1669), orang Nias terpecah-pecah menjadi beberapa kesatuan setempat yang disebut

ori (negeri). Tiap ori merupakan gabungan dari beberpa banua (desa), dan tiap banua

diperintah oleh seorang salawa (Kepala Desa). Pada jaman Belanda, semua ori di

seluruh Nias dan pulau-pulau sekitarnya dipersatukan menjadi Afdeeling Nias

dibawah seseorang asisstent resident. Para tuhenori masih dipertahankan oleh

Belanda untuk mengurusi ori-ori. Sejak jaman kemerdekaan Afdeeling Nias dijadikan

salah satu kabupaten dari Propinsi Sumatra Utara. Kabupaten Nias, pada masa ini

7

(12)

terdiri dari 13 kecamatan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang asisstent

wedana. Tiap kecamatan terdiri dari beberapa banua (desa) yang masing-masing

diketuai oleh seorang salawa.

2. Sistem Kemasyarakatan Suku Mentawai: Pada masyarakat Mentawai Lama ada

seorang tokoh yang disebut rimata adalah terutama memelihara bangunan uma

memelihara benda-benda keramat dalam uma, mengorganisasi, mengatur, dan

memimpin upacara-upacara serta aktivitas-aktivitas sosial yang bersangkut paut

dengan kesatuan uma. Dalam pekerjaannya, seorang rimata dibantu oleh dua orang

pembantu. Dengan berkurangnya aktivitas kehidupan sosial yang berpusat kepada

uma, maka uma bukan lagi berfungsi sebagai pusat keramat, dan demikian fungsi

rimata sebagai tokoh keramat dalam masyarakat menjadi hilang. Sejakk tahun 1954

tidak ada lagi rimata di Pagai dan Sipora. Pada masa sekarang kesatuan administratif

terkecil dalam masyarakat pedesaan di Mentawai adalah rukun tetangga, yang

kira-kira sama dengan apa yang dulu merupakan kesatuan uma dengan rumah-rumah

disekelilingnya dibawah seorang rimata. Sekarang hanya ada seorang kepala RT.

Sejumlah RT tergabung menjadi satu kampung di bawah seorang kepala kampung,

sedangkan sejumlah kampung-kampung merupakan satu kecamatan. Seluruh

Mentawai merupakan satu daerah dibawah seorang Kepala Nagari, yang pangkatnya

sama dengan bupati.

3. Sistem kemasyarakatan suku Batak Karo: Kepemimpinan di bidang pemerintahan

dipegang oleh salah seorang turunan tertua merga taneh. Kepala Kuta disebut

pengulu, kepala urung disebut raja urung atau sibayak untuk bagian kerajaan.

(13)

anak laki-laki tertua (sintua) atau bungsu (singuda). Anak laki-laki yang lain

(sintengah) tidak mempunyai hak menggantikan jabatan pimpinan, kecuali kedua

anak laki-laki itu tidak ada lagi atau tidak mampu. Selain daripada menjalankan

pemerintahan sehari-hari kepala dalam pemerintahan itu juga melakukan tugas

peradilan, yaitu penghulu mengetuai sidang di bale kuta dan raja urung mengetuai

bale urung. Pengadilan tertinggi ialah bale raja berempat yang merupakan sidang

dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo. Kepemimpinan dalam bidang

pemerintahan ini terdapat pada zaman sebelum tahun 1946.

4. Sistem kemasyarakatan Suku Jawa: secara administratif, suatu desa di Jawa disebut

kelurahan atau dikepalai oleh seorang lurah. Sekelompok dari 15 sampai 25 desa

merupakan suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh

seorang pegawai pamong praja yang disebut camat. Di dalam melaksanakan tugasnya

sehari-hari kepala desa dengan pembantu-pembantunya yang semuanya disebut

pamong desa, mempunya dua tugas pokok, ialah tugas kesejahteraan desa dan tugas

dari penduduk desa sendiri, dengan ketentuan-ketentuan bagi calon yang dipilih dan

memilih. Dengan adanya peraturan daerah yang berlaku atau yang disahkan untuk

misalnya Yogyakarta dan sekitarnya, dalam tiap-tiap kelurahan dibentuk Dewan

Perwakilan Rakyat Kelurahan, yakni suatu badan yang merupakan wakil dari rakyat

untuk rakyat. Organisasi pemerintahan tersebut yang sekaligus menjadi badan

pimpinan mencakup dari rakyat desa, mewajibkan lurah untuk mengangkat

pembantu-pembantu. Adapun pembantu-pembantu itu adalah (1) carik, yang

bertindak sebagai pembantu umum dan penulis desa, (2) sosial yang memelihara

(14)

memepunyai kewajiban memperbesar produksi pertanian, (4) Keamanan, yang

bertanggung jawab atas ketentraman lehir dan batin penduduk desa, (5) Kaum, yakni

yang mengurus soal-soal nikah, talak, dan rujuk, dan kegiatan-kegiatan keagamaan,

juga soal-soal kalo ada kematian.

5. Sistem kemasyarakatan suku Minangkabau: Kecuali kelompok-kelompok kekerabatan

seperti paruik, kampueng dan suku, masyarakat Minangkabau tidak mengenal

organisasi-organisasi masyarakat yang bersifat adat yang lain. Demikian

instruksi-instruksi dan aturan pemerintah, soal administratif masyarakat pedesaan, seringkali

disalurkan kepada penduduk desa melalui penghulu suku atau penghulu andiko.

Sebuah suku disamping mempunyai seorang penghulu suku, juga mempunyai seorang

dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah suku, sedangkan

manti berhubungan dengan tugas-tugas keamanan. Adapun kampueng tidak perlu kita

perhatikan benar, karena tidak seluruh daerah di Minangkabau mempunyai

pembagian kampueng sebagai kesatuan yang lebih kecil daripada suku.

Dari contoh yang terdapat dalam kehidupan suku-sukubangsa di Indonesia di atas

dapat disimpulkan adanya kemajemukan atau keragaman struktur dan sistem

kemasyarakatan dan politik. Struktur dan sistem kemasyarakatan dan politik itu

merupakan dua bentuk perwujudan etnisitas yang dalam skripsi ini menunjukkan

masing-masing sukubangsa mempunyai sistem politik sendiri yang akan mempengaruhi perilaku

politiknya.

Kalau diperhatikan lebih mendalam dan lebih seksama lagi kenyataan kehidupan

politik suku-sukubangsa itu berkaitan pula dengan jenis dan intensitas pengaruh yang

(15)

intensitasnya, ada yang kurang atau sangat sedikit dan ada pula yang tidak memperoleh

pengaruh luar sama sekali. Kehidupan politik Jawa, misalnya, mendapat pengaruh Hindu

dan Islam yang sangat intensif, Bali pengaruh Hindu yang intensif, Aceh, Melayu dan

Minangkabau pengaruh Islam yang intensif, sejumlah sukubangsa di Papua, terutama

yang masih terisolir, tidak mendapat pengaruh luar.

Etnisitas merupakan faktor penting dalam perilaku pemilihan umum di Indonesia.

Kelompok etnis mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan

orientasi seseorang. Adanya rasa kesukuan atau kedaerahan mempengaruhi dukungan

seseorang terhadap partai politik. Etnis dapat mempengaruhi loyalitas seseorang terhadap

partai tertentu.

Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (Ethnic loyalty) yang relatif

tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas.8

Kajian berupa penelitian mengenai perilaku politik etnis pernah dilakukan oleh

Profesor.R.Willian Liddle.

Kesetiaan etnis di

Indonesia masih tampak signifikan dan pengabaian faktor etnis dapat menimbulkan

kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas

menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang.

9

8

Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, Jakarta:LP3ES, 2003, hal.182

9

R.William liddle, Partisipasi dan Partai Politik di Indonesia Pada Awal Orde Baru, Jakarta:PT.Pustaka Utama Gtafiti, 1992, hal.22-81

Dimana Liddle melakukan penelitian tentang tingkah laku

politik di sebuah daerah di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun dan Pematang

Siantar sebagai kota utamanya. Dalam penelitian ini Liddle mencoba mengaitkan analisa

makronya tentang tingkah laku politik lokal dengan apa yang kelihatan makro di tingkat

(16)

Di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar Liddle menemukan

hubungan-hubungan antara partai lokal dengan kelompok Agama, budaya, etnis. Dimana

pada waktu itu rakyat Indonesia sangat mendambakan partai-partai yang akan mewakili

kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari hasil penelitiannya Liddle mengetahui

bahwa proses perkembangan Simalungun dan Kota Pematang Siantar menjadi daerah dan

kota perkebunan sejak zaman colonial Belanda telah turut membedakannya dari sebagian

besar daerah atau kota lain di Indonesia.

Perbedaan etnis diikuti pula oleh perbedaan agama yang mereka peluk serta

lapangan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semua

perbedaan diatas yaitu perbedaan etnis, agama, pekerjaan, menjurus pula pada perbedaan

organisasi sosial atau partai politik yang mereka pilih atau ikuti10

Kenyatan-kenyataan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan bagaimana

hubungan ataupun pengaruh etnisitas, khususnya struktur masyarakat dan politiknya

kepada perilaku politik dari masyarakat sukubangsa itu dalam kehidupan politik sekarang

yang dalam skripsi ini dipusatkan pada pemilihan kepala daerah. Pertanyaan itu sangat

relevan mengingat politik aliran

. Dan Liddle

menyimpulkan bahwa primordialisme dan partai di Indonesia bagaikan zat dan sifatnya.

Yang pertama merupakan kenyataan-kenyataan sosial budaya, dan yang kedua adalah

ekspresi alamiahnya di bidang politik.

11

10

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Umum, 1992), hal 201.

11

Clifford Geertz, The History of An Indonesian Town.

masih menyatakan dirinya dalam perilaku atau

tindakan politik di Indonesia. Dan politik aliran itu masih terwujud dalam adanya

(17)

pemilihan partai terhadap suatu etnis tertentu, dimanasalah satu contohnya etnis suku

Karo mempunyai kecenderungan terhadap partai PDI- Perjuangan.

Apa yang dikemukakan diatas berlaku pula dalam perilaku politik individu atau

perorangan. Perilaku politik perorangan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya dan

politiknya, malah dapat juga ditemukan pengaruh lingkungan ekonomi. Oleh karena itu

pemahaman mengenai lingkungan-lingkungan itu diperlukan dalam upaya memahami

perilaku politik perseorangan.

i.2. PERUMUSAN MASALAH

Sesuai dengan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka permasalahan dari skripsi

ini ialah:

1. Bagaimanakah pengaruh etnisitas dalam menentukan pilihan seseorang di dalam

Pemilihan.

2. Berkaitan dengan permasalahan (1) adalah permasalahan “bagaimanakah pengaruh

etnisitas Batak Toba di Berastagi dalam menentukan pilihan dalam pemilihan kepala

daerah pada tahun 2005 yang lalu.

i.3. RUANG LINGKUP PENELTIAN.

Adapun yang dijadikan ruang lingkup penelitian oleh penulis adalah sebagai

berikut:

1. Penelitian hanya dilakukan pada etnis Batak Toba yang telah berhak memilih dalam

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung Kabupaten Karo 2004 yang telah berusia

17 tahun ke atas atau yang sudah menikah.

2. Organisasi dan partai politik yang dimasuki oleh orang Batak Toba di Kabupaten Karo.

(18)

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.

I.4.1 Tujuan Penelitian.

1. Mengeksplorasi seberapa besar suara pemilih etnis batak Toba terhadap PILKADA

kabupaten Karo tahun 2005.

2. Untuk menjelaskan secara umum perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam

kaitannya dengan pilihan calon bupatinya pada Pilkada Karo tahun 2005.

I.4.2 Manfaat Penelitian.

1. Bagi penulis, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang politik, terutama

dalam menganalisis perkembangan politik yang ada dalam masyarakat.

2. Bagi akademis dapat dijadikan sebagai pengembangan teori dalam ilmu politik dan

prilaku pemilih.

3. Bagi lembaga-lembaga pemerintahan daerah khususnya lembaga yang berkaitan

dengan Pemilihan Umum dapat dijadikan bahan referensi dalam memahami perilaku

politik dalam Pemilihan Umum

I.5. KERANGKA TEORITIS.

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam

memecahkan atau menyoroti masalahnya “.12 Kejelasan atau landasan berpikir itu disebut

teori. Teori diperlukan karena menjadi penuntun dalam menentukan bahan-bahan yang

diperlukan dan yang dikumpulkan melalui penelitian. Selain daripada itu teori juga

berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahan-bahan yang diperoleh melalui penelitian.

Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep13

12

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2001, hal 39.

13

(19)

I.5.1. Etnis

etnis dapat dipahami melalui pengertian dari etnis tersebut secara umum. Menurut

Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan

kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau

kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut

Ariyuno suyono dalam Kamus Antropologi Pressindo Jakarta, tahun 1985, bahwa etnis

adalah hal yang mempunyai kebudayaan tersendiri. Kelompok etnis adalah suatu

kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam

suatu peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas untuk memisahkan

antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya.

Menurut koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu

golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan,

sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan

bahasa juga14

Ciri-ciri tersebut terdiri dari: .

Sukubangsa yang sering pula disebut etnik atau golongan etnik mempunyai

tanda-tanda atau ciri-ciri karakteristiknya.

15

1. Setiap sukubangsa yang ada di Indonesia mempunyai wilayah sendiri. Hak memiliki

itu diperoleh dari para pendahulu yang dianggap sebagai pemilik pertama atau

terdahulu. Selain mereka tiadalah yang berhak. Wilayah yang dimiliki itu penting

14

Koentjaraningrat, loc.cit

15

(20)

sekali oleh karena merupakan “jaminan” keabsahan dan kebenaran keanggotaan

sukubangsa

2. Sukubangsa mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan

pengaturan kekuasaan yang ada. Suku bangsa-suku bangsa mempunyai sistem hirarki

kekeuasaan yang telah terumus sejak lama dan diikuti sebagai sesuatu yang “suci”;

mempunyai pembagian wilayah kekuasaan atau pemerintahan dari yang terkecil

hingga yang terluas; mempunyai peraturan untuk setiap kehidupan yang tertuang dan

terkumpul sebagai norma dan kebiasaan ( adat ).

3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Bahasa

tersebut selain mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi dalam interaksi sekaligus

juga ditanggapi sebagai indentitas sukubangsa. Bahasa sukubangsa hingga sekarang

masih dipakai dalam interaksi antara anggota sukubangsa, khususnya di dalam acara

dan upacara kesukubangsaan, seperti upacara perkawinan, kematian, dan lain-lain, di

tempat-tempat umum tertentu, seperti pasar setempat, warung-warung dan lain-lain.

4. Sukubangsa mempunyai seni sendiri, seperti seni tari dan lagu lengkap dengan

alat-alatnya, susastra lisan atau tulisan berupa cerita rakyatatau yang lain, mempunyai seni

ragam hias (ornamentasi) dengan pola khas sendiri dan lain-lain.

5. Sukubangsa mempunyai seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman.

Berbagai bentuk rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan

arsitektur masing-masing sukubangsa.

6. Sukubangsa mempunyai sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan,

sikap dan tindakan. Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan

(21)

7. Sukubangsa mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri

Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi

keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang

kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah

berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki,

seperti misalnya ada kesamaan strukutur sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan

sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu

berperan dan dianggap biasa. Namun, dalam situasi tertentu, kesadaran laten ini bisa

mengental dan mengedepan. Dalam kaitan itu, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi

munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.16

Etnisitas mempunyai tiga dimensi yang berbeda yaitu horizontal, vertical, dan

intensitas datau kedalamannya. Dalam dimensi horizontal, etnisitas bisa menjadi strategi

untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi. Dan sebagai pembatas sosial yang

membedakan kita dengan mereka. Kemudian sebagai kreativitas kultural. Dalam dimensi

Horizontalnya, etnisitas tidak mengandung hirarki antar etnis, atau memiliki pandangan

merendahkan etnis lain. Etnisitas sekedar digunakn sebagai alat untuk melegitimasi

tuntutan perolehan sumber daya yang semakin langka atau digunakan untuk

memperkukuh posisi dalam persaingan dengan individu lain. Dalam dimensi vertikal

etnisitas diwarnai predikat negatif seperti rendah diri, terbelakang, sempit, dan

sejenisnya. Sedangkan dimensi berikutnya menunjuk pada kedalamannya. Intensitas dari

ketegangan kepentingan nasional sentralistik dan etnik-regionalistik akan mengamnil dua

bentuk yang belawanan yaitu perpecahan antar etnik dan kekeyaaan kultural.17

16

Ivan.A.Hadar. “Etnisitas dan Negara Bangsa”. Kompas, 29 mei 2000.

17

(22)

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik yaitu pendekatan objektif (structural)

dan pendekatan subjektif (fenomenalogis). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok

etnik sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya

berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan.

Sedangkan perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana

orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok

etnik dan diidentifikasi denikian oleh orang-orang lain. Dan memusatkan perhatiannya

pada keterikatan dan rasa memiliki.18

Menurut Dennis Kavanagh,

Menguatnya identitas kesukuan mempunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis

konsekuensi antara lain pertama, adalah menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan

negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam

pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari

di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih

senang mendudukkan orang di sekitarnya dalah orang yang seetnis atau sedaerah

dengannya.

I.5.2. Pendekatan-pendekatan perilaku Politik

19

1. Pendekatan Struktural, kita dapat melihat kegiatan pemilih ketika memilih partai

sebagai produk dari konteks struktur struktur yang luas, seperti struktur sosial

masyarakat, sistem kepartaian, sisitem Pemilu dan program-program yang ditonjolkan untuk menganalisis perilaku pemilih dapat

digunakan lima pendekatan, yaitu:

18

Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT.Reaja Rosdakarya, 1998), hal.152

19

(23)

partai-partai peserta Pemilu. Dalam model ini, tingkah laku seseorang termasuk di

dalam penentuan pilihan ditentukan perngelompokan sosial, agama, bahasa, dan

etnis/suku.

2. Pendekatan Sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitannya

dengan konteks sosial. Pilihan seseorang dalam Pemilu dipengaruhi latar belakang

demografi dan sosial ekonomi, afiliasi etnik, jenis kelamin, tempat tinggal (

kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. Model ini melihat bahwa

masyarakat sebagai suatu kesatuan kelompok yang bersifat vertical dari tingkat yang

terbawah hingga yang teratas. Pendekatan sosiologis ini memandang bahwa

faktor-faktor sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, jenis kelamin, pekerjaan, dan

tempat tinggal merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku

memilih dalam pemilihan umum. Status sosial ekonomi yang biasanya didukung oleh

faktor pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan memiliki keterkaitan dengan dengan

salah satu organisasi politik yang ada. Maka dapat dilihat bahwa pendekatan ini

menganggap bahwa faktor sosiologis yang paling berperan dalam menentukan

prefensi partai politik seseorang di dalam pemilu. Sehingga dapat dikatakan bahwa

faktor primordialisme turut mempengaruhi orientasi politik seseorang yang

berdampak pada perilaku politiknya.

3. Pendekatan ekologis relevan apabila dalam daerah pemilihan terdapat perbedaan

karakteristik pemilih yang didasarkan pada unit teritorial. Kelompok masyarakat

penganut agama, buruh, kelas menengah, suku bangsa, yang bertempat tinggal di

(24)

ini dapat diamati dengan adanya perubahan komposisi penduduk yang tinggal di satu

unit territorial dapat dijadikan penjelasan atas perubahan hasil Pemilihan Umum.

4. Pendekatan Psikologi Sosial menyatakan tingkah laku pemilih akan dipengaruhi oleh

interaksi antara faktor internal dan eksternal. Misalnya sistem kepercayaan, agama,

dan pengalaman hidup seseorang. Menurut pendekatan ini, para pemilih menentukan

pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai

produk dari sosialisasi. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai

refeleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan di dalam

perilaku politiknya. Konsep yang digunakan adalah konsep psikologi sosial terutama

konsep sikap dan sosialisasi. Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan

untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi

partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau

keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Partai yang secara emosional

dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

5. Pendekatan Pilihan Rasional, model ini sebenarnya lanjutan dari pendekatan psikologi

sosial yang ingin melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk hitungan untung

atau rugi. Namun pertimbangannya bukan ongkos memilih, melainkan suara yang

terkumpul dapat mempengaruhi hasilnya. Pertimbangan itu sering digunakan para

pemilih yang mencalonkan diri agar dapat dipilih menjadi calon terpilih. Bagi

mayoritas pemilih, pertimbangan untung rugi digunakan untuk membuat keputusan

terhadap partai yang dipilih, termasuk memutuskan bagaimana seseorang harus

(25)

menentukan sekali. Penganut model ini sering mencoba meramalkan tindakan

manusia berdasarkan asumsi sederhana, yakni setiap orang berusaha keras mencapai

apa yang dinamakan self interest.

I.5.3. Pemilihan Umum

Suatu proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi

pemilihan. Dalam hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan, maka

dipakailah sebutan pemilihan umum, disingkat dengan pemilu.20

Pemilihan umum adalah mekanisme pergantian kepemimpinan nasional yang

secara demokratis melibatkan seluruh masyarakat di suatu negara. Begitu bermaknanya

pemilihan umum bagi semua orang, maka pemilihan umum yang menjadi indikator

demokratisnya suatu negara. Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan

pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan umum, maka keterlibatan

masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi itu sendiri.

Maka pemilu berarti

rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin

rakyat atau pemimpin negara.

Di negara-negara yang demokratis pemilihan merupakan alat untuk memberikan

kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dan

sistem politik yang berlaku. Dengan hal itu pula, pemilihan tetaplah merupakan bentuk

partisipasi politik rakyat.

21

20

Donald Parulian, Menggugat PEMILU, Jakarta, PT. Penebar Swadaya, 1997, hal. 4.

21

Doni Hendrik, Perilaku Memilih Etnis Cina dalam Pemilu tahun 1999 di Kota Padang, Jurnal Analisa Politik Vol. 1, Padang, 2003, hal. 52.

Pemilihan umum

dengan makna demokrasinya adalah tempat berkompetisinya partai politik yang secara

(26)

itu, pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan

dukungan suara kepada kandidat dan partai politik yang ada.22

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pengganti

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah disahkan oleh presiden menjadi Undang-Undang-Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagian isi Undang-Undang ini ( pasal

I.5.4 Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang diawali setelah diberlakukannya

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi

lokal di Indonesia. Melalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk

menyebarkan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan memacu tumbuhnya kekuatan

yang pro demokrasi di daerah. Artinya melalui Pemilihan Kepala Daerah yang secara

langsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan

mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan.

I.5.4.1. Dasar Hukum dan Eksistensi Pemilihan Kepala Daerah

Perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dari sistem

perwakilan ke sistem pemilihan langsung merupakan suatu kemajuan signifikan bagi

perkembangan demokrasi di Indonesia yang sedang menjalani masa transisi demokrasi

ini. Perubahan tersebut telah sepatutnya diikuti oleh perubahan yang sama pada sistem

politik lokal.

Pemilihan Kepala Daerah merupakan momen politik yang telah diadakan serentak

semenjak bulan Juni 2005 sebagai ekses dari pemilihan presiden langsung untuk alasan

penegakan demokrasi lokal di daerah.

22

(27)

56 sampai dengan pasal 119 ) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Dalam pembuatan Undang-Undang

ini, tidak merujuk kepada pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang

No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang digunakan sebagai rujukan utama adalah pasal

18, pasal 18A dan pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemerintahan

daerah, karena menyangkut pemerintahan daerah, maka yang dijadikan rujukan adalah

pasal yang mengatakan kepala daerah dipilih secara demokratik, karena itu di dalam

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, pemilihan kepala daerah tidak dikategorikan

sebagai pemilu. Maka lebih lanjut mekanisme pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan

pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur kembali di dalam sebuah

peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005.

Pelaksana dari pemilihan kepala daerah langsung ini menurut Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 diberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah,

tidak saja merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilihan

kepala daerah tetapi juga diberi kewenangan menyusun semua tata cara yang berkaitan

dengan tahap persiapan dan pelaksanaan dengan berpedoman kepada Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 2005, akan tetapi pemberian wewenang kepada Komisi

Pemilihan Umum Daerah sama sekali tidak sedikit pun dikaitkan dengan Komisi

Pemilihan Umum Pusat yang menjadi induk Komisi Pemilihan Umum Daerah tersebut

seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003.23

23

Ramlan Surbakti, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Merupakan bagian Dari

(28)

I.5.4.2 Perangkat Regulasi dan Kelembagaan Pemilihan Kepala Daerah

Keseriusan pemerintah dalam menangani Pemilihan Kepala Daerah tercermin dari

perangkat regulasi dan kelembagaan. Tercatat sederet kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah untuk memuluskan pelaksanaan,24

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. seperti :

2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

3. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan

Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

4. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah Daerah Untuk

Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

I.5.4.3. Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi

rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan

guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem

pemilihan umum.

Perbedaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan

pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai

individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan

dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai

24

(29)

anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang

akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan ia tidak berhak mencalonkan diri sebagai

wakil rakyat.

Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum

dapat dibedakan menjadi25

Berdasarkan sistem pemilihan mechanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara, Sistem Pemilihan Mechanis dan Sistem Pemilihan Organis.

Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang

sama sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan

yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan organis yang menempatkan rakyat

sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam

persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan

lembaga-lembaga sosial.

26

Dalam sistem perwakilan proporsional ini dikenal dua sistem yakni hare system

dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi

kesmpatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan

yang bersangkutan. Berbeda dengan list system pemilih diminta memilih diantara daftar yakni Sistem Perwakilan Distrik/Mayoritas/Single Member Constituencies dan Sistem

Perwakilan Proporsional. Karakter utama dari sistem distrik dimana wilayah negara

dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya

sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang

dikehendaki. Dalam sistem proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena

pemilihan bersifat nasional.

25

Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia;Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998, hal. 195.

26

(30)

calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam

pemilihan umum.

Berbeda dengan sistem pemilihan presiden dimana yang digunakan adalah model

second round past the post dengan batas minimal perolehan suara 50 % plus satu untuk

meraih kursi, jika tak ada calon dengan jumlah suara tersebut pada putaran pertama,

digelar putaran kedua terhadap dua calon teratas dengan konsekuensi biaya menjadi

sangat besar ;model penetapan kepala daerah terpilih yaitu dari sistem first past the post

dengan batas minimal perolehan suara 25 %. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 2005, bahwa apabila tidak terpenuhi lebih dari 50 % dari jumlah

suara sah, maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang

memperoleh suara sah lebih dari 25 % dari seluruh jumlah suara sah, maka pasangan

calon yang memperoleh suara tersebar ditetapkan sebagai Calon Terpilih.27

Tata kelola (governance) Pemilihan Kepala Daerah menyangkut berbagai aspek

yang menentukan keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah yaitu aspek kesiapan

masyarakat pemilih, ketrampilan petugas lapangan, pendanaan, dan peraturan pemilihan.

Good Pilkada Governance adalah Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara

demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk

berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah harus bebas dari segala Dan prinsip

yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah prinsip Voluntary Voting, dimana

massa pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela.

I.5.4.4 Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah

27

KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di

(31)

bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses

pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.28

Good Pemilihan Kepala Daerah governance setidaknya akan menghasilkan enam

manfaat penting.

Pemilihan Kepala Daerah berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik,

lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi

yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat.

Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai

dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat

dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan

Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi

cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif.

29

1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala

daerah secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagimana

diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Pemilihan

Kepala Daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam

pemilihan Kepala Daerah pada masa lalu. Pemilihan Kepala Daerah bermanfaat untuk

memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan

maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society).

2. Pemilihan Kepala Daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai

satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pemilihan

28

Syamsul H. Tubani Op.cit., hal. x-xi.

29

(32)

Kepala Daerah akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang langsung

mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif).

3. Pemilihan Kepala Daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki

legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala Daerah hasil Pemilihan

Kepala Daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah

selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan

berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya.

4. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih

bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan

menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat

daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai

konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.

5. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang

lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal,

terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintah pusat, tidak

mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara

lebih baik.

6. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money

politics) yang merajalela dalam proses pemilihan Kepala Daerah tidak langsung

I.5.4.5.Proses Pengajuan Bakal Calon Kepala Daerah Kabupaten Karo 2005

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,

(33)

bahwa partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon

harus menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karo hasil Pemilihan Umum 2004

yaitu 15 :100 x 35 = 5,25 yang dibulatkan menjadi 6 kursi, atau sekurang-kurangnya 15%

dari perolehan jumlah suara sah dalam Pemilihan Umum 2004 atau 23.244 suara sah30

Nama Pasangan Calon Kepala

Daerah dan Wakil Kepala

Daerah

.

Pendaftaran Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Karo

Tahun 2005dilaksanakan mulai dari 25 s/d 31 Juli 2005 dengan komposisi pasangan

calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Karo sebagai berikut

TABEL 1

DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI

KABUPATEN KARO

DJIDIN SEBAYANG dan Drs.

HERMAN PERANGIN-ANGIN

MM

6 Kursi PPDK, PDS, dan Partai PIB

LAYARI SINUKABAN dan

SURYAWATI Br SEBAYANG

6 Kursi Partai Golkar

Drs. DAULAT DANIEL 24.983 Suara sah atau PBB, PPP, P. Demokrat,

3030

KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di

(34)

SINULINGGA dan

Ir. NELSON SITEPU

16,12% PKPI, P.PDI, PKPB, PKB,

PKS

Ir. ARIES EKLESIA SEBAYANG

dan BADIKENITA SITEPU

SE.M.Si

26.161 Suara sah atau

16,88%

PNI-M, P Merdeka, PBSD,

PNBK, P. PNUI, PSI, PPD,

P.PELOPOR,PBR

KENA UKUR SURBAKTI dan

SITI AMINAH Br

PERANGIN-ANGIN

11 Kursi PDI Perjuangan

SINAR PERANGIN-ANGIN dan

SURYA PERANGIN-ANGIN, SH

6 Kursi P. Patriot Pancasila dan PAN

Sumber: KPU Kabupaten Karo

Setelah seluruh berkas pasangan calon kembali diserahkan ke Komisi Pemilihan

Umum Karo oleh para calon, Komisi Pemilihan Umum Karo kembali meneliti berkas ,

dan ternyata ada 1 orang calon Wakil Kepala Daerah tidak memenuhi syarat atas nama :

Badikenita Br Sitepu SE, M,Si yang kemudian digantikan oleh Dr. Supredo Kembaren

SpB.

Pengundian nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati dilakukan pada tanggal

31 agustus 2005. Hasil undian pasangan nomor urut calon adalah sebagai berikut:

1. Drs. Daulat Daniel Sinulingga dan Ir. Nelson Sitepu.

2. Djidin Sebayang SH dan Drs. Herman perangin-angin.

3. Kena Ukur Surbakti dan Siti Aminah Perangin-angin SE.

4. Sinar Perangin-angin dan Surya Perangin-angin SH.

5. Ir. Aries Eklesia Sebayang dan Dr. Supredo Kembaren, SpB.

6. Layari Sinukaban dan Suryawaty Br Sebayang31

31

Ibid, hal. 9

(35)

Adapun program-program yang ditawarkan calon-calon tersebut kepada masyrakat

adalah sebagai berikut:

1 Drs. Daulat Daniel Sinulingga dan Ir. Nelson Sitepu:

1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan.

2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pendidikan.

3. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan.

4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana serta mutu pelayanan

kesehatan masyarakat.

5. Meningkatkan ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dalam setiap waktu.

6. Meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih dan sanitasi dasar.

7. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kebersihan lingkungan.

8. Menggali menggunakan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber daya

alam secara optimal yang berwawasan lingkungan.

9. Membentuk tim asistensi penggunaan teknologi tepat guna sektor pertanian dan

industri berbasis pertanian.

10.Membentuk kerjasama dengan propinsi di luar propinsin SumateraUtara dan

sesama pemerintahan Kabupaten/ Kota dalam berbagai bidang dan sector seperti:

Tenaga kerja, pendidikan dan pelatihan, teknologi, perdagangan, kesehatan,

pariwisata, kesehatan dan lain-lain yang diperlukan.

11.Membentuk kerjasama dalam rangka menyukseskan roda perekonomian dengan

para pelaku usaha seperti: Kadin, PHRI, ASITA, BANK, Lembaga Keuangan non

bank dalam upaya menumbuhkan suasana yang kondusif bagi perkembangan

(36)

12.Membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian

untuk meningkatkan IPTEK.

13.Meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja jamsostek, Astek, dan hak-hak

normative pekerja agar dipenuhi perusahaan.

14.Peningkatan pengelolaan kualitas sarana dan prasarana pasar tradisional.

15. Meningkatkan kualitas jalan kabupaten menuju sentral produksi dan peningkatan

serta mengmbangkan jalan usaha tani.

16. Bekerjasama dengan aparat keamanan meningkatkan sistem Kamtibmas dalam

rangka pemberantasan penyakit masyarakat.

17. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan untuk mengeliminir terjadinya penyimpangan terhadap peraturan

dan perundang-undangan yang berlaku/ KKN.

18.Memasukkan budaya Karo dalam kurikulum muatan local pada pendidikan dasar,

dan pendidikan prasekolah.

2. Djidin Sebayang SH dan Drs. Herman perangin-angin.

1. Meningkatkan kualitas pegajar tingkat dasar dan menengah

2. Menigkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai

3. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perilaku hidup sehat

4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sarana dan prasarana yang

memadai

5. meningkatkan peranan koperasi, UKM dan pelaku usaha ekonomi perorangan

untuk menunjang perekonomian masyarakat

(37)

7. Memperbanyak dan mengintensifkan penggunaan alat atau mekanisme

pertanian

8. hmelestarikan nilai-nilai budaya karo dengan tidak menutup diri terhadap

budaya luar yang bersifat positif.

9. Meningkatkan peran serta masyarakat, tokoh agama, rohaniawan dalam

pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan

10.Meningkatkan peranan kelompok tani

11.Pengolahan obyek kepariwisataan

12.Pembukaan obyek kepariwisataan untuk memperbanyak kedatangan turis

13.Melestarikan hutan lindung

14.Menanggulangi semakin luasnya lahan kritis

15.meningkatkan peranan koperasi

16.meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan teknologi dan hasil

pertanian

17.meningkatkan peran serta tokoh agama dan rohaniawan dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

18.mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan

lingkungan

3. Kena Ukur Surbakti dan Siti Aminah Perangin-angin SE

1. Meningkatkan kualitas pegajar tingkat dasar dan menengah

2. Menigkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai

(38)

4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sarana dan prasarana yang

memadai

5. meningkatkan peranan koperasi, UKM dan pelaku usaha ekonomi perorangan

untuk menunjang perekonomian masyarakat

6. Mengembangkan pemahaman terhadap sistem hidup yang demokratis

7. Memperbanyak dan mengintensifkan penggunaan alat atau mekanisme

pertanian

8. melestarikan nilai-nilai budaya karo dengan tidak menutup diri terhadap

budaya luar yang bersifat positif.

9. Meningkatkan peran serta masyarakat, tokoh agama, rohaniawan dalam

pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan

10.Meningkatkan peranan kelompok tani

11.Pengolahan obyek kepariwisataan

12.Pembukaan obyek kepariwisataan untuk memperbanyak kedatangan turis

13. Melestarikan hutan lindung

14.Menanggulangi semakin luasnya lahan kritis

15.meningkatkan peranan koperasi

16.meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan teknologi dan hasil

pertanian

17.meningkatkan peran serta tokoh agama dan rohaniawan dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

18.mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan

(39)

4.Sinar Perangin-angin dan Surya Perangin-angin SH.

1. meningkatkan pengelolaan pasar tradisional

2. meningkakan pelayanan dan perlindungan sosial terhadap masyarakat

penyandang keterbatasan sosial

3. membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat

4. meningkatkan keterampilan kerja masyarakat

5. melakukan penyaringan terhadap kemajuan dan pengaruh dari luar terhadap

budaya karo

6. membuka peluang kerjasama dalam meningkatkan kualitas tenaga medis dan

para medis

7. meningkatkan penggunaan kompensasi BBM

8. meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah

9. meningkatkan peluang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di luar

daerah bahkan di luar negeri.

10.mencipakan suasana kondusif dalam kehidupan kenegaraan dan partisipasi

masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan

prinsip-prinsip good governance

11.meningkatkan fasilitas UKM oleh pelaku perbankan

12.meningkatkan arus kelancaran transportasi barang regional, nasional dan

internasional

13.meningkatkan promosi pariwisatan dengan investor sing

14.memberantas jalur peyalahgunaan narkoba

(40)

16.membuka lapangan kerja baru bagi pencari kerja

17.melaksanakan pengawasan terhadap pengaruh luar yang datang dari luar yang

sifatnya negatif

18.meningkatkan pemahaman terhadap budaya karo

19.menciptakan iklim persaingan yang kompetitif terhadap daerah lain

5.Ir. Aries Eklesia Sebayang dan Dr. Supredo Kembaren, SpB.n

1. meningkatkan kualitas sumber daya manusia pendidikan

2. pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan

3. meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta mutu pelayanan kesehatan

4. memberantas penyakit menular

5. meningkatkan ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dalam setiap waktu

6. meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih dan sanitasi dasar

7. meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kebersihan lingkungan

8. menggali dan menggunakan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber

daya alam secara optimal yang berwawasan lingkungan

9. membentuk tim penggunaan teknologi tepat guna sektor pertanian dan industri

berbasis pertanian

10.membentuk kerjasama dengan pemerintah di luar provinsi Sumut dalam

berbagai sektor seperti tenaga kerja, pendidikan dan latihan, teknologi dan

perdagangan, kesehatan, pariwisata

11.membentuk kerjasama dalam rangka mensukseskan roda perekonomian

(41)

12.membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian untuk

meningkatkan IPTEk

13.membentuk kerjasama dengan LSM, Organisasi kemasyarkatan dalam rangka

meningkatkan pendidikan politik dan pemahaman terhadap nilai-nilai

demokrasi serta wawasan kebangsaan

14.bekerjasama dengan aparat terkait untuk penuntasan masalah pestisida palsu,

pupuk palsu dan obat-obatan palsu

15.memberdayakan tokoh agama dan rohaniawan sebagai mediator, perumus,

aspirasi masyarakat dan penyebarluasan kebijakan pemerintah

16.menyelenggarakan latihan dan keterampilan kepada angkatan kerja untuk

menjawab tuntutan peluang kerja, termasuk penyuluhan tentang peluang

lapangan kerja

6. Layari Sinukaban dan Suryawaty Br Sebayang.

1. meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja jamsostek, astek, dan hak-hak

normatif pekerja

2. mendorong dan mengembangkan usaha penginapan milik masyarakat di

sektor objek wisata

3. mencegah perambahan hutan dan penebangan liar dalam kawasan hutan serta

peningkatan pengelolaan koperasi menurut asas dan prinsip perkoperasian

terutama asas open managemen

4. meningkatkan sumber daya manusia masyarakat

5. meningkatkan kualitas SDM pengelolaan koperasi

(42)

7. meningkatkan kualits jalan menuju sentral produsi dan peningkatan serta

mengembangkan jalan usaha tani

8. meningkatkan sarana dan prasarana serta pelayanan terhadap penyandang

keterbatasn sosial

9. meningkatkan kerjasama dengan aparat kamanan dalam sistem kamtibmas

dalam rangka pemberantasan penyakit masyarakat.

10.meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kuantitas sarana, prasarana

kepariwisataan

11.meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM pengelolaan pariwisata

12.meningkatkan kesadaran budaya wisata kepada masyarakat terutama

masyarakat di sekitar obyek wisata

13.meningkatkan promosi pariwisata

14.membuat sebuah forum lembaga karo untuk wadah berkomunikasi

15.memasukkan budaya karo dalam kurikulum muatan lokal pada pendidikan

dasar dan pendidikan prasekolah

16.meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan untuk mengeliminir terjadinya penyimpangan terhadap

peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

17.mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan

lingkungan

(43)

I.6. KERANGKA KONSEP

Konsep adalah abstarksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar

generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu

tertentu.32

Menurut koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu

golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan,

sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan

bahasa juga

Maka defenisi konsep yang dipergunakan penulis yaitu:

I.6.1. Etnis

Etnisitas mempunyai kata dasar etnik yang berarti atau yang dalam Bahasa

Indonesia disebut juga sukubangsa. Jadi merupakan bagian dari satu bangsa. Bila

demikian etnisitas berarti yang berhubungan atau yang mempunyai kaitan dengan etnik

atau sukubangsa atau kesukubangsaan.

33

32

Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal 34

33

Koentjaraningrat, loc.cit .

I.6.2. . Pemilihan Kepala Daerah

Merupakan suatu tahapan proses pemilihan langsung secara prosedural oleh

rakyat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya atau dengan kata lain untuk memilih

pemimpin eksekutif daerah tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite

politik atau tanpa keterlibatan dan intervensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga

pada akhirnya melahirkan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada

(44)

I.6.3. Perilaku Politik.

Perilaku politik ialah segala perilaku yang berkaitan dengan proses politik34

Pembentukan perilaku politik dipengaruhi oleh

sebagaimana yang dapat dilihat dalam kampanye pemilihan umum, dalam penentuan

dukungan yang diberikan dalam pemilihan, dalam pilihan keanggotaan organisasi atau

partai politik dan lain-lain sebagainya.

35

1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, ekonomi, sistem

budaya dan media massa.

:

2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian

aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan.

3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.

4. Sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor

secara langsung ketika akan melakukan suatu kegiatan, seperti cuaca, keadaan

keluarga, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuk.

Pembentukan perilaku politik berlangsung dalam:

1. Organisasi dan Partai Politik

2. Lembaga-lembaga non-formal yang terdapat dalam masyarakat

3. Lembaga Pendidikan

34

Ramlam surbakti, Memahami Ilmu Politik, ( Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia 1992 ) hal.15.

35

(45)

I.6.4. Perilaku Memilih

Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya

dengan proses Pemilihan Umum. Menurut Plano, perilaku memilih adalah salah satu

bentuk perilaku politik yang tebuka. Huntington dan Nelson menyebutkan sebagai

electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (voting), bantuan kampanye, bekerja

dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang

direncanakan untuk mempengaruhi proses Pemilihan Umum.

I.7. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana

caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah semacam

petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.36

• Memiliki marga yang termasuk dalam marga suku Batak Toba. 1. Etnis Batak Toba dengan indikator sebagai berikut:

• Menganut sistem patrilineal dalam sistem kekerabatannya.

2. Preferensi calon bupati dengan indikator sebagai berikut:

• Calon bupati tersebut terdaftar sebagai peserta pada Pemilihan Kepala Daerah

kabupaten Karo 2005.

3. Pemilihan Kepala Daerah dengan indikator sebagai berikut:

• Pemilihan Kepala Daerah yang bertujuan untuk memilih bupati.

• Pemilihan Kepala Daerah dimana masyarakata dapat memilih secara langsung

nama calon bupati yang diinginkan sesuai dengan daftar calon yang tersedia.

36

(46)

4. Perilaku Memilih

• Berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungan dengan proses Pemilihan

kepala daerah

• Berkaitan dengan proses pemberian suara untuk memilih wakil rakyat dalam

Pemilihan Kepala Daerah.

I.8. METODOLOGI PENELITIAN

I.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksploratif.

Dengan demikian akan melakukan penelitian dalam rangka penjajakan.

I.8.2. Populasi dan Sampel Penelitian.

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,

benda-benda, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai

sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian. Sedangkan

sampel adalah sebagian dari populasi untuk mewakili seluruh populasi.37

Alasan memilih pemilihan etnis Batak Toba sebagai populasi karena skripsi ini

akan meneliti perilaku politik dari golongan etnis minoritas di dalam kegiatan politik

yang diselenggarakan di dalam masyarakat yang mayoritas homogen. Pertanyaan

selanjutnya ialah faktor apa yang menentukan pilihan oleh masyarakat etnis minoritas

didalam lingkungan yang mayoritas homogen. Hal ini berlatarbelakang pada pasangan-Populasi 760 orang, yaitu masyarakat etnis Batak Toba yang bertempat tinggal di

desa Rumah Berastagi yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah.

37

Gambar

TABEL 1    DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI
TABEL 4 PERSENTASE TINGKAT PENDIDIKAN PENDUDUK
TABEL 7 PERSENTASE PENDUDUK MENURUT SUKU
Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pasangan beda etnis Batak Toba-Tamil untuk mengidentifikasi dukungan sosial yang diterima dari keluarga di

Adapun faktor perpindahan etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan kaarena adanya faktor penarik dari daerah ini yaitu tersedianya masih lahan pertanian kosong yang dapat dimanfaatkan

Berdasarkan hasil pengolahan data statistik diperoleh bahwa 56,9 % mahasiswa etnis Batak Toba di universitas “X” Bandung menganggap aspek kedekatan fisik bukanlah hal yang

Peran janda sebagai orang tua tunggal dalam etnis batak toba di Tebing Tinggi, yang merupakan judul dari skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan

Dari tabel 1.6 Etnis Batak Toba sudah mempunyai pendidikan yang tinggi untuk masuk. menjadi karyawan

dukungan sosial keluarga pada pernikahan beda etnis (Batak Toba- Tamil) ?” :. - Dukungan sosial apa sajakah yang diterima pasangan

Dari Hasil Penelitian diketahui bahwa Tarian Tortor dalam Upacara Perkawinan Sub Etnis Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung banyak makna yang disampaikan

Hubungan yang mesra ini mengarahkan mereka bersikap dominan memilih etnis Batak dan memeluk agama Kristen Namun hal ini tidak tertutup kemungkinan sebagian dari mereka