ETNISITAS DAN PRILAKU POLITIK
(STUDI KASUS : PREFERENSI POLITIK MASYARAKAT ETNIS BATAK TOBA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG KABUPATEN KARO 2005)
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA ILMU POLITIK
OLEH
DMITRI STEFANO E.P.T
020906050
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MEDAN
Etnisitas dan Perilaku Politik :
Studi Kasus: Preferensi Politik Masyarakat Etnis Batak Toba Pada pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo 2005.
Nama : Dmitri Stefano.E.P.T. Nim : 020906050
ABSTRAKSI
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (PILKADA) terkait dengan
peran serta masyarakatnya dalam memberikan dukungan suara kepada partai politik dan kandidat yang ada. Proses Pemilihan Kepala Daerah Langsung ini akan menghadirkan perilaku politk dari masing-masing pemilih. Dan banyak faktor yang akan mempengaruhi preferensi kandidat dari pemilih tersebut. Salah satu faktoe tersebut adalah etnis yang dianggap sebagai faktor penting dalam perilaku pemilih di Indonesia.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di desa Rumah Berastagi kabupaten Karo. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara umum perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam hubungannya dengan preferensi calon Kepala Daerahnya pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 sekaligus untuk mengetahui seberapa besar partisipasi mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah pemilih yang terdaftar dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di desa Rumah Berastagi Kabupaten Karo. Adapun ruang lingkup dari penelitian ini bahwa penelitian dilakukan terhadap etnis Batak Toba. Penelitian dilakukan terhadap responden yang telah berhak memilih yaitu yang telah berusia 17 tahun keatas atau sudah menikah. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian ini kepustakaan dan penelitian lapangan dengan menggunakan angket. Dalam peneltian ini digunakan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Dan dengan menggunakan rumus Taro Yamane maka jumlah responden yang diperlukan sebanyak 88 orang.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengaruh etnisitas akan hilang pada etnis Batak Toba di desa Rumah Berastagi dikarenakan adanya kehomogenan calon Kepala Daerah yang kesemuanya berasal dari etnis mayoritas. Hal ini menyebabkan masyarakat etnis Batak Toba akan menjadi pemilih yang rasional dengan mempertimbangkan untung dan rugi dengan melihat program-program yang ditawarkan oleh calon-calon Kepala Daerah. Selain itu diketahui bahwa partisipasi etnis Batak Toba cukup besar hanya dalam mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Langsung tetapi kurang aktif dalam aktivitas politik praktis lainnya selain Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Kata kunci : Etnis, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Preferensi Kepala Daerah
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I : PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH ... I 1. 2. PERUMUSAN MASALAH ... 12
1. 3. RUANG LINGKUP PENELITIAN ... 12
1. 4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 13
1. 5. KERANGKA TEORITIS ... 13
1. 6. KERANGKA KONSEP ... 38
1. 7. DEFINISI OPERASIONAL ... 40
1. 8. METODOLOGI PENELITIAN ... 41
1.8.1 JENIS PENELITIAN ... 41
1. 8.2 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 41
1. 8.3 LOKASI PENELITIAN ... 43
1. 8.4 TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL ... 43
1. 8.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 44
1. 8.6 TEKNIK ANALISA DATA ... 44
1.9. SISTEMATIKA PENULISAN ... 46
BAB II: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
II. 1 KEADAAN GEOGRAFI DESA ... 47
II. 1.1 KEADAAN ALAM ... 47
II. 1.2 LUAS WILAYAH ... 47
II. 1.3 LETAK DAN BATAS WILAYAH ... 48
II. 2 DEMOGRAFI ... 48
II. 2.1 JUMLAH PENDUDUK DAN JUMLAH KEPALA KELUARGA ... 48
II. 2.2 TINGKAT PENDIDIKAN PENDUDUK ... 48
II. 2.3 MATA PENCAHARIAN PENDUDUK ... 49
II. 2.4 AGAMA PENDUDUK ... 50
II. 2.5 SUKU PENDUDUK ... 51
II. 2.6 FASILITAS KESEHATAN PENDUDUK ... 53
II. 3 POTENSI DAERAH ... 53
II. 3.1 PERTANIAN ... 53
II. 3.2 PERDAGANGAN ... 54
II. 4 SISTEM PEMERINTAHAN ... 55
BAB III: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA III. 1 PENYAJIAN DATA ... 56
III. I.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 56
III. 1.2 EVALUASI TENTANG PARPOL DAN MEDIA MASSA ... 61
III. 1.3 PERILAKU POLITIK ETNIS BATAK TOBA
PADA PILKADA 2005 ... 69
III. 2 ANALISA DATA ... 80
BAB IV: PENUTUP
IV. 1 KESIMPULAN ... 86
IV. 2 SARAN-SARAN ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 91
LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Proses perkembangan terhadap wacana tentang Pemilihan Kepala Daerah terus
mengalami perkembangan dari sejak tahun 1945 hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan
keluarnya berbagai produk hukum diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 dan
diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbaharui
lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20041
Reformasi telah membawa perubahan dalam Pemilihan Kepala Daerah dengan
lahirnya Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Undang-undang tersebut merupakan bagian dari paket liberalisasi politik yang dilakukan
pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yang terkesan dibuat terburu-buru disaat isu
desentralisasi begitu meluas dan menjadi wacana publik. Trauma terhadap pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah masa Orde Baru, yang ditandai dengan intervensi pusat secara
berlebihan, menjadi semangat pembuat Undang-Undang. Ihwal epala daerah diatur dalam
Pasal 34 sampai Pasal 40 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas
memuat ketentuan-ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam pelaksaan Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan lebih rinci tentang
Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 151/2000 tentang .
1
tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
Kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagaimana
tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa :
“Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersama.”
Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan:
“Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahapan pencalonan dan pemilihan.”
Berdasarkan PP No. 151 Tahun 2000, tahapan-tahapan itu terdiri dari (1)
pendaftaran bakal calon; (2) penyaringan bakal calon; (3) penetapan pasanan calon; (4)
rapat paripurna khusus; (5) pengiriman berkas pengiriman; (6) pelantikan. Semua
tahapan itu dirancang agar Kepala Daerah terpilih adalah benar-benar seorang pemimpin
yang mumpuni, yaitu memnuhi kualifikasi administrasif yang disyaratkan, mengenal dan
dikenal oleh masyarakat daerah, memiliki kompetensidan kapabilitas memimpin daerah
serta visi, misi dan strategi membangun daerah2
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 22 Tahun 1999 sangat sentral. Tafsir dari bunyi Pasal 34 tersebut adalah bahwa
siapapun yang memperoleh suara mayoritas secara otomatis akan mendapatkan posisi
sebagai Kepala Daerah. Pemerintah pusat bertugas hanya mengesahkan hasil yang telah
diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal itu dipertegas Pasal 40 yang berbunyi
“Pasangan Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh .
2
suara terbanyak pada pemilihan,…, ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala
daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden3
“Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan
.”
Ketentuan persyaratan Kepala daerah diatur sedemikian rupa (Pasal 33) dan tetap
membuka kemungkinan penilaian politis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena
mekansme pemilihan melalui fraksi (alat partai). Dibandingkan dengan persyartan
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975, persyaratan dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 lebih sederhana dan terukur. Sedangkan masa jabatan ditetapkan 5 tahun.
Dalam Pasal 41 dikatakan:
4
“Bagi kepala daerah yang pertnggungjawavabannya ditolak untuk kedua kalinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden
.”
Adapun ketentuan mengenai pemberhentian terdapat dalam Pasal 49 sampai Pasal
54. Pada prinsipnya, kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
memberhentikan Kepala Daerah sangat besar. Pada tingkat alas an pemberhentian yang
paling banyak mendapat sorotan adalah butir g Pasal 49 berbunyi :” mengalami krisis
kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan
keterangan atas kasus itu ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Pada tingkat
lain, terkait pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 46 ayat (1) sampai (3) . Pada
ayat (3) disebutkan:
5
Pemilihan Kepala daerah secara langsung adalah salah satu mekanisme baru
langsung merupakan salah satu bentuk dinamika demokratisasi lokal di Indonesia.
Konsep yang ditawarkan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung
adalah sebuah mekanisme yang melibatkan masyarakat secara langsung dalam memilih
kepala daerahnya6
Dasar hukum pelaksaaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung ( Pemilihan Kepala Daerah )langsung adalah Undang-Undang
No.32/2004 tentang pemerintah daerah. Adapun petunjuk pelaksanannya tertuang dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2005 tentang tata cara pemilihan, pengesahan,
pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang No.32/2004 merupakan produk perundangan pertama dalam sejarah .
Dipilihnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) secara
langsung menandai popularitas paradigma demokrasi parsitipatoris dan sekaligus
surutnya popularitas paradigma demokrasi representasi (demokrasi perwakilan) atau
pemenangan para penganjur demokrasi masa terhadap demokrasi elit. Artinya, Pemilihan
Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung melengkapi pembaharuan sistem
politik kontemporer hasil reformasi politik dan hukum ketatanegaraan.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur dan Wakil
Gubernur maupun Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Walikota, secara langsung oleh
rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih
pemimpin di daerah. Dengan demikian masyarakat memiliki kesempatan dan kedaulatan
untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi
(otonom, seperti mereka memilih lembaga eksekutif maupun wakil-wakilnya dalam
lembaga legislatif).
6
politik Indonesia yang mengatur Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah)
langsung.
Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan pemilihan langsung baru untuk
pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Karo dalam pemilihan bupati periode
2005-2010. Perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini memungkinkan
masyarakat untuk menentukan siapa figur yang akan memimpin di daerahnya. Dengan
Pemilihan Langsung ini masyarakat akan mempunyai preferensi terhadap calon-calon
yang diusung partai politik. Preferensi itu sendiri dapat diartikan……….
Masyarakat itu sendiri tidak dapat melepaskan faktor etnisitas di dalam
menentukan/ melihat preferensi terhadap calon-calon Kepala Daerah yang bersaing di
dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung tersebut. Dengan demikian perilaku
politik ada kaitannya dengan etnisitas.
Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemilihan pokok penelitian atau pengkajian
ini:
Pertama, Perilaku politik dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai
hubungan dengan etnisitas/kesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu unsur
pembentuk perilaku politk, selain masih ada faktor-faktor yang lain, seperti pengaruh luar
melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lain-lain. Namun bagi
bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai sekarang masih
menjadi salah satu yang termasuk terpenting. Kesadaran akan etnisitas masih cukup besar
dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau perorangan maupun dalam kehidupan
Kedua, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung baru untuk pertama kalinya
diselenggarakan di Berastagi. Sebelumnya sebagaimana halnya di seluruh Indonesia,
kepala Daerah tidak dipilih secara langsung. Hal tersebut menarik untuk diteliti untuk
mengetahui kesiapan masyarakat di dalam melaksanakan demokrasi langsung.
Ketiga, Pemilihan perilaku etnis Batak Toba didasarkan pada pertanyaan
bagaimanakah berlakunya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik dalam Pemilihan
kepalan daerah langsung yang calonnya semua dari golongan etnis lain.
Salah satu perwujudan dari etnistas dapat ditemukan sebagai budaya politik. Di
Indonesia sesuai dengan kemajemukan sukubangsa terdapat budaya politik dari
kehidupan politik yang beraneka ragam, Maka dapat dilihat bahwa setiap etnis maupun
daerah mempunyai ciri-ciri atau corak khas tertentu yang membedakan antara satu
dengan yang lainnya. Dan setiap etnis yang ada di Indonesia tersebut mempunyai pola
dan sistem budaya masing-masing yang mempengaruhi struktur dan sistem masyarakat
dan politiknya sebagaimana yang dapat dlihat dari contoh-contoh berikut7
1. Sistem kemasyarakatan suku Nias: Pada masa sebelum kedatangan orang Belanda
(1669), orang Nias terpecah-pecah menjadi beberapa kesatuan setempat yang disebut
ori (negeri). Tiap ori merupakan gabungan dari beberpa banua (desa), dan tiap banua
diperintah oleh seorang salawa (Kepala Desa). Pada jaman Belanda, semua ori di
seluruh Nias dan pulau-pulau sekitarnya dipersatukan menjadi Afdeeling Nias
dibawah seseorang asisstent resident. Para tuhenori masih dipertahankan oleh
Belanda untuk mengurusi ori-ori. Sejak jaman kemerdekaan Afdeeling Nias dijadikan
salah satu kabupaten dari Propinsi Sumatra Utara. Kabupaten Nias, pada masa ini
7
terdiri dari 13 kecamatan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang asisstent
wedana. Tiap kecamatan terdiri dari beberapa banua (desa) yang masing-masing
diketuai oleh seorang salawa.
2. Sistem Kemasyarakatan Suku Mentawai: Pada masyarakat Mentawai Lama ada
seorang tokoh yang disebut rimata adalah terutama memelihara bangunan uma
memelihara benda-benda keramat dalam uma, mengorganisasi, mengatur, dan
memimpin upacara-upacara serta aktivitas-aktivitas sosial yang bersangkut paut
dengan kesatuan uma. Dalam pekerjaannya, seorang rimata dibantu oleh dua orang
pembantu. Dengan berkurangnya aktivitas kehidupan sosial yang berpusat kepada
uma, maka uma bukan lagi berfungsi sebagai pusat keramat, dan demikian fungsi
rimata sebagai tokoh keramat dalam masyarakat menjadi hilang. Sejakk tahun 1954
tidak ada lagi rimata di Pagai dan Sipora. Pada masa sekarang kesatuan administratif
terkecil dalam masyarakat pedesaan di Mentawai adalah rukun tetangga, yang
kira-kira sama dengan apa yang dulu merupakan kesatuan uma dengan rumah-rumah
disekelilingnya dibawah seorang rimata. Sekarang hanya ada seorang kepala RT.
Sejumlah RT tergabung menjadi satu kampung di bawah seorang kepala kampung,
sedangkan sejumlah kampung-kampung merupakan satu kecamatan. Seluruh
Mentawai merupakan satu daerah dibawah seorang Kepala Nagari, yang pangkatnya
sama dengan bupati.
3. Sistem kemasyarakatan suku Batak Karo: Kepemimpinan di bidang pemerintahan
dipegang oleh salah seorang turunan tertua merga taneh. Kepala Kuta disebut
pengulu, kepala urung disebut raja urung atau sibayak untuk bagian kerajaan.
anak laki-laki tertua (sintua) atau bungsu (singuda). Anak laki-laki yang lain
(sintengah) tidak mempunyai hak menggantikan jabatan pimpinan, kecuali kedua
anak laki-laki itu tidak ada lagi atau tidak mampu. Selain daripada menjalankan
pemerintahan sehari-hari kepala dalam pemerintahan itu juga melakukan tugas
peradilan, yaitu penghulu mengetuai sidang di bale kuta dan raja urung mengetuai
bale urung. Pengadilan tertinggi ialah bale raja berempat yang merupakan sidang
dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo. Kepemimpinan dalam bidang
pemerintahan ini terdapat pada zaman sebelum tahun 1946.
4. Sistem kemasyarakatan Suku Jawa: secara administratif, suatu desa di Jawa disebut
kelurahan atau dikepalai oleh seorang lurah. Sekelompok dari 15 sampai 25 desa
merupakan suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh
seorang pegawai pamong praja yang disebut camat. Di dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari kepala desa dengan pembantu-pembantunya yang semuanya disebut
pamong desa, mempunya dua tugas pokok, ialah tugas kesejahteraan desa dan tugas
dari penduduk desa sendiri, dengan ketentuan-ketentuan bagi calon yang dipilih dan
memilih. Dengan adanya peraturan daerah yang berlaku atau yang disahkan untuk
misalnya Yogyakarta dan sekitarnya, dalam tiap-tiap kelurahan dibentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Kelurahan, yakni suatu badan yang merupakan wakil dari rakyat
untuk rakyat. Organisasi pemerintahan tersebut yang sekaligus menjadi badan
pimpinan mencakup dari rakyat desa, mewajibkan lurah untuk mengangkat
pembantu-pembantu. Adapun pembantu-pembantu itu adalah (1) carik, yang
bertindak sebagai pembantu umum dan penulis desa, (2) sosial yang memelihara
memepunyai kewajiban memperbesar produksi pertanian, (4) Keamanan, yang
bertanggung jawab atas ketentraman lehir dan batin penduduk desa, (5) Kaum, yakni
yang mengurus soal-soal nikah, talak, dan rujuk, dan kegiatan-kegiatan keagamaan,
juga soal-soal kalo ada kematian.
5. Sistem kemasyarakatan suku Minangkabau: Kecuali kelompok-kelompok kekerabatan
seperti paruik, kampueng dan suku, masyarakat Minangkabau tidak mengenal
organisasi-organisasi masyarakat yang bersifat adat yang lain. Demikian
instruksi-instruksi dan aturan pemerintah, soal administratif masyarakat pedesaan, seringkali
disalurkan kepada penduduk desa melalui penghulu suku atau penghulu andiko.
Sebuah suku disamping mempunyai seorang penghulu suku, juga mempunyai seorang
dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah suku, sedangkan
manti berhubungan dengan tugas-tugas keamanan. Adapun kampueng tidak perlu kita
perhatikan benar, karena tidak seluruh daerah di Minangkabau mempunyai
pembagian kampueng sebagai kesatuan yang lebih kecil daripada suku.
Dari contoh yang terdapat dalam kehidupan suku-sukubangsa di Indonesia di atas
dapat disimpulkan adanya kemajemukan atau keragaman struktur dan sistem
kemasyarakatan dan politik. Struktur dan sistem kemasyarakatan dan politik itu
merupakan dua bentuk perwujudan etnisitas yang dalam skripsi ini menunjukkan
masing-masing sukubangsa mempunyai sistem politik sendiri yang akan mempengaruhi perilaku
politiknya.
Kalau diperhatikan lebih mendalam dan lebih seksama lagi kenyataan kehidupan
politik suku-sukubangsa itu berkaitan pula dengan jenis dan intensitas pengaruh yang
intensitasnya, ada yang kurang atau sangat sedikit dan ada pula yang tidak memperoleh
pengaruh luar sama sekali. Kehidupan politik Jawa, misalnya, mendapat pengaruh Hindu
dan Islam yang sangat intensif, Bali pengaruh Hindu yang intensif, Aceh, Melayu dan
Minangkabau pengaruh Islam yang intensif, sejumlah sukubangsa di Papua, terutama
yang masih terisolir, tidak mendapat pengaruh luar.
Etnisitas merupakan faktor penting dalam perilaku pemilihan umum di Indonesia.
Kelompok etnis mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan
orientasi seseorang. Adanya rasa kesukuan atau kedaerahan mempengaruhi dukungan
seseorang terhadap partai politik. Etnis dapat mempengaruhi loyalitas seseorang terhadap
partai tertentu.
Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (Ethnic loyalty) yang relatif
tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas.8
Kajian berupa penelitian mengenai perilaku politik etnis pernah dilakukan oleh
Profesor.R.Willian Liddle.
Kesetiaan etnis di
Indonesia masih tampak signifikan dan pengabaian faktor etnis dapat menimbulkan
kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas
menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang.
9
8
Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, Jakarta:LP3ES, 2003, hal.182
9
R.William liddle, Partisipasi dan Partai Politik di Indonesia Pada Awal Orde Baru, Jakarta:PT.Pustaka Utama Gtafiti, 1992, hal.22-81
Dimana Liddle melakukan penelitian tentang tingkah laku
politik di sebuah daerah di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun dan Pematang
Siantar sebagai kota utamanya. Dalam penelitian ini Liddle mencoba mengaitkan analisa
makronya tentang tingkah laku politik lokal dengan apa yang kelihatan makro di tingkat
Di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar Liddle menemukan
hubungan-hubungan antara partai lokal dengan kelompok Agama, budaya, etnis. Dimana
pada waktu itu rakyat Indonesia sangat mendambakan partai-partai yang akan mewakili
kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari hasil penelitiannya Liddle mengetahui
bahwa proses perkembangan Simalungun dan Kota Pematang Siantar menjadi daerah dan
kota perkebunan sejak zaman colonial Belanda telah turut membedakannya dari sebagian
besar daerah atau kota lain di Indonesia.
Perbedaan etnis diikuti pula oleh perbedaan agama yang mereka peluk serta
lapangan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semua
perbedaan diatas yaitu perbedaan etnis, agama, pekerjaan, menjurus pula pada perbedaan
organisasi sosial atau partai politik yang mereka pilih atau ikuti10
Kenyatan-kenyataan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan bagaimana
hubungan ataupun pengaruh etnisitas, khususnya struktur masyarakat dan politiknya
kepada perilaku politik dari masyarakat sukubangsa itu dalam kehidupan politik sekarang
yang dalam skripsi ini dipusatkan pada pemilihan kepala daerah. Pertanyaan itu sangat
relevan mengingat politik aliran
. Dan Liddle
menyimpulkan bahwa primordialisme dan partai di Indonesia bagaikan zat dan sifatnya.
Yang pertama merupakan kenyataan-kenyataan sosial budaya, dan yang kedua adalah
ekspresi alamiahnya di bidang politik.
11
10
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Umum, 1992), hal 201.
11
Clifford Geertz, The History of An Indonesian Town.
masih menyatakan dirinya dalam perilaku atau
tindakan politik di Indonesia. Dan politik aliran itu masih terwujud dalam adanya
pemilihan partai terhadap suatu etnis tertentu, dimanasalah satu contohnya etnis suku
Karo mempunyai kecenderungan terhadap partai PDI- Perjuangan.
Apa yang dikemukakan diatas berlaku pula dalam perilaku politik individu atau
perorangan. Perilaku politik perorangan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya dan
politiknya, malah dapat juga ditemukan pengaruh lingkungan ekonomi. Oleh karena itu
pemahaman mengenai lingkungan-lingkungan itu diperlukan dalam upaya memahami
perilaku politik perseorangan.
i.2. PERUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka permasalahan dari skripsi
ini ialah:
1. Bagaimanakah pengaruh etnisitas dalam menentukan pilihan seseorang di dalam
Pemilihan.
2. Berkaitan dengan permasalahan (1) adalah permasalahan “bagaimanakah pengaruh
etnisitas Batak Toba di Berastagi dalam menentukan pilihan dalam pemilihan kepala
daerah pada tahun 2005 yang lalu.
i.3. RUANG LINGKUP PENELTIAN.
Adapun yang dijadikan ruang lingkup penelitian oleh penulis adalah sebagai
berikut:
1. Penelitian hanya dilakukan pada etnis Batak Toba yang telah berhak memilih dalam
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung Kabupaten Karo 2004 yang telah berusia
17 tahun ke atas atau yang sudah menikah.
2. Organisasi dan partai politik yang dimasuki oleh orang Batak Toba di Kabupaten Karo.
I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.
I.4.1 Tujuan Penelitian.
1. Mengeksplorasi seberapa besar suara pemilih etnis batak Toba terhadap PILKADA
kabupaten Karo tahun 2005.
2. Untuk menjelaskan secara umum perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam
kaitannya dengan pilihan calon bupatinya pada Pilkada Karo tahun 2005.
I.4.2 Manfaat Penelitian.
1. Bagi penulis, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang politik, terutama
dalam menganalisis perkembangan politik yang ada dalam masyarakat.
2. Bagi akademis dapat dijadikan sebagai pengembangan teori dalam ilmu politik dan
prilaku pemilih.
3. Bagi lembaga-lembaga pemerintahan daerah khususnya lembaga yang berkaitan
dengan Pemilihan Umum dapat dijadikan bahan referensi dalam memahami perilaku
politik dalam Pemilihan Umum
I.5. KERANGKA TEORITIS.
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalahnya “.12 Kejelasan atau landasan berpikir itu disebut
teori. Teori diperlukan karena menjadi penuntun dalam menentukan bahan-bahan yang
diperlukan dan yang dikumpulkan melalui penelitian. Selain daripada itu teori juga
berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahan-bahan yang diperoleh melalui penelitian.
Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep13
12
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2001, hal 39.
13
I.5.1. Etnis
etnis dapat dipahami melalui pengertian dari etnis tersebut secara umum. Menurut
Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan
kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau
kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut
Ariyuno suyono dalam Kamus Antropologi Pressindo Jakarta, tahun 1985, bahwa etnis
adalah hal yang mempunyai kebudayaan tersendiri. Kelompok etnis adalah suatu
kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam
suatu peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas untuk memisahkan
antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya.
Menurut koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan,
sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan
bahasa juga14
Ciri-ciri tersebut terdiri dari: .
Sukubangsa yang sering pula disebut etnik atau golongan etnik mempunyai
tanda-tanda atau ciri-ciri karakteristiknya.
15
1. Setiap sukubangsa yang ada di Indonesia mempunyai wilayah sendiri. Hak memiliki
itu diperoleh dari para pendahulu yang dianggap sebagai pemilik pertama atau
terdahulu. Selain mereka tiadalah yang berhak. Wilayah yang dimiliki itu penting
14
Koentjaraningrat, loc.cit
15
sekali oleh karena merupakan “jaminan” keabsahan dan kebenaran keanggotaan
sukubangsa
2. Sukubangsa mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan
pengaturan kekuasaan yang ada. Suku bangsa-suku bangsa mempunyai sistem hirarki
kekeuasaan yang telah terumus sejak lama dan diikuti sebagai sesuatu yang “suci”;
mempunyai pembagian wilayah kekuasaan atau pemerintahan dari yang terkecil
hingga yang terluas; mempunyai peraturan untuk setiap kehidupan yang tertuang dan
terkumpul sebagai norma dan kebiasaan ( adat ).
3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Bahasa
tersebut selain mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi dalam interaksi sekaligus
juga ditanggapi sebagai indentitas sukubangsa. Bahasa sukubangsa hingga sekarang
masih dipakai dalam interaksi antara anggota sukubangsa, khususnya di dalam acara
dan upacara kesukubangsaan, seperti upacara perkawinan, kematian, dan lain-lain, di
tempat-tempat umum tertentu, seperti pasar setempat, warung-warung dan lain-lain.
4. Sukubangsa mempunyai seni sendiri, seperti seni tari dan lagu lengkap dengan
alat-alatnya, susastra lisan atau tulisan berupa cerita rakyatatau yang lain, mempunyai seni
ragam hias (ornamentasi) dengan pola khas sendiri dan lain-lain.
5. Sukubangsa mempunyai seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman.
Berbagai bentuk rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan
arsitektur masing-masing sukubangsa.
6. Sukubangsa mempunyai sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan,
sikap dan tindakan. Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan
7. Sukubangsa mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri
Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi
keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang
kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah
berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki,
seperti misalnya ada kesamaan strukutur sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan
sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu
berperan dan dianggap biasa. Namun, dalam situasi tertentu, kesadaran laten ini bisa
mengental dan mengedepan. Dalam kaitan itu, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi
munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.16
Etnisitas mempunyai tiga dimensi yang berbeda yaitu horizontal, vertical, dan
intensitas datau kedalamannya. Dalam dimensi horizontal, etnisitas bisa menjadi strategi
untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi. Dan sebagai pembatas sosial yang
membedakan kita dengan mereka. Kemudian sebagai kreativitas kultural. Dalam dimensi
Horizontalnya, etnisitas tidak mengandung hirarki antar etnis, atau memiliki pandangan
merendahkan etnis lain. Etnisitas sekedar digunakn sebagai alat untuk melegitimasi
tuntutan perolehan sumber daya yang semakin langka atau digunakan untuk
memperkukuh posisi dalam persaingan dengan individu lain. Dalam dimensi vertikal
etnisitas diwarnai predikat negatif seperti rendah diri, terbelakang, sempit, dan
sejenisnya. Sedangkan dimensi berikutnya menunjuk pada kedalamannya. Intensitas dari
ketegangan kepentingan nasional sentralistik dan etnik-regionalistik akan mengamnil dua
bentuk yang belawanan yaitu perpecahan antar etnik dan kekeyaaan kultural.17
16
Ivan.A.Hadar. “Etnisitas dan Negara Bangsa”. Kompas, 29 mei 2000.
17
Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik yaitu pendekatan objektif (structural)
dan pendekatan subjektif (fenomenalogis). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok
etnik sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya
berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan.
Sedangkan perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana
orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok
etnik dan diidentifikasi denikian oleh orang-orang lain. Dan memusatkan perhatiannya
pada keterikatan dan rasa memiliki.18
Menurut Dennis Kavanagh,
Menguatnya identitas kesukuan mempunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis
konsekuensi antara lain pertama, adalah menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan
negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam
pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari
di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih
senang mendudukkan orang di sekitarnya dalah orang yang seetnis atau sedaerah
dengannya.
I.5.2. Pendekatan-pendekatan perilaku Politik
19
1. Pendekatan Struktural, kita dapat melihat kegiatan pemilih ketika memilih partai
sebagai produk dari konteks struktur struktur yang luas, seperti struktur sosial
masyarakat, sistem kepartaian, sisitem Pemilu dan program-program yang ditonjolkan untuk menganalisis perilaku pemilih dapat
digunakan lima pendekatan, yaitu:
18
Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT.Reaja Rosdakarya, 1998), hal.152
19
partai-partai peserta Pemilu. Dalam model ini, tingkah laku seseorang termasuk di
dalam penentuan pilihan ditentukan perngelompokan sosial, agama, bahasa, dan
etnis/suku.
2. Pendekatan Sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitannya
dengan konteks sosial. Pilihan seseorang dalam Pemilu dipengaruhi latar belakang
demografi dan sosial ekonomi, afiliasi etnik, jenis kelamin, tempat tinggal (
kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. Model ini melihat bahwa
masyarakat sebagai suatu kesatuan kelompok yang bersifat vertical dari tingkat yang
terbawah hingga yang teratas. Pendekatan sosiologis ini memandang bahwa
faktor-faktor sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, jenis kelamin, pekerjaan, dan
tempat tinggal merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku
memilih dalam pemilihan umum. Status sosial ekonomi yang biasanya didukung oleh
faktor pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan memiliki keterkaitan dengan dengan
salah satu organisasi politik yang ada. Maka dapat dilihat bahwa pendekatan ini
menganggap bahwa faktor sosiologis yang paling berperan dalam menentukan
prefensi partai politik seseorang di dalam pemilu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
faktor primordialisme turut mempengaruhi orientasi politik seseorang yang
berdampak pada perilaku politiknya.
3. Pendekatan ekologis relevan apabila dalam daerah pemilihan terdapat perbedaan
karakteristik pemilih yang didasarkan pada unit teritorial. Kelompok masyarakat
penganut agama, buruh, kelas menengah, suku bangsa, yang bertempat tinggal di
ini dapat diamati dengan adanya perubahan komposisi penduduk yang tinggal di satu
unit territorial dapat dijadikan penjelasan atas perubahan hasil Pemilihan Umum.
4. Pendekatan Psikologi Sosial menyatakan tingkah laku pemilih akan dipengaruhi oleh
interaksi antara faktor internal dan eksternal. Misalnya sistem kepercayaan, agama,
dan pengalaman hidup seseorang. Menurut pendekatan ini, para pemilih menentukan
pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai
produk dari sosialisasi. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai
refeleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan di dalam
perilaku politiknya. Konsep yang digunakan adalah konsep psikologi sosial terutama
konsep sikap dan sosialisasi. Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan
untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi
partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau
keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Partai yang secara emosional
dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
5. Pendekatan Pilihan Rasional, model ini sebenarnya lanjutan dari pendekatan psikologi
sosial yang ingin melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk hitungan untung
atau rugi. Namun pertimbangannya bukan ongkos memilih, melainkan suara yang
terkumpul dapat mempengaruhi hasilnya. Pertimbangan itu sering digunakan para
pemilih yang mencalonkan diri agar dapat dipilih menjadi calon terpilih. Bagi
mayoritas pemilih, pertimbangan untung rugi digunakan untuk membuat keputusan
terhadap partai yang dipilih, termasuk memutuskan bagaimana seseorang harus
menentukan sekali. Penganut model ini sering mencoba meramalkan tindakan
manusia berdasarkan asumsi sederhana, yakni setiap orang berusaha keras mencapai
apa yang dinamakan self interest.
I.5.3. Pemilihan Umum
Suatu proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi
pemilihan. Dalam hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan, maka
dipakailah sebutan pemilihan umum, disingkat dengan pemilu.20
Pemilihan umum adalah mekanisme pergantian kepemimpinan nasional yang
secara demokratis melibatkan seluruh masyarakat di suatu negara. Begitu bermaknanya
pemilihan umum bagi semua orang, maka pemilihan umum yang menjadi indikator
demokratisnya suatu negara. Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan
pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan umum, maka keterlibatan
masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi itu sendiri.
Maka pemilu berarti
rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin
rakyat atau pemimpin negara.
Di negara-negara yang demokratis pemilihan merupakan alat untuk memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dan
sistem politik yang berlaku. Dengan hal itu pula, pemilihan tetaplah merupakan bentuk
partisipasi politik rakyat.
21
20
Donald Parulian, Menggugat PEMILU, Jakarta, PT. Penebar Swadaya, 1997, hal. 4.
21
Doni Hendrik, Perilaku Memilih Etnis Cina dalam Pemilu tahun 1999 di Kota Padang, Jurnal Analisa Politik Vol. 1, Padang, 2003, hal. 52.
Pemilihan umum
dengan makna demokrasinya adalah tempat berkompetisinya partai politik yang secara
itu, pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan
dukungan suara kepada kandidat dan partai politik yang ada.22
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pengganti
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah disahkan oleh presiden menjadi Undang-Undang-Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagian isi Undang-Undang ini ( pasal
I.5.4 Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang diawali setelah diberlakukannya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi
lokal di Indonesia. Melalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk
menyebarkan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan memacu tumbuhnya kekuatan
yang pro demokrasi di daerah. Artinya melalui Pemilihan Kepala Daerah yang secara
langsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan
mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan.
I.5.4.1. Dasar Hukum dan Eksistensi Pemilihan Kepala Daerah
Perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dari sistem
perwakilan ke sistem pemilihan langsung merupakan suatu kemajuan signifikan bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia yang sedang menjalani masa transisi demokrasi
ini. Perubahan tersebut telah sepatutnya diikuti oleh perubahan yang sama pada sistem
politik lokal.
Pemilihan Kepala Daerah merupakan momen politik yang telah diadakan serentak
semenjak bulan Juni 2005 sebagai ekses dari pemilihan presiden langsung untuk alasan
penegakan demokrasi lokal di daerah.
22
56 sampai dengan pasal 119 ) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Dalam pembuatan Undang-Undang
ini, tidak merujuk kepada pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang digunakan sebagai rujukan utama adalah pasal
18, pasal 18A dan pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemerintahan
daerah, karena menyangkut pemerintahan daerah, maka yang dijadikan rujukan adalah
pasal yang mengatakan kepala daerah dipilih secara demokratik, karena itu di dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, pemilihan kepala daerah tidak dikategorikan
sebagai pemilu. Maka lebih lanjut mekanisme pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan
pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur kembali di dalam sebuah
peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005.
Pelaksana dari pemilihan kepala daerah langsung ini menurut Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 diberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah,
tidak saja merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah tetapi juga diberi kewenangan menyusun semua tata cara yang berkaitan
dengan tahap persiapan dan pelaksanaan dengan berpedoman kepada Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005, akan tetapi pemberian wewenang kepada Komisi
Pemilihan Umum Daerah sama sekali tidak sedikit pun dikaitkan dengan Komisi
Pemilihan Umum Pusat yang menjadi induk Komisi Pemilihan Umum Daerah tersebut
seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003.23
23
Ramlan Surbakti, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Merupakan bagian Dari
I.5.4.2 Perangkat Regulasi dan Kelembagaan Pemilihan Kepala Daerah
Keseriusan pemerintah dalam menangani Pemilihan Kepala Daerah tercermin dari
perangkat regulasi dan kelembagaan. Tercatat sederet kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk memuluskan pelaksanaan,24
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. seperti :
2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
4. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah Daerah Untuk
Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
I.5.4.3. Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi
rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan
guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem
pemilihan umum.
Perbedaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan
pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai
individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan
dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai
24
anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang
akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan ia tidak berhak mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat.
Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum
dapat dibedakan menjadi25
Berdasarkan sistem pemilihan mechanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara, Sistem Pemilihan Mechanis dan Sistem Pemilihan Organis.
Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang
sama sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan
yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan organis yang menempatkan rakyat
sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam
persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan
lembaga-lembaga sosial.
26
Dalam sistem perwakilan proporsional ini dikenal dua sistem yakni hare system
dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi
kesmpatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan
yang bersangkutan. Berbeda dengan list system pemilih diminta memilih diantara daftar yakni Sistem Perwakilan Distrik/Mayoritas/Single Member Constituencies dan Sistem
Perwakilan Proporsional. Karakter utama dari sistem distrik dimana wilayah negara
dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya
sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang
dikehendaki. Dalam sistem proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena
pemilihan bersifat nasional.
25
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia;Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998, hal. 195.
26
calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam
pemilihan umum.
Berbeda dengan sistem pemilihan presiden dimana yang digunakan adalah model
second round past the post dengan batas minimal perolehan suara 50 % plus satu untuk
meraih kursi, jika tak ada calon dengan jumlah suara tersebut pada putaran pertama,
digelar putaran kedua terhadap dua calon teratas dengan konsekuensi biaya menjadi
sangat besar ;model penetapan kepala daerah terpilih yaitu dari sistem first past the post
dengan batas minimal perolehan suara 25 %. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005, bahwa apabila tidak terpenuhi lebih dari 50 % dari jumlah
suara sah, maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
memperoleh suara sah lebih dari 25 % dari seluruh jumlah suara sah, maka pasangan
calon yang memperoleh suara tersebar ditetapkan sebagai Calon Terpilih.27
Tata kelola (governance) Pemilihan Kepala Daerah menyangkut berbagai aspek
yang menentukan keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah yaitu aspek kesiapan
masyarakat pemilih, ketrampilan petugas lapangan, pendanaan, dan peraturan pemilihan.
Good Pilkada Governance adalah Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara
demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk
berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah harus bebas dari segala Dan prinsip
yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah prinsip Voluntary Voting, dimana
massa pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela.
I.5.4.4 Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah
27
KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di
bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses
pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.28
Good Pemilihan Kepala Daerah governance setidaknya akan menghasilkan enam
manfaat penting.
Pemilihan Kepala Daerah berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik,
lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi
yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat.
Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai
dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat
dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan
Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi
cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif.
29
1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagimana
diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Pemilihan
Kepala Daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam
pemilihan Kepala Daerah pada masa lalu. Pemilihan Kepala Daerah bermanfaat untuk
memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan
maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society).
2. Pemilihan Kepala Daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pemilihan
28
Syamsul H. Tubani Op.cit., hal. x-xi.
29
Kepala Daerah akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang langsung
mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif).
3. Pemilihan Kepala Daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki
legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala Daerah hasil Pemilihan
Kepala Daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah
selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan
berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya.
4. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih
bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan
menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat
daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai
konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
5. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang
lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal,
terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintah pusat, tidak
mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara
lebih baik.
6. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money
politics) yang merajalela dalam proses pemilihan Kepala Daerah tidak langsung
I.5.4.5.Proses Pengajuan Bakal Calon Kepala Daerah Kabupaten Karo 2005
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
bahwa partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon
harus menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karo hasil Pemilihan Umum 2004
yaitu 15 :100 x 35 = 5,25 yang dibulatkan menjadi 6 kursi, atau sekurang-kurangnya 15%
dari perolehan jumlah suara sah dalam Pemilihan Umum 2004 atau 23.244 suara sah30
Nama Pasangan Calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
.
Pendaftaran Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Karo
Tahun 2005dilaksanakan mulai dari 25 s/d 31 Juli 2005 dengan komposisi pasangan
calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Karo sebagai berikut
TABEL 1
DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI
KABUPATEN KARO
DJIDIN SEBAYANG dan Drs.
HERMAN PERANGIN-ANGIN
MM
6 Kursi PPDK, PDS, dan Partai PIB
LAYARI SINUKABAN dan
SURYAWATI Br SEBAYANG
6 Kursi Partai Golkar
Drs. DAULAT DANIEL 24.983 Suara sah atau PBB, PPP, P. Demokrat,
3030
KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di
SINULINGGA dan
Ir. NELSON SITEPU
16,12% PKPI, P.PDI, PKPB, PKB,
PKS
Ir. ARIES EKLESIA SEBAYANG
dan BADIKENITA SITEPU
SE.M.Si
26.161 Suara sah atau
16,88%
PNI-M, P Merdeka, PBSD,
PNBK, P. PNUI, PSI, PPD,
P.PELOPOR,PBR
KENA UKUR SURBAKTI dan
SITI AMINAH Br
PERANGIN-ANGIN
11 Kursi PDI Perjuangan
SINAR PERANGIN-ANGIN dan
SURYA PERANGIN-ANGIN, SH
6 Kursi P. Patriot Pancasila dan PAN
Sumber: KPU Kabupaten Karo
Setelah seluruh berkas pasangan calon kembali diserahkan ke Komisi Pemilihan
Umum Karo oleh para calon, Komisi Pemilihan Umum Karo kembali meneliti berkas ,
dan ternyata ada 1 orang calon Wakil Kepala Daerah tidak memenuhi syarat atas nama :
Badikenita Br Sitepu SE, M,Si yang kemudian digantikan oleh Dr. Supredo Kembaren
SpB.
Pengundian nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati dilakukan pada tanggal
31 agustus 2005. Hasil undian pasangan nomor urut calon adalah sebagai berikut:
1. Drs. Daulat Daniel Sinulingga dan Ir. Nelson Sitepu.
2. Djidin Sebayang SH dan Drs. Herman perangin-angin.
3. Kena Ukur Surbakti dan Siti Aminah Perangin-angin SE.
4. Sinar Perangin-angin dan Surya Perangin-angin SH.
5. Ir. Aries Eklesia Sebayang dan Dr. Supredo Kembaren, SpB.
6. Layari Sinukaban dan Suryawaty Br Sebayang31
31
Ibid, hal. 9
Adapun program-program yang ditawarkan calon-calon tersebut kepada masyrakat
adalah sebagai berikut:
1 Drs. Daulat Daniel Sinulingga dan Ir. Nelson Sitepu:
1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pendidikan.
3. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan.
4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana serta mutu pelayanan
kesehatan masyarakat.
5. Meningkatkan ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dalam setiap waktu.
6. Meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih dan sanitasi dasar.
7. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kebersihan lingkungan.
8. Menggali menggunakan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber daya
alam secara optimal yang berwawasan lingkungan.
9. Membentuk tim asistensi penggunaan teknologi tepat guna sektor pertanian dan
industri berbasis pertanian.
10.Membentuk kerjasama dengan propinsi di luar propinsin SumateraUtara dan
sesama pemerintahan Kabupaten/ Kota dalam berbagai bidang dan sector seperti:
Tenaga kerja, pendidikan dan pelatihan, teknologi, perdagangan, kesehatan,
pariwisata, kesehatan dan lain-lain yang diperlukan.
11.Membentuk kerjasama dalam rangka menyukseskan roda perekonomian dengan
para pelaku usaha seperti: Kadin, PHRI, ASITA, BANK, Lembaga Keuangan non
bank dalam upaya menumbuhkan suasana yang kondusif bagi perkembangan
12.Membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian
untuk meningkatkan IPTEK.
13.Meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja jamsostek, Astek, dan hak-hak
normative pekerja agar dipenuhi perusahaan.
14.Peningkatan pengelolaan kualitas sarana dan prasarana pasar tradisional.
15. Meningkatkan kualitas jalan kabupaten menuju sentral produksi dan peningkatan
serta mengmbangkan jalan usaha tani.
16. Bekerjasama dengan aparat keamanan meningkatkan sistem Kamtibmas dalam
rangka pemberantasan penyakit masyarakat.
17. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan untuk mengeliminir terjadinya penyimpangan terhadap peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku/ KKN.
18.Memasukkan budaya Karo dalam kurikulum muatan local pada pendidikan dasar,
dan pendidikan prasekolah.
2. Djidin Sebayang SH dan Drs. Herman perangin-angin.
1. Meningkatkan kualitas pegajar tingkat dasar dan menengah
2. Menigkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai
3. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perilaku hidup sehat
4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sarana dan prasarana yang
memadai
5. meningkatkan peranan koperasi, UKM dan pelaku usaha ekonomi perorangan
untuk menunjang perekonomian masyarakat
7. Memperbanyak dan mengintensifkan penggunaan alat atau mekanisme
pertanian
8. hmelestarikan nilai-nilai budaya karo dengan tidak menutup diri terhadap
budaya luar yang bersifat positif.
9. Meningkatkan peran serta masyarakat, tokoh agama, rohaniawan dalam
pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan
10.Meningkatkan peranan kelompok tani
11.Pengolahan obyek kepariwisataan
12.Pembukaan obyek kepariwisataan untuk memperbanyak kedatangan turis
13.Melestarikan hutan lindung
14.Menanggulangi semakin luasnya lahan kritis
15.meningkatkan peranan koperasi
16.meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan teknologi dan hasil
pertanian
17.meningkatkan peran serta tokoh agama dan rohaniawan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
18.mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan
lingkungan
3. Kena Ukur Surbakti dan Siti Aminah Perangin-angin SE
1. Meningkatkan kualitas pegajar tingkat dasar dan menengah
2. Menigkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai
4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sarana dan prasarana yang
memadai
5. meningkatkan peranan koperasi, UKM dan pelaku usaha ekonomi perorangan
untuk menunjang perekonomian masyarakat
6. Mengembangkan pemahaman terhadap sistem hidup yang demokratis
7. Memperbanyak dan mengintensifkan penggunaan alat atau mekanisme
pertanian
8. melestarikan nilai-nilai budaya karo dengan tidak menutup diri terhadap
budaya luar yang bersifat positif.
9. Meningkatkan peran serta masyarakat, tokoh agama, rohaniawan dalam
pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan
10.Meningkatkan peranan kelompok tani
11.Pengolahan obyek kepariwisataan
12.Pembukaan obyek kepariwisataan untuk memperbanyak kedatangan turis
13. Melestarikan hutan lindung
14.Menanggulangi semakin luasnya lahan kritis
15.meningkatkan peranan koperasi
16.meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan teknologi dan hasil
pertanian
17.meningkatkan peran serta tokoh agama dan rohaniawan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
18.mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan
4.Sinar Perangin-angin dan Surya Perangin-angin SH.
1. meningkatkan pengelolaan pasar tradisional
2. meningkakan pelayanan dan perlindungan sosial terhadap masyarakat
penyandang keterbatasan sosial
3. membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat
4. meningkatkan keterampilan kerja masyarakat
5. melakukan penyaringan terhadap kemajuan dan pengaruh dari luar terhadap
budaya karo
6. membuka peluang kerjasama dalam meningkatkan kualitas tenaga medis dan
para medis
7. meningkatkan penggunaan kompensasi BBM
8. meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah
9. meningkatkan peluang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di luar
daerah bahkan di luar negeri.
10.mencipakan suasana kondusif dalam kehidupan kenegaraan dan partisipasi
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan
prinsip-prinsip good governance
11.meningkatkan fasilitas UKM oleh pelaku perbankan
12.meningkatkan arus kelancaran transportasi barang regional, nasional dan
internasional
13.meningkatkan promosi pariwisatan dengan investor sing
14.memberantas jalur peyalahgunaan narkoba
16.membuka lapangan kerja baru bagi pencari kerja
17.melaksanakan pengawasan terhadap pengaruh luar yang datang dari luar yang
sifatnya negatif
18.meningkatkan pemahaman terhadap budaya karo
19.menciptakan iklim persaingan yang kompetitif terhadap daerah lain
5.Ir. Aries Eklesia Sebayang dan Dr. Supredo Kembaren, SpB.n
1. meningkatkan kualitas sumber daya manusia pendidikan
2. pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan
3. meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta mutu pelayanan kesehatan
4. memberantas penyakit menular
5. meningkatkan ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dalam setiap waktu
6. meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih dan sanitasi dasar
7. meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kebersihan lingkungan
8. menggali dan menggunakan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber
daya alam secara optimal yang berwawasan lingkungan
9. membentuk tim penggunaan teknologi tepat guna sektor pertanian dan industri
berbasis pertanian
10.membentuk kerjasama dengan pemerintah di luar provinsi Sumut dalam
berbagai sektor seperti tenaga kerja, pendidikan dan latihan, teknologi dan
perdagangan, kesehatan, pariwisata
11.membentuk kerjasama dalam rangka mensukseskan roda perekonomian
12.membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian untuk
meningkatkan IPTEk
13.membentuk kerjasama dengan LSM, Organisasi kemasyarkatan dalam rangka
meningkatkan pendidikan politik dan pemahaman terhadap nilai-nilai
demokrasi serta wawasan kebangsaan
14.bekerjasama dengan aparat terkait untuk penuntasan masalah pestisida palsu,
pupuk palsu dan obat-obatan palsu
15.memberdayakan tokoh agama dan rohaniawan sebagai mediator, perumus,
aspirasi masyarakat dan penyebarluasan kebijakan pemerintah
16.menyelenggarakan latihan dan keterampilan kepada angkatan kerja untuk
menjawab tuntutan peluang kerja, termasuk penyuluhan tentang peluang
lapangan kerja
6. Layari Sinukaban dan Suryawaty Br Sebayang.
1. meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja jamsostek, astek, dan hak-hak
normatif pekerja
2. mendorong dan mengembangkan usaha penginapan milik masyarakat di
sektor objek wisata
3. mencegah perambahan hutan dan penebangan liar dalam kawasan hutan serta
peningkatan pengelolaan koperasi menurut asas dan prinsip perkoperasian
terutama asas open managemen
4. meningkatkan sumber daya manusia masyarakat
5. meningkatkan kualitas SDM pengelolaan koperasi
7. meningkatkan kualits jalan menuju sentral produsi dan peningkatan serta
mengembangkan jalan usaha tani
8. meningkatkan sarana dan prasarana serta pelayanan terhadap penyandang
keterbatasn sosial
9. meningkatkan kerjasama dengan aparat kamanan dalam sistem kamtibmas
dalam rangka pemberantasan penyakit masyarakat.
10.meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kuantitas sarana, prasarana
kepariwisataan
11.meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM pengelolaan pariwisata
12.meningkatkan kesadaran budaya wisata kepada masyarakat terutama
masyarakat di sekitar obyek wisata
13.meningkatkan promosi pariwisata
14.membuat sebuah forum lembaga karo untuk wadah berkomunikasi
15.memasukkan budaya karo dalam kurikulum muatan lokal pada pendidikan
dasar dan pendidikan prasekolah
16.meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan untuk mengeliminir terjadinya penyimpangan terhadap
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
17.mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan
lingkungan
I.6. KERANGKA KONSEP
Konsep adalah abstarksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar
generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu
tertentu.32
Menurut koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan,
sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan
bahasa juga
Maka defenisi konsep yang dipergunakan penulis yaitu:
I.6.1. Etnis
Etnisitas mempunyai kata dasar etnik yang berarti atau yang dalam Bahasa
Indonesia disebut juga sukubangsa. Jadi merupakan bagian dari satu bangsa. Bila
demikian etnisitas berarti yang berhubungan atau yang mempunyai kaitan dengan etnik
atau sukubangsa atau kesukubangsaan.
33
32
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal 34
33
Koentjaraningrat, loc.cit .
I.6.2. . Pemilihan Kepala Daerah
Merupakan suatu tahapan proses pemilihan langsung secara prosedural oleh
rakyat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya atau dengan kata lain untuk memilih
pemimpin eksekutif daerah tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite
politik atau tanpa keterlibatan dan intervensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga
pada akhirnya melahirkan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada
I.6.3. Perilaku Politik.
Perilaku politik ialah segala perilaku yang berkaitan dengan proses politik34
Pembentukan perilaku politik dipengaruhi oleh
sebagaimana yang dapat dilihat dalam kampanye pemilihan umum, dalam penentuan
dukungan yang diberikan dalam pemilihan, dalam pilihan keanggotaan organisasi atau
partai politik dan lain-lain sebagainya.
35
1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, ekonomi, sistem
budaya dan media massa.
:
2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian
aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan.
3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
4. Sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor
secara langsung ketika akan melakukan suatu kegiatan, seperti cuaca, keadaan
keluarga, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuk.
Pembentukan perilaku politik berlangsung dalam:
1. Organisasi dan Partai Politik
2. Lembaga-lembaga non-formal yang terdapat dalam masyarakat
3. Lembaga Pendidikan
34
Ramlam surbakti, Memahami Ilmu Politik, ( Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia 1992 ) hal.15.
35
I.6.4. Perilaku Memilih
Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya
dengan proses Pemilihan Umum. Menurut Plano, perilaku memilih adalah salah satu
bentuk perilaku politik yang tebuka. Huntington dan Nelson menyebutkan sebagai
electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (voting), bantuan kampanye, bekerja
dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang
direncanakan untuk mempengaruhi proses Pemilihan Umum.
I.7. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana
caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah semacam
petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.36
• Memiliki marga yang termasuk dalam marga suku Batak Toba. 1. Etnis Batak Toba dengan indikator sebagai berikut:
• Menganut sistem patrilineal dalam sistem kekerabatannya.
2. Preferensi calon bupati dengan indikator sebagai berikut:
• Calon bupati tersebut terdaftar sebagai peserta pada Pemilihan Kepala Daerah
kabupaten Karo 2005.
3. Pemilihan Kepala Daerah dengan indikator sebagai berikut:
• Pemilihan Kepala Daerah yang bertujuan untuk memilih bupati.
• Pemilihan Kepala Daerah dimana masyarakata dapat memilih secara langsung
nama calon bupati yang diinginkan sesuai dengan daftar calon yang tersedia.
36
4. Perilaku Memilih
• Berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungan dengan proses Pemilihan
kepala daerah
• Berkaitan dengan proses pemberian suara untuk memilih wakil rakyat dalam
Pemilihan Kepala Daerah.
I.8. METODOLOGI PENELITIAN
I.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksploratif.
Dengan demikian akan melakukan penelitian dalam rangka penjajakan.
I.8.2. Populasi dan Sampel Penelitian.
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai
sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian. Sedangkan
sampel adalah sebagian dari populasi untuk mewakili seluruh populasi.37
Alasan memilih pemilihan etnis Batak Toba sebagai populasi karena skripsi ini
akan meneliti perilaku politik dari golongan etnis minoritas di dalam kegiatan politik
yang diselenggarakan di dalam masyarakat yang mayoritas homogen. Pertanyaan
selanjutnya ialah faktor apa yang menentukan pilihan oleh masyarakat etnis minoritas
didalam lingkungan yang mayoritas homogen. Hal ini berlatarbelakang pada pasangan-Populasi 760 orang, yaitu masyarakat etnis Batak Toba yang bertempat tinggal di
desa Rumah Berastagi yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah.
37