BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Di satu sisi, masalah gizi
kurang masih belum dapat diselesaikan, muncul masalah gizi lebih yaitu obesitas.
Obesitas adalah peningkatan lemak tubuh. obesitas terjadi akibat asupan energi lebih
tinggi daripada energi yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh
konsumsi makanan sumber energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi
yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan sedentary life style.
(Sartika, 2011).
World Health Organization (WHO) menyatakan obesitas pada anak
merupakan masalah global dan memberikan pengaruh yang cukup besar terutama
pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Jumlah anak-anak yang
mengalami kelebihan berat badan pada tahun 2010 diperkirakan lebih dari 42 juta
anak, dan hampir 35 juta anak diantaranya tinggal di negara berkembang (Paramitha,
2013).
Angka obesitas di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi kejadian
obesitas. Dehghani,dkk (2005) menyatakan antara tahun 1976-2008, obesitas pada
anak 6-11 tahun meningkat dari 6,7% menjadi 19,6%. Data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 menunjukkan prevalensi kegemukan pada anak di Indonesia yaitu dari
tahun 2013 masalah gemuk masih tinggi yaitu 18,8%, terdiri dari overweight 10,8%
dan yang obesitas 8,8%.
Angka prevalensi kejadian obesitas di Sumatera Utara juga menunjukkan
peningkatan. Hasil riskesdas tahun 2007 dan 2010 menunjukkan bahwa Sumatera
Utara memiliki angka prevalensi obesitas yang lebih tinggi dari angka prevalensi
nasional. Pada tahun 2010 prevalensi obesitas anak usia sekolah secara nasional
sebesar 9,2%, sementara Sumatera Utara berada pada angka 10,5% (Kemenkes,
2012). Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Sumatera Utara menjadi
salah satu penyumbang tingginya jumlah anak-anak yang obesitas di Indonesia.
Masalah obesitas pada anak sekolah merupakan masalah yang serius karena
akan berlanjut hingga usia dewasa. Kegemukan dan obesitas pada anak berisiko
berlanjut ke masa dewasa, dan merupakan faktor risiko terjadinya berbagai penyakit
metabolik dan degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker,
osteoartritis, dll. Pada anak, kegemukan dan obesitas juga dapat mengakibatkan
berbagai masalah kesehatan yang sangat merugikan kualitas hidup anak seperti
gangguan pertumbuhan tungkai kaki, gangguan tidur, sleep apnea (henti napas sesaat)
dan gangguan pernafasan lain (Kemenkes, 2012).
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya obesitas pada anak usia sekolah
yaitu adanya faktor genetik dan faktor lingkungan. Namun, Kemenkes (2012)
menjelaskan bahwa faktor genetika, meskipun berhubungan tetapi tidak dapat
lingkungan seperti pola makan, perilaku makan dan aktivitas fisik menunjukkan
adanya hubungan.
Hasil analisis data memperlihatkan terdapat hubungan antara pola makan
dengan obesitas pada anak. Pola makan dengan konsumsi tinggi tingkat energi seperti
karbohidarat, protein dan lemak lebih banyak dijumpai pada anak yang obesitas
daripada yang non obesitas. Penelitian Yussac dkk (2007) menunjukkan bahwa
subjek penelitian yang mengalami obesitas memiliki pola makan yang tidak
seimbang yaitu memiliki pola konsumsi lemak dengan frekuensi sering yang
proporsinya lebih besar dibandingkan dengan yang tidak obesitas.
World Health Organization dalam Paramitha (2013) juga menyatakan
bahwa perubahan global pada pola makan yang cenderung terjadi pada anak obesitas
adalah peningkatan masukan makanan padat energi yang merupakan tinggi lemak
dan gula namun rendah vitamin, mineral, dan mikornutrien sehat lainnya. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan penelitan Biro, dkk (2010) yang menunjukkan bahwa
kecenderungan mengkonsumsi makanan ringan, makanan siap saji, dan minuman
dengan pemanis buatan dapat menyebabkan peningkatan berat badan pada anak
karena mengandung kalori yang tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pada masyarakat adalah
budaya. Dalam pandangan budaya, makanan memiliki nilai sosial yang tinggi. Jagung
adalah salah satu jenis makanan dengan nilai sosial yang tinggi sehingga mudah
diterima bila diolah dengan berbagai macam bentuk (Hanifa dan Luftheni, 2006).
pokok. Namun, makanan dengan protein tinggi seperti siput sawah adalah makanan
yang bernilai sosial rendah di masyarakat sehingga jarang bahkan enggan untuk
dikonsumsi karena dalam budaya belum dapat diterima sebagai makanan. Hubungan
yang kuat antara budaya dengan pola konsumsi ditunjukkan dengan hasil penelitian
Wahida (2005) di Wamena, Propinsi Papua. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa
semakin tinggi strata sosial seseorang maka semakin bervariasi pola konsumsinya.
Sebaliknya semakin kuat faktor budaya yang dianut, semakin sedikit jenis makanan
pokok yang dikonsumsi.
Setiap masyarakat atau etnis mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai
kebiasaan yang dianut. Etnis Cina dan Etnis Batak adalah etnis yang banyak
mendiami kota Medan Sumatera Utara. Kedua etnis ini memiliki kekhasan
masing-masing dalam menu makanannya.
Menurut Winoto (2004) dalam penelitiannya tentang ideologi pangan etnis
Cina di Klenteng Hok Tek Bio Salatiga menemukan bahwa warga memiliki ideologi
pangan antara lain : pangan yang disukai adalah mie, ayam, babi, tahu, kecap, sawi,
teh dan ciu. Pola konsumsi pangan harian berupa pangan pokok, kacang –kacangan,
telur, daging, ikan, sayuran, buah, minyak, kerupuk, teh dan gula pasir. Etnis Cina
juga mengenal adanya tabu makanan pada ibu hamil, menyusui dan anak-anak.
Masyarakat dari etnis Batak khususnya Batak Toba mengkonsumsi nasi
sebagai makanan pokoknya. Etnis Batak Toba sedikit mengkonsumsi sayur-sayuran.
Hal itu bisa dilihat dari minimnya makan khas yang menggunakan sayur sebagai
etnis Jawa dan etnis Batak Toba menemukan bahwa variasi makanan pada etnis
Batak Toba lebih baik namun lebih sedikit makan sayur dari pada etnis Jawa. Etnis
Toba suka mengolah lauk dalam menu makanannya namun sangat sedikit makan
buah.
Pola makan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh pola makan yang
diterimanya di rumah. Orang tua berperan penting untuk mengingatkan dan
menasehati tentang makanan yang dapat dimakan dan yang tidak baik untuk
kesehatannya. Pada taraf usia SD anak-anak sudah mengetahui tentang gizi dari
makanan tapi belum dapat memilih makanan yang sehat.
SD Antonius Medan merupakan sekolah yang mayoritas anak didiknya terdiri
dari etnis Batak Toba dan SD Sutumo 2 Medan adalah sekolah yang mayoritas anak
didiknya etnis Cina. Kedua sekolah ini juga berada pada pusat kota Medan, yang
mempunyai paparan terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya obesitas.
Berdasarkan hasil pengamatan pada survei pendahuluan indeks massa tubuh anak
sekolah dasar di SD Sutomo 2 dan SD Antonius yang dicurigai obesitas ada sebanyak
48 orang, dimana pada SD Sutomo 2 ada sebanyak 26 orang dari 48 orang
siswa-siswi dan di SD Antonius ada sebanyak 22 orang dari 40 orang siswa-siswa-siswi.
Aktivitas anak-anak pada kedua sekolah tersebut tergolong aktivitas yang
tidak membutuhkan kalori tinggi. Kegiatan belajar-mengajar di dua sekolah ini
dimulai dari jam 08.00 WIB sampai jam 13.00 WIB yang kemudian akan dilanjutkan
dengan kegiatan les sore atau bimbingan belajar yang aktivitasnya hanya duduk, yang
Hasil survei pendahuluan yang juga dilakukan peneliti diketahui kebisaan
jajan anak tersebut di sekolah sering mengkonsumsi gorengan, donat, dan softdrink
sebagai cemilan. Jenis makanan tersebut merupakan makanan yang memiliki nilai
kalori tinggi. Bekal makan yang disediakan oleh orang tua juga dengan menu yang
mempunyai nilai kalori tinggi seperti ayam goreng, nudget, dan nasi goreng. Jarang
sekali bekal mereka dilengkapi dengan sayur maupun buah sehingga bekal anak-anak
tersebut tergolong makanan dengan serat rendah. Bila kebiasaan ini berlangsung lama
maka akan mengakibatkan penimbunan kalori dalam tubuh yang beresiko terhadap
kejadian obesitas, apalagi rendahnya konsumsi serta semakin memperberat resiko
tersebut (Sartika, 2011).
Orangtua memang sering mengalah dengan kesukaan makanan anak-anak
yang cenderung tidak sehat. Anak-anak cenderung memilih makanan yang dia sukai.
Moehji (2003) mengatakan bahwa membiarkan anak memilih makanan yang dia
sukai akan memperburuk status gizi anak sehingga perlu bimbingan dan kesabaran
orang tua untuk membantu anak menerima menu makanan sehat. Selain orang tua,
media massa seperti televisi juga mempengaruhi pola makan anak. Media massa dan
media elektronik memiliki peran yang penting dalam promosi (iklan) makanan yang
membawa pemilihan sosial dan sikap terhadap jenis makanan yang dikonsumsi oleh
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan
penelitian ini adalah bagaimana perbedaan pola makan dan status gizi pada anak
Etnis Cina di SD Sutomo 2 dan Anak Etnis Batak Toba di SD Antonius Medan
Tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbedaan pola makan anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan Anak
etnis Batak Toba di SD Antonius Medan Tahun 2014.
2. Mengetahui perbedaan status gizi pada anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan Anak
etnis Batak Toba di SD Antonius Medan Tahun 2014.
3. Mengetahui hubungan konsumsi energi, karbohidrat, protein dan lemak dengan
status gizi anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan anak etnis Batak Toba di SD
Antonius Medan Tahun 2014
1.4. Hipotesa
1. Ada perbedaan pola makan pada anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan anak etnis
Batak Toba di SD Antonius Medan Tahun 2014.
2. Ada perbedaan status gizi pada anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan anak etnis
Batak Toba di SD Antonius Medan Tahun 2014.
3. Ada hubungan konsumsi energi, karbohidrat, protein dan lemak dengan status
gizi anak etnis Cina di SD Sutomo 2 dan anak etnis Batak Toba di SD Antonius
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi tentang obesitas dan
perencanaan lebih lanjut mengenai penangan obesitas dan sebagai bahan informasi