• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.3. PEMBAHASAN PENELITIAN

4.3.2. Kehidupan Masyarakat Majemuk di Kelurahan Saribudolok

4.3.2.1. Pandangan Suku Simalungun Tentang Kehidupan Bersama

Simalungun sebagai sebuah suku bangsa yang memiliki budaya tersendiri dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dahulu kala wilayah Simalungun terbagai atas beberapa kerajaan, satu suku yaitu kerajaan Simalungun. Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Simalungun tidak pernah menonjolkan sifat likalitas wilayah pusat kerajaan itu, melainkan kesemuanya kerajaan itu dirasakan sebagai kerajaan-kerajaan orang Simalungun. Hal ini dapat diketahui dari literatur sejarah yang menerangkan bahwa babakan sejarah di Simalungun yang dimulai dari berdirinya kerajaan Nagur yaitu sekitar abad V – XIII M (Purba 1992). Setelah kerajaan Simalungun mengalami babakan sejarah yang panjang yang ditandai dengan penguasaan Kesultanan Aceh atas wilayah Simalungun sekitar tahun 1350 samapai dengan tahun 1500 M. setelah itu wilayah Simalungun terbagi-bagi atas kerajaan yang lebih kecil. Misalnya Kerajaan Girsang, dimana Kerajaan Girsang ini letaknya adalah di Silimakuta.

Masa kebersamaan Raja-Raja Simalungun yang pertama dikenal dengan Raja Maropat, Raja Maropat adalah kumpulan raja-raja di wilayah Simalungun yang berkuasa atas wilaya-wilayah tertentu. Kebiasaan bekereja dalam ikatan Raja

wilayah Simalungun terbagi atas delapan penguasaan raja yang membawahi suatu wilayah kerajaan yang tidak terlalu besar.

Kebiasaan masyarakat pada masa kerajaan-kerajaan Simalungun serta masyarakat dari suku lain dilandasi kebiasaan hidup suku bangsa Simalungun yang dilandasi sebuah tata nilai yang terimpementasi dalam pandangan hidup Simalungun. Tata nilai ini kemudian dijadikan pedoman oleh Masyarakat Simalungun dalam bergaul dengan sesama mereka dan kelompok diluar mereka.

Pandangan hidup Simalungun yang dapat dijumpai pada pustaka-pustaka peninggalan leluhur Simalungun yang sampai sekarang menjadi pedoman hidup Simalungun adalah Habonaron Do Bona, yang artinya kebenaran adalah unsur segalanya bagi kehidupan ( Purba 1992 ) dalam sebuah tulisannya menceritakan bahwa Falsafah Habonaron Do Bona ini merupakan nilai pedoman bagi masyarakat Simalungun untuk bertindak dalam setiap gerak langkah kehidupan mereka, baik itu dalam sisi mata pencaharian hidup, bergaul, berkelurga dan bermasyarakat.

Penghayatan dan praktek langsung petuah ini telah dibuktikan oleh orang-orang Simalungun sejak dahulu kala yang ditandai dengan tidak adanya unsur penipuan, pencurian dan hal-hal buruk lainnya di Simalungun pada masa dulunya. Ungkapan lain yang juga dikenal masyarakat simalungun yang menyangkut hidup bersama yang lebih sederhana dan sering didengarkan dalam Bahasa Simalungun berupa Rumah Siopat

Suhi, Balei silima mullisir, Atian harajaon atian habonaraon, huatas lang deng,

hutaroh lang deng,, hot songon Palei ni rumah, jagian songon baekohni sopou,

harus didasari kejujuran, keadilan, tidak berat sebelah, saling memperindah satu sama lain agar tercipta keindahan yang murni.

Kejujuran yang diartikan oleh masyarakat Simalungun pada tahapan yang lebih luas lagi ternyata tidak semata-mata menjadi pedoman untuk mengatur tatanan sosial Simalungun semata akan tetapi pengalamalan nilai ini juga berkembang pada asapek hidup bersama dengan siapa dan suku-suku bangsa manapun. Kemampuan hidup bersama dengan suku bangsa lain seperti Batak Toba, Karo dan suku lainnya menunjukkkan sifat keterbukaan suku bangsa simalungun. Hal ini senada juga yang diungkapakan oleh salah satu informan yang menyatakan;

“ Saya rasa…salah satu suku bangsa di SUMUT yang bisa menerima suku lain tanpa pernah menimbulkan gejolak adalah Simalungun. Ini kan bisa dilihat di Saribudolok yang tidak pernah terjadi huru-hara atau perkelahian hanya karena suku saja. Tapi yang paling tampat itu adalah……buktinya orang Simalungun yang ada di Saribudolok ini mau menerima suku lain dan menyapa pendatang itu dengan bahasa pendatang itu sendiri….”(wawancara 20 Januari 08 dengan bapak Kencana Karo-Karo)

Menurut beberapa informan, keadaan yang menyebabkan suku bangsa Simalungun bisa menerima suku lainnya selalu didasarkan atas prinsip Habonaron atau kejujuran. Selama suku bangsa lain tidak merusak, menyakiti dan memperlakukan suku bangsa Simalungun secara baik dengan tetap memperhatikan esensi kejujuran maka selama itu pula suku-suku bangsa pendatang tersebut akan bisa diterima dengan mudah ditengah-tengah masyarakat Simalungun. Kejujuran dinyakini itu sendiri berarti berniat yang benar, berbuat benar, berkehidupan yang benar dan berhati yang benar.

Kondisi Simalungun yang bisa menerima suku bangsa lain sebetulnya merupakan sebuah pengaruh besar dari migrasi suku bangsa lain ke daerah Kelurahan Saribudolok

kehidupan masyarakat Simalungun sendiri. Hal ini seiring dengan pendapat Aminuddin yang menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu, salah satunya adalah untuk mempertahankan kelanggengan kelompok agar tidak mengarah kepada konflik.

Hasil Wawancara yang dilakukan pada informan diketahui bahwa pada dasarnya Suku Simalungun adalah masyarakat yang hidup secara individual namun kekerabatnnya kuat dan masyarakat Simalungun dahulunya tidak kolektif. Seiring dengan masuknya suku-suku ke daerah lain ke daerah Saribudolok pola hidup yang menyendiri itu menjadi kolektif. Walaupun demikian pandangan hidup Habonaron Do

Bona itu tetap menjadi pandangan hidup selama dalam bergaul dengan masyarakat

pendatang. Selama prinsip kebenaran dan kejujuran itu tidak dilanggar oleh suku-suku pendatang maka suku bangsa Simalungun akan selalu menerima suku bangsa tersebut tanpa pernah mempermasalahkan asal usulnya setidaknya hal yang seperti ini yang ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Saribudolok sendiri yang merupakan salah satu pusat kerajaan Simalungun yang samapai sekarang belum pernah terjadi peristiwa jelek yang dilatarbelakangi sifat sentiment.

Jika dilihat dari hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Simalungun adalah berdasarkan pertalian darah dari garis keturunan ayah (genologis patrinial) dan pertalian perkawinan antara pihak pemberi gadis (tondong) dan para penerima gadis (boru). Setiap pria dan wanita orang Simalungun akan menarik garis keturunannya melalui garis keturunan ayah dengan memakai marga ayah, sehingga wanita harus kawin dengan pria bermarga lain. Perkawinan satu marga sangat dilarang oleh aturan

adat dan anak-anak dari perkawianan itu akan memakai marga dari suaminya ( Saragih, 1980: 16)

Sistem kekerabatan terkecil pada suku bangsa Simalungun disebut jabu yang merupakan suatu keluarga inti (nuclear family) terdiri dari bapa (ayah), Inang (Ibu) dan anak-anak yang belum menikah. Kelompok kekerebatan yang luas (extended family) dan jabu adalah sada Bapa, yaitu kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak laki-laki yang telah menikah dan tinggal dalam satu rumah dengan kedua orangtuanya.

Kelompok yang lebih luas dari sada Bapa adalah sada ompung yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari keluarga-keluarga beberapa pria yang satu lain (pararel causin). Anggota-anggota dari sada bapa atau satu ayah dan sada ompung atau atau kakek memiliki anak boru jabu yang sama sehingga dalam kegiatan adat anggota dari kelompok kekerabatan sada ompung ini saling membantu.

Adanya budaya orang Simalungun adalah aturan atau hukum yang harus dijaga dan dipelihara selama masih hidup di bumi. Adat budaya diterima sebagai satu kewajiban agar perjalanan hidup pribadi keluarga serta masyarakat berjalan tertib dan sejahtera.

Beradat budaya (maradat) yang dimaksud menurut adat Simalungun agar tertib berkerabat dan bermasyarakat yang mana ke semuanya itu diatur dalam Struktur Tolu

Sahundulan dan Lima Saodoro. Hal ini disebabkan adat Budaya Simalungun sering

disebut adat budaya Tolu Sahundulan Lima Saodoran

Unsur Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran merupakan kesatuan dari tiga

kelompok kekerabatan, yaitu Tondong (pemberi istri), Sanina (satu garis keturunan) dan Boru (pengambil Istri). Sedangkan Lima Saodoran terdiri dari ketiga kelompok

kekerabatan tersebut di atas ditambah dengan tondong ni tondong (tondong) dan boru

ni boru yang disebut juaga Boru Mintori ( boru dari boru).

Kedudukan ini sifatnya tidak statis dalam arti yang berperan sebagai tondong tidak selamanya dalam setiap pesta adat dia tetap menjadi tondong, melainkan kedudukan itu bisa saja langsung berperan sebagi sanina atau peran sebagai boru, demikian juga sebaliknya.

Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran itu muncul karena adanya perkawinan

yang ditimbulakan oleh ikatan dan integrasi di antara pihak tersebut sehingga seolah-olah merupakan Dalihan Samangadop yang intinya tungku yang saling berhadapan dan

Lima Saodoran ini adalah berbeda-beda

Kedudukan tondong dianggap sebagai penberi kebahagian, pemberi rejeki dan pemberi berkat tertinggi sehingga harus dihormati. Tondong bertugas dan berkewajiban menyelesaikan apabila ada pertikaian dikeluarga seperti terlihat dalam ungkapan

“Tondong Aima Naibata Na Taridah“ (Tondong adalah Tuhan yang Kelihatan). Rasa

hormat kepada tondong juga tercermin dalam ungkapan hormat Martondong (hormat kepada pihak tondong)

Kedudukan sanina dianggap sebagai pembina persatuan. Sanina merupakan orang yang semarga dengan pihak suhut (penyelenggara adat) dan hanya pada laki-laki saja. Kedudukan sanina sama dengan suhut. Oleh karena itu merupakan teman sepenanggungan, sanina mempunyai tugas dan kewajiban dalam mengawasi pelaksanaan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh boru dan secara bersama-sama dalam membiayai semua pelaksanaan kegiataan upacara adat bersama dengan pihak suhut.

Kedudukan boru di tempatkan pada posisi di bawah tondong. Berdasarkan kedudukannya , pihak tondong harus mengasihi dan membujuk borunya, hal ini tercermin dalam ungkapan “ elek marboru” yang berarti membujuk borunya. Tugas dan kewajiban boru adalah mengatur pembicaraan dalam kegiatan adat, mempersiapkan hidangan konsumsi, menanggung biaya sementara dalam kegiatan adat mengelesaikan masalah dan mengatur berbagai pertemuan atau acara kekeluargaan lainnya.

Tondong ni Tondong juga sangat dihormati oleh suhut, karena hubungan

dengan tondong. Di dalam upacara adat perkawinan memberikan nasehat kepada kedua pengantin dan turut mendapat jambar (daging yang dipotong-potong untuk dibagikan kepada kerabat dekat)

Kedudukan boru ni boru (boru mintori) dikaitkan dengan kedudukan boru karena pekerjaan sebagai parhobas (petugas). Maka dalam kegiatan adat boru ni boru yang harus membantu boru dalam setiap kegiatan, anak boru mintori adalah kelompok keluarga dari suami saudara perempuan yaitu keluarga atau saudara/ipar. Seluruh anak

boru mintori secara bersama-sama mengatur dan melaksanakan ketentuan adat yang

berlaku pada hasuhutan atau penyelenggara pesta atau pekerjaan. Memegang acara sebagai protokol dan tatalaksana adat dari tondong. Disamping fungsi utama tersebut

anak boru berhak atas jambar dan berkewajiban memberikan bantuan demi keperluan.

kelengkapan adat dalam pekerjaan tondong.

Pihak tondong menempati tempat yang terhormat menurut formasi yang telah ditentukan yaitu i luluan (sebelah kiri dari pintu masuk rumah) dan pihak anak boru. Duduk berhadapan dengan pihak tondong. Kelima fungsi tersebut bersama-sama

menetapkan adat dan prosedur untuk dijalankan sebagai pedoman kerja pada berjalannya upacara adat

Dokumen terkait