• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan Pengadaan tanah dilakukan oleh panitia pengadaan tanah. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah yang tercantum dalam Pasal 6 Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Pasal 14 Perka BPN No. 3 Tahun 2007 terdiri dari pihak pemerintah itu sendiri dan tidak adanya keterlibatan pihak akademisi maupun perwakilan dari masyarakat dalam keanggotaan kepanitiaan sehingga memperkecil kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah tidak dapat independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.

Dalam peraturan ini yang membedakan dengan peraturan sebelumnya di proses musyawarah ganti kerugian yaitu adanya lembaga/tim penilai harga tanah yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (12) Perpres No. 36 Tahun 2005 yang bertugas untuk menentukan nilai harga tanah yang akan dijadikan sebagai dasar penentuan jumlah/besarnya ganti kerugian. Lembaga/tim penilai harga tanah ini merupakan lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Dengan adanya Lembaga/tim penilai harga tanah

dapat meminimalisir kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah untuk memihak pada salah satu kepentingan dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian karena dengan adanya keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah, setidaknya Panitia Pengadaan Tanah telah melibatkan pihak ketiga diluar dari pihak pemerintah itu sendiri, sehingga dimungkinkan bisa lebih obyektif dalam menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Selain itu dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan pada:

- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya,

- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan,

- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.

Dalam dasar penetuan besarnya ganti kerugian di peraturan ini melibatkan perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan dan pertanian, sehingga terlihat bahwa penilaian terhadap besarnya ganti kerugian tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh Pemerintah karena pemegang hak atas tanah mempunyai acuan dalam penentuan nilai ganti rugi.

Setelah adanya musyawarah, terdapat adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan terhadap hasil musyawarah ganti rugi kepada Panitia pengadaan tanah setelah itu baru ke Gubernur ataupun Menteri Dalam Negeri. Berbeda dari dua peraturan sebelumnya, adanya pengajuan keberatan terhadap hasil musyawarah di peraturan ini juga bisa diajukan ke Menteri Dalam Negeri namun di satu sisi Menteri itu

merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Oleh sebab itu tentu akan sangat sulit bagi Menteri Dalam Negeri untuk bersikap profesional dan independen dalam mengambil keputusan terhadap keberatan yang diajukan tanpa mengusung kepentingan dari instansi yang memerlukan tanah.

Dari analis peraturan di atas penulis berpendapat bahwa independensi Panitia Pengadaan Tanah apabila dilihat tolak ukur independensi sudah mulai diperhatikan dengan baik karena dalam peraturan ini di proses penentuan ganti kerugiannya dilibatkan Lembaga/Tim Penilai harga Tanah sehingga penilaian terhadap bentuk/besarnya ganti kerugian dimungkinkan untuk bisa lebih obyektif. Adanya penilaian yang obyektif tersebut berarti penilaian yang dilakukan tidak merugikan pihak masyarakat selaku pemegang hak atas tanah.

4. UU No. 2 Tahun 2012

Menurut Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan dari pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.

Dalam peraturan ini terlihat adanya susunan anggota Panitia Pengadaan Tanah yang melibatkan Lurah/Kepala Desa dalam susunan anggota Tim Pelaksanaan yang mengetahui secara baik kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena pengadaan tanah serta mengetahui bagaimana kondisi tanah di daerah yang terkena pengadaan tanah tersebut, sehingga keterlibatannya bisa dijadikan sebagai lambang dan merupakan wakil dari masyarakat dalam keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun

demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah bukan kepentingan dari masyarakat.

Selain Lurah/Kepala Desa terlihat adanya itu keterlibatan akademisi dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah yang merupakan pihak diluar Instansi Pemerintah sehingga Panitia Pengadaan Tanah dapat bersikap lebih profesional dan independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.

Dalam peraturan ini dikenal adanya Konsultasi Publik yang merupakan proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Apabila setelah diadakannya konsultasi publik, masih terdapat pihak yang keberatan, maka dapat mengajukan keberatan yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 35 ayat (3) Perpres No. 71 Tahun 2012. Jika terdapat keberatan Gubernur membentuk Tim Kajian yang salah satu anggotanya merupakan akademisi. Dari adanya keterlibatan akademisi dalam tim kajian tersebut, terlihat adanya independensi keanggotaan kepanitiaan karena akademisi merupakan pihak diluar dari pemerintah sehingga tim kajian tersebut dapat melakukan kajian dengan lebih profesional dan obyektif tanpa mengusung kepentingan dari salah satu pihak.

Dalam proses musyawarah ganti kerugian terdapat adanya Penilai Pertanahan yang merupakan orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapatkann izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapatkan lisensi dari BPN untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah yang tercantum dalam Pasal 32 UU no. 2 Tahun 2012 jo Pasal 63 Perpres 71 Tahun 2012. Dari adanya keterlibatan penilai pertanahan dalam menentukan besarnya nilai ganti kerugian yang akan diterima oleh pemegang hak atas tanah, keobyektifan terhadap penilaian besarnya ganti kerugian dapat berjalan secara baik karena penilai pertanahan merupakan pihak perseorangan yang berkompeten di bidangnya yang dilibatkan dalam panitia pengadaan tanah. Penilai pertanahan dalam melakukan penilaian terhadap besarnya ganti kerugian tidak memihak kepada pihak manapun baik pihak instansi yang memerlukan tanah maupun pihak pemegang hak atas tanah, maka independensi pemerintah dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum di UU No. 2 Tahun 2012 dapat berjalan secara baik.

Di peraturan ini dasar penilaian ganti kerugiannya didasarkan pada penilaian penilai pertanahan yang pengaturannya tercantum dalam Pasal 31 UU No. 2 Tahun 2012 jo Pasal 65 Perpres No. 71 Tahun 2012 yang penilalaian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi tanah, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah dan kerugian lain yang dapat dinilai.

Dari dasar penilaian ganti kerugian terlihat bahwa Pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang dalam penentuan besarnnya ganti kerugian karena didasar

perhitungan tersebut, di perkirakan adanya kerugian-kerugian lain yang mungkin terjadi dan dapat dinilai selain itu dasar perhitungannya sangat spesifik sehingga terlihat adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah. Dalam menjalankan kedudukannya Di proses penentuan ganti kerugian, Panitia Pengdaan Tanah terlihat obyektif memberikan penilaiannya dan tidak cenderung memihak pada kepentingan Instansi yang memerlukan tanah.

Setelah menentukan dasar penilaian ganti rugi, dalam musyawarah membahas mengenai bentuk ganti rugi yang akan diberikan kepada pihak yang berhak. Apabila dalam musyawarah tersebut terdapat pihak yang keberatan, maka diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan seperti yang tercantum dalam Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012 jo Pasal 73 Perpres No. 71 Tahun 2012. Kesempatan pengajuan keberatannya bisa sampai ketingkat kasasi di Mahkamah Agung. Dalam posisi ini Mahkamah Agung merupakan pihak diluar pemerintah sehingga dengan adanya kesempatan pengajuan keberatan sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung, terlihat bahwa pemerintah telah independen.

Dari analisis di atas, penulis berpendapat bahwa sudah ada Independensi Pemerintah di UU No. 2 Tahun 2012 karena berdasarkan tolak ukur independensi dari segi keanggotaan panitia pengadaan tanah di peraturan ini terlihat adanya keterlibatan pihak akademisi dalan Tim kajian yang di bentuk oleh Gubernur, dan terdapat keterlibatan Penilai Pertanahan yang merupakan pihak diluar pemerintah selain itu adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan ke tingkat Pengadilan Negeri bahkan sampai ketingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Dalam posisi ini Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung merupakan pihak diluar pemerintah.

Dokumen terkait