BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Otoritas Negara dalam Penguasaan Hak Atas Tanah
Otoritas Negara Republik Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah
bersumber dari konstitusi, di mana dalam Undang-undang Dasar dinyatakan
bahwa salah satu tugas Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan
melindungi segenap bangsa Indonesia. Kemudian, dalam Pasal 33 UUD 1945,
ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pasal tersebut tidak mengikutkan wilayah angkasa, namun berdasarkan
konvensi dan hukum internasional wilayah angkasa sampai batas ketinggian
tertentu adalah juga termasuk dalam yurisdiksi batas kedaulatan suatu negara.
Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa secara konstitusional Negara
memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi,
akan tetapi penguasaan tersebut harus dalam kerangka kemakmuran rakyat.
2. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara
Hak menguasai tanah oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan
tertentu untuk penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh
UUPA digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan
hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah, dan pengaturan
hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum1. Ketiga hal tersebut adalah
merupakan intisari dari pengaturan Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menyangkut
1
kewenangan yang diturunkan oleh Negara kepada Pemerintah. Pasal tersebut
memberi wewenang pada Negara untuk mengatur bahwa tanah-tanah di daerah
tertentu diperuntukkan untuk keperluan tertentu. Wewenang lain yang diberikan
kepada Negara adalah untuk mengatur mengenai hak apa saja yang boleh
dipunyai orang atas tanah, sifat hak tersebut, siapa yang bisa mempunyai tanah
dengan hak tertentu, dan sebagainya. Wewenang yang lain diberikan kepada
Negara yaitu : untuk mengatur apakah suatu hak boleh dialihkan pada pihak lain,
apa syarat pengalihannya, apakah suatu hak boleh digunakan sebagai jaminan
hutang, apakah orang boleh membiarkan saja hak atas tanahnya tanpa digunakan
sama sekali, dan sebagainya.
Ketiga jenis kewenangan Negara tersebut sesungguhnya merupakan
kewenangan pengaturan yang wajar dimiliki oleh Negara, meskipun dapat
berakibat adanya pembatasan-pembatasan pada orang yang memegang hak
tertentu atas tanah. Pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh Negara tersebut
tentunya harus berdasarkan pada kepentingan rakyat Indonesia untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hak atas tanah di Indonesia,
termasuk hak milik bukan merupakan hak mutlak, yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya untuk melakukan tindakan apa saja semaunya sendiri
atas tanah yang dihakinya tersebut.2
3. Independensi
3.1. Pengertian Independensi
Independensi berasal dari kata dasar Independence yang berarti The state of
quality of being independent; a country freedom to manage all its affairs, whether
2
external or internal without countrol by other country3. Pengertian Independensi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan, tetapi memiliki padanan
kata yaitu mandiri, kemandirian, bebas yang memiliki makna tidak memiliki
ikatan pada pihak lain dalam melakukan segala bentuk aktifitasnya, bebas,
otonom, ketidak berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang memiliki persamaan
makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau lembaga lain, dan dapat
menjalankan tindakan sendiri termasuk dalam membuat suatu keputusan4.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menulis tentang independensi
dalam konsep kedudukan Panitia Pengadaan Tanah di peraturan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam peraturan pengadaan tanah,
Panitia Pengadaan Tanah terdiri dari beberapa unsur, namun yang paling
mendominasi adalah unsur dari Pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu terlebih
dahulu harus diketahui pengertian dari pemerintah yang merupakan kemudi dalam
bahasa latin asalnya Gubernaculum. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki
kewenangan untuk membuat kebijakan dalam bentuk (penerapan hukum dan
Undang-Undang) di kawasan tertentu. Kawasan tersebut adalah wilayah yang
berada di bawah kekuasaan mereka. Pemerintah berbeda dengan
pemerintahan, Pemerintah merupakan organ atau alat pelengkap jika dilihat dalam
arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja5.
3 Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh edition, West group:United States of
America, 1999 page 773.
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi k etiga. Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit
Balai Pustaka, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 655.
5
Dari penjelasan di atas, Independensi panitia pengadaan tanah dalam
peraturan pengadaan tanah merupakan suatu kondisi dimana panitia pengadaan
tanah merupakan penyelenggara dari kepentingan umum sehingga kedudukan
panitia dalam hal ini harus dapat bersikap netral tanpa mengusung kepentingan
salah satu pihak pun meskipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah.
3.2. Tolak Ukur Independensi 3.2.1. Kedudukan
Dari pengertian di atas Panitia Pengadaan Tanah yang penulis maksud
dalam penulisan skripsi ini adalah pelaksana dari pengadaan tanah yang
berpedoman pada peraturan pengadaan tanah sebagai tolak ukur untuk
menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum.
Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan pengadaan tanah dapat
diartikan sebagai suatu kondisi di mana Panitia Pengadaan Tanah berkedudukan
sebagai pihak yang netral karena menjadi penengah antara instansi yang
memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak atas tanah.
Kenetralan yang penulis maksud di sini yaitu suatu kondisi dimana Panitia
Pengadaan Tanah tidak boleh mengusung kepentingan salah satu pihak, meskipun
itu pihak instansi yang memerlukan tanah sekalipun yang merupakan bagian dari
pemerintah itu sendiri karena dalam menjalankan tugasnya, Panitia Pengadaan
Tanah tidak boleh ada keterbepihakan Panitia Pengadaan Tanah sebagai
penyelenggara dari kepentingan umum, maka kegiatan pembangunan yang
dilakukan harus memperhatikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan
dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah
untuk kepentingan umum sendiri adalah untuk kepentingan masyarakat yang lebih
banyak dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kedudukan Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi ini juga berfungsi sebagai
mediator antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat sebagai
pemegang hak atas tanah. Mediator yang penulis maksud adalah Panitia Pengdaan
Tanah merupakan penghubung untuk menyalurkan aspirasi masyarakat yang
berkenaan dengan pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah.
3.2.2. Komposisi Keanggotaan
Didalam independensi panitia pengadaan tanah sangat berkaitan erat
dengan komposisi keanggotaannya. Untuk memenuhi keindependensian dari ke
anggotaan dari panitia pengadaan tanah harus terdapat orang yang bukan dari
instansi pemerintah atau orang yang netral dari kepentingan pengadaan tanah
tersebut, agar terdapat keseimbangan didalam anggota panitia karena terdapat
anggota yang tidak memihak kepentingan rencana pengadaan tanah saja.
3.2.3. Penentu Ganti rugi
Penentu ganti kerugian dalam pengadaan tanah haruslah dari lembaga atau
orang perseorangan yang professional yang dapat menentukan harga dengan layak
dan adil, lembaga atau orang perseorangan tersebut haruslah dari luar instansi
pemerintah agar tidak terdapat keterpihakan. sehingga terdapat independensi
didalam proses penentuan ganti rugi karena terdapat lembaga atau perorangan
yang tidak memiliki kepentingan didalam perencanaan pengadaan tanah.
Meskipun jika tidak terdapat persetujuan nilai ganti rugi masih diberikan
kesempatan pada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan, dalam
instansi pemerintah yang berkepentingan dalam perencanaan pengadaan tanah
agar dapat memutus nilai ganti ruginya dapat dengan layak dan adil.
4. Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum
Dalam bagian ini penulis akan menguraikan tentang pengertian dari
pengadaan tanah, kepentingan umum, musyawarah, ganti kerugian (syarat layak,
dasar perhitungan).
4.1. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengertian tentang pengadaan tanah terdapat di masing-masing peraturan
pengadaan tanah. Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 pengadaan tanah dikenal
dengan istilah Pembebasan Tanah yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) yang
bunyinya:
“Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”
Dalam pasal di atas terlihat jelas bahwa pembebasan tanah adalah proses
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah atau penguasa
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian, dalam pasal tersebut tidaklah adil
karena untuk melepaskan hak atas tanah haruslah dari kerelaan setiap pemegang
hak atas tanah, akan tetapi dengan pembebasan berarti tanpa kerelaan atau dengan
paksaan pemegang hak atas tanah, hak atas tanahnya dapat diambil dengan cara
memberikan ganti kerugian. Setelah PMDN No. 15 Tahun 1975 istilah
Pembebasan tanah sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan pengadaan tanah
yang terdapat di Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993 yang bunyinya:
Dari isi Pasal di atas terlihat adanya cara yang dilakukan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada orang yang berhak.
Setelah Keppres No. 55 Tahun 1993 tidak berlaku munculah peraturan
Perpres No. 36 Tahun 2005 yang di dalamnya juga mengatur mengenai
pengertian dari pengadaan tanah sebagaimana telah diubah dalam Pasal 1 ayat (3)
Perpres No. 65 Tahun 2006 yang bunyinya:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah."
Proses pengadaan tanah dalam peraturan ini berbeda dengan peraturan
sebelumnya, karena di peraturan ini kegiatan untuk mendapatkan tanah tidak
hanya terfokus pada proses penyerahan tanahnya saja tetapi juga pada bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Peraturan terbaru yang terdapat pengaturan mengenai pengertian
pengadaan tanah adalah Pasal 1 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang bunyinya:
“Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
Dari isi Pasal di atas terlihat bahwa proses pengadaan tanah yang dilakukan harus
secara layak dan adil agar pemegang hak atas tanah yang tanahnya terkena
pengadaan tanah tidak mengalami kemunduran akibat dari hak atas tanahnya
terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
Selain pengertian pengadaan tanah berdasarkan peraturan pengadaan
pelepasan hak atas kepemilikan orang atas tanah dan/atau benda-benda yang ada
di atasnya yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan umum6.
Dari beberapa pengertian pengadaan tanah di atas terdapat persamaan
karakter yaitu:
- Adanya kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan melepaskan hak
atas tanah menjadi milik Negara;
- Adanya pemberian ganti kerugian.
Berdasarkan uraian dari unsur pengadaan tanah tersebut, menurut penulis
pengadaan tanah pada intinya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan tanah dari pemilik tanah. Jadi pengadaan tanah dilakukan dengan
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi
kepada pemegang hak atas tanah.
4.2. Kepentingan Umum
Adanya kepentingan umum merupakan prinsip dasar jika ditinjau dari
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengadaan tanah
di Indonesia. Secara eksplisit kata kepentingan umum didapati pada Pasal 18
UUPA yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-undang.”
Dalam UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pecabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang Ada di Atasnya, dalam pengertian kepentingan umum
ditambahkan dengan kepentingan pembangunan. Dalam peraturan ini ketentuan
6
hukum yang terkait dengan kepentingan umum adalah Pasal 6 UUPA yang
berbunyi:“semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pasal tersebut
mengandung arti bahwa setiap pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah harus
merelakan tanahnya apabila diperlukan atau dicabut oleh negara demi
kepentingan umum. Setiap hak yang dikuasai atau dimiliki oleh seseorang tidak
dibenarkan apabila dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadinya. Maka dari
itu, penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifatnya sehingga
dapat bermanfaat bagi pemiliknya atau pemegang haknya maupun bermanfaat
bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Demikian juga dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 tidak memberikan
pengertian tentang kepentingan umum, hanya dalam konsideran disebutkan
tentang pembebasan tanah yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan
tanah dalam usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh instansi/badan
pemerintah maupun kepentingan swasta khususnya untuk keperluan pemerintah.
Dalam hal ini berarti pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan untuk
kepentingan umum maupun masyarakat luas.
Menurut Michael G Kitay, doktrin kepentingan umum dalam berbagai
negara diungkapkan dalam dua cara yaitu7:
a. Pedoman Umum (General Guide)
Negara hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan
untuk kepentingan umum atau yang secara umum menyebutkan bahwa
pengadaan tanah harus berdasarkan kepentingan umum (Public
Purpose). Istilah Public menjadi social, general, commom, atau
7
collective. Sedangkan, kata purpose diganti menjadi need, necessity,
interest, function, utility, atau use. Negara yang menggunakan
pedoman umum ini, biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan
kegiatan yang termasuk kepentingan umum.
a. Ketentuan-Ketentuan Daftar
Penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang
secara jelas mengidentifikasikan tujuannya. Daftar ini secara eksplisit
mengidentifikasi kepentingan itu. Kepentingan yang tidak terdaftar
dalam daftar tersebut, tidak dapat dijadikan dasar pengadaan tanah.
Maria Sumardjono menyatakan bahwa kepentingan umum dapat dijabarkan
dalam 2 hal yakni 8:
- Berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan
tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui
berbagai istilah. Karena berupa pedoman, hal ini dapat mendorong
eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi
persyaratan kepentingan umum.
- Penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan.
Dalam prakteknya pengadaan tanah yang dilakukan berdasarkan alas an
kepentingan umum melalui berbagai istilah dan pengadaan tanah yang dilakukan
dengan cara penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan, di tempuh
secara bersamaan.
8
Selain pengertian kepentingan umum di atas, dalam UU No. 2 Tahun 2012
terdapat pengertian tentang kepentingan umum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
6 yang berbunyi:
“Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan beberapa pengertian pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dalam Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres
No. 65 Tahun 2006 dan UU No. 2 Tahun 2012, maka kegiatan yang dapat di
kategorikan sebagai kepentingan umum ada 5 (lima) unsur yaitu9:
a. Adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat;
b. Dilakukan dan dimiliki oleh Pemerintah;
c. Tidak digunakan untuk mencari keuntungan;
d. Masuk dalam daftar kegiatan yang telah ditentukan;
e. Perencannya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
4.3. Musyawarah
Pengadaan tanah diselenggarakan untuk kepentingan umum maka
pelaksanaanya harus berdasarkan musyawarah antara instansi yang memerlukan
tanah dengan pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah. Sedangkan pemerintah
dalam hal ini Panitia Pengadaan Tanah dalam kegiatan musyawarah
berkedudukan sebagai mediator sehingga Panitia Pengadaan Tanah harus dapat
bersikap netral.
9
Seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan
antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah. Kegiatan fisik
pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah menjadi kesepakatan antara
pihak dan ganti rugi telah diserahkan10.
Dalam kegiatan musyawarah kedudukan antara Instansi yang memerlukan
tanah dan pemegang hak atas tanah harus seimbang. Kedudukan seimbang yang
penulis maksud yaitu bukan hanya instansi yang membutuhkan tanah saja yang
mendominasi jalannya semua kegiatan musyawarah termasuk dalam hal
pengambilan keputusan, namun kedudukan seimbang disini bagaimana Panitia
Pengadaan Tanah sebagai pihak yang netral mengambil keputusan dari proses
dialogis yang dilakukan dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah
dengan instansi yang memerlukan tanah dengan memperhatikan aspirasi,
pendapat, dan keinginan dari pemegang hak atas tanah sehingga tidak merugikan
kehidupannya di kemudian hari jika pengadaan tanah di lakukan di lokasi
tersebut.
Pengadaan tanah berbeda dengan pencabutan atas tanah yang dipaksakan
walaupun tanpa musyawarah, apalagi untuk kebutuhan mendesak (Pasal 18
UUPA). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tiada pengadaan tanah tanpa
musyawarah. Karena itu, pengadaan tanah berbasis pada kesepakatan, tanpa
kesepakatan pada prinsipnya tidak ada pengadaan tanah. Kesepakatan dimaksud
adalah kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
10
4.4. Ganti Kerugian
Dalam Pengadaan tanah, pemberian ganti kerugian yang layak kepada
pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan dalam prinsip musyawarah.
Tiada pengadaan tanah tanpa ganti kerugian. Oleh karena itu penentuan bentuk
dan besar ganti kerugian juga merupakan aspek penting dalam pengadaan tanah.
Oleh karenanya pemberian ganti rugi harus mampu meningkatkan kesejahteraan
pelepas hak secara ekonomi. Sehingga pemegang hak atas tanah tidak mengalami
kemunduran ekonomi setelah adanya pengadaan tanah.
Ganti Kerugian merupakan penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Dalam ganti rugi terdapat beberapa
unsur yaitu:
4.4.1.Penentu Penilaian Ganti Rugi
Salah satu unsur dari pengadaan tanah adalah pemberian ganti kerugian.
Ganti rugi yang harus diberikan dalam pengadaan tanah haruslah ganti kerugian
yang adil yang berarti bahwa pemberian ganti rugi tidak membuat seseorang
menjadi lebih kaya atau lebih miskin dari keadaan semula11.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan tolak ukur dari syarat ganti
rugi yang layak yaitu apabila ganti kerugian yang diberikan setidaknya tidak
membuat menurunnya taraf kehidupan dari masyarakat yang terkena pengadaan
tanah, bahkan ganti kerugian tersebut memiliki syarat layak yang cukup baik
apabila dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari pada tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelumnya.
11
Untuk memenuhi syarat layak tersebut, maka di setiap peraturan pengadaan
tanah terdapat penentu penilaian ganti kerugian yang berbeda. Pada PMDN No.
15 Tahun 1975 dan Keppres No. 55 Tahun 1993 yang berkedudukan sebagai
penentu ganti kerugian adalah Panitia Pengadaan Tanah, kemudian di Pepres
No.36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 dilakukan oleh Lembaga/Tim
Penilai Harga Tanah dan di UU No. 22 Tahun 2012 penentu penilaian ganti
kerugian dilakukan oleh Penilai Pertanahan.
4.4.2. Dasar Perhitungan
Untuk mencapai syarat yang ditentukan dalam pemberian ganti rugi dalam
rangka pengadaan tanah tersebut, harus diperhitungkan dengan membuat standar
tertentu. Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 dasar perhitungan ganti kerugian di
dasarkan pada harga umum setempat atau harga rata-rata taksiran dari
masing-masing anggota jika terjadi perbedaan taksiran. Sedangkan di Keppres No. 55
Tahun 1993 dan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 tahun 2006 dasar
perhitungannya didasarkan pada:
a. Nilai Jual Objek Pajak atau Nilai nyata/sebenarnya, dengan
memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penetapan/penilaian Lembaga/ Tim Penilai harga tanah yang
ditunjuk oleh Panitia.
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian.
Sedangkan di peraturan terbaru pengadaan tanah, yaitu UU No. 2 Tahun
2012 dasar perhitungan ganti kerugiannya didasarkan pada hasil penilaian dari
penilai pertanahan yang penilalaian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi:
- tanah,
- ruang atas dan bawah tanah,
- bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah
- kerugian lain yang dapat dinilai.
Adanya dasar perhitungan tersebut bisa dijadikan sebagai acuan dalam
penentuan besarnya nilai ganti rugi, sehingga ganti rugi yang diberikan
benar-benar ada landasan perhitungannya yang pasti. Oleh karena itu dapat memperkecil
kemungkinan adanya sikap sewenang-wenang Panitia Pengadaan Tanah dalam
menentukan ganti kerugiannya. Apabila pemegang hak atas tanah merasa nilai
ganti rugi yang di berikan masih belum sesuai dengan nilai tanahnya maka
pemegang hak atas tanah dapat mengajukan keberatan.
B. Hasil Penelitian
Dalam bagian hasil penelitian ini penulis akan menjabarkan pasal demi
pasal di berbagai peraturan yang mengatur tentang kedudukan Panitia Pengadaan
Tanah sebagai penyelenggara kepentingan umum dalam setiap peraturan
pengadaan tanah.
Peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum digunakan sebagai pedoman bagi Panitia Pengadan Tanah sebagai
penyelenggara dari kepentingan umum sehingga Panitia Pengadaan Tanah dalam
menjalankan kedudukannya dapat bersikap profesional dan independen. Dalam
Tanah memiliki beberapa tolak ukur yang terdapat dalam masing-masing
peraturan pengadaan tanah yaitu:
1. PMDN No. 15 Tahun 1975
Dalam peraturan ini, pengadaan tanah masih dikenal dengan istilah
pembebasan tanah yaitu melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di
antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.
Dalam peraturan ini terdapat juga pengertian tentang Panitia Pembebasan Tanah
yang merupakan suatu Panitia dengan tugas melakukan pemeriksaan/penelitian
dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan
atau tanpa bangunan/tanaman tumbuh di atasnya, yang pembentukannya
ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing
Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Provinsi yang bersangkutan.
Dalam peraturan ini juga dapat dilihat adanya susunan keanggotaan dari
panitia pembebasan tanah yang terdiri dari unsur:
- Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai
Ketua merangkap anggota.
- Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang
ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang
bersangkutan sebagai anggota.
- Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai
anggota.
- Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan
- Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat
yang ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan/atau
Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang
ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota.
- Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota.
- Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota.
- Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat
Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai
Sekretaris bukan anggota.
Gubernur Kepala Daerah dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah
Tingkat Provinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi sepanjang
tanah yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya
atau jika menyangkut proyek-proyek khusus. Adapun tugas dari panitia
pembebasan tanah yaitu:
- mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap
keadaan tanahnya, tanam tumbuh dan bangunan-bangunan;
- mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah
dan bangunan/tanaman;
- menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang
berhak;
- membuat berita acara pembebasan tanah disertai
- menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang
berhak atas tanah Bangunan/tanaman tersebut.
Hal lain yang diatur dalam peraturan ini pengaturan terkait ganti kerugian.
Di dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi,
Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para
pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/ tanaman yang ada di atasnya
berdasarkan harga umum setempat.
Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besamya
ganti rugi terdapat kata sepakat diantara para anggota Panitia dengan
memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Apabila terdapat
perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang
dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota.
Kemudian keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti
rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para
pemegang hak atas tanah dan para anggota Panitia yang turut mengambil
keputusan.
Akan tetapi jika terjadi penolakan ganti kerugian oleh pemilik tanah, maka
Panitia Pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan
penolakan tersebut, dapat mengambil sikap sebagai berikut:
- Tetap kepada putusan semula;
- Meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai
pertimbangan-pertimbangannya kepada Gubernur Kepala Daerah
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan
dari segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan
Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang bertujuan mencari jalan
tengah agar dapat diterima oleh kedua belah pihak. Keputusan Gubernur
disampaikan kepada masing-masing pihak yang bersangkutan dan Panitia
Pembebasan Tanah.
2. KEPPRES No. 55 Tahun 1993
Dengan berlakunya Keppres No 55 Tahun 1993 ini sudah tidak
digunakannya lagi istilah pembebasan tanah, melainkan sudah menggunakan
istilah pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Menurut Keppres No. 55 tahun
1993 ini, Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Prosedur pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah. Adapun pengertian dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar
musyawarah.
Untuk membantu jalannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, maka oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dibentuk
Panitia Pengadaan Tanah yang disetiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II.
Jika dalam Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kotamadya
atau lebih dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Provinsi
bersangkutan, dan susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili
Instansi-instansi yang terkait di Tingkat Provinsi dan Daerah Tingkat II yang
bersangkutan. Panitia Pengadaan Tanah susunan keanggotaannya terdiri dari:
-Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua
merangkap Anggota;
-Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua
merangkap Anggota;
-Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Anggota;
-Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di bidang
bangunan, sebagai Anggota;
-Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di bidang
pertanian, sebagai Anggota;
-Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan
pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai Anggota;
-Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana
rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai
Anggota;
-Asisten Sekretaris Wilayah Desa Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian
Pemerintahan pada Kantor Bupati/Walikotamadya sebagai Sekretaris I
bukan Anggota;
-Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai
Adapun tugas dari Panitia Pengadaan Tanah yaitu:
- mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman,
dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya
akan dilepaskan atau diserahkan;
- mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya
akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
- menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak
atasnya akan dilepaskan atau diserahkan;
- memberi penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah
mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut;
- mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan
Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;
- menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para
pemegang hak atas tanah bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang
ada di atasnya;
- membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
dilakukan melalui musyawarah secara langsung antara pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam hal
jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya
musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan Panitia Pengadaan
ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus
bertindak selaku kuasa mereka. Musyawarah dipimpin oleh Ketua Panitia
Pengadaan Tanah.
Adapun cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar:
- harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan
memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait
untuk tanah yang besangkutan;
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian;
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian.
Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak
atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, maka Panitia
Pengadaan Tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian sesuai dengan kesepakatan tersebut. Jika musyawarah telah diupayakan
berulang kali dan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian tidak
tercapai juga, Panitia Pengadaan Tanah mengeluarkan keputusan mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian dengan sejauh mungkin memperhatikan
pendapat, keinginan, saran dan pertimbangan yang berlangsung dalam
musyawarah.
Jika pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia
Pengadaan Tanah dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I disertai penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut.
Daerah Tingkat I mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian tersebut, dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan
semua pihak. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan
pemegang hak atas tanah serta pertimbangan Panitia Pengadaan Tanah, Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau
mengubah keputusan Panitia Pengadaan Tanah mengenai bentuk dan atau
besarnya ganti kergian yang akan diberikan.
3. PERPRES No. 36 Tahun 2005 jo PERPRES No. 65 Tahun 2006
Sama dengan peraturan sebelumnya, dalam peraturan ini juga terdapat
pengertian tentang pengadaan tanah yaitu setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dan dengan cara jual beli,
tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk
oleh Bupati/Walikota. Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah
kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah
wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah
yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan
unsur pemerintah daerah terkait. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah
terdiri atas unsur perangkat daerah terkait. Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/Kota paling banyak 9 (sembilan orang) dengan susunan sebagai
berikut:
- Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
- Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai
Wakil Ketua merangkap Anggota;
- Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang
ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
- Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait
dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk
sebagai Anggota.
Adapun tugas dari Panitia Pengadaan Tanah yaitu:
- memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat;
- mengadakan penelitian dan inventarisasi atas bidang tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah, yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
- mengadakan penelitian mengenai status hukum bidang tanah yang
haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang
mendukungnya;
- menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bangunan dan/atau
tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah
dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah dan pejabat yang
bertanggungjawab menilai bangunan dan/atau tanaman dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
- mengadakan musyawarah dengan para pemilik dan instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
- menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
- menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemilik;
- membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
- mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi pemerintah
yang memerlukan tanah dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
dan
- menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian
pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta apabila musyawarah tidak
tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan
- pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilokasi
tersebut;
- bentuk dan besarnya ganti rugi.
Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama
panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang
memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak
memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah
dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau
pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di
antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku
kuasa mereka. Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hakharus
dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala
Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah. Dalam
rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi didasarkan atas:
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia;
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang bangunan;
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai
Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ganti rugi diserahkan langsung kepada pemegang
hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
atau nadzir bagi tanah wakaf.
Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan
tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau
Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai
sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut.
Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai
kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang
hak atas tanah atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan
keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan panitia pengadaan tanah,
Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan
mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan
panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan
diberikan.
4. UU No 2 Tahun 2012
UU No. 2 Tahun 2012 merupakan peraturan terbaru dari pengadaan tanah
yang didalamnya termuat definisi dari pengadaan tanah yaitu kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak danadil
peraturan ini mencantumkan tujuan dari pengadaan tanah adalah menyediakan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui
perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan
yang merupakan pemuka agama dan tokoh adat. Menurut pendapat penulis,
pemangku kepentingan merupakan pihak yang memiliki kepentingan terhadap
obyek pelepasan tanah seperti pihak yang berhak, pemerintah dan masyarakat.
Sama halnya dengan peraturan yang lain, UU ini juga mengatur mengenai
adanya proses musyawarah, tetapi menggunakan istilah lain yaitu konsultasi
publik yang berarti proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang
berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Apabila pihak
yang berhak berhalangan hadir, dapat dilakukan perwakilan dengan surat kuasa
dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana pembangunan.
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk mendapatkan
kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak yang dilakukan
dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan Kepentingan Umum atau di tempat
yang disepakati. Pelibatan Pihak yang Berhak dapat dilakukan melalui perwakilan
dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak atas lokasi rencana
pembangunan. Kesepakatan dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan.
permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. Kemudian Gubernur menetapkan
lokasi.
Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh)hari kerja
pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan terdapat pihak yang
keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik
ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Apabila
dalam Konsultasi Publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan mengenai
rencana lokasi pembangunan, Instansi yang memerlukan tanah melaporkan
keberatan dimaksud kepada Gubernur setempat.
Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana
lokasi pembangunan. Tim kajian terdiri atas:
- Sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota;
- Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris
merangkap anggota;
- Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan
daerah sebagai anggota;
- Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagai anggota;
- Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; dan
akademisi sebagai anggota.
Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana
lokasi pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
berdasarkan rekomendasi mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan
atas rencana lokasi pembangunan. Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan, Gubernur menetapkan lokasi pembangunan. Dalam hal
diterimanya keberatan atas rencana lokasi pembangunan, Gubernur
memberitahukan kepada Instansi yang memerlukan tanah untuk mengajukan
rencana lokasi pembangunan di tempat lain.
Jika setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat keberatan,
Pihakyang Berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak dikeluarkannya penetapan lokasi.Pengadilan Tata Usaha Negara memutus
diterima atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalamwaktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya
Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lembaga
Pertanahan menetapkan Penilai sesuaidengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai adalah orang
perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang
telah mendapat izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat
lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan
melaksanakan penilaian Objek Pengadaan Tanah yang memiliki kewajiban untuk
bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan. Pelanggaran
terhadap kewajiban Penilai dikenakan sanksi administratif dan/ atau pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penilaian besarnya nilai Ganti
Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
tanah;
-ruang atas tanah dan bawah tanah;
-bangunan;
-tanaman;
-benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
-kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat
pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum
Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai disampaikan
kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara yang menjadi dasar musyawarah
penetapan Ganti Kerugian.
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari
Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian
Apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti
Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri setempat dalam waktu paling lama14 (empat belas) hari kerja setelah
musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.
Jika terdapat Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri
dalamwaktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib
memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti
Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti·
Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan, karena hukum Pihak yang Berhak
dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung
kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam
musyawarah dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung. Pada saat
pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib
melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan
Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui
C. ANALISIS
Dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis akan
memaparkan analisis independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam setiap
peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
sehingga dapat diketahui pasal-pasal dalam peraturan pengadaan tanah yang
menjadi tolak ukur independesi Panitia Pengadaan Tanah, sebagai penyelenggara
dari kepentingan umum.
Independensi yang penulis maksud disini merupakan independensi dalam
konsep kedudukan Panitia Pengadaan Tanah di peraturan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang dalam proses pengadaan tanah
harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu pihak sekalipun itu
pihak instansi yang memerlukan tanah, sehingga dalam menjalankan tugas dan
kewenengannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum, panitia
pengadaan tanah dapat bersikap obyektif tanpa menitikberatkan kepada salah satu
pihak dalam mengambil sikap dan keputusan yang terkait dengan
penyelenggaraan pengadaan tanah.
Sebelum menganalisis independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam
masing-masing peraturan pengadaan tanah, penulis akan memaparkan tolak ukur
independensi pemerintah dalam tiap peraturan pengadaan tanah yaitu sebagai
berikut:
Tabel
Tolak Ukur Independesi Pemerintah dalam Peraturan Pengadaan Tanah
No. Tolak Ukur PMDN No.15 Tahun 1975
dan PMDN No.2
Tahun 1976
KEPPRES No. 55 Tahun 1993
dan Perka BPN No.1 Tahun
1994
PERPRES No. 36 Tahun 2005 jo PERPRES No. 65 Tahun
2006 dan Perka BPN No.3 Tahun
2007
UU No. 2 Tahun 2012
dan PERPRES No.71
Tahun 2012
1. Keanggotaan Panitia Pengadaan
Tanah
- Panitia pengadaan tanah terdiri dari: a.) Unsur Kantor Pertanahan b.) Instansi Pemerintah yang terkait c.) Instansi yang memerlukan tanah. d.) Kepala Kecamatan. e.) Kepala Desa (Pasal 2 PMDN No. 15 Tahun 1975)
- Panitia
pengadaan tanah terdiri dari: a.) Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II b.) Unsur Kantor Pertanahan c.) Instansi Pemerintah yang terkait
d.) Instansi yang memerlukan tanah. e.) Camat f.) Lurah/Kepala Desa
(Pasal 7 Keppres No. 55 Tahun 1993)
- Panitia
pengadaan tanah terdiri dari: a.) Unsur Kantor Pertanahan b.) Instansi Pemerintah yang terkait
c.) Instansi yang memerlukan tanah.
(Pasal 6 Perpres No.65 Tahun 2006 jo Pasal 14 Perka BPN No. 3 Tahun 2007)
- Panitia
pengadaan tanah terdiri dari: a.) Tim Persiapan Pengadaan Tanah yang
beranggotakan: Bupati/Walikota, satuan kerja perangkat daerah Provinsi
terkait, Instansi yang memerlukan tanah, dan Instansi terkait lainnya.
(Pasal 9 Perpres No.71 Tahun 2012)
beranggotakan: - Unsur Kantor Pertanahan - Instansi
Pemerintah yang terkait
- Instansi yang memerlukan tanah. - akademisi sebagai anggota. (Pasal 21 ayat (3)UU No. 2 Tahun 2012)
c.)Tim
Pelaksanaan yang beranggotakan: - Unsur Kantor Pertanahan - Instansi
Pemerintah yang terkait
- Instansi yang memerlukan tanah.
- Carnat setempat pada lokasi
2. Penentuan Ganti Kerugian -Penilaian Ganti Kerugian -Dasar Penilaian Ganti Kerugian
- Dilakukan oleh panitia pembebasan tanah.
(Pasal 3 huruf c PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Didasarkan pada: -harga umum setempat, -lokasi, -faktor-faktor strategis yang dapat
mempengaruhi harga tanah -ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas
Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat. (Pasal 6 ayat
- Dilakukan oleh panitia
pengadaan tanah.
(Pasal 8 ayat (3) Keppres No. 55 Tahun 1993)
-Didasarkan pada: -Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya, -faktor-faktor strategis yang dapat
mempengaruhi harga tanah. (Pasal 15 Kepres No. 55 Tahun 1993 jo Pasal 16 dan Pasal 17 Perka BPN No.1 Tahun 1994)
- Dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang profesional dan independen. (Pasal 1 ayat (12) Perpres No. 36 Tahun 2005
jo Pasal 27 Perka BPN No. 3 Tahun 2007)
-Didasarkan pada: -Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya, -nilai jual bangunan -nilai jual tanaman
(Pasal 15 Pepres No.65 Tahun 2006)
-Dilakukan oleh Penilai
Pertanahan yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan. (Pasal 1 ayat (11)
jo Pasal 63 Perpres No. 71 Tahun 2012)
- Didasarkan pada penilaian penilai pertanahan yang penilalaian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi: - tanah,
- ruang atas dan bawah tanah, -bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah -kerugian lain yang dapat dinilai.
- Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
- Jika Pemilik Tanah Tidak Setuju Dengan Penetapan Ganti Kerugian
(1) dan ayat (2) huruf a PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Dilakukan oleh Panitia pembebasan tanah dengan para
pemilik/pemeg ang hak atas tanah. (Pasal 6 ayat (10 PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Pengajuan penolakan atas penentuan ganti kerugian diajukan kepada Panitia pembebasan tanah. (Pasal 7 PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Dilakukan oleh Panitia
pengadaan tanah dengan para pemilik/ pemegang hak atas tanah. (Pasal 8 ayat (5) Keppres No. 55 Tahun 1993 jo
Pasal 14 Perka BPN No.1 Tahun 1994)
-Pengajuan keberatan atas penentuan ganti kerugian
diajukan kepada Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 20 Keppres No. 55 Tahun 1993 jo
Pasal 23 dan Pasal 24 Perka BPN No. 1 Tahun 1994)
-Dilakukan oleh Panitia
pengadaan tanah dengan para pemilik/ pemegang hak atas tanah. (Pasal 7 huruf e Perpres No. 65 Tahun 2006 jo
14 ayat 3 huruf f Perka BPN No.3 Tahun 2007)
-Pengajuan keberatan atas penentuan ganti kerugian
diajukan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. (Pasal 17 Perpres No. 36 Tahun 2005 jo
Pasal 41 ayat (1) Perka BPN No. 3 Tahun 2007)
Pasal 65 Perpres No. 71 Tahun 2012)
-Dilakukan oleh Panitia pengadaan tanah dengan para pemilik/
pemegang hak atas tanah. (Pasal 37 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 jo Pasal 68 Perpres No.71 Tahun 2012)
-Pengajuan keberatan atas penentuan ganti kerugian diajukan kepada:
- Panitia
pengadaan tanah - Pengadilan Negeri - Mahkamah Agung.
(Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012 jo
- Penetapan Ganti Kerugian - Didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikot a atau Gubernur. (Pasal 8 PMDN No. 15 Tahun 1975)
- Didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur. (Pasal 20 Keppres No. 55 Tahun 1993 Tahun jo Pasal 23 Perka No. 3 Tahun 1994)
- Didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 ayat (7) Perka BPN No.3 Tahun 2007)
- Didasarkan atas Keputusan Gubernur dan putusan/ Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung.
(Pasal 38 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2012)
Sumber: Diolah dari Peraturan Pengadaan Tanah di Indonesia.
1. PMDN No. 15 Tahun 1975
Dalam peraturan ini, pengadaan tanah menggunakan istilah pembebasan
tanah yang penjelasannya tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15 Tahun
1975. Pembebasan tanah tersebut juga disebut dengan pelepasan atau penyerahan
hak atas tanah yang dapat diartikan dengan penyerahan hak oleh pemilik atau
pemegang hak atas tanah kepada Panitia pembebasan tanah. Pengertian tersebut
mengandung arti bahwa pembebasan tanah merupakan tindakan sepihak dari
pemerintah melalui panitia pembebasan tanah kepada pemegang hak atas tanah.
dengan adanya tindakan sepihak pemerintah tersebut berarti pemerintah menyalah
gunakan kekuasaannya. Selain itu perbuatan melepaskan hubungan hukum
mempunyai arti bahwa yang bermaksud melepaskan hak atas tanah adalah
pemegang hak atas tanah melepaskan tanahnya dengan sukarela tidak ada unsur
paksaan. Meskipun dalam peraturan tersebut terdapat adanya penggantian ganti
rugi dan berdasarkan asas musyawarah (Pasal 1 ayat (3)). Tetapi dalam
musyawarah tersebut terdapat kata sepakat diantara para anggota Panitia.
Kesepakatan yang penulis maksud di sini bukan kesepakatan antara Panitia
dengan pemilik tanah, melainkan kesepakatan dalan intern panitia itu sendiri
sehingga dalam pembebasan hak atas tanah itu, kehendak dari pemegang hak atas
tanah kurang diperhatikan. Adanya kesepakatan yang terjadi hanya dalam intern
panitia pembebasan tanah tersebut terlihat bahwa tidak independen karena tidak
adanya keterlibatan pihak lain dalam pembuatan kesepakatan terhadap hasil
musyawarah, maka dari itu terlihat jelas keterpihakan Panitia Pengadaan Tanah
kepada instansi yang memerlukan tanah. Selain itu jika terjadi perbedaan taksiran
ganti rugi diantara para anggota panitia, maka yang dipergunakan adalah harga
rata-rata dari taksiran masing-masing anggota yang tercantum dalam Pasal 6 ayat
(3). Dengan penggunaan harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota
terlihat bahwa tidak ada Independensi dari Panitia Pengadaan Tanah karena pada
saat penentuan harga rata-rata taksiran tersebut sangat besar kemungkinan
terjadinya kerjasama di antara para anggota panitia, sehingga dapat merugikan
pemegang hak atas tanah. Seharusnya kesepakatan pembebasan atau pelepasan
hak atas tanah beserta ganti ruginya dari kedua belah pihak yaitu dari pemegang
hak atas tanah dan Panitia pembebasan tanah bukan hanya sepihak dari Panitia
pembebasan tanah saja. Peraturan ini juga menjabarkan mengenai susunan
keanggotaan panitia pembebasan tanah beserta tugasnya di Pasal 2 dan Pasal 3
cakupan yang sangat luas karena selain sebagai pelaksana pembebasan tanah juga
merangkap sebagai tim penaksir harga tanah. Hal tersebut bisa memunculkan
permasalahan pada pelaksanaan pembebasan tanah karena kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah semakin besar.
Dalam peraturan ini juga mengatur adanya kesempatan yang diberikan
kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan terhadap hasil
musyawarah ganti rugi kepada Panitia pembebasan tanah yang tercamtum di Pasal
7 PMDN No. 15 Tahun 1975. Setelah itu Gubernur Kepala Daerah yang
bersangkutan dapat mengambil keputusan mengenai keberatan terhadap hasil
musyawarah tersebut. Dari adanya pengajuan keberatan terhadap bentuk/besarnya
ganti kerugian yang ditetapkan oleh Gubernur tersebut terlihat bahwa tidak ada
independensi dari penyelenggaraan pengadaan tanah yang dilakukan oleh Panitia
Pengadaan Tanah, karena di peraturan ini memposisikan Gubernur memiliki
kuasa penuh dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, bahkan keputusan terakhir
mengenai bentuk/besarnya ganti kerugian juga menjadi kekuasaan dari Gubernur,
padahal di satu sisi Gubernur merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Maka
dari itu tentu akan sangat sulit bagi Gubernur untuk bersikap profesional dan
netral dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara kepentingan
umum.
Pada penjelasan di atas, setelah dianalisis dari tolak ukur independensi
dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 yaitu keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah
dan proses penentuan ganti kerugian menurut pendapat penulis terlihat bahwa
tidak ada independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan
peraturan ini semua proses pembebasan tanah dilakukan oleh unsur dari
pemerintah itu sendiri tanpa adanya keterlibatan dari pihak masyarakat maupun
pihak akademisi bahkan keputusan akhir yang terkait dengan penentuan ganti
kerugian juga berada di tangan Pemerintah, sehingga mengakibatkan kondisi
masyarakat sangat terdesak dan terjadinya tindakan sewenang-wenang
Pemerintah.
2. KEPPRES No. 55 Tahun 1993
Pengadaan tanah dibantu oleh panitia pengadaan tanah yang susunan
anggotanya tercantum dalam Pasal 7. Dalam susunan keanggotaan panitia
pengadaan tanah tersebut terlihat adanya keterlibatan Lurah/Kepala Desa yang
mengetahui secara baik kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat
sekitar yang terkena pengadaan tanah, sehingga Lurah/Kepala Desa tersebut
merupakan wakil dari masyarakat yang dilibatkan dalam keanggotaan Panitia
Pengadaan Tanah. Meskipun demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa belum
tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia Pengadaan
Tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah juga
merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa dipilih
oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan Lurah/Kepala
Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak profesionalnya dalam
menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa tersebut besar
kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah bukan
kepentingan dari masyarakat. Selain itu tidak ada keterlibatan akademisi dalam
Pengadaan Tanah untuk dapat bersikap profesional dan independen dalam
melaksanakan proses pengadaan tanah.
Dalam pengadaan tanah, panitia pengadaan tanah memiliki berbagai macam
tugas salah satunya adalah melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah
yang tercantum dalam Pasal 10 Keppres No. 55 Tahun 1993 jo Pasal 14 Perka
BPN No. 1 Tahun 1994. Dalam kegiatan musyawarah ini panitia sebagai
penyelenggara dari kepentingan umum berperan sebagai mediator antara instansi
yang memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak atas tanah.
mediator yang penulis maksud di sini yaitu Panitia Pengadaan Tanah sebagai
tempat menampung aspirasi dan keinginan dari masyarakat yang terkena
pengadaan tanah untuk disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah.
Posisi Panitia Pengadaan Tanah yang merupakan mediator tersebut berarti harus
dapat bersikap netral tanpa mengusung kepentingan salah satu pihak pun
meskipun pihak instansi yang memerlukan tanah sekalipun.
Kegiatan musyawarah yang dilakukan bertujuan untuk menetapkan
bentuk/besarnya ganti kerugian yang tercantum dalam Pasal 15 Kepres No. 55
Tahun 1993 jo Pasal 16 dan Pasal 17 Perka BPN No. 1 Tahun 1994 yang
perhitungannya didasarkan pada:
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya,
- faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Dengan adanya dasar penilaian tersebut dapat memperkecil terjadinya penyalah
gunaan kedudukan Panitia Pengadaaan Tanah di proses penentuan ganti kerugian
karena pemegang hak atas tanah mempunyai acuan dalam penentuan besarnya
ganti kerugiannya dan jika pemegang hak atas tanah merasa nilai ganti rugi yang
di berikan masih belum sesuai dengan nilai tanahnya maka pemegang hak atas
tanah dapat mengajukan keberatan.
Sama dengan peraturan sebelumnya, peraturan ini juga mengatur adanya
kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan
keberatan terhadap hasil musyawarah penetapan ganti rugi kepada Panitia
Pengadaan Tanah setelah itu dilanjutkan ke Gubernur. Dari adanya pengajuan
keberatan tersebut terlihat bahwa tidak ada independensi Panitia Pengadaan Tanah
karena di peraturan ini memposisikan Gubernur memiliki kuasa penuh dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah, bahkan dalam peraturan ini Gubernurlah yang
berhak memutuskan mengenai keberatan terhadap penetapan bentuk/besarnya
ganti kerugian padahal di satu sisi Gubernur merupakan bagian dari Panitia
Pengadaan Tanah itu sendiri. Maka dari itu tentu akan sangat sulit bagi Gubernur
untuk bersikap netral dan independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai
penyelenggara kepentingan umum karena dengan posisi Gubernur yang memiliki
kuasa penuh tersebut dapat memperbesar kesempatan adanya penyalahgunaan
kekuasaan sehingga Gubernur tersebut lebih memihak pada kepentingan instansi
yang memerlukan tanah dan mengesampingkan kepentingan dari masyarakat.
Dari penjelasan di atas, setelah dianalisis dari tolak ukur independensi