• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam Peraturan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum T1 312014706 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam Peraturan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum T1 312014706 BAB I"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

kelangsungan hidup. Hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar

tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi

kelangsungan hidup umat manusia. Adanya kebutuhan akan tanah juga semakin

meningkat dengan semakin berkembangnya jaman karena jumlah populasi

penduduk yang semakin mengalami banyak peningkatan. Meskipun jumlah

populasi penduduk mengalami peningkatan, tetapi jumlah tanah yang tersedia

tidak semakin bertambah, hal itu mengakibatkan pemerintah harus bekerja secara

ekstra guna mengatur pengelolaan tanah agar peruntukkan tanah dapat berjalan

secara efektif dan efisien serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan

fasilitas umum.

Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah sebagai penyelenggara

kepentingan umum membutuhkan banyak tanah untuk pembangunannya. Agar

kebutuhan tanah untuk pembangunan dapat terpenuhi dengan baik tanpa harus ada

pihak lain yang dirugikan, maka harus ada pengaturan pengadaan tanah yang

pasti. Selain itu didalam pelaksanaan pengadaan tanah juga dibutuhkan adanya

independensi panitia pengadaan tanah selaku aparat yang menjalankan

kewenangannya berdasarkan peraturan pengadaan tanah yang berlaku. Dalam hal

(2)

antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak

atas tanah.

Independensi biasa digunakan dalam konsep politik, akan tetapi dalam

penulisan skripsi ini, independensi yang dimaksud adalah independensi dalam

konsep kedudukan panitia pengadaan tanah dalam proses pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai independensi panitia pengadaan

tanah, penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian

independensi. Independensi berasal dari kata dasar Independence yang berarti The

state of quality of being independent; a country freedom to manage all its affairs,

whether external or internal without countrol by other country 1. Pengertian

Independensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan, tetapi

memiliki persamaan kata yaitu mandiri, kemandirian, bebas yang memiliki makna

tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam melakukan segala bentuk

aktifitasnya, bebas, otonom, ketidak berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang

memiliki persamaan makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau

lembaga lain, dan dapat menjalankan tindakan sendiri termasuk dalam membuat

suatu keputusan2. Apabila dikaitkan dengan definisi tersebut, berarti independensi

Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan pengadaan tanah dapat diartikan

sebagai suatu kondisi di mana Panitia Pengadaan Tanah berkedudukan sebagai

pihak yang otonom dan mandiri dalam proses pengadaan tanah, sehingga dalam

1Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh edition , West group:United States of America, 1999 page 773.

2

(3)

menjalankan kedudukannya, Panitia Pengadaan Tanah harus memiliki sikap

ketidak berpihakan, sehingga tidak mengusung kepentingan salah satu pihak,

meskipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah.

Sehubungan dengan adanya kedudukan Panitia Pengadaan Tanah sebagai

penyelenggara dari kepentingan umum tersebut, maka dibentuklah berbagai

macam peraturan tentang pengadaan tanah yang dapat mempermudah Panitia

Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugasnya.

Ada berbagai macam peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah di

Indonesia. Peraturan yang menjadi landasan utama lahirnya peraturan tentang

pengadaan tanah adalah Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 ( selanjutnya disebut UUD 1945 ) yang menyatakan

bahwa:

“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang penguasaannya ditugaskan kepada negara Republik Indonesia, harus dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, maka lahirlah

Undang – Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria ( selanjutnya disebut UUPA). Di dalam UUPA ini terdapat

pasal yang mengatur tentang kewenangan Negara yang merupakan penjabaran

dari isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut adalah Pasal 2 ayat (2) yang

berbunyi:

“Hak Menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

wewenang untuk:

a. Mengatur dan meyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

(4)

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.”

Dari isi pasal di atas dapat diketahui bahwa Negara oleh Undang-Undang di

berikan kewenangan dalam hal peruntukkan, penggunaan dan persediaan, akan

tetapi kewenangan yang diberikan kepada Negara itu harus dijalankan secara

bijaksana dan berprioritas kepada kemakmuran rakyat seperti yang tertuang pada

Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi:

“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat

2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara

hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.

Dalam isi Pasal 2 ayat (3) UUPA tersebut terlihat bahwa meskipun diberikan

kewenangan, Negara dalam melaksanakan kewenangannya harus dapat bersikap

netral dan tidak boleh mengusung kepentingan pihak manapun dalam

menjalankan kewenangannya agar dapat tercipta keadilan dan kemakmuran rakyat

secara merata.

Setelah munculnya UUPA, maka di bentuklah berbagai peraturan tentang

pengadaan tanah yaitu:

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang

Ketentuan–Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang

selanjutnya disebut dengan PMDN No. 15 Tahun 1975;

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993

Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan Keppres No. 55

(5)

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun

2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan Perpres

No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006;

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut

dengan UU No. 2 Tahun 2012.

Dari adanya peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum tersebut dapat menjadi pedoman bagi Panitia Pengadaan

Tanah untuk memperoleh hak milik atas tanah dari masyarakat yang terkena

pembangunan untuk kepentingan umum, karena di peraturan pengadaan tanah

tersebut terdapat pengaturan yang mengatur mengenai kedudukan dari Panitia

Pengadaan Tanah. Dengan adanya pedoman tersebut, diharapkan Panitia

Pengadaan Tanah dapat independen dalam menjalankan tugasnya, sehingga

masyarakat tidak dirugikan dengan adanya penyelenggaraan pengadaan tanah.

Pada kenyataannya dari berbagai peraturan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, ada peraturan yang Panitia

Pengadaan Tanahnya Independen maupun yang Dependen. Salah satu peraturan

yang menunjukkan tidak adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

(6)

Dalam peraturan ini dapat dilihat adanya susunan anggota dari panitia

pembebasan tanah yang tertuang dalam Pasal 2 yang bunyinya:

“(1) Susunan keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah terdiri dari Unsur:

a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua

merangkap anggota.

b. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk

oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota.

c. Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai

anggota.

d. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah

tersebut sebagai anggota.

e. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat yang

ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota.

f. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota.

g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota.

h. Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria

Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris bukan anggota.

(2) Dalam hal-hal tertentu Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat mengetuai sendiri Panitia tersebut dalam ayat (1) di atas.

(3) Gubernur Kepala Daerah dapat menambah anggota Panitia Pembebasan Tanah, apabila ternyata untuk menyelesaikan pembebasan tanah ini diperlukan seorang ahli.

(4) Gubernur Kepala Daerah dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah Tingkat Propinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi seperti dimaksud dalam ayat (1) di atas sepanjang tanah yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya atau jika menyangkut

proyek-proyek khusus”.

Pada isi pasal tersebut terlihat bahwa susunan keanggotaan dari panitia

pembebasan tanah terdiri atas pihak pemerintah itu sendiri dan tidak adanya

perwakilan dari pihak yang berasal dari masyarakat maupun perwakilan dari pihak

akademisi yang dilibatkan dalam kepanitiaan. Sehingga dalam posisi seperti ini

panitia pengadaan tanah tidak dapat independen dalam menjalankan

(7)

pengadaan tanah akan sulit untuk bersikap profesional tanpa mengusung

kepentingan salah satu pihak dalam proses pengadaan tanah.

Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 terdapat susunan anggota kepanitiaan

pengadaan tanah yang tertuang dalam Pasal 7 yang berbunyi:

“Susunan Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2)

terdiri dari :

1. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua

merangkap Anggota;

2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua

merangkap Anggota;

3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Anggota;

4. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

bangunan, sebagai Anggota;

5. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

pertanian, sebagai Anggota;

6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan

pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai Anggota;

7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana

rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai Anggota;

8. Asisten Sekretaris Wilayah Desa Bidang Pemerintahan atau Kepala

Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati/Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan Anggota;

9. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai

Sekretaris II bukan Anggota”.

Dari isi pasal di atas terlihat bahwa susunan keanggotaan dari panitia

pengadaan tanah melibatkan Lurah/Kepala Desa yang mengetahui secara baik

kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena

pengadaan tanah, sehingga Lurah/Kepala Desa tersebut merupakan lambang

adanya perwakilan dari pihak masyarakat yang dilibatkan dalam keanggotaan

Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa

belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia

pengadaan tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah

(8)

dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan

Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak

profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa

tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah

bukan kepentingan dari masyarakat. Selain itu tidak ada keterlibatan akademisi

dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah yang berdampak pada semakin

kecilnya kemungkinan untuk dapat bersikap profesional dan independen dalam

melaksanakan proses pengadaan tanah. Dari penjelasan yang telah penulis

uraikan, maka terlihat bahwa indepedensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

Keppres No. 55 Tahun 1993 juga masih belum terlihat.

Adanya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum yang telah ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993

sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan

pembangunan untuk kepentingan umum, maka dibentuklah Perpres 36 Tahun

2005. Dalam peraturan ini terdapat Pasal yang mengatur mengenai adanya

keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah yang tertuang dalam Pasal 1 ayat

(12) yang berbunyi:

“Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan

independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai

dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi”

Dalam substansi Pasal 1 ayat (12) di atas terlihat adanya keterlibatan

Lembaga/tim penilai harga tanah yang profesional dan independen sehingga

panitia pengadaan tanah dapat lebih obyektif dalam menentukan besarnya ganti

kerugian. Dengan kondisi yang demikian, independensi Panitia Pengadaan Tanah

(9)

Meskipun Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota

atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang merupakan

bagian dari pemerintah itu sendiri.

Peraturan terakhir yang mengatur tentang pengadaan tanah adalah UU

No. 2 Tahun 2012. Peraturan ini merupakan peraturan yang menunjukkan adanya

independensi Panitia Pengadaan Tanah. Adapun Latar belakang dibuatnya

Undang-Undang ini diharapkan dapat lebih memberikan jaminan

terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum yang pengadaan

tanahnya mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Dari adanya

latar belakang pembuatan UU No. 2 Tahun 2012 ini terlihat bahwa pemerintah

mengedepankan nilai-nilai keadilan sebagai penyelenggara pengadaan tanah

sehingga panitia pengadaan tanah dalam peraturan perundangan dapat bersikap

lebih independen. Hal tersebut bisa dilihat dari isi Pasal 1 ayat (11) yang

berbunyi:

“Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang

perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan

tanah”.

Dari isi pasal tersebut terlihat bahwa adanya unsur penilai pertanahan yang sudah

berkompeten di bidangnya, sehingga dapat melakukan penilaian secara obyektif

terhadap harga tanah dan penilai pertanahan tersebut harus bertanggung jawab

atas penilaian yang telah dilaksanakannya. Apabila ada pelanggaran terhadap

kewajiban penilai akan dikenakan sanksi baik administratif maupun pidana seperti

yang tertuang dalam Pasal 32. Dari adanya pasal-pasal yang mengatur secara

(10)

kelalaian dalam menjalan tugas dan kewajibannya, maka menurut pendapat

penulis dapat dilihat bahwa Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan

kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum pada UU Nomor 2

Tahun 2012 sudah cukup independen karena telah mengedepankan rasa keadilan

antara pihak instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah

dan panitia pengadaan tanah tidak bertindak secara sewenang-wenang.

Keberadaan peraturan - peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang telah dibahas secara garis besar

di atas berfungsi sebagai pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah dalam

kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum. Selain itu dari

keempat peraturan pengadaan tanah itu terlihat adanya perbedaan komposisi dari

panitia pengadaan tanah antara tiga peraturan pengadaan tanah yang lama dengan

peraturan pengadaan tanah terbaru yaitu UU No. 2 Tahun 2012. Adanya

perbedaan komposisi yang penulis paparkan di atas terlihat bahwa dari peraturan

lama sampai dengan peraturan terbaru yang mengatur tentang pengadaan tanah

dapat dinilai ada tidaknya upaya dari Panitia Pengadaan Tanah untuk dapat lebih

independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai pelaksana dari pengadaan

tanah.

Pada kenyataannya, Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan

kedudukannya sebagai pelaksana dari kepentingan umum tidak independen karena

masih terlihat adanya sikap berpihaknya Panitia Pengadaan Tanah terhadap

instansi yang memerlukan tanah dalam penetapan ganti kerugian sehingga

merugikan pemilik. Hal itu dapat dilihat dari kasus eksekusi tanah milik warga

(11)

Eksekusi tanah yang dilakuka tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan

pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo yang

menggunakan landasan hukum Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65

Tahun 2006. Proses eksekusi dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 29 September

2012. Dalam proses eksekusi terjadi kerincuhan karena warga masyarakat tidak

setuju dengan adanya eksekusi tanah tersebut. Ketidak setujuan warga disebabkan

karena jumlah ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan pemilik

tanah dan harga ketika membeli tanah tersebut sehingga mereka merasa

dirugikan3. Dengan adanya kasus eksekusi tanah tersebut para pemilik tanah telah

dirugikan, sehingga terlihat bahwa Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi tersebut

lebih berpihak pada kepentingan dari Instansi yang memerlukan tanah.

Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai adanya independensi Panitia

Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum, maka penulis akan mengkajinya secara lebih mendalam

dalam penulisanskripsi yang berjudul: “Independensi Panitia Pengadaan Tanah Dalam Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dan alasan pemilihan judul maka

permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah:

- Apakah terdapat independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

kedudukannya sebagai pelaksana dari pengadaan tanah untuk

3

(12)

pembangunan bagi kepentingan umum dari tiap – tiap peraturan yang

pernah berlaku di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

- Untuk mengetahui ada atau tidaknya independensi Panitia Pengadaan

Tanah dalam masing- masing peraturan pengadaan tanah

- Untuk dapat mengetahui tolak ukur apa saja yang digunakan untuk

mengukur Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam tiap peraturan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

D. Manfaat Penulisan

Hasil kajian penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat dan

kontribusi:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum

pada umumnya maupun bidang agraria pada khususnya yakni

dengan mempelajari beberapa bahan literatur yang ada

kemudian di kombinasikan dengan perkembangan hukum yang

muncul di dalam kehidupan masyarakat.

b. Sebagai acuan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya

hukum agraria dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum.

c. Sebagai pengetahuan dasar dari kajian mengenai independensi

Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan

(13)

2. Manfaat Praktis

Hasil kajian ini dapat menjadi sumbangan informasi bagi kepada

para pembaca mengenai independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

peraturan tentang pengadaan tanah. Agar para pembaca dapat

mengetahui tugas – tugas dari panitia pengadaan tanah sehingga dapat

diketahui panitia pengadaan tanah independen atau tidak dalam

menjalankan tugasnya sebagai pelaksana pengadaan tanah untuk

kepentingan umum.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran

koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma

yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta

tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum bukan hanya aturan hukum atau

prinsip hukum4. Di dalam penulisan ini apakah peraturan pengadaan tanah sudah

memberikan ruang terhadap panitia pengadaan tanah untuk lebih independen atau

tidak dengan memperhatikan norma hukum dan prinsip hukum dalam menjalakan

perannya sebagai pelaksana pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Jenis pendekatan

Jenis pendekatan yang dipakai di dalam penulisan ini adalah jenis

pendekatan Perundang-Undangan Pendekatan ini dilakukan dengan cara melihat

4

(14)

segala Undang-undang dan regulasi terkait isu hukum yang sedang diteliti.

Pendekatan ini peneliti dapat melihat konsistensi antara regulasi satu dengan yang

lainnya. Metode pendekatan Perundang-undangan peneliti dapat melihat dasar

filosofi atau dasar pemikiran mengapa peraturan tersebut di keluarkan5 dan

dengan cara membandingkan peraturan tentang pengadaan tanah untuk

kepentingan umum yang berlaku di Indonesia, yaitu PMDN No. 15 Tahun 1975,

Keppres No 55 Tahun 1993, Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpress No 65 Tahun

2006 dan UU No. 2 Tahun 2012.

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum merupakan proses dalam kajian normatif dan

sifatnya mutlak, karena sumber hukum primer adalah objek bahan kajian yang

akan ditulis:

a. Bahan hukum Primer:

1. UUD 1945.

2. UUPA.

3. PMDN No. 15 Tahun 1975, serta peraturan pelaksanaannya :

a. PMDN No 2 Tahun 1976 Tentang Penggunaan Acara Pembebasan

Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi pembebasan Tanah

Oleh Pihak Swasta.

4. Keppres No. 55 Tahun 1993, serta peraturan pelaksanaannya adalah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan

5

(15)

Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum yang selanjutnya disebut Perka BPN No. 1 Tahun 1994.

5. Perpres No. 36 Tahun 2005jo Perpres No. 65 Tahun 2006. Beserta

peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum Sebagaimana Telah diubah Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan

Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengedaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

selanjutnya disebut Perka BPN N o. 3 Tahun 2007.

6. UU No. 2 Tahun 2012, beserta peraturan pelaksanaannya yaitu

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut Perpres No 71 Tahun

2012.

b. Bahan Hukum Sekunder

Buku-buku yang berkaitan dengan hukum agraria, khususnya materi

(16)

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum lain yang tidak terdapat di dalam perudang – undangan atau

di dalam buku – buku literatur.

F. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan ketentuan penulisan hukum, maka penulisan hukum ini

dibagi dalam tiga bab, yang masing-masing bab memiliki isi dan uraian tersendiri,

namun antara bab yang satu dengan yang lain masih berhubungan dan saling

mendukung, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah yang

merupakan pengantar untuk masuk dalam pokok permasalahan

yang akan dibahas. Di bagian latar belakang permasalahan ini

berisi penjelasan secara singkat mengenai independensi Panitia

Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya

dari setiap peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum. Perumusan masalah memberikan

penggambaran kepada penulis tentang obyek kajian dalam

menentukan sasaran yang akan diteliti. Metode Penelitian Dalam

bab ini yang dipergunakan yaitu Metode Pendekatan dan Metode

(17)

BAB II PEMBAHASAN

Di dalam bab pembahasan ini dimuat kerangka pemikiran

yuridis normatif yang diambil dari sumber pustaka dan Peraturan

Perundang-Undangan (bahan hukum primer). Dalam bab ini dibagi

terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka terdapat penjelasan mengenai dari

Otoritas Negara Dalam Penguasaan Hak Atas Tanah, Hak

Menguasai Tanah Oleh Negara, Independensi Panitia Pengadaan

Tanah dalam setiap peraturan tentang pengadaan tanah, dan

pengertian dari kepentingan umum serta unsur-unsur dari

pengadaan tanah.

b. Hasil Penelitian

Didalam hasil penelitian diuraikan pasal-pasal yang terkait

dengan independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam tiap

peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum.

c. Analisis

Dalam bagian analisis ini di paparkan mengenai analisis

independensi Panitia Pengdaan Tanah berdasarkan tolak ukur

independensi di setiap peraturan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum sehingga dapat diketahui

ada tidaknya independensi Panitia Pengadaan Tanah di

(18)

BAB III PENUTUP

Dalam bab penutup ini akan disampaikan mengenai pokok

pikiran yang dapat ditarik dari uraian bab-bab yang ada

sebelumnya. Selanjutnya dibentuk dalam sebuah kesimpulan.

Dalam bab ini juga berisi tentang pemikiran, serta saran-saran yang

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menjamin hal tersebut maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan

(1) Setelah menerima permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan tersebut kepada Panitia

(1) Setelah menerima keputusan seperti dimaksud dalam pasal 6 ayat (5), maka instansi dan para pemegang hak atas tanah yang bersangkutan memberitahukan kepada Panitia Pembebasan

(1) Setelah menerima keputusan seperti dimaksud dalam pasal 6 ayat (5), maka instansi dan para pemegang hak atas tanah yang bersangkutan memberitahukan kepada Panitia

Dalam Petunjuk tehnis pengadaan tanah di dalam Perkaban Nomor 5 Tahun 2012 pada BAB VI Pengadaan Tanah Skala Kecil, tertuang sebagai berikut: Pasal 53 ayat

15) Kelemahan pemahaman masyarakat di dalam memaknai asas hukum pertanahan yaitu hak atas tanah bersifat mutlak, kuat dan abadi, sehingga pemikiran mereka hak atas tanah tidak

Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dan tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) huruf a, Ganti

tanah mulai dari pendelegasian dari kanwil kepada kepala kantor sebagai ketua pelaksana pengadaan tanah, penyiapan pelaksanaan pengadaan tanah, inventarisasi