• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III :PEMBAHASAN

3.1 Latar Historis Lahirnya Kepres No.34 Tahun 2003

3.1.2 Desakan Neo-Liberalisme pada Kebijakan

3.4.2.2 Keppres No 34 Tahun 2003 Sebaga

Beberapa catatan kritis atas keluarnya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 dalam pandangan yang melihat bahwa TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003 isinya mengancam kehidupan rakyat, terutama petani adalah; pertama, dalam hal mandat untuk “menyempurnakan" UUPA Tahun 1960, sangat dikhawatirkan bahwa penyempurnaan itu justru akan mengubah hakikat

113

Komnas HAM, KPA, HuMA, Pokja PA-PSDA, 2004, Merumuskan Pokok-Pokok Pikiran Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia, makalah Kerangka Acuan Lokakarya, dalam Achmad Ya’kub, Op.Cit., hal 54

114

UUPA yang merupakan penjabaran dari semangat dan jiwa yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 (naskah asli). Kekhawatiran akan adanya usaha-usaha untuk mengkhianati pelaksanaan landreform atas dasar hukum didasarkan pada alasan bahwa BPN pernah mengeluarkan RUU Pertanahan yang sangat "mengerikan" bagi kaum tani, walaupun RUU tersebut ditunda namun akan tetap ada kemungkinan akan dibahas kembali sesuai dengan mandat Keppres tersebut. Sebagai undang-undang yang berisikan pokok-pokok pembaruan agraria di Indonesia, UUPA berisi prinsip- prinsip sebagai berikut;

b. Tanah mempunyai fungsi sosial c. Tanah untuk penggarap/petani/rakyat d. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat

e. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di bumi Indonesia, tidak untuk warga negara lain

f. Peran utama usaha keluarga/koperasi mengelola dan mengurus agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

g. Pelestarian lingkungan hidup

h. Partisipasi dan inisiatif berbasis rakyat

i. Peran negara yang besar dalam melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia untuk mencapai keadilan dan kemakmuran

Prinsip-prinsip tersebut tentu sangat berbeda dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria yang dipromosikan oleh kekuatan-kekekuatan neo-liberal (World Bank, IMF, dan ADB ). Lazimnya, kebijakan-kebijakan tanah Bank Dunia melalui tahapan-tahapan perubahan sebagai berikut; 1) penentuan batas-batas tanah,

pendaftaran, penelitian tanah, dan pemetaan; 2) privatisasi tanah umum dan tanah komunal; 3) pemberian hak atas tanah dengan hak yang dapat dipindahtangankan; 4) fasilitasi pasar tanah; 5) bank tanah -redistribusi berdasarkan pasar; 6) skema-skema produksi kredit bagi pihak penerima.115 Keenam anak tangga tahapan liberalisasi tanah tersebut menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:116

1. Tanah dijadikan sebagai milik individual (private)

2. Tanah dijadikan sebagai barang atau komoditas yang diperdagangkan (market assisted land reform policy)

3. Tanah ditujukan untuk kepentingan perusahaan, terutama kepentingan perusahaan transnasional

4. Peran utama perusahaan berskala besar dalam pengelolaan agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

5. Peran dan inisiatif partisipasi rakyat dieliminasi

6. Menjadikan negara hanya sebagai alat administras belaka

Ketika UUPA disahkan pada tahun 1960, suasana pada saat itu adalah anti modal asing. Berbeda dengan saat ini,

Pertama kehadiran modal asing sudah menjadi kebutuhan negara. Demikian

pula, secara ideologis tanah untuk petani (land to the tiller) yang diamanatkan dalam UUPA tidak lagi menjadi kenyataan, tetapi sudah men-jadi objek spekulan dan komoditas. Bahkan, pada fase kapitalisme global, tanah tidak lagi menjadi nilai guna,

115

Menurut Peter Rosalt, Land Research Action Network (LRAN), gejala di Indonesia sudah jelas terlihat pada awal tahun 1990-an bagaimana banyak lembaga masyarakat terlibat dalam proyek-proyek pemetaan, walau secara langsung tidak terlihat bagaimana keterlibatan Bank Dunia dalam kerja-kerja tersebut. Dalam Achmad Ya’kub, Ibid. hal. 55

116

tetapi berubah menjadi nilai tukar dalam bentuk saham-saham yang setiap saat dapat diperjualbelikan melalui mekanisme pasar.117

Kedua, tentang menyusun pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan untuk penunjang landreform dan pemberian hak atas tanah, yang sangat dikhawatirkan adalah jalan pintas yang diambil oleh BPN, yaitu dengan menggunakan data-data hanya dari dinas perpajakan dengan alasan teknologi yang digunakan sudah digital. Artinya tanah-tanah yang tidak tercakup dalam Dinas Pajak tersebut dianggap tidak ada yang memiliki, dapat dipastikan ini akan berbenturan dengan masyarakat adat, petani di pedalaman, serta petani/warga yang keterangan atas penguasaan dari milik tanahnya atas dasar batas-batas alam. Data-data kasar dari dinas perpajakan juga tak menjamin bahwa tanah yang membayar pajak itu dilindungi kepastian kepemilikannya secara hukum.118

Ketiga, tentang pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah (sembilan kewe-nangan) di bidang pertanahan kepada pemerintah kabupaten/kota, dan yang dilak-sanakan secara lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi dilaksanakan oleh peme-rintah provinsi. Penyusunan norma-norma dan atau standarisasi mekanisme ketalaksanaan, kualitas produk, dan kualifikasi sumber daya manusia dalam rangka pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksa- nakan oleh pemerintah propinsi dan atau kabupaten/kota harus segera diselesaikan dalam jangka waktu tiga bulan sejak Keppres itu dikeluarkan.

117

Widodo Dwi Putro, “Kebijakan Agraria di Negeri Para Petani”, Kompas, 5 September 2003 118

Sementara itu, semangat dari rujukan hukum itu belum rampung, yang menurut Keppres tersebut harus sudah selesai pada tanggal 30 Agustus 2003. Hal ini telah membuat kerancuan pada logika tata urutan perundangan yang berlaku karena Keputusan Presiden ini sendiri di satu sisi ingin "menyempurnakan" UUPA tahun 1960, namun di sisi lain sudah menjalankan kebijakan terlebih dahulu yang seharusnya mengacu pada "UUPA yang disempurnakan" tersebut. Jadi, penyusunan norma-norma tersebut bersandar pada apa? Dengan demikian, seharusnya aturan payung dibuat terlebih dahulu baru kemudian aturan-aturan di bawahnya.119

Keempat, bahwa kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertanahan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dalam rangka pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan propinsi sebagai daerah otonom di bidang pertanahan dijelaskan pada pasal 2 ayat 3 butir 14. Sedangkan mengenai kewenangan propinsi maupun daerah tidak mengatur mengenai kebijakan pertanahan, terdapat pada pasal 3, namun dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 ini, kewenangan propinsi atas pertanahan itu diperluas. Dalam situasi sosial politik dan kelembagaan negara saat ini, sangat riskan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas lagi kepada pemerintah daerah atau pemerintah propinsi. Selain itu, faktor kebijakan tentang pertanahan ini belum komprehensif, sehingga kebijakan pertanahan dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dengan kebijakan agraria lainnya. Hal ini mereka sebut sebagai “pandangan sepotong-sepotong” yang membuat kerancuan kepastian hukum pelaksanaan pembaruan agraria, sebab kebijakan pertanahan tidak dapat bersendiri

119

sendiri-sendiri. Dalam kaitannya dengan pembaruan agraria, berarti harus ada keterpaduan dengan sektor lain, sebab selain aspek yuridis, pelaksanaan landreform juga sangat dipengaruhi oleh aspek lain seperti politik, ekonomi, sosial, hankamnas, dan pengaruh global. Oleh karena itu, Keputusan Presiden ini dinilai hanya akan memperpanjang daftar peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UUPA No. 5 Tahun 1960.

Berdasarkan uraian di atas, meski tidak secara eksplisit dikatakan bahwa orientasi Keppres No. 34 Tahun 2003 bertentangan dengan orientasi UUPA, juga tidak dinyatakan bahwa orientasi kebijakan yang akan dikeluarkan yang mengatur pelaksanaan landreform di Indonesia berdasarkan Keppres ini dapat berorientasi pada pelaksanaan landreform dengan model di luar model populis, namun dari kekhawatiran-kekhawatiran yang digambarkan, telah menunjukkan bahwa sampai pada batasan tertentu Keppres ini tidak dapat menjamin pelakasanaan landreform di Indonesia mengacu pada UUPA. Dengan kata lain, dengan meninjau berbagai perbedaan kondisi sosial-politik dewasa ini dengan pada saat UUPA dikeluarkan, orientasi kebijakan landreform berdasarkan Keppres ini dipastikan berbeda dengan orientasi UUPA.

Dari keseluruhan uraian tentang Undang-Undang Pokok Agraria dan Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 sebagai implementasi dari TAP MPR nomor IX Tahun 2001 di atas, termasuk orientasi yang terkandung di dalamnya, dapat digambarkan perbandingan antara keduanya dalam bentuk tabel sebagai berkut:

Tabel 4. Perbandingan UUPA dan Keppres No. 34 Tahun 2003

Sudut Tinjauan UUPA Tahun 1960 Keppres No. 34 Tahun 2003

Bentuk

Kebijakan

Undang-Undang Keputusan Presiden

Jumlah Pasal 58 pasal ditambah 9 pasal Ketentuan- ketentuan Konversi

5 pasal

Dasar Hukum UUD 1945, terutama

Pasal 33

TAP MPR No. IX tahun 2001

Substansi

Kebijakan

Aturan-aturan Pokok Masalah Agraria Perintah kepada Badan Pertanahan Nasional untuk me-nyempurnakan UUPA Tahun 1960 Orientasi Kebijakan agraria (landreform)

Pembaruan agraria, termasuk landreform, dengan model populis.

Landreform dalam perspektif populis atau land market dalam perspektif kapitalisme. Tergantung Undang-Undang yang dilahirkan.

Kebijakan-

kebijakan

Pelengkap

1. UU No. 2/1960 Tentang Per-janjian Bagi Hasil

2. UU No. 56 Prp./1960 Tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian

3. UU No. 5/1964 Tentang Surat

Hutang Landreform

4. UU No. 21 Tahun 1960 Ten-tang Pengadilan Landreform

5. Perpu. No. 38/1960 Tentang

Tidak ada, kecuali setelah dikeluarkannya Undang- Undang yang dimaksud dalam Keputusan Presiden ini.

Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman-tanaman Tertentu

6. PP No. 10/1961 Tentang Pendaftaran Tanah

7. Keppres No. 131/1961 Tentang

Organisasi Penyelenggara Landreform

8. PP No. 38/1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Juga Dapat Memiliki Hak Atas Tanah. 9. Beberapa Kepmen. dan Permen. Situasi ekonomi-

politik nasional

dan internasional

1. Indonesia baru Merdeka dan Sukarno menerapkan Demokrasi Terpimpin 2. Situasi dunia pasca Perang Dunia II

diwarnai Perang Dingin antara blok Komunis dan Kapitalis

1. Di Indonesia sedang terjadi reformasi pasca pemerintahan diktator Orde Baru

2. Ekonomi-politik dunia didomi-nasi kekuatan pro- pasar bebas (neo-liberal)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, pada Bab IV dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang dijadikan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa kesimpulan tersebut adalah:

1. Kehidupan agraria di Indonesia pasca Orde Baru merupakan peninggalan kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan ketimpangan dalam struktur agraria dan maraknya konflik-konflik lahan pertanian yang menempatkan petani sebagai pihak yang dirugikan. Pada tataran kebijakan, politik agraria pemerintah banyak dipengaruhi oleh kekuatan neo-liberalisme yang mendominasi kehidupan ekonomi-politik dunia melalui Perjanjian tentang Pertanahan (Agreement on Agriculture) yang merupakan salah satu kesepakatan dalam forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

2. Untuk mengimplementasikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemerintahan Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 2003 yang isi pokoknya adalah perintah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera menyusun Rancangan Undang- Undang Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA Tahun 1960) dan Rancangan Undang-

Undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.

3. Pada beberapa kalangan yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perjuangan pelaksanaan pembaruan agraria, termasuk program landreform di dalamnya, secara umum terdapat pertentangan dalam memaknai Keppres No. 34 Tahun 2003 ini. Pertentangan tersebut adalah dalam melihat apakah Keppres No. 34 Tahun 2003 mengarah pada pelaksanaan landrefrom di Indonesia dengan model populis sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 seperti yang selama ini dikehendaki petani Indonesia, atau implementasinya justru adalah lahirnya produk kebijakan keagrariaan dan landreform yang mengarah pada kepentingan pasar bebas (globalisasi) dengan konsep land market.

4. Karena situasi nasional dan internasional yang berbeda, kecenderungan arah produk undang-undang yang dilahirkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 dapat bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang selama ini ditempatkan sebagai undang-undang payung dalam masalah agraria yang mengarah pada pelaksanaan pembaruan agraria dengan model populis. Sementara konsep land market lebih cenderung mengarah pada landreform model kapitalis.

4.2 Saran

Pembaruan Agraria, termasuk program landreform, merupakan hal yang mutlak dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria dan ketimpangan

penguasaan sember-sumber agraria dewasa ini. Untuk mengakhiri penulisan karya ilmiah ini, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Dalam upaya “menyempurnakan” UUPA sebagai landasan hukum pelaksanaan landreform, pemerintah harus menyertakan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan langsung pada landreform, yaitu petani melalui organisasi-organisasi massa petani yang secara konsisten memperjuangkan pembaruan agraria, di samping kalangan intelektual dan organisasi non pemerintah yang juga teruji integritasnya pada perjuangan pembaruan agraria.

2. Pada pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria (organisasi petani, organisasi non-pemerintah, dan kaum intelektual), harus tetap konsisten dalam memperjuangkan pelaksanaan pembaruan agraria yang berpihak pada kepentingan petani, dengan melibatkan partisipasi politik aktif kalangan petani. Hal tersebut dapat dilakukan dengan secara konsisten memberikan pendidikan politik di kalangan petani, khususnya pendidikan politik di bidang agraria.

3. Sebagai negara agraris yang kaya konflik agraria, menjadi suatu keharusan bagi kalangan intelektual Indonesia, terutama kalangan kampus untuk kembali melakukan kajian-kajian tentang masalah—masalah agraria dan semua dimensi yang menyertainya, untuk kemudian memberikan kontribusi, setidaknya secara konseptual, bagi pelaksanaan pembaruan agraria (penataan struktur agraria) dan program landreform (redistribusi lahan pertanian) yang berpihak bagi kepentingan rakyat, terutama petani di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bacriadi Dianto, Julianta Dadang, Faui Noer. 1998, Manual Kursus Pembaruan Agraria buku kedua. Konsorsium Pembaruan Agraria. Bandung

Departemen Pendidikan Nasional. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Faryadi, Erpan (Ed.). 2005. Reforma Agraria, Prasyarat Utama bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Konsorsium Pembaruan Agraria. Bandung

Herlambang, Boedhi, Widjarjo, dkk. 2001, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. Raca Institute. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1980. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta.

Manan, Bagir. 2004. Perkembangan UUD 1945. FH UII Press. Yogyakarta

Nazir, Moh. PH. 1988. "Metode Penelitian". Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta

Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik. Grasindo. Yogyakarta

Pramono, Tejo (Ed.). 2003. Melawan Neoliberalisme, Seri Pendidikan Petani, FSPI. Jakarta

PH, Moh. Nazir. 1988. "Metode Penelitian". Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

Widodo, Joko. 2001. Kebijakan Publik. _________. Jakarta.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan publik. Media Pressindo. Yogyakarta

Wiradi, Gunawan, Prof. DR. M.Soc.. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan yang belum berakhir. Pustaka Pelajar. Jogjakarta.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan publik. Media Pressindo. Yogyakarta.

Jurnal, Brosur, Surat Kabar, Makalah, dan Lain-lain

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Pustaka Digital Millenials¸ Katalog 1. 2005. Salatiga. Yayasan Pendidikan Qariyah Thayyibah.

TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruab Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria( UUPA)