ARAH KEBIJAKAN PERTANAHAN
PEMERINTAHAN MEGAWATI SUKARNO PUTRI 2003
(Studi perbandingan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960)
(Skripsi)
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
SAUT RITONGA
040906023
Dosen Pembimbing: Drs.Tonny P. Situmorang, Msi
Dosen Pembaca : Drs. P. Anthonius Sitepu
UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
FAKULTAS ILMUSOSIAL ILMUPOLITIK
ABSTRAKSI
NAMA : SAUT RITONGA
NIM : 040906023
DEPARTEMEN : ILMU POLITIK
JUDUL : ARAH KEBIJAKAN PERTANAHAN
PEMERINTAHAN MEGAWATI SUKARNO PUTRI 2003
(Studi perbandingan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960)
Penelitian ini berisikan tentang arah kebijakan pertanahan pemerintahan Megawati Soekarno Putri dengan membandingkan Kepurusan Presiden No. 34 Tahun 2003 dengan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Kepress ini keluar setelah di keluarkannya Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam yang berisi perintah kepada DPR untuk melaksanakan pembaruan agrarian dan melakukan peninjauan terhadap hukum agraria agar tercipta sinkronisasi dalam pemanfaatan sumber-sumber agrarian. Dari hal ini lahir Kepres No 34 tahun 2003 tentang kebijakan agrarian khususnya dalam bidang pertanahan.
Banyaknya konflik dan sengketa tanah di Indonesia menunjukkan kurangnya pelaksanaan dari kebijakan agraria sebagai mana tercantum dalam UUPA 1960 sehingga pemanfaatan tanah ( sumber graria) kurang berjalan dengan baik, hal itu kita lihat konflik yang berkepanjangan di indosesia dari masa rezim Soekarno hingga sekarang. Hal itu dapat kita lihat negara kita sebagai negara agraris namun masih banyak rakyat petani yanmg hidup di bawah garis kemiskinan. Ini menunjukkan kurangnya pelaksanaan undang-undang yang mnegatur pokok-pokok agrarian, dan erbagai kebijakan yang dikeluarkan tumpang tindih dengan yang kebijkana yangv lai.
Lahirnya Tap MPR No. IX tahun 2001 membuka jalan bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan dalam pembaruan agaraia. Tap MPR ini berisikan perintah kepada DPR dan Presiden untuk melaksanakan pembaruan agaraia untuik kepentingan rakyat banyak, serta melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan-kebijakan agrarian yang ada. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 34 oleh Megawati Soekarno Putri memberikan perintah keppada Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan pembaruan agrarian dan pemanfaatan sumber daya alam dan adanya perintah untuk membuat Rancangan UUPA 1960. hal ini menunjukkkan adanya keinginan pemerintah pada saat itu untuk melakukanrevisi terhadap UUPA 1960 tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.yang melindungi
saya dalam setiap perjalanan hidup saya. Yang mana skripsi saya yang berjudul
“ARAH KEBIJAKAN PERTANAHANPEMERINTAHAN MEGAWATI
SUKARNO PUTRI 2003 (Studi perbandingan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
2003 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960)” dapat saya selesaikan.
Skripsi saya ini menjelaskan bahwa berbagai kebijakan agraria yang ada
belum bisa melepaskan rakyat Indonesia dari garis kemiskinan dan banyaknya
sengketa tanah yang terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan kurangnya
pelaksanaan kebijakan agraria dan banyaknya ketimpangan dalam
kebijakan-kebijakan yang ada. Kebijakan yang ada belum dapat menyelesaikan berbagai konflik
agraria di Indonesia.
Dalam penyelesain Skripsi ini peneliti menyadari banyak bantuan yang
diberikan berbagai pihak daik moril maupun materi sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Untuk ini peneliti haturkab rasa terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tinginya ditunjukkan kepada :
1. Ayah ( almarhum ) dan Ibunda tercinta yang membesarkan saya
dan memberi dukungan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi
ini. Dan Pak Enno, kak ini, Kak Herna, damn adek saya Limja
2. Bapak Prof. M. Arif Nasution , MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik dan Bapak Drs. Humaizi, MA selaku
Pembatu Dekan Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik
3. Bapak Drs. Heri Kusmato, MA, selaku ketua Jurusan Departemen
Ilmu Politik Universitas Sumater Utara sekaligus sebagai Dosen
Wali saya.
4. Bapak Drs. Tonny P. situmorang, Msi selaku Dosen Pembimbing
saya, yang membimbing saya dalam kesibukannya sehingga skripsi
ini dapat saya selesaikan
5. Bapak Drs.P. Anthonius Sitepu selaku Dosen Pembaca saya yang
memberikan arahan kepada saya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Ilmu Poltik Fakultas Ilmu social dan Ilmu Politik
7. Buat bang Rusdi dan seluruh Karyawan Departemen Ilmu Politik,
terimakasih bantuannya.
8. Buat kawan-kawan satu perjauangan THE KHINCIED
PUNGGAWA( M Ardian( Mulut Berbisa ), Tengkoe Darmawan (
Jabriks), Enda Mulia( Pak Kuah), dan Wira Aryuna ( Comel “
Cowok Mentel “) dan kawan-kawan ) O4: Mario Hutabarat, Ganda
Syaputra, Fuad Hasan “ BRazZO”, Ayar(04) Kaptol, Sandi BLAki,
Arifin kumis lele dan seluruh jajaranya
9. Teman-teman saya anak2 kurcaci ( kurang Caci CAyang Dan
Cinta) yang ntah dimana rimbanya masih idup ga dan buat Pak
Bowo Pardede, Hendar Dendy, Aulia, Aditya wiguna ) yang
menggagu hidup saya , Tante Titin, pacar yang selalu ngerepet tiap
hari Santa Ulina, dan sahabat Melani pakpahanku
10. FPGMKG ( Forum Persatuan Generasi Muda Kecamatanm Garoga
), FORGEMARGA ( Forum Persatuan Generasi Muda Sipahutar
Pangarinuan Garoga ) yang tidak jelas lagi, Front Mahasisiwa
Nasional(FMN ) dan AGRA ( Aliansi Gerakan Reforma Agraria)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ………i
KATA PENGANTAR ……… ii
DAFTAR ISI ……….…v
Daftar Tabel ……….... v
BAB I : PENDAHULUAN……….……….. .. …….. 1
1.1. Latar Belakang……….…….………1
1.2. Pokok Permasalahan………14
1.3. Tujuan Penelitian……….……….... 14
1.4. Kegunaan Penelitian……….….. 14
1.5. Tinjauan Pustaka……….…………... 15
1.5.1. Pengertian Kebijakan Publik………...……... 17
1.5.2. Pengertian TAP MPR………... 21
1.5.3. Pembaruan Agraria……….……... 24
1.5.3.1. Pengertian Agraria………….………….… 24
1.5.3.2. Pengertian Pembaruan Agrari……….….. 27
1.6. Metode Penelitian………..…. 33
1.6.1. Tipe Penelitian……….……...… 33
1.6.2. Fokus Penelitian……….……...….. 33
1.6.3. Defenisi operasional……….…..….… 34
1.6.4. Sumber Dan Jenis Data………..….… 35
1.6.5. Teknik Analisis dan Pengujian Validitas Data... 36
BAB II : KEBIJAKAN AGRARIA DAN MASALAH MENDASAR
PERTANAHAN DI INDONESIA... 38
2.1 Kebijakan Agraria Di Indonesia, Tinjauan Historis... 38
2.1.1 Kebijakan Agraria Masa Kekuasaan Kolonial... 38
2.1.2 Kebijakan Agraria Masa Orde Lama... 41
2.1.3 Kebijakan Politik Pertanahan Pada Masa Orde Baru……….... 46
2.1.4 TAP MPR No. IX tahun 2001... 54
2.1.5 Kebijakan Pertanahan Megawati Soekarno Putri ( Kepres No.34 tahun 2003)... 56
2.2 Problem Dasar Dan Sengketa Tanah Di Indonesia... 57
BAB III :PEMBAHASAN... 67
3.1 Latar Historis Lahirnya Kepres No.34 Tahun 2003... 67
3.1.1 Kehidupan Agraria di Indonesia Pasca Orde Baru………....…. 67
3.1.2 Desakan Neo-Liberalisme pada Kebijakan Pertanahandi Indonesia………. 69
3.1.2.2 Pasar Tanah dalam Deregulasi
Pertanahan………..…….… 75
3.2 Subtansi Kepres No. 34 Tahun 2003... 82
3.2.1 Keppres No. 34 Tahun 2003 sebagai Implementasi
TAP MPR No. IX Tahun 2001………..…………. 82
3.2.2 Substansi Keputusan Presiden No. 34
Tahun 2003……….………….. 86
3.3 Tujuan dan Dasar Hukum UUPA Tahun 1960………...…. 89
3.3.1 Tujuan UUPA Tahun 1960... 89
3.3.2 Dasar Hukum UUPA 1960... 91
3.4 Beberapa Pandanagn Mengenai Kecendrungan Arah
Tap MPR No. IX Tahun 2001 dan Kepres No. 34
Tahun 2003... 93
3.4.1 TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan Keppres No.
34 Tahun 2003 Dilihat sebagai Pintu Masuk bagi
Pelaksanaan Landreform……….………… 96
3.4.1.1TAP MPR No. IX Tahun 2001 sebagai
Pintu Masuk bagi Pelaksanaan Landreform.. 96
3.4.1.2Keppres No. 34 Tahun 2003 sebagai
Pintu Masuk bagi Pelaksanaan Landreform.. 98
Tahun 2003 sebgai ancaman bagi
Petani……….. 103
3.4.2.1TAP MPR No. IX Tahun 2001 Sebagai Ancaman Bagi Petani……… 104
3.4.2.2Keppres No. 34 Tahun 2003 Sebagai Ancaman Bagi Petani……… 108
IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 116
4. 1 Kesimpulan... 116
4. 2 Saran... 117
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1: Karakteristik Konflik Agraria di Indonesia (1970 – 2001)……… 3
Tabel 2: Rumah tangga pertanian dan pemilikan lahan di Indonesia
tahun 1995 dan 1999………. 5
Tabel 3: Luas tanah perkebunan besar di Indonesia (1938 – 1994)……… 5
ABSTRAKSI
NAMA : SAUT RITONGA
NIM : 040906023
DEPARTEMEN : ILMU POLITIK
JUDUL : ARAH KEBIJAKAN PERTANAHAN
PEMERINTAHAN MEGAWATI SUKARNO PUTRI 2003
(Studi perbandingan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960)
Penelitian ini berisikan tentang arah kebijakan pertanahan pemerintahan Megawati Soekarno Putri dengan membandingkan Kepurusan Presiden No. 34 Tahun 2003 dengan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Kepress ini keluar setelah di keluarkannya Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam yang berisi perintah kepada DPR untuk melaksanakan pembaruan agrarian dan melakukan peninjauan terhadap hukum agraria agar tercipta sinkronisasi dalam pemanfaatan sumber-sumber agrarian. Dari hal ini lahir Kepres No 34 tahun 2003 tentang kebijakan agrarian khususnya dalam bidang pertanahan.
Banyaknya konflik dan sengketa tanah di Indonesia menunjukkan kurangnya pelaksanaan dari kebijakan agraria sebagai mana tercantum dalam UUPA 1960 sehingga pemanfaatan tanah ( sumber graria) kurang berjalan dengan baik, hal itu kita lihat konflik yang berkepanjangan di indosesia dari masa rezim Soekarno hingga sekarang. Hal itu dapat kita lihat negara kita sebagai negara agraris namun masih banyak rakyat petani yanmg hidup di bawah garis kemiskinan. Ini menunjukkan kurangnya pelaksanaan undang-undang yang mnegatur pokok-pokok agrarian, dan erbagai kebijakan yang dikeluarkan tumpang tindih dengan yang kebijkana yangv lai.
Lahirnya Tap MPR No. IX tahun 2001 membuka jalan bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan dalam pembaruan agaraia. Tap MPR ini berisikan perintah kepada DPR dan Presiden untuk melaksanakan pembaruan agaraia untuik kepentingan rakyat banyak, serta melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan-kebijakan agrarian yang ada. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 34 oleh Megawati Soekarno Putri memberikan perintah keppada Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan pembaruan agrarian dan pemanfaatan sumber daya alam dan adanya perintah untuk membuat Rancangan UUPA 1960. hal ini menunjukkkan adanya keinginan pemerintah pada saat itu untuk melakukanrevisi terhadap UUPA 1960 tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia adalah
hamparan tanah yang maha luas yang tersebar di lima pulau besar dan ribuan pulau
kecil di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai satu wilayah yang terletak di bentang
garis khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi menjadi negara agraris yang maju
mengingat kesuburan tanah yang dimilikinya. Faktanya, sebagian besar rakyat
Indonesia memang menyandarkan kehidupannya pada sektor pertanian. Jika
pengelolaan kehidupan pertanian dilakukan dengan baik, pemerataan kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia dapat menjadi nyata.
Kenyataannya kehidupan rakyat Indonesia yang menyandarkan kehidupan
pada pekerjaan di sektor pertanian tidak menunjukkan hal tersebut. Justru yang terjadi
sebaliknya, pengelolaan sektor pertanian yang dilakukan pemerintah belum mampu
membebaskan kehidupan petani dari himpitan kemiskinan. Hal ini tentu saja tidak
dapat dilepaskan dari intervensi negara melalui kebijakan-kebijakan pemerintah, di
antaranya kebijakan tentang pertanahan. Sebab penguasaan tanah merupakan hal
yang mutlak bagi petani.
Berkuasanya Orde Baru sejak tahun 1966 sampai tahun 1998, telah
menyebabkan terjadinya pemiskinan secara struktural di pedesaan. Jumlah petani tak
bertanah atau bertanah dengan luasan yang kecil semakin bertambah, namun jumlah
lahan yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan justru semakin bertambah.
Konsep pembangunan yang berbasis investasi asing dengan penguasaan tanah yang
luas dan program Revolusi Hijau di Indonesia sangat signifikan perannya dalam
menyebabkan hal tersebut.
Akibat dari kebijakan-kebijakan agraria yang berorientasi pertumbuhan dan
kepentingan modal besar pada masa kekuasaan Orde Baru, maka proses diferensiasi
sosial yang sudah terjadi sejak masa kolonial menjadi berkembang kian luas dan
mendalam dengan rangkaian konflik yang tak kunjung henti sebagai konsekuensinya.
Tabel berikut ini merupakan data-data konflik agraria yang dihimpun oleh
Konsorsium Pembaruan Agraria yang menggambarkan skala intensitas probem
struktural ini, yang menunjukkan bahwa konflik penguasaan agraria di Indonesia
melibatkan kepentingan rakyat, pengusaha, militer, dan pemerintah. Jika dilihat dari
politik dan model pembangunan yang diterapkan orde baru, maka dapat diasumsikan
bahwa pemerintah lebih berpihak pada pengusaha dan militer.1
Tabel 1: Karakteristik Konflik Agraria di Indonesia (1970 – 2001)
Pihak-pihak yang Bersengketa
Jakarta
Jatim 169 390.296 187.428 77 9 31 59
Sumsel 157 305.323 71.830 27 1 18 116
Sumut 121 509.100 89.548 39 8 26 57
Jateng 99 32.417 72.494 57 1 23 25
Sulteng 58 1.036.589 51.955 21 1 4 34
Lampung 54 320.716 120.840 23 3 4 25
Sulsel 48 54.555 16.994 25 3 4 17
NAD 47 362.027 61.059 11 1 9 26
NTT 44 472.571 2.955 28 2 4 22
Riau 33 1.676.614 14.056 8 0 2 23
Kaltim 33 1.676.614 22.684 13 1 5 16
Sumbar 32 266.597 29.134 14 1 4 15
Papua 28 4.012.224 35.943 15 2 0 12
Propinsi
Lain
171 1.073.904 57.885 68 9 16 95
Total 1.753 10.892.202 1.189.481 719 59 219 833
Sumber: Erpan Faryadi (2005)
Gambaran dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa politik agraria orde baru
telah menyebabkan problem-problem struktural keagrariaan yang akut dengan
mengorbankan kesejahteraan rakyat dan sendi-sendi kebangsaan. Menurut Noer
Fauzi, berbagai problem agraria pada masa orde baru dapat diringkaskan sebagai
berikut;2
2
1. Ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang sengaja dibiarkan berkembang dengan dijalankannya politik pembangunan agraria yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan tidak diabdikan pada keadilan sosial.
2. Politik agraria yang dijalankan rezim Orde Baru selama ini juga telah menciptakan berkembangnya konflik-konflik dan/atau sengketa agraria yang massif dan mendalam sifat kekerasannya.
3. Politik pembangunan agraria yang mengandalkan penanaman dan penumpukan modal pada sektor-sektor pokok ekonomi yang terutama dibiayai hutang asing telah gagal membangun modal dalam negeri sebagai jaminan dari keberlanjutan pembangunan.
4. Politik sentralisme dan sektoralisme hukum keagrariaan telah menghasilkan pengambilalihan sumber-sumber agraria yang menjadi hak rakyat dan terjadinya konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria dengan mengorbankan kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan serta menjadikan pertanian sebagai sektor yang dibelakangkan.
Efek dari politik agraria rezim Orde Baru tersebutlah yang kemudian
menyebabkan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia dewasa
ini. Hal ini merupakan sebuah masalah besar, yang hingga saat ini belum mampu
diselesaikan oleh pemerintah. Data-data berikut menggambarkan ketimpangan
penguasaan sumber-sumber agraria (tanah) di Indonesia. Menurut data Biro Pusat
Statistik, pada tahun 1983 rata-rata penguasaan tanah di Indonesia adalah 0,89 hektar
per rumah tangga petani, yakni 0,58 hektar di Pulau Jawa, dan 1,58 hektar di luar
Pulau Jawa. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1993, terjadi penurunan
secara nasional sebesar rata-rata 0,83 hektar per rumah tangga tani, yakni 0,47 hektar
untuk Pulau Jawa, dan 1,47 hektar untuk luar Pulau Jawa. Lebih rinci lagi, ada sekitar
22,8 juta jiwa (84 persen) petani yang hanya memiliki tanah di bawah 1 hektar,
dengan proporsi tanah yang dikuasai hanya sekitar 31 persen dari total luas lahan
yang ada. Sedangkan jumlah petani pemilik tanah di atas 1 hektar berjumlah 4,4 juta
pada periode 1995 sampai 1999, terjadi peningkatan jumlah rumah tangga buruh tani
sebesar 40,2 persen, dari jumlah 5,065 juta keluarga pada tahun 1995 menjadi 7,099
juta keluarga pada tahun 1999. Lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut;3
Tabel 2: Rumah tangga pertanian dan pemilikan lahan di Indonesia tahun 1995
dan 1999
Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul “Bayang-bayang Culturstelsel
dan Domein verklaring dalam Praktik Politik Agraria” yang diterbitkan tahun 1997,
Hedar Laudjeng dan Arimbi HP menggambarkan jumlah pertambahan luasan lahan
yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan, baik perusahaan milik pemerintah
maupun milik swasta, baik swasta domestik mapun swasta asing, dalam tabel berikut
ini;4
Tabel 3: Luas tanah perkebunan besar di Indonesia (1938 – 1994)
3
BPS, 2000 dalam Tejo Pramono (Ed.), 2003, Melawan Neoliberalisme, Seri Pendidikan Petani, FSPI, Jakarta, hal 32 - 33
4
Tahun Jumlah perusahaan
Berakhirnya Rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998, merupakan gambaran
penting bahwa penyelenggaraan pembangunan yang cenderung elitis, sentralistik dan
dominatif ternyata tidak mampu menjawab persoalan kesejahteraan rakyat. Meskipun
terjadi reformasi politik pasca tahun 1998 yang menumbangkan kekuasaan Orde Baru
dan digantikan oleh pemerintahan Gus Dur, persoalan pertanahan tetap membawa
beban berat akibat harus menanggung kesepakatan rezim terdahulu terhadap lembaga
keuangan internasional yang mempunyai kepentingan melakukan komersialisasi
lahan, sehingga pelaksanaan UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria di Indonesia
sukar untuk dilaksanakan, juga banyaknya konflik kepentingan partai politik dalam
melakukan penguasaan lahan-lahan yang dapat menguntungkan mereka. Hal ini dapat
dilihat dari bagaimana terjadinya politik dagang sapi dalam pemerintahan Gus Dur.5 Jabatan-jabatan strategis yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam negara
banyak diperebutkan partai-partai besar dalam pemilu, seperti Golkar, PDIP, dan
PKB.
Salah satu hal yang melemahkan kebijakan politik pemerintahan reformasi,
adalah juga mempunyai kecenderungan untuk tunduk pada kepentingan lembaga
5
keuangan internasional dalam mendorong liberalisasi penggunaan tanah. Proses
dalam landreform dilaksanakan sebagai satu bentuk skema kapitalisme internasional
dalam mengubah fungsi tanah bukan untuk pemerataan dan produktivitas tetapi lebih
pada pertumbuhan laba dalam investasi. Pola pembangunan Pemerintah yang
mengarah pada konsepsi developmentalisme menuju pertumbuhan ekonomi dan
bukan pada pemerataan ekonomi menyebabkan pemiskinan dalam masyarakat, dan
telah mendorong konflik dalam berbagai macam kasus pertanahan.
Pada era reformasi politik pasca tahun 1998 inilah yang menjadi momentum
perjuangan bagi penataan kembali struktur agraria, yang terutama dilakukan oleh
banyak organisasi massa petani. Dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik-konflik
agraria sebagai warisan Orde Baru pada satu sisi, dan lebih besar lagi menata struktur
penguasaan sumber-sumber agraria yang berpihak pada kepentingan rakyat pada sisi
yang lain. Atau secara umum disebut Reforma Agraria. Dengan keterbukaan
ruang-ruang demokrasi pasca Orde Baru tersebut, perjuangan reforma agraria seolah-olah
menemukan momentum untuk digelorakan kembali. Organisasi-organisasi massa
petani bersama berbagai organisasi non pemerintah menyuarakan tuntutan pembaruan
agraria melalui berbagai cara, baik dengan jalan ekstra parlementer melalui aksi
massa, maupun melalui jalan parlementariat seperti lobi dan hearing ke
lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif.
Terhadap berbagai tuntutan pembaruan agraria tersebut, pemerintahan Gus
Dur yang hanya “seumur jagung” tidak mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang
berorientasi merestrukturisasi kehidupan agraria sebagai respon dari perjuangan
stabil paska orde baru dan sedang gencar-gencarnya dilakukan konsolidasi kekuasaan
menyebabkan perhatian pada penataan struktur agraria tidak menjadi prioritas.
Kekuasaan Gus Dur yang tidak ditopang oleh kekuatan yang signifikan di parlemen
menyebabkan langkah-langkah Gus Dur yang tidak sejalan dengan kepentingan
mayoritas di parlemen banyak terjegal, termasuk upayanya membuka lebih-lebar
“keran-keran” demokrasi yang juga mencakup upaya penataan struktur agraria yang
berpihak pada rakyat.
Setelah pemerintahan Gus Dur digantikan oleh Megawati Sukarno Putri pada
tahun 2001, konsolidasi kekuasaan di parlemen sudah relatif lebih baik, sebab
naiknya Megawati selain karena persoalan prosedural ketatanegaraan, juga karena
kemampuannya mengakomodir kepentingan-kepentingan kekuatan-kekuatan sisa-sisa
orde baru. Oleh karena itu pemerintahannya, meskipun secara substansial tidak
mampu membenahi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dapat berjalan lebih
stabil. Pada tataran respon terhadap perjuangan pembaruan agraria, pada masa
pemerintahnnya, MPR pada Sidang Tahunan 2001 mengeluarkan satu Ketetapan,
yaitu TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam(PAPSDA)Melalui TAP MPR No. IX Tahun 2001 ini, MPR
memerintahkan kepada presiden dan DPR untuk;6 1. menjalankan pembaruan agraria, dan
2. menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.
6
Sementara sebagai arahan kebijakan, TAP MPR ini menghendaki;7
1. dilakukan peninjauan kembali segala perundang-undangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang-tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya;
2. dilakukannya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah “landreform”, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan landreform ini;
3. diselesaikannya konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini;
4. mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dengan lahirnya TAP MPR ini, maka reforma agraria masuk menjadi agenda
negara. Dengan demikian, perjuangan reforma agraria mendapat landasan hukum
baru untuk terus digelorakan, yakni pelaksanaan TAP MPR No. IX Tahun 2001.
Namun demikian, di kalangan yang cukup berkonsentrasi pada perjuangan reforma
agraria, terjadi perdebatan berkaitan dengan penerimaan atau penolakan terhadap
substansi TAP MPR ini. Perdebatan ini tidak terlepas dari eksistensi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau yang lebih
dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang sebelum lahirnya TAP
MPR Nomor IX Tahun 2001 merupakan landasan hukum perjuangan reforma agraria.
Pihak-pihak yang menerima TAP MPR No. IX Tahun 2001 beranggapan
bahwa TAP MPR ini dapat dijadikan sandaran untuk menuntut pemerintah
melaksanakan UUPA. Namun jika UUPA harus direvisi untuk mengatur kehidupan
7
agraria, maka diharapkan isinya tidak keluar dari substansi UUPA tersebut. Beberapa
Organisasi Non Pemerintah yang tergabung di dalam Kelompok Kerja Ornop untuk
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA) menilai
bahwa TAP MPR ini dapat dipergunakan sebagai alat memperbesar gerakan tani dan
mendorong pemerintah menjalankan pembaruan agraria. Sementara Federasi Serikat
Petani Indonesia (FSPI) dengan beberapa aktivis ornop pendukungnya justru
memberikan penilaian sebaliknya. Nereka beranggapan bahwa TAP MPR ini dapat
menjadi pintu masuk bagi agenda Neo-liberalisme dan berimplikasi pada
penghapusan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang sementara masih menjadi
sumber hukum pelaksanaan landreform.8
Sebagai sebuah pemerintahan yang berdinamika dengan proses demokratisasi
yang sedang terjadi di Indonesia dan berkuasa dengan relatif mendapat dukungan
parlemen, kekuasaan Megawati memiliki waktu yang relatif cukup untuk melakukan
reforma agraria dengan menyandarkan diri pada TAP MPR tersebut. Hal ini juga
berkaitan dengan keluarnya TAP MPR tersebut pada awal-awal masa
pemerintahannya, sehingga di kalangan yang berkonsentrasi pada perjuangan reforma
agraria, terdapat harapan baru pada pemerintahannya yang bercitra kerakyatan
dengan jargon “wong cilik” tersebut. Dengan tiga tahun masa pemerintahannya, pada
tataran kebijakan, pemerintahan Megawati mengeluarkan beberapa kebijakan yang
menyangkut penataan kehidupan agraria, yaitu tiga Undang-Undang dan satu
Keputusan Presiden. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah Undang-Undang
8
Pertambangan, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air,
serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan.
Berdasarkan uraian pada paragraf-paragraf di atas, persoalan pokok yang
menyangkut kehidupan agraria, dalam hal ini yang berkaitan dengan kehidupan
petani, adalah persoalan penataan pemilikan dan penguasaan tanah. Dengan
demikian, maka kebijakan pertanahan nasional yang dikeluarkan pemerintah
memiliki urgentisitas untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di Indonesia,
di samping secara umum dapat memberikan pengaturan kepada distribusi tanah
pertanian. Karena itu, dengan mendasarkan diri pada TAP MPR No. IX Tahun 2001
di atas, maka orientasi Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan TAP MPR No. IX Tahun
2001. Hal ini perlu ditegaskan, sebab pada beberapa kebijakan dalam lingkup
pengaturan kehidupan agraria, terdapat orientasi yang tidak sejalan, bahkan
bertentangan, dengan Undang-Undang Pokok Agraria, serta tidak mampu
menjalankan mandat TAP MPR No. IX Tahun 2001. Kebijakan yang dimaksud salah
satunya adalah Undang-Undang Sumber Daya Air atau dikenal dengan singkatan
UUSDA.
Undang-Undang Sumber Daya Air dikeluarkan untuk menata pemanfaatan
Sumber Daya Air yang ada di Indonesia. Pada konsiderannya, undang-undang
tersebut mencantumkan TAP MPR No. IX Tahun 2001 sebagai landasan hukum
dikeluarkannya kebijakan tersebut. Artinya, secara eksplisit lahirnya kebijakan
TAP MPR No. IX Tahun 2001. Namun pada muatannya, keberadaan undang-undang
ini memungkinkan terjadinya penguasaan sumber daya air oleh
perusahaan-perusahaan swasta, atau biasa disebut privatisasi air. Pada proses selanjutnya,
privatisasi air dapat menyebabkan terjadinya komersialisasi pada penggunaan air.
Komersialisasi yang dimaksud dalam hal ini dapat terjadi pada penggunaan air untuk
pertanian maupun rumah tangga.9
Bentuk komersialisasi sumber daya air pada sektor pertanian adalah
pengelolaan sumber air (mata air) serta pendistribusian air (irigasi) dapat dikuasakan
kepada perusahaan, sementara ketika petani membutuhkan air, maka hanya bisa
didapatkan dengan membeli pada perusahaan pengelola irigasi tersebut. Hal
tersebutlah yang dikhawatirkan banyak organisasi petani pada saat sebelum
disahkannya undang-undang tersebut. Sementara pada penggunaan air oleh rumah
tangga, pengelolaan sumber daya air yang selama ini dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan pemerintah (PDAM) yang berorientasi pelayanan penyediaan air bersih,
juga dapat didistribusikan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Sampai pada hal
ini, hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya persaingan antar perusahaan penyedia
air bersih yang berujung pada komersialisasi air bersih. Pada konteks tersebut,
komersialisasi air bersih yang dikhawatirkan di atas sudah terjadi di Jakarta, yakni
dengan diterbitkannya hak penguasaan sebagian saham PDAM DKI Jakarta. Dengan
demikian, dewasa ini sebagian saham PDAM DKI Jakarta dimiliki oleh perusahaan
asing yang berbasis di Perancis. Selain orientasi yang tidak sejalan antara kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah (Undang-Undang) dengan produk hukum yang
9
memayunginya (TAP MPR) seperti pada kasus UUSDA ini, kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah juga seringkali disebut sebagai “bersifat sektoral”,
sebab hanya mengatur satu bidang demi satu bidang persoalan-persoalan agraria yang
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan harus diatur secara
komprehensif.
Berkaitan dengan kehidupan agraria, terutama yang berkenaan langsung
dengan kehidupan pertanian, yaitu kebijakan pertanahan, kebijakan apapun yang
dikeluarkan diharapkan mampu memenuhi tuntutan pembaruan struktur penguasaan
tanah di Indonesia. Indonesia. Politik agraria adalah suatu sitem yang melegitimasi
dan mengatur, tentang tujuan kepentingan, model penguasaan dan tata cara
penguasaan, sumber-sumber agraria. Pilihan politik agraria ini sagat ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan politik10. Selanjutnya dalammenjalankan politik agraria di tingkat lapangan, diperlukan seperangkat trategi dan tata pelaksanaan, yang bertumpu pada
penggunaan instrumen hukum. Hal inilah yang disebut sebagai kebijakan Agraria
yaitu seperangkat aturan hukum ( administratif, lgal formal), dalammewujudkan
pilihan arah pemanfaatan sumber-sumber agraria, model penguaasaan dan tata cara
penguasaannya11. Setiap politik agraria menghasilkan kebijakan agraria yang berbeda. Pengertian kebijakan agrarian ini ini juga mengisyaratakan bahwa kebijakan
itu tidak berbeda dalam ruang bebas kepentingan, justru berbeda dalam suatu
dinamika sosial-ekonomi yag kompleks dan sensitif.
10
Dadang Juliantara, Noer Fauzi, dan Dianto Bachriadi, 1998, Manual Kursus Pembaruan Agararia bagian kedua, KPA bekerjasama dengan INPI-Pact, Bandung, hal 15-16.
11
Jika tolok ukur yang digunakan untuk menilai baik atau buruknya kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah adalah kemampuan kebijakan tersebut untuk merombak
ketimpangan struktur penguasaan tanah di Indonesia, maka parameter yang dapat
digunakan adalah konsep tentang penataan struktur agraria yang dikehendaki
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap akses atas tanah, terutama petani. Pada tataran
implementatif, pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif sangat bergantung dari orientasi
kebijakan tersebut. Untuk menilai orientasi keberpihakan sebuah kebijakan, maka
dalam konteks kebijakan pertanahan, juga harus terdapat tolok ukur konsepsi
penataan kehidupan agraria (dalam hal ini pertanahan) yang dikehendaki petani. Pada
konteks tersebut, konsepsi penataan pertanahan yang dikehendaki petani, yang secara
politik diwakili oleh organisasi petani, adalah model penataan kehidupan agraria yang
terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Dengan
demikian, jika orientasi kebijakan pertanahan pemerintahan Megawati yang
didasarkan pada TAP MPR No. IX Tahun 2001 tersebut seiring sejalan dengan
orientasi Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, maka dapat diasumsikan
bahwa pembaruan agraria khususnya bidang pertanahan (land reform) dapat berjalan
baik. Demikian juga sebaliknya.
1.2 Pokok Permasalahan
Bagaimanakah kecenderungan arah kebijakan pertanahan Pemerintahan
Megawati berdasarkan TAP MPR No. IX Tahun 2001, dibandingkan dengan
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan arah kebijakan
pertanahan Pemerintahan Megawati berdasarkan TAP MPR No. IX Tahun 2001,
dibandingkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960.
1.4 Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini berguna untuk :
1. Secara akademis ilmiah, hasil penelitian ini dapat melengkapi referensi kajian
tentang politik agraria pemerintah di Indonesia, terutama dalam bidang
pertanahan.
2. Secara praktis, dapat menjadi salah satu referensi bagi kalangan yang
berkonsentrasi pada perjuangan pembaruan agraria di Indonesia untuk
merumuskan strategi dan taktik perjuangan pembaruan agraria.
3. Menjadi salah satu bahan bacaan bagi siapa pun yang menaruh minat pada
persoalan-persoalan agraria.
1.5Tinjauan Pustaka
Reforma agararia di Indonesia dimulai pada dengan dikeluarkannya
Undang-Undang pada masa rezim Soekarno berupa UUPA 1960 jalan menuju reforma agraria
dan tidak terselesaikan karena adanya pergantian rezim. Memasuki era pemerintahan
Orde Baru dimana kebijakan politik ekonominya sangat berbeda dengan rezim
sebelumnya , maka isu persoalan agraria tidak terlalu diperhatikan. Dengan hanya
besenndikan pada pembagunan agraria menyebabkan konflik antara rakyat dan
pemerintah.
Pada masa reformasi, pemerintahan Gus Dur mempunyai satu keinginan
untuk kembali pada kebijakan pembangunan yang berlandaskan pada agraria, tetapi
belum dapat terwujud karena harus diganti oleh pemerintahan Megawati Sukarno
Putri. Sewaktu menjabat sebagai presiden Gus Dur pernah membuat sebuah
pernyataan yang kontroversial yang mengatakan 40 persen tanah-tanah perkebunan
dahulunya mencuri tanah rakyat. Tanah-tanah tesebut tidak dikembalikan kepada
rakyat karena sebagaiab besr perkebunan sudah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN
yang sebagian besar di berikan kepada pensiunan militer dan pejabat tinggi sehingga
hilangla kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya. Melalaui sidiran tersebut
membuka jalan lahirnya Tap MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria.
Pada masa pemerintahan Megawati, MPR mengeluarkan TAP MPR No. IX
Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP
MPR ini memerintahkan Presiden dan DPR untuk segera melaksanakan pembaruan
agraria yang berpihak pada rakyat, menyelesaikan konflik-konflik agraria, dan
melaksanakan pengelolaan sumber daya alam dengan cara baik untuk tujuan
kemakmuran rakyat secara umum. TAP MPR ini juga yang kemudian digunakan
pemerintahan Megawati sebagai landasan hukum untuk mengeluarkan kebijakan
perundang-undangan di bidang agraria. Beberapa kebijakan tersebut adalah
Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang-Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang-Undang-Undang Sumber Daya
Air, dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
merupakan mandat Presiden kepada Badan Pertanahan Nasional untuk
menyempurnakan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan membuat
Rancangan Undang-Undang Hak Atas Tanah.
Salah satu dari berbagai kebijakan pemerintahan Megawati yang merupakan
penerapan TAP MPR No. IX Tahun 2001 tersebut, yaitu Keputusan Presiden Nomor
34 Tahun 2003 merupakan satu kebijakan yang bernilai strategis mengingat
muatannya yang berisi tentang upaya penataan pertanahan untuk merombak struktur
penguasaan tanah peninggalan orde baru. Meskipun demikian, tidaklah terdapat
jaminan bahwa orientasi kebijakan tersebut benar-benar seiring sejalan dengan
kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelaksanaan landreform.
Kebijakan tersebut tentunya mengandung orientasi tertentu, yang pada akhirnya
menjelaskan keberpihakan pemerintah.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang berjiwa
populis yang mengamanatkan dilaksanakannya pembaruan agraria untuk
merestrukturisasi penguasaan sumber-sumber agraria, terutama tanah pertanian, di
Indonesia yang dipenuhi ketimpangan sebagai peninggalan kekuasaan kolonial
Belanda. Pada pasal-pasalnya, Undang-Undang ini banyak mengatur tentang
pelaksanaan redistribusi penguasaan tanah pertanian kepada rumah tangga-rumah
tangga petani, yang secara teoritik model pendistribusian tanah pertanian
(landreform) seperti ini diistilahkan sebagai landreform model populis. Seiring
dengan terbukanya ruang-ruang demokrasi di Indonesia pada era reformasi,
pembaruan agraria model inilah yang banyak diperjuangkan oleh berbagai organisasi
demikian, pelaksanaan UUPA acap kali dijadikan tolok ukur bagi keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia.
Perintah pelaksanaan pembaruan agraria yang tidak tegas pada model
pembaruan agraria tertentu yang diinginkan, yang diamanatkan TAP MPR No. IX
Tahun 2001, dapat ditafsirkan dengan berbagai cara dan orientasi oleh pemerintah.
Karena itu, dalam penelitian ini, model orientasi pembaruan agraria yang akan
digunakan sebagai parameter akan sukses atau tidaknya pelaksanaan pembaruan
agraria yang didasarkan pada KEPPRES No. 34 Tahun 2003 adalah pembaruan
agraria dengan model populis (atau neo-populis), sebab pembaruan agraria model ini
merupakan pembaruan agraria yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok
Agraria Tahun 1960, sekaligus merupakan model pembaruan agraria yang banyak
diperjuangkan oleh berbagai kalangan yang memiliki kepentingan pada pembaruan
agraria di Indonesia.
1.5.1 Pengertian Kebijakan Publik
Istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan perilaku
pemerintah. Menurut Robert Eyestone, secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.12 Dye mengartikan kebijakan adalah “apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan
atau tidak melakukan”.13 Sedangkan David Easton melukiskannya sebagai “pengaruh
12
Budi Winarno, 2002, Teori dan Proses Kebijakan publik, Media Pressindo, Yogyakarta, hal. 15 13
(impact) dari aktifitas pemerintah”,14 dan dia juga berpandangan bahwa lingkungan eksternal dan internal menjadi input dalam sebuah kebijakan.15
Sementara Menurut Kartasasmita, kebijakan publik merupakan “upaya untuk
memahami dan mengartikan; (1) apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah mengenai suatu masalah; (2) apa yang menyebabkan atau yang
mempengaruhinya; (3) apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut”.16 Edward III dan Sharkansy mengemukakan kebijakan publik adalah “apa yang
pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak dilakukan”.17 Carl I. Friederich, menyatakan bahwa kebijakan ialah “serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan peluang dan
ancaman yang ada, di mana kebijakan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi
sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu”.18 Sementara Harold Laswell mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai “suatu program
yang diproyeksikan dengan tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan
tujuan-tujuan tertentu”.19
Kebijakan merupakan sebuah proses politik yang kompleks yang melibatkan
berbagai aktor baik kelompok maupun perseorangan. James Anderson yang
mendefinsikan kebijakan sebagai “arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah
14
atau suatu persoalan”.20 Kebijakan merupakan sebuah sistem, karena memiliki masukan (input), proses, keluaran (ouput), dan tanggapan (feedback). Sistem tersebut
terlihat jelas dalam tahap-tahap pembuatan kebijakan.
Tahap pertama adalah penyusunan agenda, pembuat kebijakan memilih
isu-isu yang dianggap penting dan menjadi prioritas untuk dibuat suatu kebijakan yang
mengatur isu tersebut. Tahap kedua merupakan formulasi, di mana permasalahan
dibahas, didefinisikan dan dicari pemecahan terbaik untuk kemudian dipilih mana
yang akan dijadikan kebijakan. Tahap selanjutnya adalah tahap adopsi kebijakan
dimana berbagai alternatif yang ada diadopsi. Tahap keempat adalah implementasi, di
mana kebijakan yang telah ditetapkan diterapkan. Tahap implementasi kebijakan
merupakan tahapan yang paling krusial. Sebuah kebijakan tidak akan diketahui
hasilnya tepat atau tidak jika tidak diimplementasikan. Tahapan kebijakan yang
terakhir adalah evaluasi. Jika suatu kebijakan mendapatkan tanggapan positif maka
kebijakan tersebut dapat diteruskan. Namun jika kebijakan tersebut memperoleh
tanggapan negatif, kebijakan itu dapat diolah ulang dengan format baru atau
diberhentikan sama sekali.21 Mengingat adanya tahapan-tahapan dalam proses kebijakan, fokus studi dalam kebijakan biasanya dibagi berdasarkan tahapan-tahapan
tersebut. Sementara itu, untuk menjelaskan proses kebijakan publik yang sama, oleh
Riant Nugroho menggambarkan dengan bagan berikut;22
20
Budi Winarno, Op.Cit, hal. 16 21
Ibid, hal 17 22
Gambar 1: Bagan Proses Kebijakan Publik
Sumber : Riant Nugroho( 2003 )
Dari gambar tersebut, dapat dijelaskan dalam sekuens sebagai berikut:
1. Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang harus diselesaikan.
2. Isu kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya-termasuk pimpinan negara. 3. Setelah dirumuskan, kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan baik oleh
pemerintah, masyarakat, atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. 4. Dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan
tindakan evaluasi untuk menilai apakah kebijakan tersebut telah dirumuskan dan dilaksanakan dengan benar dan baik.
5. Implementasi kebijakan bermuara pada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat. 6. Di dalam jangka panjang, kebijakan tersebt menhasilkan outcome dalam
Dalam proses kebijakan di atas, tujuan atau arah kebijakan termasuk di dalam
langkah ketiga, yaitu pemerintah merumuskan kebijakan publik dalam rangka
menyelesaikan isu atau masalah publik. Secara umum berarti setiap kebijakan publik
dirumuskan harus dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah publik. Pada konteks
penelitian ini, berarti bahwa secara umum kebijakan pertanahan pemerintahan
Megawati dirumuskan dalam kerangka menyelesaikan masalah ketimpangan
penguasaan sumber agraria dan sengketa-sengketa lahan yang berkembang pasca
Orde Baru. Masalahnya adalah bahwa Indonesia telah memiliki kerangka kebijakan
pertanahan yang dianggap mengarah pada upaya pemecahan masalah agraria tersebut
yang bertujuan merombak struktur agraria yang timpang sekaligus menyelesaikan
sengketa-sengketa lahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, beserta aturan perundang-undangan lain yang
melengkapinya. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa dapat saja tujuan yang
terdapat di dalam kebijakan agraria pemerintahan Megawati Suakrno Putri, yaitu
Keppres No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Ansional di Bidang Pertanahan
berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di atas.
1.5.2 Pengertian TAP MPR
Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan, dalam sistem
hukum ketatanegaraan Indonesia, Ketetapan Musyawarah Perwakilan Rakyat (TAP
MPR) merupakan salah satu instrumen hukum yang berposisi penting, bahkan berada
1945 sebelum diamandemen tersebut dan TAP MPRS No. XX Tahun 1966, tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut;23 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
2. Ketetapan Musyawarah Perwakilan Rakyat (TAP MPR)
3. Undang-Undang (UU)
4. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah (PP)
6. Keputusan Presiden (KEPPRES)
7. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Tata urutan perundang-undangan ini tidak boleh diubah dan disalingtukarkan
kedudukannya. Pada poin ketujuh, selain peraturan perundang-undangan pada enam
poin sebelumnya, masih ada peraturan-peraturan perundang-undangan lain, yaitu;24 1. Keputusan MPR,
2. Instruksi Presiden,
3. Peraturan Menteri,
4. Keputusan Menteri,
5. Instruksi Menteri,
6. Keputusan Direktur Jenderal,
7. Instruksi Direktur Jenderal,
8. Keputusan Direktur,
9. Keputusan Perwakilan Departemen di Daerah,
23
Kansil, C.S.T., Drs., SH., 1984, HukumTata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hal. 58
24
10.Peraturan Daerah Tingkat I,
11.Keputusan Gubernur-Kepala Daerah,
12.Instruksi Gubernur-Kepala Daerah,
13.Peraturan Daerah Tingkat II,
14.Keputusan Bupati-Kepala Daerah/ Walikota-Kepala Daerah,
15.Instruksi Bupati- Kepala Daerah/ Walikota-Kepala Daerah,
16.Pengumuman,
17.Surat Edaran.
Pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, MPR berhak
mengeluarkan dua macam Ketetapan, yaitu;25
1. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif,
dilaksanakan dengan Undang-Undang.
2. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutuf,
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
Dari uraian singkat di atas, terlihat bahwa TAP MPR hanya dapat
dilaksanakan bila pemerintah membentuk Undang-Undang atau Keputusan Presiden
sebagai operasionalisasi dari Ketetapan MPR tersebut. Setelah diadakan amandemen
yang mencapai empat tahap terhadap Undang-Undang Dasar 1945, keberadaan TAP
MPR dihilangkan. Hal ini seiring dengan reformasi kelembagaan dalam pemerintahan
Republik Indonesia. Yaitu berkaitan dengan dihilangkannya konsep lembaga tertinggi
negara yang sebelumnya diletakkan pada lembaga Musyawarah Perwakilan Rakyat.
Dengan demikian, kewenangan MPR dalam hal mengeluarkan Ketetapan
25
dihilangkan. Sehingga terhitung mulai Sidang Tahunan MPR tahun 2003, MPR tidak
lagi mengeluarkan TAP MPR dalam setiap persidangannya. Hal ini diperjelas oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Pada pasal 7 Undang-Undang tersebut, dinyatakan bahwa yang termasuk
peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia adalah;26 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.
Terhadap TAP MPR yang sudah disahkan sebelum amandemen UUD 1945,
UUD 1945 yang telah diamandemen, dalam Aturan Tambahan-nya memerintahkan
kepada MPR untuk dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum
Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR untuk diambil putusan pada Sidang MPR
tahun 2003.27 Selain itu, dalam Aturan Peralihan-nya, pada pasal 1 dinyatakan bahwa “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini.”28 Artinya, meskipun MPR tidak lagi dapat mengeluarkan TAP MPR, namun Ketetapan-ketetapan MPR yang telah dikeluarkan
berikut kebijakan perundang-undangan yang kelahirannya diperintahkan oleh TAP
26
Dikutip dari Pustaka Digital Millenials¸ Katalog 1, 2005 27
Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal 92 28
MPR atau TAP MPRS tetap berlaku sebelum ada kebijakan lain yang setingkat yang
menggantikannya.
1.5.3 Pembaruan Agraria
1.5.3.1Pengertian Agraria
Istilah “agraria” seringkali hanya dimaknai sebagai “tanah” atau tanah
pertanian. Hal ini disebabkan karena seringnya pencampuradukan istilah “agraria”,
“agraris”, “agro industri” dan istilah-istilah sejenisnya yang berasosiasi dengan
kehidupan pertanian. Dalam Kamus Bahasa Latin-Indonesia yang disusun oleh Prent,
dkk. tahun 1969 dan World Book Dictionary tahun 1982, istilah “agraria” berasal dari
kata bahasa Latin, yaitu “ager”, yang berarti; a) lapangan; b) pedusunan (lawan dari
perkotaan); c) wilayah tanah negara.29 Saudara kembar istilah terebut adalah “agger”, yang berarti; a) tanggul penahan/pelindung; b) pematang; c) tanggul sungai; d) jalan
tambak; e) reruntuhan tanah; f) bukit. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas,
terlihat bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria” bukan hanya “tanah” dan
“pertanian”, namun menunjukkan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercakup
segala sesuatu yang terwadahi olehnya, yakni tanah itu sendiri, air, baik laut lepas
maupun air pedalaman, dan udara di atasnya. Termasuk juga kandungan perut bumi
seperti barang-barang tambang.30 Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah agraria mengalami penyempitan makna dengan hanya diartikan
sebagai “urusan pertanian” atau “tanah pertanian”, atau “pemilikan tanah”.31
29
Dalam Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Menelusuri Istilah ”Agraria”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Op.Cit, hal 3
30
Ibid., hal 3 31
Di Indonesia, secara hukum persoalan agraria memiliki payung hukum yang
cukup kuat, yakni Undang Undang Pokok Agraria. Dalam undang-undang tersebut,
konsep “agraria” juga memliki arti yang lebih luas ketimbang sekedar tanah
pertanian. Dirumuskan bahwa sumber agraria adalah “seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” (Pasal 1 ayat 2).
“Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1 ayat 4). “Dalam pengertian air
termasuk baik perairan, pedalaman maupun laut wilayah Indonesia” (Pasal 1 ayat 5).
“Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut...”
(Pasal 1 ayat 6).32
Berdasarkan Pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960 tersebut, dapat disimpulkan
bahwa konsep agraria menunjuk pada beragam objek atau sumber agraria sebagai
berikut:33
1. Tanah, atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dalam
kegiatan pertanian dan peternakan.
2. Perairan, baik di daratan maupun di lautan, yang merupakan modal alami
utama dalam kegiatan perikanan (sungai, danau, laut).
3. Hutan, yaitu kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu, yang
merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas
perhutanan.
32
MT. Felix Sitorus, Kerangka dan Metode Kajian Agraria, dalam Jurnal Analisis Sosial, Op.Cit., hal. 113
33
4. Bahan tambang, yang mencakup beragam bahan tambang/mineral yang
terkandung di dalam “tubuh bumi” (di bawah permukaan bumi dan laut),
antara lain; minyak, gas, emas, bijih besi, timah, batu-batu mulia (intan,
berlian, dll), fosfat, batu, dan pasir.
5. Udara, dalam arti “ruang di atas bumi dan air” maupun materi udara (O2) itu
sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, secara tersirat dinyatakan bahwa persoalan agraria
sudah melingkupi persoalan sumber daya alam, sebab sumber daya alam merupakan
bagian integral dalam sumber-sumber atau obyek-obyek agraria. Dalam penelitian
inipun, sumber daya alam diasumsikan sebagai bagian dari sumber-sumber agraria,
karenanya, tidak akan mendapat porsi pembahasan tersendiri. Hal ini ditegaskan oleh
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dalam pandangannya terhadap rencana MPR
RI menetapkan pembaruan agraria sebagai salah satu ketetapan MPR RI pada Sidang
Tahun MPR tahun 2001, “... Karena pengertian Pembaruan Agraria sudah mencakup
di dalamnya pengertian tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.”34
1.5.3.2Pengertian Pembaruan Agraria
Istilah “pembaruan agraria” mempunyai banyak arti yang memiliki hakikat
yang sama. Gunawan Wiradi mengartikan pembaruan agraria sebagai upaya-upaya
yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam mengubah struktur penguasaan dan
34
pemanfaatan tanah, yang dimulai dengan redistribusi tanah dan diikuti dengan
peningkatan produksi melalui pemberian fasilitas kredit, pendidikan untuk perbaikan
teknik bertani, penyediaan sarana irigasi, dan lain-lainnya.35 Sementara Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin menyatakan bahwa pada intinya, pembaruan agraria
adalah upaya perubahan struktural yang mendasar atas hubungan-hubungan intra dan
antar subyek-subyek agraria dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfataan) atas
obyek-obyek agraria. Perubahan dimaksud dilakukan melalui perombakan struktur
penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat
yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya.36 Dalam penggunaan sehari-hari pada kalangan yang bersentuhan dengan persoalan
pembaruan agraria, istilah yang sering digunakan untuk menyebut pembaruan agraria
adalah “reforma agraria”, yang merupakan istilah pembaruan agraria dalam bahasa
Spanyol. Namun artinya tidak sama dengan reformasi agraria. Reforma agraria
bertujuan untuk pengaturan kembali struktur agraria yang timpang, sekaligus ingin
mengakhiri konflik-konflik agraria.
Hubungan agraria yang dimaksud dalam pengertian yang diajukan oleh
Endriatmo Sutarto dan Moh. Sohibudin di atas, didefinisikan Sitorus (2002) ke dalam
dua jenis hubungan agraria, yaitu; (1) hubungan teknis pengelolaan sumber-sumber
agraria melalui aktifitas produktif manusia; dan (2) hubungan berbagai subyek agraria
(masyarakat, negara, sektor swasta) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses produksi dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Hubungan
35
Gunawan Wiradi, Op.Cit, hal 213 36
pertama disebut “hubungan teknis agraria”, sedang yang kedua disebut “hubungan
sosial agraria”.37
Berdasarkan uraian di atas, maka ruang lingkup pembicaraan masalah reforma
agraria, pendeknya adalah kompleksitas segala aktifitas dari subyek-subyek agraria
yang saling berhubungan secara sosial dalam kaitan hubungan teknis masing-masing
subyek itu dengan sumber-sumber agraria. Kompleksitas hubungan inilah yang
membentuk “struktur agraria” yang dapat digambarkan sebagai hubungan segitiga
antar subyek agraria (masyarakat, negara, sektor swasta) yang berpusat pada obyek
agraria (tanah,air,udara, dan kekayaan alam yang dikandungnya). Secara skematis,
Sitorus (2002)38 menjelaskan hubungan segitiga ini dalam bentuk bagan berikut.
37
Ibid, hal. 4 38
Gambar 2: Bagan Hubungan antar Subjek-subjek Agraria dan Hubungan
Subjek dengan Objek Agraria
Komunitas
Sumber-sumber agraria
Swasta Pemerintah
Keterangan:
Hubungan teknis agraria (kerja)
Hubungan sosial agraria
Sumber: Erpan Faryadi (2005)
Struktur agraria yang digambarkan dalam bagan di atas, secara konseptual
mengandung baik potensi konflik maupun kerjasama. Kerjasama akan terjadi apabila
para subjek agraria bersedia dan mampu merumuskan suatu kesepakatan perihal
kepentingan dan klaim yang berbeda-beda menyangkut akses terhadap obyek agraria.
Kemungkinan sebaliknya, konflik agraria, akan terjadi apabila benturan intra dan
bagaimanapun, fakta empiris membuktikan bahwa hubungan-hubungan agraria intra
dan antar ketiga subyek di atas cenderung diwarnai oleh gejala konflik agraria, baik
yang bersifat laten maupun manifes.
Pada dasarnya, gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini berakar
pada pertentangan klaim menyangkut tiga hal berikut (Dietz 1998);39
1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang
menyertainya;
2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam;
3. Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut.
Dirumuskan secara berbeda, gejala konflik agraria sebenarnya mencerminkan
pertentangan mengenai: “Siapakah yang dapat memiliki, menggunakan, dan
mengelola, serta siapakah yang mengontrol akses atas sumber-sumber agraria dan
kekayaan alam, dan siapakah yang memperoleh manfaat darinya”. Sejauh mana skala
kedalaman dan keluasan konflik-konflik agraria yang mengemuka pada dasarnya
adalah cerminan dari seberapa besar permasalahan struktural dalam
hubungan-hubungan agraria menyangkut pertentangan kepemilikan atas sumber-sumber agraria
itu.
Berbagai konsepsi dasar mengenai kompleksitas persoalan agraria itu secara
nyata menggambarkan realitas keagrariaan yang ada di Indonesia dewasa ini.
Menurut Wiradi, realitas keagrariaan di Indonsia secara mendasar bersifat
konfliktual; suatu kondisi yang berakar pada ketimpangan atau
39
incompatibilities menyangkut sumber-sumber agraria dalam tiga bentuk sebagai
berikut:40
1. Ketimpangan dalam struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah;
2. Ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah;
3. Incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Kondisi dalam struktur agraria di atas yang menjadikan Reforma agraria
selalu menjadi wacana yang hangat untuk dibicarakan. Membicarakan reforma
agraria, tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang landreform, yang merupakan
hal paling penting yang menyertai program pembaruan agraria. Karena di setiap
masyarakat pedesaan selalu ditandai dengan kegiatan produksi pertanian,
(peternakan, perikanan, dan sebagainya), struktur penguasaan dan peruntukan tanah
(biasa dikenal sebagai struktur agraria), selalu melandasi struktur sosial, maka
pengaturan kembali atau perombakan penguasaan tanah, yang lebih dikenal dengan
nama landreform, akan mengarah pada perombakan struktur sosial.
Gunawan Wiradi mendefinisikan landreform sebagai suatu usaha yang
dilakukan pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengubah struktur penguasaan
tanah tertentu.41 Pada prakteknya, pembaruan agraria yang dilaksanakan oleh masing-masing negara yang telah melaksanakan reforma agraria tidak sama.
Perbedaan-perbedaan tersebut dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut; 42
1. Berdasarkan idiologi ekonomi, dapat dikelompokkan menjadi tiga model, yaitu model kapitalis, model sosialis, dan model populis atau neo-populis. Pada reforma agraria model kapitalis, objek-objek agraria diorientasikan
40
Gunawan Wiradi, Op.Cit, hal. 86 41
Ibid, hal 211 42
penguasaannya berdasarkan mekanisme pasar, yang berujung pada dominasi perusahaan-perusahaan besar. Hal yang sebaliknya terjadi pada model sosialis, objek-objek agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok pekerja. Sementara pada model populis (atau neo-populis), objek-objek agraria didistribusikan pada keluarga/rumah tangga pengguna (petani).
2. Atas dasar arah transaksi, dapat dibedakan menjadi dua model, yaitu collectivist
reform dan redistributive reform. Yang pertama ‘mengambil dari yang kecil
untuk diberikan kepada yang besar’, sedang yang kedua ‘mengambil dari yang besar untuk diberikan kepada yang kecil’.
3. Di antara model-model redistributive reform, dapat dibedakan tiga model atas dasar kriteria teknis; (i) batas luas maksimum dan minimum ditetapkan; (ii) batas maksimum ditetapkan tapi batas minimum diambangkan; dan (iii) dua-duanya (batas maksimum dan minimum) diambangkan.
4. Atas dasar besarnya peran, baik dalam hal perencanaan program maupun pelaksanaan, dapat dibedakan dua model, yakni reform by grace dan reform by
leverage. Dalam reform by grace peran pemerintah sangat dominan, sedangkan
dalam reform by leverage, justru peran rakyat secara terorganisir melalui organisasi-organisasi tani sangat besar, dan dijamin oleh undang-undang nasional.
Di antara keempat jenis model reforma agraria tersebut, hal yang paling
mendasar adalah yang pertama. Dan jika direfleksikan pada pembaruan agraria yang
pernah akan dijalankan di Indonesia berdasarkan UUPA Tahun 1960, maka Indonesia
berkehendak melaksanakan reforma agraria dengan perspektif populis.
Namun demikian, terlepas dari model manapun yang akan dipilih, reforma agraria
hanya dapat dilaksanakan apabila memenuhi empat prasyarat:43 1. Kemauan politik dari elit penguasa harus ada.
2. Elit pemerintahan/birokrasi harus terpisah dari elit bisnis.
3. Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi
Rakyat/Tani yang pro-reform harus ada.
4. Data-data masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada.
43
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini mengunakan memiliki tipe deskriptif dan menggunakan metode
kualititatif. Menurut Mardalis (1989), penelitian deskriptif bertujuan untuk
mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi
yang terjadi saat itu. Sementara menurut pandangan Moh. Nazir, penelitian deskriptif
dimaksudkan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan kondisi subjek ataupun objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.44
Oleh karena itulah, maka dalam sebuah penelitian deskriptif dapat terjadi
upaya membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu, lalu mengambil
bentuk studi komparatif. Mengenai metode penelitian yang bersifat kualitatif,
sebagaimana dikatakan oleh S. Nasution (1996), merupakan metode penelitian yang
bersifat menjelaskan, mengelola, dan menafsirkan hasil penelitian dengan susunan
kata-kata dan kalimat, sehingga dapat diketahui jawaban atas permasalahan yang
diteliti. Jadi pada metode kualitatif ini tidak terbatas pada pengumpulan data saja,
akan tetapi meliputi analisis dan menginterpretasikan tentang arti data tersebut.
1.6.2 Fokus Penelitian
Menurut Lexy J Maleong (2000: 237), fokus penelitian ditentukan dengan
tujuan:
44
1. Membatasi studi, berarti bahwa dengan adanya fokus penentuan tempat,
penelitian menjadi layak.
2. Secara efektif untuk menyaring informasi yang mengalir masuk, jika data
tidak relevan maka data tersebut dapat dihiraukan.
Untuk membatasi analisa dalam penelitian ini, yang menjadi inti perumusan
masalah dan tujuan penelitian, penulis memfokuskan penelitian pada arah kebijakan
pertanahan yang dikeluarkan pemerintahan Megawati, yaitu Keppres No. 34 Tahun
2003 sebagai implementasi TAP MPR No. IX Tahun 2001. Dengan demikian, dalam
konteks studi kebijakan, maka penelitian ini memfokuskan diri pada analisis isi
Keppres No. 34 Tahun 2003. Untuk mengukur ketepatan arah kebijakan tersebut
dengan pelaksanaan landreform, penulis akan membandingkan orientasi kebijakan
pertanahan tersebut dengan model pembaruan agraria, yang juga mencakup program
landreform, yang terdapat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960.
1.6.3 Defenisi operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana
caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain definisi operasional adalah
semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel. Dengan kata
lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya
mengukur suatu variabel (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989:46).
Sedangkan Mohammad Nasir (1988:82), mengartikan “definisi operasional” sebagai
suatu definisi yang memberikan gambaran kegiatan ataupun yang memberikan suatu
Dalam penelitian ini, arah kebijakan pertanahan dinilai dengan melihat
berbagai pendapat para ahli dan praktisi perjuangan pembaruan agraria yang
membandingkan kemungkinan implementasi Keppres No. 34 Tahun 2003 tersebut
dalam bentuk Undang-Undang berdasarkan model-model pembaruan agraria
berdasarkan idiologi ekonomi-politik yang ada, dengan memperbandingkannya
dengan model pembaruan agraria yang terkandung di dalam Undang-Undang Pokok
Agraria Tahun 1960. Analisis isi Keppres tersebut dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal-pasal yang memuat substansi Keppres No. 34 Tahun 2003.
2. Kondisi kehidupan agraria pasca Orde Baru.
3. Kecenderungan politik agraria pemerintah pada era reformasi.
4. Tren perekonomian nasional dan internasional terhadap masalah pertanah-an
yang mempengaruhi kebijakan pertanahan pemerintahan Megawati.
1.6.4 Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari studi
kepustakaan dan penelusuran dokumentasi. Menurut Sartono Kartodirdjo (1980),
data-data tersebut termasuk ke dalam jenis data verbal dan evidensi tertulis yang
bentuknya dapat berupa buku-buku, pamflet, surat-surat, catatan harian (journaal),
kenang-kenangan (memoirs), laporan-laporan, otobiografi, berita ataupun tulisan dari
internet dan media informasi atau dokumen berbentuk tertulis lainnya. Sifat istimewa
memungkinkan bagi si peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang gejala
(fenomena) tertentu yang terjadi pada masa yang sudah lewat.45
1.6.5 Teknik Analisis dan Pengujian Validitas Data
Teknik analisis dan uji validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis dan uji validitas data sebagaimana yang dijelaskan oleh Winarno Surakhmad
(1997), yaitu melalui empat tahap. Keempat tahap ini meliputi: pengumpulan data,
penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan data.
1.7 Sistematika Penulisan
“Judul Skripsi” Arah Kebijakan Pertanahan Pemerintahan Megawati
Soekarno Putri Tahun 2003( Studi perbandingan : Perbandingan Udang-Undang
No.5 Tahun 1960 dengan Kepres No. 34 tahun 2003
45
BAB II
KEBIJAKAN AGRARIA DAN MASALAH MENDASAR PERTANAHAN DI
INDONESIA
2.1 Kebijakan Agraria Di Indonesia, Tinjauan Historis
Menjelang akhir abad 20, masalah tanah makin menjadi isu sentral bagi
kehidup-an masyarakat Indonesia. Hampir setiap hari berita-berita di media massa
me-laporkan konflik-konflik pertanahan yang terjadi. Konflik-konflik ini adalah hasil
dari perubahan-perubahan cepat dalam struktur ekonomi sejak pertengahan 1980-an.
Dibandingkan dengan yang terjadi di masa lalu, konflik-konflik yang terjadi saat ini
tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan untuk pertanian, tetapi juga pada tanah
yang digunakan untuk semua jenis proyek pembangunan, seperti kehutanan, real
estate, pariwisata, pertambangan, bendungan, kawasan industri, padang golf, dan
sebagainya. Kebanyakan dari konflik tersebut dapat diartikan sebagai pertentangan
hak dan kepen-ingan antara penduduk lokal dengan kekuatan-kekuatan luar yang
berusaha keras mencari keuntungan komersil dari proyek-proyek tersebut. Dalam
banyak kasus, kepentingan penduduk lokal yang menetap atau menggarap tanah yang
bersangkutan dikorbankan atas nama kepentingan umum demi pembangunan, karena
lemahnya atau kurangnya pengakuan hukum terhadap tanah tersebut serta lemahnya