• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen

Tokoh dan penokohan sebagai bagian dari karya sastra memiliki perannya sendiri di dalam mendukung alur dan jalannya cerita. Tokoh di dalam sebuah cerita memiliki karakternya masing-masing. Karakter-karakter tersebut diciptakan oleh pengarang untuk menyampaikan pesan dari cerita. Dari tokoh dan karakter inilah sebuah konflik mampu tercipta sehingga pembaca bisa masuk ke dalam cerita meskipun tidak mengalaminya secara langsung.

Cerpen Madre karya Dewi Lestari memiliki beberapa tokoh sentral, yaitu Tansen, Pak Hadi, dan Mei. Tokoh-tokoh tersebut memiliki banyak pengaruh terhadap jalannya cerita. Konflik yang muncul juga lebih banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut. Di samping tokoh-tokoh sentral tersebut, cerpen Madre juga didukung oleh tokoh-tokoh yang lain, yaitu Pak Joko, Bu Dedeh, Bu Cory, Bu Sum, dan pengacara.

1. Tokoh Tansen

Dewi Lestari menggambarkan tokoh Tansen sebagai orang yang memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya meskipun di Bali tansen hidup bebas. Tanggung jawab Tansen terhadap kehidupannya ini terlihat ketika Tansen rela untuk tinggal di Jakarta sampai urusannya dengan Mei selesai. Selain itu, Tansen juga digambarkan sebagai orang yang pekerja keras. Tansen berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan toko roti tersebut meskipun hal itu dilakukan dengan bantuan dan dukungan Mei. Penggambaran tokoh Tansen dalam tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.

commit to user

a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan fisik. Tokoh Tansen di dalam cerpen Madre digambarkan sebagai sosok pria yang memiliki kulit gelap, rambut gimbal, hidung panjang, mata besar berbulu lentik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada bagian kutipan cerita berikut ini. Keganjilan itu sebegitu mencoloknya. Di tengah TPU etnis Tionghoa, muncul seorang pria berkulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan, jins sobek-sobek. Sendirian. ... Jadilah aku. Tansen Roy Wuisan.

Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “Tansen”,

hidung panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang tersisa padaku. (Lestari, 2011:3)

b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan kehidupan sosial tokoh di dalam cerita. Tokoh Tansen di dalam cerita memiliki kehidupan yang bebas dan tidak terikat pada siapapun, bahkan dalam hal pekerjaan. Namun, kehidupan bebas itu memang harus berubah ketika Tansen memperoleh warisan untuk merawat madre. Hal tersebut dapat seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.

Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3) Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi.

“Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya.

“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis

kadang-kadang, ... .”

“Oh. Serabutan.” Dengan datar Pak Hadi menyimpulkan. (Lestari,

2011:15)

Dalam kasusku, “serabutan” adalah gaya hidup. Menclok dari satu

pekerjaan ke pekerjaan lain, satu tempat ke tempat lain, tidak ingin terikat. Aku selalu punya masalah dengan rutinitas. Mungkin aku belajar dari ayahku, atau mungkin aku justru berontak atas ketidakjelasannya. Tidak tahu pasti. (Lestari, 2011:17)

Kutipan di atas menegaskan secara tersirat bahwa Tansen memiliki kehidupan yang bebas, seperti ayahnya. Tansen pun memiliki protes terhadap tingkah laku yang dilakukan oleh ayahnya terhadap dirinya.

commit to user

Tansen menganalogikan hal tersebut seolah-olah dirinya adalah sebuah tumbuhan. Namun, Tansen tetap menjalani apa yang memang telah menjadi jalan hidupnya.

c. Dimensi psikologis, yaitu sebuah dimensi yang mana digunakan untuk menggambarkan tentang kejiwaan tokoh di dalam cerita. Di dalam cerpen Madre, Tansen digambarkan memiliki jiwa yang kuat. Kondisi kejiwaan tersebut digambarkan ketika Tansen memang harus hidup sendiri. Tansen pun mencoba untuk tetap maju setelah ia mengalami kebingungan terhadap warisan yang baru diperolehnya dari orang yang tak pernah dia kenal sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.

Tepat saat aku tiba di pemakaman orang yang tak kukenal. Siapa aku? Itu pertanyaan pertamaku. Kenapa aku? Itu pertanyaanku berikutnya. (Lestari, 2011:1)

“Nak Tansen ndak pulang ke Bali, toh?” tanya Pak Joko.

“Saya bakal tinggal sampai semua urusan lancar antara Pak Hadi dan Mei,” jawabku. “Saya juga masih harus tanggung jawab soal modal

produksi. Terus terang, modal uang saya nggak punya, Pak. Tapi mungkin saya bisa cari pinjaman ke teman-teman saya di Bali.”

(Lestari, 2011:36)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tansen tetap berusaha untuk menghidupkan kembali toko roti meskipun sebenarnya ia tidak memiliki cukup modal untuk melakukan itu. Namun, kelemahan dalam hal modal tersebut tidak menyurutkan niat Tansen untuk menghidupkan kembali toko roti. Hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mencari pinjaman.

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, kepribadian Tansen disebutkan sebagai orang yang bebas dan mengalir. Selain itu, pertemuannya dengan Pak Hadi dan Mei juga membuat Tansen menjadi orang yang bertanggung jawab dan mau belajar. Responden pun menyebutkan bahwa Tansen memiliki keinginan yang kuat untuk menghidupkan kembali toko roti itu.

2. Tokoh Pak Hadi

Selain Tansen, tokoh lain di dalam cerpen Madre, yaitu Pak Hadi. Pak Hadi inilah yang sebenarnya mengetahui semua tentang Tansen, termasuk

commit to user

latar belakang tentang kehidupan Tansen yang justru tidak pernah diketahui oleh Tansen sebelumnya. Di dalam cerpen tersebut, Pak Hadi digambarkan sebagai orang yang pekerja keras, sabar, dan ulet untuk menjalani kehidupannya. Itu ia buktikan dengan baktinya kepada Tuan Tan dan tetap mempertahankan untuk merawat madre di usia senjanya. Penggambaran Pak Hadi di dalam cerpen tersebut, yaitu sebagai berikut.

a. Dimensi fisiologis yang berkaitan dengan fisik, Pak Hadi digambarkan sebagai seseorang yang sudah tua, berusia sekitar 80 tahun, memiliki muka yang mulai keriput, kedua cuping telinga yang melebar, di seputar pipi terdapat vlek, dan memiliki tubuh yang kurus, tetapi tegap. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Laki-laki Cina tua berbaju olahraga menyambutku. Usianya mungkin sudah 80-an, terbaca dari keriput mukanya yang sudah menyerupai lipatan, taburan vlek di seputar pipinya, dan kedua cuping telinga yang melebar. Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Anehnya, ia melihatku dengan muka bosan seolah kami sudah bertemu ratusan kali, atau sudah ratusan hari dia menungguku. (Lestari, 2011:6)

“Baru bangun? Waduh. Kalau tukang bikin roti harusnya bangun dari Subuh.”

“Anak muda itu, kalau pekerjaannya bukan satpam shift malam ya,

bangun pagilah. Ikut tai chi dulu sama saya di lapangan dekat sini.”

“Rajin juga Pak Hadi,” aku nyengir. (Lestari, 2011:19)

b. Dimensi sosiologis yang berkaitan dengan tingkah laku sosial Pak Hadi di dalam cerpen Madre digambarkan sebagai orang yang memiliki prinsip dan sabar. Selain itu, Pak Hadi merupakan seorang yang beretnis Cina. Sikap taat dan patuh pada pemimpinnya juga melekat dalam diri Pak Hadi. Namun, di sisi lain Pak Hadi juga memiliki sifat sebagai pengalah ketika memang sesuatu bukan lagi menjadi haknya. Kutipan yang menegaskan penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.

“Kan saya udah bilang. Buat Pak Hadi aja.”

“Ndak bisa. Cuma kamu yang boleh mengurus madre.” (Lestari,

commit to user

“Besok saya ajarken bikin roti. Sayang. Sudah punya madre tapi ndak

dijadiken apa-apa. Nih, tolong kembaliken ke kulkas.” (Lestari, 2011:16)

“Semua harus ditimbang. Persis. Kalau mau rasa konsisten, jangan

pakai ilmu kira-kira. Ayo, kamu yang timbang.” “Berapa roti yang kamu tahu?” tanya Pak Hadi. “Roti keju, cokelat, kacang, susu, ... .”

“Itu isinya!” Pak Hadi setengah mengomel. “Yang saya maksud itu:

roti putih, roti gandum utuh, bagel, foccacia, pita, baguette... tahu ndak?

“Nggak,” jawabku ketus, “Terus, habis ini apa?” “Kita campur semua.”

“Pakai itu, Pak?” Aku melirik mixer besar yang nganggur di pojok

lemari.

“Pakai tangan. Kamu harus belajar nguleni. Madre juga perlu kenal

tanganmu.” (Lestari, 2011:21)

Penjelasan di atas menegaskan bahwa meskipun Pak Hadi sudah tua, ia tetap mengajari Tansen untuk membuat roti sebagaimana mestinya. Hal itu menunjukkan bahwa Pak Hadi seorang penyabar. Model didikan yang kuat pun diberikan Pak Hadi kepada Tansen dengan tegas, terutama dalam hal membuat roti.

c. Dimensi psikologis berkaitan dengan kejiwaan tokoh. Pak Hadi memiliki jiwa yang setia kepada pemimpinnya. Hal itu dibuktikannya selama bertahun-tahun kepada Tan meskipun kerja tanpa digaji ketika memang omzet Tan de Bakker sudah tak banyak. Tan juga mau menjaga madre sampai menemukan keturunan Tan, Tansen. Dia rela untuk menetap di ruko tua itu sendirian. Namun, Tan memiliki karakter yang tegas. Hal tersebut dibuktikan dalam bagian kutipan berikut ini.

“Toko sudah ndak ada untung, cuma cukupan buat gaji pegawai, tapi Tan terus bertahan. Katanya, madre jangan dibikin nganggur.”

“Madre?”

“Karyawan di sini cuma lima orang. Bisnis nyusut terus. Lama-lama

kami kerja ndak digaji. Akhirnya nyerah juga dia. Ndak tega sama

kami,” Pak Hadi tersenyum kecut. “Yang penting, madre jangan

commit to user

“Kamu bodoh kalau tergiur dengan seratus juta. Uang segitu ndak

ada artinya dibandingken yang madre bisa kasih untukmu. Kamu jual madre sekarang, lalu apa? Kalau kamu yang pelihara madre,

kamu bisa punya usaha sampai anak cucu. Ngerti?”

“Bertahun-tahun kami menunggu orang yang bisa menghidupkan

tempat ini lagi. Kami pikir orang itu kamu,” Pak Hadi menyahut murung. “Ya, sudah. Terserah sajalah. Lupa saya. Madre itu hakmu.”

(Lestari, 2011:30)

Kutipan di atas menjelaskan ketegasan Pak Hadi ketika madre hendak dijual oleh Tansen. Pak Hadi menyadari betul tentang keberadaan dan bagaimana madre sehingga ia bersi keras supaya Tansen tidak menjual madre tersebut. Namun, pada akhirnya Pak Hadi sadar bahwa madre sekarang adalah hak Tansen sehingga Pak Hadi menyerah.

Hasil wawancara yang dilakukan pun menegaskan bahwa Pak Hadi memiliki kepribadian yang santai. Pak Hadi juga merupakan orang yang pantang menyerah serta sosok yang gigih dalam mempertahankan madre. Madre dinilai Pak Hadi sebagai titipan yang harus dijaga dan bukan untuk dijual.

3. Tokoh Mei

Tokoh lain yang juga memegang peranan penting di dalam cerpen Madre, yaitu Mei. Ketika toko roti Tan de Bakker masih hidup, Mei merupakan salah satu pelanggan setia toko roti tersebut. Mei selalu diajak oleh ayahnya untuk membeli roti di Tan de Bakker. Ketika kecil, Mei memiliki sifat yang hiperaktif hingga Mei pernah memecahkan biang roti kakeknya dengan menggunakan sepeda. Dimensi tentang karakter Mei di dalam cerita, yaitu sebagai berikut.

a. Dimensi fisiologis Mei di dalam cerita, yaitu Mei digambarkan memiliki mata besar dan bulat, kulitnya kuning bersih, rambutnya dicat kepirangan, dan memiliki betis yang mungil. Kutipan yang mendukung penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.

Untuk ukuran etnis Tionghoa, mata Mei terbilang besar dan bulat. Yang tipikal darinya hanya warna kulitnya yang kuning bersih dan warna rambut yang dicat kepirangan. Ia berpakaian sepuluh tahun

commit to user

lebih tua dari umurnya; sepatu setebal batu bata menopang betisnya yang mungil, terusan dengan kain berkilau dan tas tangan haute couture yang entah asli atau KW-aku tak bisa membedakan. (Lestari, 2011:25)

b. Dimensi sosiologis Mei digambarkan sebagai wanita yang berdarah etnis Tionghoa. Selain itu, Mei merupakan seorang pemilik bakery yang sukses dengan memiliki beberapa cabang. Usaha tersebut merupakan warisan dari keluarga Mei yang kini ia kembangkan sehingga menjadi berhasil. Hal tersebut seperti terlihat dalam bagian kutipan berikut ini.

“Sekarang kami sudah ganti konsep, Pak. Yang di Bogor masih ada,

tapi fokus kami sekarang di Jakarta. Kami sudah buka outlet di lima mal. Cabang keenam segera menyusul,” Mei menjelaskan dengan

bangga. “Sekarang saya in-charge gantikan Papi.” (Lestari, 2011:26)

c. Dimensi psikologis Mei digambarkan sebagai orang yang pekerja keras dan menggapai kesuksesan, ia tetap memiliki perasaan bersalah. Perasaan bersalah itu ketika Mei dewasa, ia mengetahui betapa berharga biang madre kakeknya yang ia pecahkan sewaktu kecil. Dulu, Mei tidak tahu apa-apa, yang ia tahu biang itu adalah adonan biasa. Perasaan bersalah itu terbawa hingga ia dewasa dan sampai-sampai Mei pernah menawar untuk membeli biang madre. Kutipan yang menegaskan penjelasan di atas adalah sebagai berikut.

“Dari dulu produksi bakery kami memang sudah campur dengan ragi

instan. Nggak semua pakai adonan biang. Jadi kami nggak simpan banyak-banyak. Cuma ada dua stoples. Dua-duanya ...,” Mei menelan ludah, “Nggak sengaja saya pecahkan. Umur saya masih tujuh tahun

waktu itu. Saya tubruk meja pakai sepeda. Dua stoples isi adonan biang yeye ambruk ke lantai. Lagi nggak ada siapa-siapa di dapur. Karena nggak ngerti dan takut dimarahin, saya lap sendiri adonan

yang tumpah. Saya buang.” Suara Mei tercekat. (Lestari, 2011:64-65)

“Lha. Adonan itu kan bisa dibuat lagi?”

“Pak Hadi bisa bayangkan kalau adonan itu madre?” sahut Mei getir. “Apa bisa madre dibuat lagi?”

Pak Hadi terdiam.

“Betul, Yeye bikin adonan biang lagi. Tapi buat dia nggak pernah

commit to user

“Saya sedih karena saya menghancurkan sejarah Yeye,” kata Mei

pelan. (Lestari, 2011:65-66)

Dari hasil wawancara pun disebutkan bahwa kepribadian Mei digambarkan sebagai orang yang tekun dan mau berjuang untuk toko rotinya. Toko roti sebagai turunan dari ayahnya itu Mei kembangkan menjadi besar.

Selain tiga tokoh utama di atas, di dalam cerpen Madre ini didukung beberapa tokoh yang memiliki hubungan langsung dengan toko roti Tan de Bakker kala itu. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu Bu Cory, Bu Sum, Bu Dedeh, dan Pak Joko. Mereka semua adalah karyawan-karyawan Tan Sin Gie kala itu. Penggambaran tentang karakter tokoh-tokoh tersebut di dalam cerita tidak terlalu banyak. Hanya sedikit kisah yang disampaikan oleh pengarang mengenai para karyawan Tan Sin Gie, terutama ketika madre hendak dijual oleh Tansen.

4. Tokoh Bu Cory

Bu Cory adalah salah satu pegawai Tan Sin Gie yang paling lama. Ketika toko roti tidak begitu banyak mendapatkan omzet, Bu Cory pun rela bekerja tanpa digaji.

a. Dimensi fisiologis, Bu Cory digambarkan sebagai wanita yang sudah tua, memiliki tubuh tinggi, kurus, memakai kacamata untuk membantu penglihatannya, dan memiliki rambut ikal yang sudah memutih. Kutipan yang menegaskan penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.

Seorang nenek bertubuh tinggi kerempeng dengan rambut putih ikal menoleh padaku, senyumnya langsung mengembang. Ia membetulkan

letak kacamatanya sambil menghampiriku, “Oh, ini cucunya

Lakshmi? Gagah sekali!” (Lestari, 2011:33)

b. Dimensi sosiologis, Bu Cory digambarkan sebagai seorang pekerja toko roti Tan de Bakker. Di toko roti tersebut, Bu Cory bekerja di bagian depan. Hal itu, dikarenakan Bu Cory tidak ahli di dalam membuat roti dengan menggunakan biang. Bagian yang menjelaskan hal tersebut adalah kutipan berikut ini.

commit to user

Nenek yang pertama kali menyapaku adalah Bu Cory, pegawai tertua yang telah bekerja untuk Pak Tan selama lima puluh tahun lebih. (Lestari, 2011:33)

Dari gambaran tersebut dapat kita ketahui bagaimana loyalitas Bu Cory kepada Tan Sin Gie selaku pemilik toko roti Tan de Bakker. Meski Tan tak mampu menggaji dan toko roti juga tidak berproduksi secara maksimal, Bu Cory tetap bekerja di sana.

c. Dimensi psikologis yang berkaitan Bu Cory dijelaskan sebagai orang yang pantang menyerah dan loyal terhadap atasan. Ketika bekerja dengan Tan, meskipun tak digaji, Bu Cory rela tetap bekerja di toko roti tersebut. Hal tersebut menggambarkan bahwa Bu Cory memiliki mental dan loyalitas yang baik. Bahkan, Bu Cory merupakan pegawai tertua di toko tersebut. Penjelasan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.

Mereka berlima adalah pegawai-pegawai terakhir toko roti Tan. Seperti ceritanya Pak Hadi, mereka sempat bertahan bekerja tanpa digaji sampai akhirnya Pak Tan tak tega dan menutup usahanya. Kemarin, begitu Pak Hadi mengabarkan bahwa madre akan dijual, mereka memutuskan untuk berkumpul. (Lestari, 2011:34)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bagaimana rasa cintanya pegawai-pegawai Tan terhadap biang roti, madre. Mereka rela berkumpul untuk melepaskan madre sebelum akhirnya dijual. Itu merupakan salah satu bukti bagaimana madre sangat berharga bagi mereka.

5. Tokoh Bu Sum

Selain Bu Cory, salah satu karyawan Tan yang juga teman seperjuangan Bu Dedeh, Pak Joko, dan Pak Hadi, yaitu Bu Sum. Meskipun peran Bu Sum di dalam cerita ini tidak banyak, tapi kehadirannya cukup memberi warna baru jalannya cerita. Tak berbeda dengan Bu Cory, Bu Sum juga memiliki loyalitas yang tinggi kepada Tan Sin Gie. Dimensi sebagai penggambaran dari Bu Sum, yaitu sebagai berikut.

a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan ciri-ciri badan. Di dalam cerpen tersebut, Bu Sum digambarkan sebagai wanita yang memiliki

commit to user

tubuh pendek dan gemuk, rambutnya sering disanggul. Kutipan yang mendukung penjelasan tersebut adalah berikut ini.

Bu Sum, yang berperawakan gemuk-pendek dengan rambut disanggul, masa pengabdiannya hanya beberapa tahun saja dengan Bu Cory. (Lestari, 2011:33)

b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan status sosial, pekerjaan, jabatan, tingkat pendidikan, dan keturunan. Di dalam cerpen Madre, Bu Sum hanya digambarkan sebagai seseorang yang telah lama bekerja di toko Tan de Bakker. Di Tan de Bakker, Bu Sum bekerja di bagian depan. Hal yang tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.

Bu Sum, yang berperawakan gemuk-pendek dengan rambut disanggul, masa pengabdiannya hanya beberapa tahun saja dengan Bu Cory. Keduanya dulu bekerja di bagian depan, bertugas melayani pembeli dan menjadi kasir. (Lestari, 2011:33)

c. Dimensi psikologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan keinginan, mentalitas, dan perasaan pribadi. Di dalam dimensi ini, Bu Sum digambarkan sebagai orang yang loyal terhadap pemimpinnya. Meski tak dibayar, ia tetap bekerja di Tan de Bakker. Penulis tak banyak menggambarkan dimensi ini di dalam cerpen Madre. Kutipan yang menjadi bukti dari penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.

Mereka berlima adalah pegawai-pegawai terakhir toko roti Tan. Seperti cerita Pak Hadi, mereka sempat bertahan bekerja tanpa digaji sampai akhirnya Pak Tan tak tega dan menutup usahanya. (Lestari, 2011:34)

Tokoh pendukung lainnya, yaitu Bu Dedeh. Tak banyak cerita mengenai Bu Dedeh. Penulis hanya menggambarkan bahwa Bu Dedeh merupakan pegawai termuda yang telah bekerja selama tiga puluh tahunan. Dari dimensi fisiologis, Bu Dedeh pun tidak digambarkan secara jelas oleh penulis. Penulis hanya menceritakan bahwa Bu Dedeh berasal dari Tasikmalaya. Bu Dedeh

commit to user

juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki kesetiaan terhadap pemimpinnya.

Tak jauh berbeda dengan Bu Dedeh, tokoh Pak Joko juga tidak digambarkan secara jelas. Namun, dari sisi fisiologis, Pak Joko digambarkan sebagai orang yang pendiam dan bersuara lembut serta memiliki badan yang tinggi. Secara sosiologis, Pak Joko bekerja di toko roti bagian belakang, yaitu sebagai pembuat kue. Masa kerjanya sudah sekitar empat puluh tahunan. Namun, dari sisi psikologis, penulis tidak menggambarkan secara eksplisit, tetapi implisit bahwa Pak Joko merupakan seseorang yang memiliki keloyalan terhadap atasannya.

Satu-satunya eks pegawai pria selain Pak Hadi adalah Pak Joko, yang berkopiah, bersuara lembut, dan cenderung pendiam. Tubuhnya tinggi dengan bahu condong ke dalam seolah senantiasa memberi tanda

“permisi”. Pak Joko mengabdi empat puluh tahunan di sana, bertugas

bersama Pak Hadi dan Bu Dedeh di dapur sebagai pembuat roti. (Lestari, 2011:34)

Berbeda dengan cerpen Madre, cerpen Menunggu Layang-layang

memiliki dua tokoh utama dan satu tokoh pendukung. Ada tokoh lain yang mencoba dihadirkan oleh penulis, tetapi itu hanya sebuah namanya saja. Karakter dan kegiatan tokoh tersebut tidak diceritakan secara kompleks. Tokoh utama di dalam cerita tersebut, yaitu Christian dan Starla, sedangkan tokoh pendukung cerita, yaitu Rako. Kemunculan Rako hanya beberapa bagian saja, tetapi cukup untuk memunculkan konflik antara Christian dan Starla.

6. Tokoh Christian

Sosok Christian merupakan teman dari Starla. Awalnya mereka bekerja di sebuah perusahaan yang sama. Namun, beberapa tahun terakhir mereka memiliki pekerjaan yang berbeda dan berbeda kantor pula. Karakter dari masing-masing tokoh pun berbeda-beda. Berikut adalah karakter yang dimiliki

Dokumen terkait