BAB VI PEMBAHASAN
B. Kepuasan Pasien
1. Pengertian Kepuasan Pasien
Kepuasan adalah ungkapan perasaan senang atau kecewa seseorang dari hasil perbandingan antara persepsi atau produk yang dirasakan de ngan yang diharapkan. Disatu pihak, kepuasan pasien dipandang sebagai hasil yang didapatkan dari pengalaman mereka yang memanfaatkan produk barang atau jasa. Berdasarkan pihak lain, kepuasan pasien juga kerap kali dipandang sebagai proses orientasi yang lebih mampu mengungkapkan pengalaman yang mereka rasakan secara keseluruhan dibandingkan orientasi hasil (Kotler, 2006).
Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya (Pohan,2007). Rama (2011) berpendapat kepuasan pasien akan terpenuhi jika proses penyampaian jasa pelayanan kesehatan kepada konsumen sudah sesuai dengan yang mereka harapkan. Kebutuhan pasien yang diharapkan adalah keamanan pelayanan, harga dalam memperoleh pelayanan, ketepatan dan kecepatan pelayanan kesehatan (Azwar, 2007).
2. Teori Kepuasan SER VQUAL
Teori kepuasan yang dilihat dari kualitas pelayanan menurut Parasuraman yaitu Teori SERVQUAL. Dasar dari model SERVQUAL adalah penilaian gap antara pelayanan yang diterima (perceived service) dengan pelayanan yang diharapkan (expected service). Penilaian gap melewati lima tahap hingga terbentuk konsep penilaian gap antara
expected service dan perceived service sebagai dasar model SERVQUAL
(Parasuraman et al., 1985). Berikut adalah penjelasan tentang lima gap tersebut:
a. Gap 1. Harapan pelanggan dengan persepsi manajemen.
Penilaian gap 1 ini didasarkan pada alasan bahwa harapan yang diperoleh pelanggan akan berpengaruh terhadap penilaian atau evaluasi pelanggan tentang kualitas pelayanan.
b. Gap 2. Persepsi manajemen tentang harapan pelanggan dengan tafsiran persepsi tersebut kedalam spesifikasi kualitas pelayanan.
Penilaian gap 2 ini didasarkan pada alasan bahwa persepsi manajemen tentang harapan yang diperoleh pelanggan dan spesifikasi kualitas pelayanan akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan dari sudut pandang pelanggan.
c. Gap 3. Spesifikasi kualitas pelayanan dengan pelayanan yang diberikan.
Penilaian gap 3 ini didasarkan pada alasan bahwa spesifikasi kualitas pelayanan akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan menurut pelanggan.
d. Gap 4. Pelayanan yang diberikan dengan komunikasi pada pelanggan. Penilaian gap 4 ini didasarkan pada alasan bahwa pelayanan yang diberikan akan berpengaruh terhadap tolak ukur kualitas pelayanan menurut pelanggan.
e. Gap 5. Pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang dirasakan. Penilaian gap 5 ini didasarkan pada alasan bahwa kualitas pelayanan yang diperoleh pelanggan merupakan sesuatu yang penting karena akan dibandingkan dengan harapannya.
Menurut Parasuraman et al (1985) kualitas pelayanan yang diterima oleh pelanggan (perceived service) adalah hasil perbandingan dari pengukuran expected service dan perceived service. Hasil perbandingannya dapat menyimpulkan kepuasan pasien pada kualitas pelayanan dipengaruhi oleh harapan dan kenyataan pelayanan yang diterima oleh pelanggan.
Pada tahun 1985 Parasuraman et al mencetuskan sepuluh dimensi kualitas pelayanan, yaitu tangibles, reliability, responsiveness,
communication, credibility, security, competence, courtesy,
understanding/knowing the customer, dan acces dengan 97 poin penilaian.
Tahun 1988, Parasuraman et al melakukan reduksi sepuluh dimensi menjadi lima dimensi dengan tujuan untuk meningkatkan reliabilitas data
hasil dari pengukuran kualitas pelayanan. Lima dimensi tersebut yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy atau yang lebih dikenal dengan SERVQUAL dengan 22 point penilaian.
Parasuraman et al memberi penjelasan didalam jurnalnya pada tahun 1994 bahwa kuesioner SERVQUAL telah digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan pada banyak sektor. Seperti penelitian pada dunia akutansi (Bojanic, 1991), department store (Finn dan Lamb, 1991; teas, 1993), perusahan gas (babakus dan Bollar, 1992), serta pada perguruan tinggi (Boulding, Kalra, Staelin, dan Zeithaml, 1993, Fors, Joseph, dan Joseph, 1993).
Expected Service
Expected service merupakan pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan yang meliputi harapan pelanggan terhadap bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati penyedia pelayanan. Cara mengukur expected service adalah dengan memberikan pertanyaan tertutup kepada pelanggan tentang harapan terhadap pelayanan dengan pilihan jawaban dalam rentang “sangat tidak penting” sampai “sangat penting” (Parasuraman et al.,1988).
Perceived Service
Perceived service merupakan pelayanan yang dirasakan atau
diterima oleh pelanggan. Perceived service dapat diartikan kenyataan pelanggan, penilaiannya meliputi lima dimensi SERVQUAL yaitu
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Cara mengukur perceived service dengan memberikan pertanyaan kepada pelanggan tentang pelayanan yang diterima dengan pilihan jawaban dalam rentang “sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju” (Parasuraman et al 1988).
Perceived service quality
Cara menukur perceived service quality adalah dengan menghitung skor gap atau selisih antara nilai perceived service dan expected service. Apabila hasil skor gap adalah negatif, maka dinyatakan bahwa kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kurang memuaskan, apabila hasil skor gap sama dengan nol maka dinyatakan bahwa kualitas pelayanan memuaskan, dan apabila hasil skor gap positif maka dinyatakan bahwa kualitas pelayanan sangat memuaskan (Parasuraman et al., 1988).
Hasil pengukuran perceived service quality merupakan suatu evaluasi kinerja penyelenggara atau penyedia pelayanan. Expected service
dan perceived service sendiri dipengaruhi oleh lima dimensi yaitu
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy yang akan dijelaskan secara rinci dalam teori kepuasan SERVQUAL
a. Terwujud bukti fisik (Tangibles)
Tangibles adalah wujud yang dapat terlihat langsung dari penyedia pelayanan meliputi penampilan fisik, fasilitas, peralatan, sarana, informasi, petugas. Parasuraman et all (1994) menyebutkan beberapa
point penting dari dimensi tangibles yaitu: peralatan dan fasilitas terlihat menarik, pekerja berpenampilan rapi dan profesional, unsur pendukung pelayanan terlihat baik (Parasuraman et al., 1988).
b. Kehandalan (Reliability)
Reliability adalah kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai
yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Reliability mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Parasuraman et al (1994) menyebutkan poin-poin penting dari dimensi reliability diantaranya yaitu: memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan, pelayanan kepada pelanggan dapat diandalkan, memberikan pelayanan dengan segera, memberikan pelayanan sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan (Parasuraman et al, 1988).
c. Daya tanggap (Responsiveness)
Responsiveness adalah kemampuan untuk membantu pelanggan dan
meningkatkan ketepatan pelayanan untuk melayani konsumen dengan baik. Terdapat empat point dari dimensi responsiveness yaitu: selalu memberikan informasi kepada pelanggan tentang kapan pelayanan siap diberikan, pelayanan terhadap pelanggan diberikan dengan tanggap, kemauan untuk membantu pelanggan dan kesiapan untuk menanggapi permintaan pelanggan (Parasuraman et al., 1988).
d. Jaminan (Assurance)
Assurance adalah kompetensi yang dimiliki sehingga membuat
rasa aman, bebas resiko atau bahaya, kepastian yang mencakup pengetahuan, sikap dan perilaku sehingga dapat menumb uhkan keyakinan dan kepercayaan pelanggan. Parasuraman et al (1994) menyebutkan empat point pada dimensi assurance yaitu: pekerja dapat menanamkan kepercayaan dalam diri pelanggan, membuat pelanggan merasa aman saat melakukan transaksi, pekerja selalu menunjukan sikap dan sopan santun dan pekerja memiliki pengetahuan luas untuk menjawab pertanyaan pelanggan (Parasuraman et al 1988).
e. Perhatian (Emphaty)
Emphaty adalah sifat dan kemampuan untuk memberikan perhatian
penuh, rasa peduli, komunikasi yang baik, serta kemudahan untuk dihubungi. Jumlah poin penilaian pada dimensi emphaty ada lima yaitu: memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, pekerja melayani pelanggan dengan penuh perhatian, pekerja mengutamakan kepentingan pelanggan dengan sepenuh hati, pekerja memahami kebutuhan pelanggan dan mempunyai jam kerja yang sesuai (Parasuraman et al., 1988)
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien
Menurut Gonzales (1967) dalam Lizarmi (2000), tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan bersifat subjektif individual yang dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah pemberi jasa
(Provider) dan pelanggan atau konsumen.
a. Faktor pemberi jasa (provider)
Menurut Lizarmi (2000) menyatakan bahwa pemberi jasa
(provider) memberi pengaruh terhadap kepuasan konsumen. Kepuasan
ini terdiri dari aspek medis dan aspek non medis. Aspek medis meliputi ketersediaan sarana dan peralatan yang dipergunakan untuk menunjang pelayanan, sedangkan aspek non medis mencakup perilaku petugas dan kenyamanan selama pelayanan.
b. Faktor pelanggan atau konsumen (customer)
Menurut Gonzales (1967) dalam Lizarmi (2000), dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan dan lain- lain. Menurut Carr dan Hill (1992) dalam Baros (2011) menyatakan bahwa derajat kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh latar belakang pelanggan, kedudukan sosial, tingkat ekonomi, budaya, pendidikan, umur dan jenis kelamin.
Dalam penelitian yang ditulis oleh Gary Lee Cloud (2003) tentang
“key patient characteristic influencing customer satisfaction in
community health centers” dengan melakukan penelitian terhadap
karakteristik pasien yang mempengaruhi kepuasan meliputi gender, pendidikan, dan etnis, ditemukan hasil analisisnya, yaitu laki- laki
memiliki kepuasan lebih tinggi dari pada perempuan, pasien dengan pendidikan rendah memiliki kepuasan lebih tinggi dari pada pasien dengan pendidikan tinggi, dan etnis tidak begitu signifikan mempengaruhi kepuasan pasien antara kulit putih, native America, African American, dan Hispanic.
Studi yang dilakukan oleh Naidu (2009) tentang Factors Affecting Patient Satisfaction and Healthcare Quality International Journal of
Health Care Quality, variabel sosiodemografi yang secara positif
memiliki hubungan dengan kepuasan pasien adalah umur, pendidikan, status kesehatan, ras, status pernikahan, dan kelas social. Dimensi yang diidentifikasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan adalah output pelayanan kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan, proses saat pelayanan diberikan, komunikasi dan tangibles.
a. Umur.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2013) dan Yulianti (2013) pemanfaatan pelayanan kesehatan terbanyak ada pada umur yang lebih tua (lansia). Jackson,Chamberlin dan Kroenk dalam Cloud (2003) mengatakan bahwa pasien tua (≥ 65 tahun) cenderung merasa lebih puas dari pada pasien muda. Aday (1980) menyatakan usia muda (< 35 tahun) memiliki tingkat kepuasan relatif rendah dibandingkan dengan usia tua (≥35 tahun) karena usia muda lebih produktif dan memiliki harapan besar. Lumenta (1989) menyatakan bahwa umur produktif mempunyai tuntutan
dan harapan lebih besar dibandingkan umur tua. Serta usia mempunyai hubungan yang bermakna de ngan tingkat kepuasan. Coser (1956) menyatakan bahwa orang yang berusia lebih muda pada umumnya lebih agresif mencari informasi dan tidak menunjukkan sikap menyesuaikan diri.
Perhitungan umur berdasarkan kematangan biologis menurut Departemen kesehatan (2009) adalah sebagai berikut; Masa Balita 0-5 tahun, Masa kanak-kanan 5-11 tahun, Masa remaja awal 12-16 tahun, Masa remaja akhir 17-25 tahun, Masa dewasa awal 26-35 tahun, Masa dewasa akhir 36-45 tahun, Masa lansia awal 46-55 tahun, Masa lansia akhir 65 tahun keatas.
b. Jenis Kelamin.
Penelitian Nurma (2000) mendapatkan adanya hubungan jenis kelamin dengan tingkat kepuasan Hutabarat (2013) dan Yulianti (2013) ditemukan bahwa respon terbanyak adalah perempuan. Gary Lee Cloud (2003) dalam disertasinya menemukan bahwa perempuan cenderung memiliki penilaian lebih terhadap fasilitas kesehatan dibandingkan laki- laki. Jenis kelamin hanya dibedakan menjadi dua, yaitu laki- laki dan perempuan. c. Pendidikan.
Menurut Gary Lee Cloud (2003) pasien dengan pendidikan rendah memiliki kepuasan lebih tinggi dari pada pasien dengan pendidikan tinggi. Nurma (2000) mendapatkan adanya hubungan
status pendidikan dengan tingkat kepuasan. Hutabarat (2013) dan Yulianti (2013) bahwa tidak ada hubungan pendidikan. Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan, juga akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tuntutan, juga harapan yang lebih tinggi (Yulianti, 2013). Pendidikan mengacu pada Indonesia Educational Statistics in Brief 2015/2016 jalur pendidikan terdiri atas formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, kagamaan, dan khusus. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, seperti Sekolah Dasar (SD), dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, terdiri atas pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan yang berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan Tinggi merupakan jenjang ppendidikan setelah pendidikan menengah yag mencakup program pendidikan diploma,
sarjana, magister, spesialis dan doctor yang disele nggarakan oleh perguruan tinggi.
d. Pekerjaan.
Pada penelitian Nurma (2000) didapatkan bahwa responden dengan penghasilan rendah cenderung lebih puas terhadap pelayanan kesehatan yang diterima daripada responden yang penghasilan tinggi. Yulianti (2013) menyatakan tidak ada hubungan antara pekerjaa dengan tingkat kepuasan pasien. Jenis pekerjaan di Indonesia diatur dalam Klarifikasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia (KBJI) 2002 yang mengelompokkan beragam jenis pekerjaan baik formal atau informal berdasarkan atura n tertentu (tingkat dan spesialisasi keahlian) sesuai dengan
International Standard Classification of Occupations (ISCO) 1988.
Golongan pokok kerja ini adalah pejabat lembaga legislatif, pejabat tinggi, dan manajer, tenaga profesional, teknisi dan asisten tenaga profesional, tenaga tata usaha, tenaga usaha jasa dan usaha penjualan di toko dan pasar, tenaga usaha pertanian dan peternakan, tenaga pengolahan dan kerajinan, operator dan perakit mesin, pekerjaan kasar, tenaga kebersihan, serta anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kepolisian Negara RI
e. Status Kepersertaan.
Penelitian yang dilakukan Hidiati dalam Fitriyani (2009) dan Baros (2011), menyatakan terdapat hubungan bermakna antara status kepesertaan dengan tingkat kepuasannya, yang dimaksud dengan status kepesertaan dalam penelitian ini adalah pasien Peserta bantuan Iuran (Mantan Jamkesmas/Jamkesda), Pekerja Penerima upah yaitu mantan Askes/ Jamsostek/ TNI/ Polri, dan Pekerja Bukan Penerima Upah, yaitu peserta yang membayar sendiri iuran BPJS Kesehatan sesuai kelas perawatannya, yang bukan mantan Jamkesmas/ Jamkesda, juga bukan mantan Askes/Jamsostek/TNI/Polri.
f. Lama keanggotaan
Keterangan yang menunjukan periode atau lamanya keanggotaan dihitung dari tanggal mulai mendapatkan kartu sampai dengan saat ini.
4. Metode MengukurKepuasan
Terdapat empat metode yang untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu sebagai berikut: (Kotler,2009)
a. Sistem keluhan dan Saran.
Menyediakan berupa kotak saran, dalam memberikan kesempatan kepada pasien untuk menyampaikan keluhan, saran, dan kritikan mereka tentang pelayanan yang diterimanya.
b. Survei Kepuasan Pelanggan.
Kepuasan konsumen yang dapat di ukur berdasarkan kuesioner, pos, telepon, ataupun wawancara langsung untuk memperoleh tingkat kepuasan pasien. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya sebagai berikut:
1) Directly reported satisfaction, yaitu pengukuran dilakukan
secara langsung melalui pertanyaan, seperti sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, dan sangat puas.
2) Derived dissatisfacatin, yaitu pertanyaan yang menyangkut
besarnya harapan pelanggan terhadap atribut.
3) Problem analysis, artinya pelanggan yang dijadikan responden
untuk mengungkapkan dua hal pokok, yaitu 1) masalah-masalah yang mereka hadapai, berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan 2) saran-saran untuk melakukan perbaikan.
4) Importance performance analysis,artinya dalam teknik ini
responden diminta untuk me-ranking berbagai elemen dari penawaran berdasarkan pentingnya elemen.
c. Pembelanjaan Misterius (Ghost Shopping.
Metode ini merupakan bentuk strategi pelayanan kesehatan yang menggunakan beberapa orang untuk bersikap sebagai konsumen yang kemudian melaporkan temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka,
sehingga hasil tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi dan pengambilan keputusan.
d. Lost CustomerAnalisis.
Perusahaan berusaha mencari informasi mengenai para konsumen yang telah berhenti membeli produknya, agar nantinya pihak perusahaan mampu memahami kebutuhan yang diharapkan oleh konsumen.
C. Pelayanan Kesehatan
Menurut Sampara dalam Sinambela (2006) bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara ,fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Menurut Levery dan Loomba (1973) dikutip oleh Azwar (1996), yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Sedangkan menurut Benyamin Lumenta (1989) pelayanan kesehatan adalah segala upaya dan kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan dan pemulihan kesehatan
yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang ditujukan kepada masyarakat.
D. Puskesmas
Puskesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventive, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya di wilayah kerjanya. Pembangunan kesehatan diselenggarakan di Puskesmas memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat agar memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu, hidup dalam lingkungan sehat, dan memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat.
1. Prinsip Puskesmas
Prinsip menyelenggarakan puskesmas dalam Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 meliputi:
a. Paradigma sehat.
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
b. Pertanggung jawaban wilayah.
Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangnan kesehatan di wilayah kerjanya.
c. Kemandirian masyarakat
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
d. Pemerataan.
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan dijangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.
e. Teknologi tepat guna.
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
f. Keterpaduan dan kesinambungan.
Puskesmas mengintegrasi dan mengoordinasi penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen Puskesmas. Kategori Puskesmas
Berdasarkan karakteristik wilayah kerja puskesmas, Permenkes No.75 Tahun 2014 menentukan tiga kategori puskesmas, yaitu puskesmas kawasan perkotaan, puskesmas kawasan pedesaan, dan puskesmas kawasan terpencil dan sangat terpencil. Sedangkan berdasarkan kemampuan penyelenggaraannya, puskesmas dibedakan menjadi:
a. Puskesmas non rawat inap.
Puskesmas yang tidak menyelenggarakan rawat inap kecuali pertolongan persalinan normal.
b. Puskesmas rawat inap.
Puskesmas yang diberi tambahan sumber daya untuk menyelenggarakan pelayan rawat inap, sesuai pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.
2. Tugas Puskesmas
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kese hatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, puskesmas menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama di wilayah kerjanya,
b. Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama di wilayah kerjanya.
c. Sebagai wahana pendidikan tenaga kesehatan.
E. Penelitian yang terkait
Beberapa penelitian yang terkait dengan BPJS dan kepuasan telah dilakukan seperti penelitian penelitian yang dilakukan:
Prasojo Utomo (2016) tentang Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta BPJS dan Pasien Umum Pada Pelayanan Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien atas pelayanan instalasi rawat jalan dan mengidentifikasi atribut yang perlu mendapat perhatian guna meningkatkan kepuasan pasien rawat jalan. Penelitian ini merupakan penelitian analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan data di peroleh dari kuesioner yang di berikan kepada 200 responden. Pada kuesioner terdapat pernyataan harapan dan kenyataan yang menggunakan
dimensi SERVQUAL yang memperhatikan 5 dimensi pelayanan yaitu: 1) bukti langsung, 2) keandalan, 3) ketanggapan, 4) jaminan, 5) empati terkait pelayanan rawat jalan. Sedangkan perhitungan mengenai kesesuaian antara kenyataan dan harapan merupakan hasil perbandingan skor kenyataan dengan skor harapan. Maka dari tingkat kesesuaian inilah dapat di ketahui tingkat kepuasan pasien BPJS ataupun pasien umum terhadap pelayanan.Hasil penelitian didapatkan nilai tingkat kesesuaian dimensi daya tanggap belum memuaskan baik pasien BPJS dan pasien umum. Sedangkan untuk atribut-atribut yang belum memuaskan adalah 1) atribut 5 fasilitas ruang tunggu, 2) ketersediaan kursi menunggu, 3) waktu tunggu pendaftaran IRJ, 4) waktu tunggu pelayanan dokter, 5) waktu tunggu pengambilan obat.
Prakoso (2015) tentang Efektivitas Pelayanan Kesehatan BPJS di Puskesmas Kecamatan Batang. Menyatakan bahwa mutu yang diberikan sudah baik, dimana hasil yang didapat dari responden sebesar 82% masuk dalam kriteria efektif, hal ini menunjukan bahwa mutu yang diberikan terhadap peserta BPJS kesehatan kecamatan Batang sudah sesuai dengan yang diharapkan masyarakat dan sudah sesuai dengan standar pelayanan yang ditetaplan dalam peraturan yang berlaku.
Satrio (2003) tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Puskesmas Bantar Gebang Bekasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil sesuai dengan rumus Lamesow sebanyak 97 orang. Hasil
penelitian pasien yang puas terhadap pelayanan rawat jalan Puskesmas Bantar Gebang Bekasi sebesar 53% dan menunjukan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dengan kepuasan. Pasien yang tidak puas kebanyakan adalah di dimensi kehandalan dan daya tanggap dimana jumlah pasien yang puas terhadap tanggap hanya 29,9% sedangkan pada tanggapan hanya 44,3%.
Hutabarat (2013) tentang Gambaran Kepuasan Pasien Pengguna Kartu Jakarta Sehat di Unit Rawat Jalan RSU UKI Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan potong lintang. Hasil penelitin menunjukan kepuasan KJS sebesar 40,9%. Responden pengguna KJS yang mendapatkan layanan di Unit Rawat Jalan RSU UKI sebanyak 50,9% berumur = median (57 tahun), 67,3% berjenis kelamin perempuan, 51,8% tamat SMP, 71,8% responden tidak bekerja 60,9% responden menyatakan aksesnya sulit untuk mencapai Rumah Sakit. Pada faktor pribadi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan akses) dengan kepuasan pasien KJS di Unit Rawat Jalan RSU UKI didapatkan hasil bahwa hanya akses ke Rumah sakit yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepuasan pasien KJS di Unit Rawat Jalan RSU UKI.
F. Kerangka Teori
Bagan 12.1 Kerangka Teori
Menurut Gonzales (1967) dalam Lizarmi (2000), Nurma (2000), Hidiati dalam Fitriyani (2009), Parasuraman et al (1988)
Faktor yang Mempengaruhi 1. Provideri (Pemberi Jasa)
- Aspek Medis - Aspek Non medis
2. Customer (Pelanggan atau konsumen) - Umur - Pendidikan - Jenis kelamin - Pekerjaan - Status kepesertaan Kualitas Pelayanan
1. Tangibles (Bukti fisik) 2. Reliability (Kehandalan) 3. Responsiveness (Daya tanggap) 4. Assurance (Jaminan) 5. Emphaty (Empati) Kepuasan Pasien Expected Service (Harapan) Perceived Service (Kenyataan) Puskesmas Pasien BPJS Pelayanan Rawat Inap Pelayanan Rawat Jalan Pasien Non BPJS Puskesmas
40 BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS