• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil

4.2.1 Keragaman Haplotipe

Distribusi composite haplotipe BBCAA tertinggi ditemukan pada populasi Sulawesi Selatan (60%), namun tidak ditemukan pada populasi lainnya, demikian pula CCCAA (40%) pada populasi Selat Sunda dan AABAA (40%) pada populasi Belitung. Populasi Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung dicirikan dengan distribusi composite haplotipe AAAAA, dan populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan dicirikan oleh distribusi composite haplotipe BACAA. Terkait dengan kondisi lingkungan perairan yang berbeda pada lokasi pengambilan sampel (Lampiran 9), diduga memberi pengaruh terhadap munculnya keragaman genetik populasi tiram mutiara, seperti pada populasi Selat Sunda dan Bali Utara yang memiliki ragam haplotipe yang tertinggi (0,328 dan 0,307). Hal ini terkait dengan kemampuan individu menyediakan ragam genetik dalam mekanisme evolusi sehingga bertahan hidup dan bereproduksi. Koehn et al. (1976) dan Koehn et al.

(1984) menyatakan bahwa perbedaan genetik dapat terjadi karena letak geografis, perbedaan salinitas dan suhu. Perubahan keragaman alel yang mempengaruhi keragaman genotipe juga disebabkan oleh migrasi, seleksi dan genetic drift

(Frankham et al. 2002).

Berdasarkan beberapa tipe haplotipe populasi Sumbawa (BAAAA, BCBAA, BABAA) yang juga ditemukan pada populasi Bali Utara, menunjukkan kedekatan secara geografis dan pertukaran populasi tiram mutiara terkait dengan budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya. Petani Sumbawa dan Bali Utara memperoleh stok induk berasal dari wilayah timur, seperti Maluku dan Papua, sehingga kemungkinan telah terjadi interbreeding antara populasi dari stok yang berbeda dan introduksi keragaman jenis haplotipe baru. Menurut Hamzah et al. (2003), induk tiram mutiara untuk kawasan tengah Indonesia tidak selamanya matang gonad sepanjang tahun. Kawasan tengah Indonesia termasuk Sumbawa dan Bali Utara, proses pematangan gonadnya mulai berlangsung dari awal bulan September hingga Maret dan pada bulan April–Agustus telur kosong, sehingga para pembudidaya mengalami kesulitan mencari induk lokal yang matang gonad dan mereka umumnya mendatangkan dari daerah lain termasuk dari Maluku dan Papua.

Pada populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan yang secara geografis sangat jauh, namun terdapat haplotipe yang sama BACAA pada populasi Sumbawa (40%) yang juga ditemukan pada populasi Sulawesi Selatan (20%) diduga secara genetik kedua populasi tersebut memiliki asal stok yang sama, terkait dengan distribusinya yang secara geografis letak Selat Alas menghubungkan Laut Flores di sebelah utara dan Samudera Hindia di sebelah Selatan, sehingga kontribusi massa air selat tersebut dipengaruhi oleh Laut Flores dan Samudera Hindia. Menurut Rusman (2003) menyatakan bahwa sepanjang tahun pergerakan massa air di Selat Makassar mengarah ke selatan menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok dan Laut Flores serta massa air oseanik masuk secara tetap ke Laut Jawa melalui Selat Makassar yang berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Flores yang berasal dari Samudera Hindia. Adanya massa air oseanik dari Selat Makassar ini kemungkinan arusnya membawa telur tiram dan larva fase planktonik. Menurut Stenzel (1971) bahwa pada kehidupan organisme tiram yang hidup di perairan laut, ketika pada masa planktonik dapat secara mudah terdispersi oleh arus, misalnya pada larva genus Crassostrea di daerah Gulf-Stream dapat terdispersi sampai 1000–1300 km pada kecepatan arus 2 m/detik.

Sebaran composite haplotipe AAAAA yang merupakan haplotipe umum (common haplotipe) pada populasi Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung diduga dipengaruhi oleh faktor oseanografi, geografis dan hubungannya dengan perairan di sekitarnya (Laut Flores, Selat Makassar dan Laut Cina Selatan), aliran arus pada perairan Selat Bali, Selat Sunda, dan Belitung masuk dalam perairan Laut Jawa. Rusman (2003) menyatakan bahwa di perairan Laut Jawa terdapat dua massa air yaitu massa air tercampur dan massa air oseanik. Massa air tercampur berfluktuasi secara musiman dan dikendalikan oleh massa air dari Laut Cina Selatan (oseanik), curah hujan dan run off dari daratan Kalimantan, sedangkan massa air oseanik masuk secara tetap ke Laut Jawa melalui Selat Makassar yang berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Flores yang berasal dari Samudera Hindia. Mengingat bahwa populasi tiram mutiara dalam siklus hidupnya mengalami stadia planktonis selama 20–22 hari (Haws dan Ellis 2000), sehingga diduga telah terjadi aliran gen pada ketiga populasi tersebut.

genetik, perbedaan interpopulasi tiram di perairan dipengaruhi oleh faktor distribusi spasialnya karena tiram melalui tingkatan kehidupan dua fase (fase planktonik dan bentik) serta migrasi dan seleksi alam yang menyertai pola adaptasinya. Selanjutnya, menurut Bayne (1983), selain faktor arus, fase planktonik yang cukup lama juga dapat menyebabkan distribusi spasial organisme tiram menjadi sangat luas, seperti C. virginica di daerah litoral Amerika Utara, yang mempunyai fase planktonik tiga minggu dapat ditemukan kesamaan genetiknya dari daerah Nouvelle-Ecosse sampai daerah Yucatan, sedangkan jenis

Pecten maximus dari Norwegia mempunyai kesamaan genetik dengan jenis yang ditemukan di Maroko Selatan.

Nilai keragaman haplotipe (h) (Tabel 3), menunjukkan kisaran nilai tersebut lebih rendah dari keragaman haplotipe pada P. maxima populasi Australia dan Indonesia yang dilaporkan oleh Benzie et al. (2003), yaitu sebesar 0,129–0,582;

C. gigas populasi Cina yang dikemukakan oleh Appleyard dan Ward (2006), yaitu 0,266–0,486. Keragaman haplotipe pada populasi tiram mutiara Selat Sunda adalah yang tertinggi (0,328) dibanding populasi lainnya, hal ini diduga karena populasi Selat Sunda berada di daerah konservasi dan tidak terpengaruh oleh intervensi dari luar. Soca et al. (2006) menjelaskan bahwa keragaman genetik dalam suatu populasi merupakan faktor yang berperan penting pada adaptasi spesies terhadap perubahan lingkungan, yang selanjutnya berperan dalam kelangsungan hidupnya.

Digesti mtDNA teramplifikasi menggunakan lima enzim restriksi menghasilkan tipe restriksi monomorfik (DpnII dan Eco0190I) serta 11 tipe restriksi polimorfik yakni FokI (empat tipe restriksi), HaeIII (tiga tipe) dan NlaIV (empat tipe). Distribusi genotipe (Gambar 12) menunjukkan digesti FokI menghasilkan tipe restriksi yang berbeda pada populasi Belitung (tipe A) dan Sumbawa (tipe B) yang mengindikasikan bahwa kedua populasi merupakan stok yang berbeda, demikian juga monomorfik pada tipe restriksi C (NlaIV) dari populasi Sulawesi Selatan .

Tipe restriksi A monomorfik (FokI) pada populasi Belitung juga ditemukan dominan pada populasi Selat Sunda (40%) dan Bali Utara (10%). Hal ini menggambarkan bahwa aliran materi genetik berlangsung pada ketiga populasi

tersebut dengan populasi Selat Sunda yang menunjukkan keragaman haplotipe tertinggi yang mengindikasikan populasi tersebut terisolir. Sedangkan tipe B monomorfik (FokI) pada populasi Sumbawa juga ditemukan dominan pada populasi Bali Utara (80%) dan Sulawesi Selatan (80%) diduga ketiga populasi tersebut merupakan stok serupa yang penyebarannya didukung oleh arus yang menuju ke selatan dari Selat Makassar ke Laut Jawa dan genotipe tersebut berkembang baik pada populasi Sumbawa, kemungkinan genotipe dominan Sulawesi Selatan menyebar bersamaan aliran arus menuju selatan dari Selat Makassar ke Laut Jawa.

Tipe restriksi C (NlaIV) yang monomorfik pada populasi Sulawesi Selatan, ditemukan juga dominan pada populasi Sumbawa (40%) dan Selat Sunda (70%) menunjukkan bahwa distribusi ketiga populasi tersebut berlangsung melalui arus timur dan barat dari perairan Laut Jawa. Demikian pula distribusi tipe restriksi A (HaeIII) yang dominan pada populasi Sumbawa (80%) dan Bali Utara (60%) juga ditemukan pada kedua populasi lainnya dengan frekuensi kurang dari 50%. Tipe C pada populasi Selat Sunda ditemukan pada populasi Bali Utara dan Sumbawa dan tipe B dominan pada Sulawesi Selatan ditemukan pada populasi Belitung, Rusman (2003) menyatakan bahwa pergerakan massa air di Selat Makassar sepanjang tahun mengarah ke selatan dan pada bulan November–Maret massa air dari Laut Jawa bergerak ke arah timur dan pada bulan Mei–September massa air bergerak ke arah barat.

Berdasarkan digesti kedua enzim DpnII dan Eco0190I yang memberikan tipe restriksi monomorfik pada keseluruhan populasi tiram mutiara, menunjukkan bahwa populasi tersebut masih dalam satu distribusi geografis dari spesies P. margaritifera.

4.2.2Filogenetis

Analisis dendrogram berdasarkan UPGMA (Gambar 11) menunjukkan ada strukturasi yang jelas dalam populasi tiram mutiara di lima populasi yaitu kelompok I terdiri dari Sumbawa dan Bali Utara, kelompok II terdiri dari Selat Sunda dan Belitung, dan populasi Sulawesi Selatan yang secara geografis relatif jauh membentuk satu kelompok terpisah dari kedua kelompok lainnya. Jarak geografi dan pola migrasinya diperkirakan mempengaruhi pemisahan kelompok

tiram mutiara tersebut. Perbedaan nilai rata-rata jarak genetik terbesar antar populasi ditunjukkan pada populasi Sulawesi Selatan dengan ke empat populasi lainnya (Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung) (Tabel 4). Dugaan pemisahan genetik pada populasi tiram mutiara ini didukung oleh perbedaan distribusi haplotipe (Tabel 3), pada populasi Sulawesi Selatan ditemukan satu jenis haplotipe (BBCAA) dengan frekuensi tinggi (60%) dan unik karena tidak ditemukan di empat populasi tiram mutiara lainnya. Namun populasi Sulawesi Selatan masih termasuk di dalam wilayah distribusi spesies yang sama dengan ke empat populasi tiram mutiara lainnya berdasarkan indikator haplotipe monomorfik DpnII dan Eco0190I.

Adanya pemisahan populasi tiram mutiara P. margaritifera pada kelima populasi di Indonesia menjadi tiga unit populasi diperkirakan terkait dengan faktor oseanografi dan geografis, tiram mutiara muda dan dewasa hidup sedenter sehingga pengaruh hidrologis permukaan perairan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi hidrologis perairan lapisan dalam dan pengaruh lebih besar terjadi pada fase dispersal telur dan larva yang bersifat planktonik. Letak geografis yang relatif dekat mengakibatkan kedua populasi tersebut berada dalam satu kelompok (D=0,017). Kedekatan genetik antara populasi Selat Sunda dan Belitung (D=0,069) diduga karena di perairan Belitung massa air tercampur secara fluktuatif dan musiman dikendalikan oleh Laut Cina Selatan yang masuk ke Laut Jawa, sementara pola sirkulasi Laut Jawa secara umum selalu mengarah ke Samudra Hindia melalui Selat Sunda (Wyrtki 1961). Hal ini memungkinkan struktur genetik kedua populasi tersebut mempunyai kemiripan dan berada dalam satu kelompok, sedangkan perairan sekitar Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi perubahan lingkungan perairan di Selat Makassar bagian Timur. Salinitas yang tinggi akibat dari kondisi geografis mulut Teluk Awerange yang sempit dan terdapat terumbu karang merupakan penghalang arus yang berasal dari perairan Selat Makassar sehingga pengenceran pada teluk ini tergolong rendah dan dalam waktu yang lama diperkirakan telah menciptakan lingkungan khusus bagi munculnya haplotipe BBCAA yang tidak ditemukan pada populasi lain serta terbentuknya unit populasi tersendiri yang berbeda dengan keempat populasi lainnya.

Keterangan:

Tipe restriksi : Lokasi : SB: Sumbawa : Arus musim timur BA: Bali Utar : Arus musim barat SS : Selat Sunda

BL: Belitung

SL : Sulawesi Selatan

Gambar 12. Distribusi genotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera) dan pola arus umum di perairan Indonesia

Dokumen terkait