• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokonria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokonria"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

TIRAM MUTIARA (

Pinctada margaritifera

)

BERDASARKAN ANALISIS DNA MITOKONDRIA

RINI SUSILOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Bogor, Agustus 2008

RINI SUSILOWATI C 151 060 151

(3)

Pearl Oyster (Pinctada margaritifera) Assesed by Mitochondrial DNA Analysis. under direction of Komar Sumantadinata, Dinar Tri Soelistyowati, and Achmad Sudradjat

The black-lipped pearl oyster (Pinctada margaritifera) is one of important species in pearl industry. The objective of this study was to determine of genetic diversity by mtDNA RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) method from five populations. A total of 50 individual P. margaritifera were analyzed for genetic variation within a 750-base pair region of the mitochondrial DNA COI gene using RFLP analysis. The percentages of polymorphic loci and the genetic diversity were comparable among populations. Five populations of P. margaritifera formed three groups subpopulation with the values of Nei’s genetic distance were small among the Sumbawa and North Bali populations (0.017) and high between these and the South Sulawesi populations (0.142). The South Sulawesi populations possess uniqueness based on distribution haplotipe of BBCAA (60%) with the values of genetic diversity were lower (0.105) compared others populations (0.177-0.328). These case related to geographical condition, where characteristic of bay were semi-closed with high salinity.

(4)

margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria. Dibimbing oleh Komar Sumantadinata, Dinar Tri Soelistyowati, dan Achmad Sudradjat

Tiram mutiara Pinctada margaritifera atau the black-lipped merupakan salah satu spesies penting yang digunakan dalam industri mutiara. Meskipun penggunaan stok benih hatchery meningkat, namun banyak perusahaan yang masih bergantung pada stok benih alam karena lebih efektif. Ketersediaan benih tiram mutiara alam terbatas, sementara eksploitasi semakin meningkat, hal ini akan mengakibatkan kelestarian populasi terancam, sehingga menuntut diperlukannya manajemen yang baik untuk tercapainya kelestarian populasi.

Salah satu manajemen untuk kelestarian populasi tiram mutiara ini adalah dengan budidaya. Kegiatan budidaya sebagai salah satu manajemen pelestarian populasi tidak terlepas dengan tersedianya stok induk unggul dan mampu menurunkan keturunan yang unggul pula. Salah satu upaya menghasilkan stok induk unggul yaitu dengan seleksi dan hibridisasi, yang dilakukan atas dasar informasi keragaman genetik.

Salah satu metode pengukuran keragaman genetik adalah analisis DNA mitokondria (mtDNA) dengan teknik PCR-RFLP. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan keragaman genetik intrapopulasi dan perbedaan genetik interpopulasi dengan teknik mtDNA PCR–RFLP tiram mutiara Indonesia yang berasal dari Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan serta memetakan hubungan filogenetik dari lima populasi tiram mutiara tersebut.

Penelitian dilakukan dengan metode survei (pengambilan contoh) dan pengamatan di laboratorium. Pengambilan contoh dilakukan dari bulan Mei– Desember 2007. Lima puluh tiram mutiara dikoleksi dari lima lokasi yang mewakili sebaran tiram mutiara di Indonesia, yaitu Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan. Analisis laboratorium dilaksanakan dari bulan Februari–Juni 2008 di Laboratorium Rekayasa Genetik Loka Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar, Sukamandi. Analisis laboratorim meliputi ekstraksi DNA, amplifikasi mtDNA dengan menggunakan primer universal COI

forward: 5’-ATA ATG ATA GGA GGR TTT GG-3’ reverse: 5’-GCT CGT GTR CTA CRT CCA T-3’, dan digesti dengan enzim restriksi (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII, Eco0190I).

Hasil penelitian menunjukkan amplifikasi daerah COI mtDNA menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 750 pb dan ditemukan pada semua populasi contoh tiram mutiara. Keragaman jumlah situs dan ukuran fragmen restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil digesti mtDNA dengan lima enzim adalah 13 tipe restriksi (genotipe) yaitu FokI dengan empat tipe restriksi (A, B, C, D), HaeIII dengan tiga tipe restriksi (A, B, C), NlaIV dengan empat tipe restriksi (A, B, C, D), sedangkan DpnII dan Eco0190I menghasilkan masing-masing satu tipe restriksi (A) yang monomorfik, serta 34 fragmen restriksi. Analisis composite

(5)

berkisar antara 0,000−0,0016. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(7)

BERDASARKAN ANALISIS DNA MITOKONDRIA

RINI SUSILOWATI

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Halaman Pengesahan

Judul : KERAGAMAN GENETIK POPULASI TIRAM MUTIARA (Pinctada margaritifera) BERDASARKAN ANALISIS

DNA MITOKONDRIA

Nama : RINI SUSILOWATI

NRP : C151060151

Program Studi : ILMU PERAIRAN

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, MSc Ketua

Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA Prof. Riset. Dr. Achmad Sudradjat

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)
(10)

Bogor, Agustus 2008

RINI SUSILOWATI

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas kehendak-Nya

sehingga tesis dengan judul “Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara

(Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria” ini dapat

penulis selesaikan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Komar

Sumantadinata M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Dinar Tri

Soelistyowati, DEA selaku anggota komisi pembimbing dan Prof. Riset. Dr.

Achmad Sudradjat selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan

kesempatan untuk ikut dalam kegiatan penelitian, atas keikhlasan dan kesabaran

memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dorongan semangat dalam

menyelesaikan tesis ini; Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS selaku Ketua Program

Studi Ilmu Perairan atas bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa Program

Studi Ilmu Perairan, SPs IPB; Ibu Ir. Retna Utami, M.Sc dan Dr. Ir. Imron, M.Si

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas di

Laboratorium Rekayasa Genetik, Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya

Air Tawar, Sukamandi; Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (ASBUMI) yang

telah membantu dalam penyediaan data untuk penelitian ini; Ayahanda Surono,

Ibunda Sutarti, Dek Hendry Tiyas TDR atas dukungan, do’a, dan nasehat selama

ini; ‘sam’ Ahmad Zahid dan rekan mahasiswa AIR ’06 atas dukungan, kritik,

saran dan kebersamaan selama ini; dan seluruh pihak yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam rangka pengembangan

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dengan nama lengkap Rini Susilowati dilahirkan di Madiun pada

tanggal 6 Mei 1981 dari pasangan Bapak Surono dan Ibu Sutarti. Pendidikan

formal ditempuh dari SD, SMP, dan SMU sejak tahun 1987–1999 di Ngawi.

Pendidikan Program Diploma (D3) diselesaikan tahun 2002 di Universitas

Airlangga pada Program Studi Budidaya Perikanan, Program Sarjana (S1)

diselesaikan pada tahun 2006 di Universitas Diponegoro pada Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perikanan, dan pada tahun 2006 melanjutkan studi

Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dalam rangka penyelesaian studi di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis

melakukan penelitian yang berjudul “Keragaman Genetik Populasi Tiram

Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria”. Sebagian hasil penelitian ini telah disampaikan pada Simposium Nasional

Bioteknologi Akuakultur II pada tanggal 14 Agustus 2008 dengan judul

Karakteristik Genetika Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Terkait dengan

(12)

DAFTAR ISI

2.2 Polimorfisme Genetik Tiram Mutiara... 7

2.2.1 Keragaman Genetik mtDNA... 8

2.2.2 Metode Analisis PCR – RFLP ... 11

2.3 Parameter Kualitas Air yang Berhubungan dengan Kelangsungan HidupTiram Mutiara ... 12

2.4 Perairan Pulau Panjang, Selat Alas ... 14

2.5 Teluk Pegametan, Bali ... 15

2.6 Perairan Pulau Handeuleum, Selat Sunda... 15

2.7 Perairan Selat Ru, Belitung ... 16

2.8 Perairan Teluk Awerange, Sulawesi Selatan ... 17

BAHAN DAN METODE PENELITAN... 19

3.1 Waktu dan Lokasi Pengambilan Contoh... 19

3.2 Metode ... 19

3.2.1 Metode Pengambilan Contoh... 19

3.2.2 Analisis DNA Mitokondria ... 19

3.3 Analisis Keragaman Genetik mtDNA... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN... 23

4.1 Hasil ... 23

4.1.1 Amplifikasi Daerah Cytochrome Oxidase Subunit I (COI )... 23

4.1.2 Pola Restriksi Fragmen mtDNA Teramplifikasi... 23

4.1.3 Identifikasi Fragmen Restriksi (RFLP)... 26

4.1.4 Keragaman Genetik Intrapopulasi... 27

4.1.5 Perbedaan Genetik Interpopulasi ... 29

4.2 Pembahasan... 30

4.2.1 Keragaman Haplotipe ... 30

4.2.2 Filogenetis ... 33

4.2.3 Apikasi pada Budidaya Tiram Mutiara ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Tipe ukuran fragmen digesti mtDNA daerah COI dengan

lima enzim restriksi (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII dan Eco0190I) ... 24

2. Distribusi genotipe (tipe restriksi) pada lima populasi tiram mutiara... 27

3. Distribusi frekuensi dan komposisi haplotipe pada lima populasi

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Tiram mutiara (Pinctada margaritifera) ... 4

2. Siklus hidup tiram mutiara ... 6

3. Peta distribusi penyebaran tiram mutiara ... 7

4. Struktur DNA mitokondria ... 10

5. Fragmen mtDNA teramplifikasi dengan primer universal COI ... 23

6. Digesti mtDNA dengan FokI (4 tipe restriksi: A, B, C, D) ... 24

7. Digesti mtDNA dengan HaeIII(4 tipe restriksi: A, B, C) ... 25

8. Digesti mtDNA dengan NlaIV (4 tipe restriksi: A, B, C, D) ... 25

9. Digesti mtDNA dengan DpnII (1 tipe restriksi: A)... 26

10. Digesti mtDNA dengan Eco0190I(1 tipe restriksi: A)... 26

11. Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)... 29

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Nama-nama Perusahaan Mutiara Indonesia ... 44

2. Jenis-jenis Tiram Mutiara ... 45

3. Lokasi Pengambilan Contoh Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) . 46

4. Nama enzim restriksi dan situs digestinya ... 47

5. Analisis deskriptif pada lima populasi tiram mutiara

(Pinctada margaritifera)... 48

6. Distribusi haplotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada

margaritifera)... 53 7. Analisis keseimbangan Hardy-Weinberg ... 54

8. Analisis jarak genetik (genetic distance) pada lima populasi tiram

mutiara (Pinctada margaritifera)... 56 9. Parameter kualitas air di lima lokasi pengambilan sampel dan kondisi perairan untuk kelangsungan hidup tiram mutiara

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tiram mutiara Pinctada margaritifera atau the black-lipped merupakan

salah satu spesies penting yang digunakan dalam industri mutiara (Smith et al.

2003). Budidaya tiram mutiara di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun

1928 di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara dan menghasilkan mutiara south sea

pearl pertama di dunia. Sampai tahun 2002 perusahaan mutiara yang terdaftar

sebagai anggota ASBUMI (Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia) sekitar 37

perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia (Poernomo 2002). Nama-nama dan

alamat perusahaan disajikan pada Lampiran 1.

Meskipun penggunaan stok benih hatchery meningkat, namun banyak

perusahaan yang masih bergantung pada stok benih alam karena lebih efektif

(Benzie et al. 2003). Ketersediaan benih tiram mutiara alam terbatas, sementara

eksploitasi semakin meningkat, hal ini akan mengakibatkan kelestarian populasi

terancam, sehingga menuntut diperlukannya manajemen yang baik untuk

tercapainya kelestarian populasi.

Salah satu manajemen untuk kelestarian populasi tiram mutiara ini adalah

dengan budidaya (Haig dan Nordstrom 1991). Kegiatan budidaya sebagai salah

satu manajemen pelestarian populasi tidak terlepas dengan tersedianya stok induk

yang unggul dan mampu menurunkan keturunan yang unggul pula (Alfsen 1987).

Salah satu upaya menghasilkan stok induk unggul yaitu dengan seleksi dan

hibridisasi yang dilakukan atas dasar informasi keragaman genetik.

Menurut Masyud (1992), kemampuan organisme beradaptasi terhadap

perubahan lingkungan alam ditentukan oleh keragaman genetiknya, keragaman

genetik dipandang sebagai bahan dasar bagi evolusi yang menyebabkan populasi

dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Sumantadinata

(1982) menyatakan bahwa evaluasi keragaman genetik penting dilakukan sebagai

dasar pengetahuan untuk pengembangan kegiatan budidaya dan manajemen

sumberdaya perikanan.

Beberapa penelitian terkait dengan genetik tiram mutiara populasi Indonesia

(17)

populasi Sumbawa dan Lombok (Widowati et al. 2007). Penelitian keragaman

genetik juga telah banyak dilakukan pada beberapa populasi dari genus Pinctada

diantaranya yaitu populasi P. albina, P. maculata, P. radiata (Haond et al. 2002),

P. martensii (Hosoi et al. 2004), P. imbricata (Yu et al. 2006).

Keragaman genetik berdasarkan distribusi geografis beberapa spesies tiram

mutiara populasi alam telah banyak dilaporkan di beberapa negara, misalnya

populasi alam P. margaritifera yang terpisah ratusan kilometer di Polynesia

Perancis menunjukkan perbedaan pada keragaman alelnya (Blanc dan Durand

1989). Hasil yang sama juga dilaporkan pada spesies P. margaritifera populasi

Jepang (Durand et al. 1993) dan Australia (Benzie dan Ballment 1994). Penelitian

yang dilakukan Evans et al. (2006) dan Smith et al. (2003) yang menggunakan

penanda microsatellite untuk P. maxima populasi Australia dan Indonesia, serta

penelitian genetik P. imbricata oleh Masaoka dan Kobayashi (2005).

Beberapa metode dapat diterapkan untuk memetakan struktur genetik, antara

lain metode meristik dan morfometrik, analisis polimorfisme protein dan

polimorfisme DNA. Secara umum metode polimorfisme DNA dianggap memiliki

tingkat akurasi yang tinggi dibandingkan dengan metode lain karena tidak

terpengaruh oleh perubahan lingkungan dan strukturnya dibedakan oleh urutan

basa yang khas dalam DNA. Analisis polimorfisme DNA dapat dilakukan dengan

berbagai macam teknik yaitu DNA mitokondria RFLP, DNA RAPD, DNA

microsatellite dan lain-lain.

1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah

Tiram mutiara (P. margaritifera) bersifat sedenter, namun populasinya

memiliki distribusi yang luas dengan kelimpahan yang tidak merata, diperkirakan

terdapat keragaman genetik populasi pada tiap unit populasinya. Oleh karena itu,

pengetahuan tentang keragaman genetik tiram mutiara ini perlu dipahami untuk

membantu dalam penentuan manajemen konservasi dan budidaya populasi ini.

Peranan keragaman genetik dalam budidaya merupakan salah satu indikator

dalam penentuan potensi genetik untuk seleksi dan hibridisasi dalam menentukan

populasi stok unggul. Populasi stok unggul ini diperlukan dalam manajemen stok

induk yang diharapkan dapat menghasilkan benih unggul untuk kelangsungan

(18)

informasi mengenai potensi genetik tiram mutiara lokal yang ada. Informasi

keragaman genetik dapat diperoleh melalui pemetaan DNA dan menganalisis

keragaman genetiknya.

Salah satu metode pengukuran keragaman genetik adalah analisis

mitokondria DNA (mtDNA) dengan teknik PCR-RFLP. Keunggulan metode ini,

antara lain pewarisan mtDNA berlangsung dari induk betina (maternal

inheritance) kepada keturunannya melalui gamet betina, dengan demikian pada

setiap generasi yang berasal dari induk betina yang sama akan memiliki pola

genetik yang sama, mtDNA mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan

laju evolusinya sekitar 5−10 kali lipat dari DNA inti, bersifat klonal yaitu tidak

mengalami segregasi dan rekombinasi, mempunyai copy number yang tinggi

(Anderson et al. 1981).

Penelitian tentang polimorfisme mtDNA tiram mutiara menjadi tahap awal

dalam program pemuliaan yang sasarannya adalah untuk menentukan potensi

genetik tiram mutiara yang unggul terkait dengan pola adaptasi atau distribusi

penyebarannya. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam

pengelolaan sumber genetik tiram yang berkelanjutan, baik untuk pengembangan

produksi maupun konservasi.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan keragaman genetik intrapopulasi

dan perbedaan genetik interpopulasi dengan teknik mtDNA PCR–RFLP tiram

mutiara Indonesia yang berasal dari Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung,

dan Sulawesi Selatan serta memetakan hubungan filogenetik dari lima populasi

tiram mutiara tersebut.

Informasi mengenai keragaman genetik intrapopulasi dan perbedaan genetik

interpopulasi serta jarak genetik (genetic distance) tiram mutiara tersebut

diharapkan dapat dijadikan acuan dalam program pemuliaan yang sasarannya

adalah menghasilkan penyediaan induk tiram mutiara unggul yang

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera)

2.1.1 Aspek Biologi Reproduksi

Tiram mutiara merupakan hewan bertubuh lunak atau moluska yang hidup

di laut, tubuhnya dilindungi oleh sepasang cangkang yang tipis dan keras,

termasuk dalam kelas Bivalva dan famili Pteriidae. Menurut Temkin (2006), nama

filum Moluska berasal dari bahasa latin molluscus yang berarti lunak merupakan

ilustrasi sinonim dari mollusc menjadi mollusca.

Pinctada margaritifera disebut juga “Black-lipped Pearl Oyster,”

merupakan salah satu spesies dari genus Pinctada yang dikenal dapat

menghasilkan mutiara berukuran besar, warnanya indah dan berkualitas tinggi.

Tiram mutiara (P. margaritifera) terlihat pada Gambar 1 dan beberapa jenis tiram

mutiara lainnya disajikan pada Lampiran 2. Klasifikasi tiram mutiara menurut

Temkin (2006) adalah sebagai berikut:

Filum : Mollusca

Kelas : Pelecypoda

Sub Kelas : Lamellibranchiata

Ordo : Anycomyaria

Famili : Pteriidae

Genus : Pinctada

Spesies : Pinctada margaritifera

(20)

Moluska diketahui menunjukkan variasi dalam kebiasaan siklus

reproduksinya, hal ini tergantung adanya sinyal dari lingkungannya.

Gametogenesis yang singkat dimulai sesudah pertumbuhan dan pematangan

gonad. Pematangan gamet dipengaruhi beberapa faktor eksogen seperti suhu,

periode bulan, kedalaman, faktor mekanis, kelimpahan dan ketersediaan pakan,

serta intensitas cahaya dan adanya faktor endogen yaitu genetik dan hormon

(Mackie 1984).

Menurut Dharmaraj et al. (1987) proses reproduksi diawali dengan fertilisasi

eksternal yang terjadi dalam air, selanjutnya telur dibuahi oleh sperma. Selama

proses pemijahan biasanya induk jantan memijah terlebih dahulu, kemudian

sekitar 45 menit kemudian diikuti induk betina mengeluarkan sel-sel telur. Hasil

pengamatan Saoruddin (2004) yang dilakukan di laboratorium menunjukkan

bahwa induk betina akan mengeluarkan telurnya 30–35 menit kemudian setelah

induk jantan memijah. Proses pembuahan segera terjadi setelah induk melakukan

pemijahan.

Menurut Haws dan Ellis (2000) tahapan perubahan siklus hidup pada

Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut: pada awal perubahan terjadi

penonjolan polar, lalu membentuk polar lube II yang merupakan awal proses

pembelahan sel. Proses pembelahan sel terjadi 40 menit setelah pembuahan. Lima

menit kemudian sel mulai membelah menjadi dua sel, 13 menit berikutnya sel

membelah menjadi empat sel. Pembelahan berikutnya menjadi 8, 16, 32 sel, dan

selanjutnya menjadi multisel atau fase morula setelah 2,5 jam. Fase blastula

dicapai setelah larva berumur 3,5 jam dengan gerakannya aktif berputar-putar.

Pada fase gastrula yang berumur tujuh jam bersifat fotonegatif dan bergerak

dengan silia.

Tahap berikutnya adalah fase trocofor yang dicapai beberapa menit setelah

silia menghilang. Terdapat flagela tunggal pada bagian anterior yang berfungsi

sebagai alat gerak. Beberapa jam kemudian trocofor berkembang menjadi veliger

(larva bentuk D). Fase ini dicapai setelah larva berumur 18–20 jam dan berukuran

70x80 µm, tumbuh organ mulut dan pencernaan, bersifat fotopositif sehingga

(21)

Gambar 2. Siklus hidup tiram mutiara (Haws dan Ellis 2000)

Fase umbo dicapai setelah larva berumur 12–14 hari dengan ukuran 130x

135µm yang ditandai dengan adanya tonjolan (umbo) pada bagian dorsal. Fase

bintik mata (eye spot) terjadi pada hari ke-16–17 dengan ukuran 200x190 µm.

Posisi eye spot berada di sebelah bawah primordia kaki. Fase pediveliger (umbo

akhir) yang berumur 18–20 hari dengan ukuran 210x200 µm. Larva ini mulai

mencari tempat untuk menempel atau menetap. Fase plantigrade merupakan fase

transisi atau fase akhir kehidupan planktonis larva, terjadi pada hari ke 20–22.

Ukuran larva plantigrade sekitar 130x210 µm yang ditandai dengan tumbuhnya

cangkang baru di sepanjang periphery dan memproduksi benang-benang bisus

untuk menempelkan diri pada substrat, selanjutnya akan berubah menjadi bentuk

spat atau bentuk tiram mutiara dewasa, hanya garis-garis pertumbuhannya masih

terlihat jelas atau transparan.

2.1.2 Distribusi Geografis

Menurut Martin (2004), penyebaran tiram mutiara terbatas pada ekosistem

terumbu karang. Hampir seluruh perairan laut di Indo-Pasifik bahkan hingga ke

(22)

mutiara. Populasi P. margaritifera di Indonesia banyak tersebar di wilayah

Indonesia Barat dan Tengah, seperti Laut Jawa, Sumbawa dan Kalimantan dan di

wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi, gugusan Laut Arafura dan Irian Jaya

(Gambar 3).

Gambar 3. Peta distribusi penyebaran tiram mutiara (Martin 2004)

2.2 Polimorfisme Genetik Tiram Mutiara

Polimorfisme tiram mutiara telah banyak dipelajari dan diteliti untuk

kepentingan konservasi dan pemuliabiakannya. Beberapa penelitian yang terkait

antara lain Haond et al. (2002) menganalisis heterosigositas P. margaritifera

populasi Polynesia Perancis dengan metode Direct Amplification of Length

Polymorphism (DALP) dan Exon Primed Intron Crossing (EPIC). Hasil analisis

menunjukkan nilai heterosigositas berkisar 0,44–0,69 (metode DALP) dan 0,29–

0,31 (metode EPIC). Metode DALP dan EPIC juga digunakan Haond et al. (2003)

untuk mengevaluasi keragaman genetik pada spat tiram mutiara P. margaritifera

cumingi pada populasi alam dan budidaya di Polynesia Perancis. Hasilnya

menunjukkan bahwa heterosigositas populasi berkisar antara 0,275–0,366 pada

sampel budidaya dan 0,294–0,366 pada sampel alam.

Karakteristik loci P. maxima dari Australia bagian utara menggunakan

microsatellite menunjukkan delapan loci polimorfik, jumlah alel per lokus 14–68

(23)

(2006) menganalisis karakteristik loci P. maxima dari Australia dan Indonesia

menggunakan microsatellite menunjukkan 6–17 alel dengan nilai

heterosigositasnya 0,172–0,813.

Benzie et al. (2003) menganalisis keragaman haplotipe P. maxima dari

Australia dan Indonesia yaitu populasi Madura dan Sumbawa menggunakan

metode mtDNA menghasilkan delapan haplotipe (62% dari seluruh haplotipe)

ditemukan di Australia dan tiga haplotipe (38%) ditemukan di Indonesia.

Pengamatan keragaman genetik pada P. maxima di kawasan Indonesia-Australia

Archipelago (IAA) dengan menggunakan metode microsatellite menghasilkan

nilai Fst sebesar 0,027 yang mengindikasikan bahwa sejarah biogeografi atau

faktor oseanografi terkait pada pembentukan struktur populasi genetik di kawasan

tersebut (Lind et al. 2007).

2.2.1 Keragaman Genetik mtDNA

Mitokondria adalah organel sel eukariot yang berfungsi sebagai organ

respirasi pembangkit energi dengan menghasilkan adenosin triphosphat (ATP).

Mitokondria ditemukan dalam jumlah banyak pada sel yang aktivitas

metabolismenya tinggi yaitu sel-sel kontraktil seperti sperma pada bagian

ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah seperti epitelium, akar

rambut, dan epidermis kulit. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yang

disebut DNA mitokondria (mtDNA), terletak pada matriks semi cair di bagian

paling dalam mitokondria. Satu mitokondria dapat mengandung puluhan mtDNA

(Toha 2001).

mtDNA yang berukuran relatif kecil dan terdapat dalam jumlah berlimpah

serta bersifat klonal dan maternal inheretance memungkinkan analisis mtDNA ini

potensial untuk mengetahui hubungan maternal antar individu, mempelajari

antropologi, serta biologi evolusi berbagai makhluk hidup. mtDNA sangat

potensial digunakan sebagai sistem untuk pengamatan hubungan genetik antar

spesies maupun di dalam spesies. Peranan mtDNA dalam studi keragaman genetik

dan biologi populasi pada hewan cukup besar, karena mtDNA memiliki derajat

polimorfisme yang tinggi (Toha 2001).

Teknik-teknik eksplorasi dalam biologi molekuler dapat dimanfaatkan untuk

(24)

yaitu dengan menggunakan teknik RFLP (Restriction Fragment Length

Polymorphism) dengan melihat variasi jumlah dan ukuran fragmen DNA yang

dihasilkan dari hasil digesti enzim restriksi pada genom mitokondria suatu

organisme. Selanjutnya tiap fragmen restriksi dapat ditelaah secara lebih

terperinci dengan mengetahui urutan basa-basa nukleotida penyusunnya dengan

melalui teknik sekuensing.

Umumnya genom mitokondria berbentuk sirkular dan berutas ganda yang

terdiri dari utas berat (heavy strand) dan utas ringan (light strand) (Gambar 4).

Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria ini dapat dibagi menjadi dua

bagian yaitu daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi

(noncoding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen, yaitu 13 gen penyandi

protein, dua gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen-gen tersebut

tersebar pada kedua utas mtDNA. Utas ringan dari mtDNA hewan umumnya

terdiri dari satu gen penyandi protein yaitu NADH Dehydrogenase 6 (ND 6) dan

delapan gen penyandi tRNA yaitu Glutamid acid (tRNA Glu), Proline (tRNA Pro),

Serine (tRNA Ser), Tyrosine (tRNA Tyr), Cysteine (tRNA Cys), Asparagine (tRNA Asn

), Alanine (tRNA Ala) dan Glutamine (tRNA Gln), sedangkan sisanya terdapat

pada utas berat, yaitu dua gen penyandi Dehydrogenase (ND): ND1, ND2, ND3,

ND4, ND5, ND4L; Cytochrome c Oxidase (CO): COI, COII, COIII; Cytochrome

b, ATPase 6 dan Leucine (tRNA Leu), Isoleucine (tRNA Ile), Methionine (tRNA Met

), Tryptophen (tRNA Trp), Aspartic acid (tRNA Asp), Lysine (tRNA Ser), Threonine

(tRNA Thr). Daerah bukan penyandi hanya terdiri dari daerah kontrol (control

region) yang memegang peranan penting dalam proses transkripsi dan replikasi

genom mitokondria (Anderson et al. 1981).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa bagian-bagian dari genom

mitokondria memiliki laju evolusi yang berbeda-beda. Beberapa bagian

mengalami perubahan yang sangat lambat (conserved), sedangkan bagian yang

lainnya mengalami perubahan yang sangat cepat, sehingga menjadi bagian yang

paling bervariasi (hypervariable) (Roderick 1996). Dikatakan pula bahwa

umumnya gen-gen yang terkonservasi dengan baik (berevolusi lambat) dapat

dijadikan dasar penelusuran asal muasal atau filogeni, sedangkan gen-gen yang

(25)

identifikasi galur-galur baru. Oleh sebab itu, maka analisis keragaman genetik

dapat dilakukan pada sebagian gen dari genom mitokondria hewan.

Gambar 4. Struktur DNA mitokondria (Lemire 2005) (ket: : penyandi protein, : penyandi rRNA, : penyandi tRNA)

Analisis keragaman genetik dengan mtDNA pada bivalva telah banyak

dilakukan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2004) yang

menggunakan mtDNA dalam analisis heterosigositas pada Mytilidae di Selandia

Baru. Milbury et al. (2004) juga menggunakan metode ini untuk mengamati

perbaikan genetik Crassostrea virginica. Menurut Pie et al. (2006) menyatakan

metode ini juga efektif dalam membedakan spesies bivalva (Crassostrea

brasiliana, C. rhizophorae, dan C. gigas) yang dibudidayakan.

Beberapa penelitian pada genus Pinctada yang menggunakan metode

mtDNA telah banyak dilaporkan diantaranya yaitu Haond et al. (2003)

menggunakan dua gen mitokondria yaitu COI dan 12S rRNA dalam penelitiannya

yang mengamati tiram mutiara P. margaritifera populasi Pasifik Tengah.

Masaoka dan Kobayashi (2005) menggunakan mitokondria daerah 16S rRNA

pada spesies P. imbricata, P. martensii dan P. fucata populasi Jepang, Cina dan

(26)

COI untuk mengamati keragaman genetik populasi P. maxima Indonesia dan

Australia.

2.2.2 Metode Analisis PCR – RFLP

Prosedur awal dalam analisis mtDNA adalah memecah sel untuk

mengesktrak mtDNA. Tahap berikutnya adalah amplifikasi yaitu proses

perbanyakan (sintesis) sekuen mtDNA. Amplifikasi dapat dilakukan secara in

vitro dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) atau in vivo

melalui teknik kloning pada sel hidup. Jaringan contoh yang digunakan dapat

berupa hati, otot, darah, sel kultur atau jaringan lain, baik dalam kondisi segar,

telah difiksasi ataupun beku (Erlich 1989).

Pada prinsipnya teknik PCR adalah proses enzimatis untuk memperbanyak

DNA dengan memanfaatkan sifat replikasi DNA dan perubahan fisik DNA

terhadap suhu. Proses ini dibantu dengan enzim Taq-DNA polymerase pada tahap

ekstensi polinukleotida primer (Zyskind dan Bernstein 1993). Replikasi terjadi

jika terdapat untai tunggal DNA yang bertindak sebagai cetakan (template) dan

basa nukleotida (dNTP). Enzim DNA polimerase membantu dalam pembentukan

DNA untai lainnya. Primer adalah potongan pendek DNA terdiri dari 20–30

nukleotida yang melakukan hibridisasi pita secara berpasangan dengan sekuen

tertentu yang mengapit (flanking) daerah DNA target amplifikasi pada tiap pita

DNA (Erlich 1989).

Pada kondisi normal, DNA berada dalam keadaan heliks ganda. Heliks ini

terdiri atas dua utas tunggal DNA yang saling berpasangan dan terikat

non-kovalen oleh ikatan hidrogen. Pada awal proses PCR, utas ganda ini didenaturasi

pada suhu tinggi hingga menjadi utas tunggal. Selanjutnya, suhu diturunkan untuk

memungkinkan primer utas tunggal menempel pada daerah target. DNA

polimerase kemudian digunakan untuk pemanjangan sekuen dengan bantuan

suplai empat basa nukleotida (dNTP; Adenin, Guanin, Timin, dan Sitosin) dan

buffer. Dengan cara ini dapat menghasilkan duplikat daerah target dan siklus ini

biasanya berlangsung 20–40 kali (Erlich 1989).

Kelebihan teknik PCR adalah proses isolasi cepat, jumlah sekuen DNA yang

dihasilkan dapat mencapai 300.000 kopi, sangat sensitif dalam mendeteksi sekuen

(27)

itu, suhu tinggi dalam sintesa DNA (75 °C) dapat meningkatkan ketelitian

sehingga meminimumkan ekstensi primer yang tidak sesuai dengan template

(Zyskind dan Bernstein 1993). Dalam prosedur PCR ini, struktur sekunder dari

template DNA yang dapat menghalangi aktivitas enzim polimerase juga akan

direduksi melalui denaturasi sekuen pada suhu tinggi, namun demikian beberapa

faktor harus diperhatikan supaya pita-pita yang dihasilkan baik dan utuh, antara

lain konsentrasi DNA, ukuran dan komposisi basa primer dan suhu hibridisasi

(Erlich 1989).

Metode RFLP merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui

perbedaan profil ukuran fragmen DNA dari individu yang berbeda, dengan

menggunakan enzim restriksi untuk memotong sekuen mtDNA teramplifikasi.

Hansen et al. (1997) menyatakan bahwa teknik RFLP menggunakan suatu enzim

restriksi endonuklease yang dapat memotong fragmen besar DNA pada situs

restriksi tertentu menjadi fragmen yang lebih kecil. Visualisasi hasil pemotongan

dapat menunjukkan pola fragmen yang khas tergantung jenis DNA dan enzim

yang digunakan. Organisme yang berbeda memiliki perbedaan urutan DNA,

sehingga teknik RFLP dapat membedakan jenis organisme pada tingkat spesies

atau strain dan telah banyak digunakan diantaranya pada moluska. Kombinasi

antara teknik PCR dan penggunaan enzim retriksi atau teknik sekuensing

nukleotida dapat menggambarkan karakter atau profil DNA individual yang

berguna untuk menjelaskan hubungan filogenetik populasional dalam takson.

2.3 Parameter Kualitas Air yang Berhubungan dengan Kelangsungan Hidup Tiram Mutiara

Kegiatan manajemen broodstock membutuhkan populasi calon induk yang

memiliki (viabilitas dan fertilitas) dan kebugaran potensial (potentialfitness) yang

bagus. Fitness terkait dengan peluang kelangsungan hidup (survival rate) atau

fekunditas dan kebugaran potensial (potential fitness) terkait dengan tingkat

polimorfisme (keragaman genetik) dan pola adaptasi melalui seleksi alam

terhadap perubahan lingkungan. Pola adaptasi terkait dengan kemampuan individu

menyediakan ragam genetik dalam mekanisme evolusi sehingga mampu bertahan

hidup (survive) dan terlibat dalam PRE (Populasi Reproduktif Efektif) serta

(28)

Faktor yang mempengaruhi fitness dalam populasiantara lain: pola breeding

yang dipengaruhi oleh Ne (populasi efektif), predasi atau eksploitasi terkait

dengan manajemen sistem budidaya dan lingkungan (geografi), seperti barier

geografi dan kondisi perairan.

Suhu adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme

laut, karena mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan

organisme tersebut. Suhu rata-rata organisme tiram mutiara dapat hidup adalah

25–28 °C (Tarwiyah, 2000). Pada suhu antara 26–29°C, tiram mutiara (P.

margaritifera) sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan mampu tumbuh

dengan baik (Doroudi et al. 1999).

Salinitas air laut mempengaruhi penyebaran hewan bentos seperti bivalva,

karena organisme laut hanya dapat bertoleransi terhadap perubahan salinitas yang

kecil dan perlahan (Meade 1989). Menurut penelitian Doudori et al. (1999),

salinitas yang baik untuk pertumbuhan optimal tiram mutiara P. margaritifera

berkisar antara 27–32‰.

Oksigen terlarut umumnya menjadi faktor pembatas bagi kelangsungan

hidup organisme akuatik (Meade 1989). Hasil penelitian Dharmaraj et al. (1987)

tentang kebutuhan oksigen terlarut tiram mutiara P. fucata, menunjukkan bahwa

tiram berukuran 40–50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 µl/jam, ukuran 50–60

mm mengkonsumsi 1,650 µl/jam dan ukuran 60–70 mm mengkonsumsi 1,810

µl/jam.

Menurut Nayar dan Mahadevan (1987), pada prinsipnya habitat tiram

mutiara berada pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75; namun tiram

mutiara tidak bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9, pH air yang layak untuk

kehidupan tiram mutiara P. maxima berkisar antara 7,8–8,6; sedangkan pada pH

7,9–8,2 tiram mutiara dapat berkembang biak dan tumbuh dengan baik.

Faktor kecerahan suatu perairan berpengaruh terhadap kehidupan organisme

di dalamnya. Tinggi rendahnya tingkat kecerahan sangat dipengaruhi intensitas

cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman lapisan perairan. Tiram

mutiara hidup pada dasar perairan, sehingga kecerahan perairan yang dibutuhkan

tiram mutiara pada umumnya mencapai dasar perairan. Kedalaman perairan untuk

(29)

2.4 Pulau Panjang, Selat Alas

Perairan Pulau Panjang yang termasuk dalam perairan Selat Alas terletak di

antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB),

dengan luas perairan sekitar 20541.695 km2; lebar mulut selat bagian utara sekitar

20.372 km, sedangkan di bagian selatan sekitar 35.188 km (Wasilun dan Amin

1989). Kedalaman perairan Selat Alas berkisar antara 16–268 m (Anonim 1990)

dan rata-rata kedalaman < 100 m (Suharsono et al. 1995).

Suhu permukaan laut Selat Alas pada musim tenggara relatif lebih rendah

dari pada musim barat laut dan kedua musim peralihan di antaranya. Nilai

rata-rata suhu pada musim tenggara (Juni–Agustus) sekitar 26 °C, sedangkan pada

musim barat laut (Desember–Februari) dan musim peralihan dua (September–

November) nilai rata-rata suhu sekitar 28 °C dan pada musim peralihan satu

(Maret–Mei) nilai rata-rata suhunya sekitar 29 °C (Hartati et al. 2001).

Konsentrasi oksigen terlarut di perairan Selat Alas baik pada musim barat

laut, tenggara, dan kedua musim peralihan diantaranya cukup mendukung untuk

kehidupan biota perairan, yaitu berkisar antara 3,7–4,4 mg/L, sedangkan salinitas

permukaan laut Selat Alas berkisar antara 33–34‰ (Hartati et al. 2001).

Hasil pengamatan Tasywiruddin (1999), pengukuran karakteristik perairan

Selat Alas menunjukkan kelimpahan plankton relatif sama baik di perairan Selat

Alas bagian dalam maupun Selat Alas bagian luar. Kisaran rata-rata kelimpahan

plankton di perairan Selat Alas bagian dalam adalah 8.115–143.888 individu/m3,

sedangkan perairan Selat Alas bagian luar adalah 84.000–14.263 individu/m3.

Secara oseanografis kondisi perairan Selat Alas dipengaruhi oleh

perubahan-perubahan yang terjadi di perairan Laut Flores dan Samudera Hindia. Pada musim

barat (Desember–Februari), massa air perairan Selat Alas berasal dari Laut Jawa,

sedangkan pada musim timur (Mei/Juni–September) terjadi perubahan arah arus

dari utara ke selatan Laut Flores (Hartati et al. 2001).

Pada musim timur (Mei–September) terjadi proses air naik (up welling) di

sepanjang pantai selatan Jawa–Sumbawa (Wyrtki 1961). Di sekitar perairan

tersebut, suhu air permukaan biasanya turun sampai 25 °C, karena massa air yang

dingin dan kaya akan nutrien dari lapisan bawah terangkat ke atas, sehingga

(30)

menyatakan bahwa nilai kisaran rata-rata kekeruhan di perairan Selat Alas yaitu

8,18–11,73 NTU. Hasil pengamatan Mahrus (1996) pH pada perairan Selat Alas

berkisar antara 6,5–7,4.

2.5 Teluk Pegametan, Bali Utara

Teluk Pegametan merupakan bagian perairan Selat Bali, sehingga

menyebabkan Teluk Pegametan lebih cenderung dipengaruhi oleh massa air dari

Selat Bali yaitu dari Samudera Hindia. Perubahan yang dialami Teluk Pegametan

akan sama dengan perubahan yang dialami oleh Selat Bali, pada saat musim angin

timur terjadi proses umbalan air atau naiknya zat hara yang kaya akan nutrien

akibat desakan Arus Pantai Jawa (APJ) dan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS).

Menurut penelitian Hanafi et al. (2004) menyatakan pada Teluk Pegamtan

suhu permukaan laut berkisar 25,1–28 °C yang didominasi oleh suhu 26,1–28 °C.

Dikatakan pula bahwa suhu perairan Teluk Pegametan terukur dari 0–100 m di

bawah permukaan air laut, nilai berkisar antara 20–27,5 °C.

Berdasarkan pengamatan Hanafi et al. (2004), sebaran fitoplankton mulai

terlihat pada bulan Mei dibagian barat Teluk Pegametan, kemudian mulai

meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya berkisar antara 0,7–3 mg/m3 begitu

pula pada bulan-bulan selanjutnya. Dikatakan pula puncak performansi kuantitas

dan kualitas sebaran fitoplankton terjadi pada bulan Agustus dan September dan

pada bulan November dan Desember sudah tidak terlihat lagi, selanjutnya

dikatakan pula bahwa nilai salinitas di perairan Teluk Pegametan berkisar antara

31,5–33‰, nilai salinitas rendah terkonsentrasi pada kedalaman 10 m, salinitas

kurang dari 30‰ terdapat pada kedalaman 2–3 m dan pada kedalaman 70 m

salinitas di atas 30,5‰.

2.6 Pulau Handeuleum, Selat Sunda

Selat Sunda merupakan selat penghubung antara Laut Jawa dan Samudera

Hindia yang memiliki keunikan sifat oseanografis tersendiri karena ditempati oleh

dua massa air yaitu dari Laut jawa dan Samudera Hindia. Bagian utara selat lebih

sempit dan lebih dangkal dibandingkan bagian selatan, pada bagian tersempit

hanya sekitar 24 km lebarnya dengan kedalaman kurang dari 80 m. melalui

(31)

Samudera Hindia lemah. Karakteristik oseanografi selat ini di bawah pengaruh

Laut Jawa dan Samudera Hindia (Hendiarty 2003).

Pengamatan dengan sensor SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view

Sensor) oleh Hendiarty (2003), memperlihatkan bahwa perairan Selat Sunda pada

musim angin timur (Juni–September) terjadi fenomena pergerakan massa air Laut

Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Sunda yang dicirikan dengan

kandungan klorofil-a perairan sebesar 0,8 mg/m3, sementara pada musim angin

barat (November–Maret) perairan tersebut pada musim barat umumnya kurang

subur yang dicirikan dengan kandungan klorofil-a yang lebih rendah.

Suhu rata-rata bulanan permukaan laut Selat Sunda relatif stabil sepanjang

tahun berkisar antara 28–29 oC, dengan suhu maksimum ditemui pada bulan Mei

dan suhu minimum pada bulan Oktober (Wyrtki 1961). Kondisi temperatur

permukaan pada kedalaman satu meter berkisar antara 28,32–29,68 oC (Paryono

2004).

Salinitas permukaan di perairan Selat Sunda berkisar antara 32,5–33,6‰,

salinitas minimum ditemui pada bulan Januari dan salinitas maksimum pada bulan

Agustus (Wyrtki 1961). Menurut Paryono (2004) salinitas Selat Sunda pada

kedalaman 1 m, berkisar antara 33,28–33,49‰, sedangkan menurut

Romimohtarto (1983), salinitas permukaan di selat bagian utara biasanya lebih

rendah daripada di bagian selatan, salinitas Selat Sunda bervariasi dari 31,5–

33,5‰. Rendahnya salinitas permukaan di selat bagian utara disebabkan oleh

masuknya massa air dari laut Jawa ke Selat Sunda hampir sepanjang tahun.

Salinitas dekat dasar di selat bagian selatan juga lebih tinggi daripada di bagian

utara. Kecerahan 80 cm sementara pH terukur antara 6,5–8,5 (Anonim 2007).

2.7 Selat Ru, Belitung

Selat Ru merupakan salah satu selat yang berada di antara Pulau Ru dan

Pulau Nado, di bagian barat Pulau Belitung. Secara keseluruhan Selat Ru

termasuk dalam Selat Gaspar yang berada di antara Pulau Bangka dan Belitung.

Perairan di Selat Ru dipengaruhi oleh kondisi perairan di Laut Cina Selatan dan

Selat Gaspar.

Hasil pengamatan Wati (2004) menyatakan pada musim barat konsentrasi

(32)

mulai dari Riau (Pulau Singkep) sampai ke selatan Sumatera Pulau Bangka dan

Belitung. Dikatakan pula pada musim timur arus dari Laut Jawa memberikan

sumbangan terhadap kesuburan fitoplankton di Selat Karimata. Hasil penelitian

Sofian (2004) menunjukkan variasi suhu pada Selat Ru 26,3–28 °C, salinitas 30–

32,6; pH 7,6–8; Kecerahan pada kedalaman 5–10 m adalah 40–100%.

2.8 Teluk Awerange, Sulawesi Selatan

Teluk Awerange berada di wilayah Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten

Barru. Sebelah utara teluk berbatasan dengan Desa Batu Pute, terdapat pelabuhan

rakyat Awerange, pemukiman nelayan dan pantai pasir putih, sebelah timur

berbatasan dengan Desa Siddo, sebelah timur pesisir Teluk Awerange terdapat

pemukiman nelayan, tambak tradisional dan semi intensif serta hutan bakau,

sebelah selatan berbatasan dengan Desa Lawallu, sebelah barat teluk berbatasan

dengan Selat Makassar yang merupakan sumber pemasukan air laut (Rusman

2003).

Menurut Rusman (3003), secara umum perairan di Teluk Awerange pada

musim kemarau dan musim hujan tidak mengalami perbedaan yaitu berkisar

antara 25–26 °C. Pada perairan yang dangkal tidak terdapat lapisan termoklin

yang dapat menyebabkan perbedaan suhu yang ekstrim di setiap kedalaman

perairan. Selain itu Teluk Awerange merupakan perairan yang semi tertutup

sehingga suhu perairan teluk hampir merata. Kedalaman Teluk Awerange berkisar

antara 1–40 m, perbedaan ini disebabkan karena kontur dasar perairan yang tidak

merata. Kedalaman terbesar berada di sekitar mulut dan bagian tengah perairan

teluk.

Hasil penelitian Rusman (2003) pada perairan Teluk Awerange

menunjukkan rata-rata kecerahan perairan adalah 60–100%. Pada musim hujan

penurunan kecerahan sebesar 20% dari kecerahan perairan musim kemarau. Arus

permukaan yang terjadi di perairan Teluk Awerange umumnya disebabkan oleh

pasang surut dan angin yang bertiup di permukaan. Kondisi geografis Teluk

Awerange dengan mulut teluk yang sempit dan terumbu karang merupakan

penghalang arus yang berasal dari perairan Selat Makassar. Rusman (2003)

melaporkan bahwa sepanjang tahun pergerakan massa air di Selat Makassar

(33)

Maret massa air Laut Jawa bergerak ke arah timur sedangkan pada bulan Mei–

September massa air bergerak ke arah barat.

Penelitian Rusman (2003) menunjukkan beberapa parameter kimia di

perairan Teluk Awerange yaitu pH berkisar antara 7,5–8,4; oksigen terlarut

berkisar antara 5–8,7 mg/l, salinitas 34–35‰. Hasil pengamatannya, bentos di

perairan Teluk Awerange pada 20 titik pengambilan contoh diperoleh sebanyak

105 spesies, dengan kisaran kepadatan antara 33–497667 ind/m3. Hal ini

memberikan gambaran bahwa perairan Teluk Awerange sangat kaya dengan

(34)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Pengambilan Contoh

Penelitian dilakukan dengan metode survei (pengambilan contoh) dan

pengamatan di laboratorium. Pengambilan contoh dilakukan dari bulan Mei–

Desember 2007 dan analisis laboratorium dilaksanakan dari bulan Februari–Juni

2008. Tiram mutiara contoh dikoleksi dari lima lokasi yang mewakili sebaran

tiram mutiara P. margaritifera di Indonesia, yaitu Sumbawa, Bali Utara, Selat

Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan. Peta pengambilan contoh dapat dilihat

pada Lampiran 3.

3.2 Metode

3.2.1 Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh tiram mutiara dilakukan dengan penyelaman ke dasar

perairan atau dari tempat budidaya tiram setempat. Contoh tiram dari Sumbawa

berasal dari perairan Pulau Panjang, Selat Alas, tiram mutiara Bali Utara berasal

dari Teluk Pegametan, Bali, tiram mutiara Selat Sunda berasal dari perairan Pulau

Handeuleum, Selat Sunda, tiram mutiara Belitung berasal dari perairan Selat Ru,

sedangkan tiram mutiara Sulawesi Selatan berasal dari Teluk Awerange, Barru.

Jumlah contoh tiram mutiara adalah 10 ekor untuk masing-masing lokasi dengan

ukuran sekitar 10–30 cm. Contoh tiram mutiara yang dikoleksi disimpan dalam

larutan alkohol 70−100% untuk keperluan analisis DNA di laboratorium. Analisis

DNA contoh tiram mutiara dilakukan di Laboratorium Rekayasa Genetik Loka

Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar, Sukamandi.

Data sekunder mengenai sifat fisik dan kimia perairan lokasi sampling yang

mempengaruhi kelangsungan hidup dan distribusi tiram mutiara, meliputi

kedalaman, suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan produksi primer, dikumpulkan

dari berbagai literatur.

3.2.2 Analisis DNA mitokondria

Ekstraksi DNA

Ekstrak DNA yaitu melakukan tahapan penghancuran sel, eliminasi protein

(35)

menghaluskan potongan daging sebanyak 20 mg/contoh dengan scapel kemudian

dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml yang telah diisi 250 µl larutan sel lisis yang

terdiri 10 µl Tris pH 8; 100 mM EDTA pH 8; 2% SDS, lalu ditambahkan 5 µl

protein kinase dan inkubasi pada suhu 55 oC selama 4–24 jam. Tahap berikutnya

adalah tahap eliminasi protein dan RNA yaitu dengan menambahkan 250 µl

amonium asetat ke dalam larutan kemudian dihomogenkan (aduk kencang) selama

lima menit hingga tercampur rata. Diaduk perlahan selama 15 menit pada suhu

ruang, selanjutnya dimasukkan dalam suhu 4 oC selama 10 menit. Tahap

selanjutnya adalah tahap pengendapan protein dengan sentrifugasi pada kecepatan

13.000 rpm selama 10 menit. Larutan supernatant (lapisan cair) dipindahkan ke

dalam tabung baru dan ditambahkan etanol 100% sebanyak dua kali volume

supernatant, lalu disentrifugasi kembali pada kecepatan 13.000 rpm selama 5

menit kemudian etanol dibuang, lalu ditambahkan alkohol 70% sebanyak 600 µl

dan disentrifugasi pada kecepatan 13.000 selama 3 menit. Lapisan etanol dibuang

dan dikeringanginkan selama 30 menit, ditambahkan 50 µl buffer T10E0.1 dan

inkubasi pada suhu 65 oC selama 1 jam (Nguyen et al. 2006).

Amplifikasi mtDNA dengan PCR

mtDNA diamplifikasikan menggunakan primer universal Cytochrome

Oxidase I (COI) forward: 5’-ATA ATG ATA GGA GGR TTT GG-3’ dan

reverse: 5’-GCT CGT GTR CTA CRT CCA T-3’ (Williams dan Benzie 1997).

Amplifikasi dilakukan menggunakan metode polymerase Chain Reaction (PCR)

dengan komposisi premiks yaitu dH2O 13,6 µl, 10 x Buffer 5 µl; 25 mM MgCl2

1,5 µl; 2,5 mM dNTP 0,5 µl; 10 pM primer masing-masing 1,6 µl; 5 unit/µl

Taq-DNA polymerase 0,2 µl; genom DNA sebanyak 1 µl, sehingga volume akhir tiap

mikrotube adalah 25 µl. Tube yang berisi contoh dimasukkan ke dalam mesin

PCR yang telah diprogram menurut Benzie et al. (2003) yaitu proses denaturasi

pada suhu 94 °C selama 1 menit, annealing pada suhu 45 °C selama 1 menit, dan

extension pada suhu 72 °C selama 1 menit, sebanyak 30 siklus. Hasil PCR dapat

langsung dianalisis dengan elektroforesis atau disimpan di dalam refrigerator.

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses elektroforesis dengan agarose

(36)

hasil PCR, gel loading buffer dan penanda DNA.

Gel agarose dibuat dengan cara memanaskannya di atas hotplate dan diaduk

rata. Setelah gel larut dan berwarna bening, larutan tersebut dibiarkan sampai

hangat, kemudian teteskan etidium bromida sebanyak 0,1 ml; kemudian

dituangkan ke dalam cetakan yang telah terpasang sisir pembuat lubang dengan

ketebalan 3–5 mm, selanjutnya gel dibiarkan sampai membeku dan dimasukkan

ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer elektroforesis.

Contoh dan marker DNA masing-masing dicampur dengan gel loading

buffer lalu dimasukkan dalam lubang-lubang yang terdapat pada gel dengan

menggunakan mikropipet. Setelah running selama 5 jam atau migrasi sepanjang ¾

bagian dari panjang gel, kemudian keberadaan DNA dilihat dengan ultraviolet

illuminator.

Digesti mtDNA dengan enzim retriksi

Digesti mtDNA dilakukan menggunakan enzim restriksi. Tahapannya adalah

mencampur 15,5 µl dH2O; 2,0 µl DNA hasil amplifikasi PCR, buffer enzim 2,0 µl, enzim restriksi 0,5 µl sehingga total larutan 20 µl dalam tabung Eppendorf

steril dan dilakukan on ice karena enzim sangat sensitif terhadap suhu dan mudah

rusak kemudian campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama

1–4 jam, selanjutnya elektroforesis untuk mengetahui hasil digesti enzim dan

untuk pengamatan jumlah dan ukuran fragmen restriksi (bend) menggunakan

ultraviolet illuminator

3.3Analisis Keragaman Genetik mtDNA

Fragmen hasil restriksi mtDNA teramplifikasi dapat ditera berdasarkan

marker. Setiap pola fragmen terdiri dari satu atau lebih fragmen DNA hasil digesti

sebagai genotipe individu dari setiap enzim restriksi. Genotipe individual dari

suatu enzim dicirikan dengan kode huruf (letter code), dan kombinasi genotipe

dari enzim restriksi tersebut merupakan tipe haplotipe dari setiap individu tiram.

Keragaman genetik intrapopulasi diukur berdasarkan parameter ‘diversitas

haplotipe’ (h). Diversitas haplotipe (h) dihitung menurut persamaan Nei (1987):

Keterangan: n: ∑ contoh, Xi: frekuensi haplotipe sampai ke-i dari suatu populasi

(37)

Perbedaan genetik interpopulasi diukur berdasarkan parameter jarak genetik

(genetic distance) (Nei 1987) yang dianalisis dengan menggunakan program

TFPGA dan hubungan filogenetik interpopulasi digambarkan dalam bentuk

dendrogram berdasarkan analisis kluster terhadap nilai jarak genetik menurut

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil

Lima puluh contoh tiram mutiara P. margaritifera yang dianalisis berasal

dari lima lokasi yaitu di Sumbawa (SB), Bali Utara (BA), Selat Sunda (SS),

Belitung (BL), dan Sulawesi Selatan (SL).

4.1.1 Amplifikasi mtDNA pada Daerah Cytochrome Oxidase I (COI )

Amplifikasi daerah COI mtDNA pada tiram mutiara P. margaritifera

menggunakan primer universal COI menghasilkan fragmen DNA berukuran

sekitar 750 pb pada semua populasi contoh tiram mutiara yaitu populasi

Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan. Fragmen yang

teramplifikasi didigesti dengan enzim restriksi. Fragmen mtDNA teramplifikasi

dengan primer universal COI disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Fragmen mtDNA teramplifikasi dengan primer universal COI

Ket: M: marker, pb: pasangan basa, SB: Sumbawa, BA: Bali Utara, SS: Selat Sunda, BL: Belitung, SL: Sulawesi Selatan

4.1.2 Pola Restriksi Fragmen mtDNA Teramplifikasi

Pada penelitian ini telah dicoba 16 enzim restriksi (Lampiran 4), namun

hanya tiga enzim yang memberikan hasil digesti polimorfik yaitu FokI, HaeIII,

NlaIV, dua enzim menghasilkan digesti yang monomorfik yaitu DpnII dan

Eco0190I, dan 11 enzim lainnya tidak terjadi digesti. Keragaman jumlah situs dan

ukuran fragmen restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil digesti mtDNA dengan

lima enzim adalah 13 tipe restriksi (genotipe) yaitu FokI dengan empat tipe

restriksi (A, B, C, D), HaeIII dengan tiga tipe restriksi (A, B, C), NlaIV dengan

(39)

masing-masing satu tipe restriksi (A) yang monomorfik, serta 34 fragmen restriksi

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipe fragmen restriksi mtDNA daerah COI dengan lima enzim restriksi (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII dan Eco0190I)

Enzim

Panjang

fragmen FokI HaeIII NlaIV DpnII Eco0190I

(pb) A B C D A B C A B C D A A

600 ▬▬ ▬▬ ▬▬

500 ▬▬ ▬▬ ▬▬

450 ▬▬

400 ▬▬ ▬▬

300 ▄▄▄ ▬▬ ▄▄▄ ▬▬ ▄▄▄ ▄▄▄

250 ▬▬ ▬▬ ▬▬

200 ▬▬

150 ▬▬ ▬▬ ▬▬ ▬▬ ▬▬ ▬▬

100 ▬▬ ▬▬

50 ▬▬ ▬▬ ▬▬

Jumlah 2 3 2 2 4 2 2 3 3 2 3 3 3

Keterangan: ▄▄▄ : pita ganda ▬▬ : pita tunggal

a. Digesti dengan enzim restriksi FokI

Digesti fragmen mtDNA teramplifikasi dengan enzim restriksi FokI

menghasilkan empat tipe yaitu A (600, 150 pb), B (300, 300, 150 pb), C (500, 250

pb), dan D (450, 300 pb). Digesti mtDNA dengan enzim FokI disajikan pada

Gambar 6.

Gambar 6. Digesti mtDNA dengan FokI(empat tipe restriksi: A, B, C, D)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SS: Selat Sunda

b. Digesti dengan enzim restriksi HaeIII

Digesti fragmen DNA teramplifikasi dengan enzim restriksi HaeIII

(40)

B (600, 150 pb), C (500, 250 pb). Digesti mtDNA dengan enzim HaeIII dapat

dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Digesti mtDNA dengan HaeIII (tiga tipe restriksi A, B, C)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SL: Sulawesi Selatan, SS: Selat Sunda

c. Digesti dengan enzim restriksi NlaIV

Digesti mtDNA teramplifikasi dengan enzim restriksi NlaIV memberikan

empat tipe restriksi yaitu A (400, 250, 100 pb), B (500, 200, 50 pb), C (600, 150

pb), dan D (400, 300, 50 pb) (Gambar 8).

Gambar 8. Digesti mtDNA dengan NlaIV (empat tipe restriksi: A, B, C, D)

(41)

d. Digesti dengan enzim restriksi DpnII

Digesti DNA teramplifikasi dengan enzim restriksi DpnII menghasilkan tipe

restriksi yang monomorfik yaitu tipe A (300, 300, 150 pb) (Gambar 9).

Gambar 9. Digesti dengan DpnII (satu tipe restriksi: A)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SB: Sumbawa, BA: Bali Utara, SS: Selat Sunda, BL: Belitung, SL: Sulawesi Selatan

e. Digesti dengan enzim restriksi Eco0190I

Digesti dengan enzim restriksi Eco0190I menghasilkan tipe restriksi

monomorfik yaitu tipe A (300, 300, 150 pb) (Gambar 10).

4.1.3 Identifikasi Fragmen Restriksi (RFLP)

Rekapitulasi identifikasi genotipe (tipe restriksi) mtDNA teramplifikasi hasil

digesti dengan lima enzim (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII, Eco0190I) disajikan pada

Tabel 2.

Gambar 10. Digesti dengan Eco0190I (satu tipe restriksi: A)

(42)

Tabel 2. Distribusi genotipe (tipe restriksi) pada lima populasi tiram mutiara

Enzim Tipe

restriksi Sumbawa Bali Utara Selat Sunda Belitung

Sulawesi

Enzim FokI menghasilkan tipe restriksi A monomorfik pada populasi

Belitung dan tipe B monomorfik pada populasi Sumbawa, sedangkan pada

populasi Bali Utara dan Sulawesi Selatan tipe B lebih dominan dan empat tipe

restriksi (A, B, C, D) pada populasi Selat Sunda.

Enzim HaeIII menghasilkan dua tipe restriksi pada semua populasi, namun

berbeda situs restriksi. Tipe A dominan ditemukan pada semua populasi, kecuali

pada populasi Selat Sunda dan Sulawesi Selatan, berturut-turut tipe C dan B lebih

dominan dari pada tipe A. Selain di Sulawesi Selatan tipe B ditemukan pula di

Belitung, sedangkan tipe C ditemukan juga pada populasi Sumbawa dan Bali

Utara.

Enzim NlaIV menghasilkan tipe restriksi C monomorfik pada populasi

Sulawesi Selatan dan dominan pada populasi Sumbawa dan Selat Sunda, dua tipe

restriksi ditemukan pada Selat Sunda dan Belitung dan tiga tipe restriksi pada

populasi Sumbawa dan Bali Utara. Tipe A terdapat pada seluruh populasi kecuali

Sulawesi Selatan, tipe B dominan pada populasi Belitung, dan tipe D hanya pada

populasi Bali Utara.

Enzim DpnII dan Eco0190I menghasilkan tipe restriksi A monomorfik pada

seluruh populasi.

4.1.4 Keragaman Genetik Intrapopulasi

Analisis composite haplotipe menghasilkan 24 composite haplotipe pada

seluruh populasi, tiap populasi terdiri dari tiga sampai delapan haplotipe yang

(43)

Lampiran 5) atau rata-rata 0,225±0,093. Distribusi composite haplotipe pada

kelima populasi tiram mutiara disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 6.

Tabel 3. Distribusi frekuensi dan composite haplotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)

No. Composite

Keragaman haplotipe 0,206 0,307 0,328 0,177 0,105

Composite haplotipe BBCAA terdapat dalam frekuensi tertinggi pada

populasi Sulawesi Selatan, dan tidak ditemukan pada populasi lainnya, demikian

pula AABAA pada Belitung dan CCCAA pada Selat Sunda, sedangkan BACAA

pada populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan. Composite haplotipe AAAAA

terdistribusi pada tiga populasi dari lima populasi yang dianalisis yaitu Bali Utara,

Selat Sunda, dan Belitung.

Berdasarkan analisis keseimbangan distribusi genotipik populasi menurut

Hardy-Weinberg menggunakan metode tests for Hardy-Weinberg equilibrium

dalam program TFPGA menghasilkan nilai p-value berkisar antara 0,000−0,0016

(Lampiran 7). Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai p<0,01

sehingga dapat dikatakan frekuensi haplotipe intrapopulasi terdistribusi sesuai

(44)

4.1.5 Perbedaan Genetik Interpopulasi

Jarak genetik antar populasi (D) dan dendrogram hubungan kekerabatan

antar populasi (filogeni) pada lima populasi tiram mutiara menurut metode

UPGMA menggunakan program TFPGA disajikan pada Tabel 4, Gambar 11, dan

Lampiran 8.

Tabel 4. Jarak genetik interpopulasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)

Populasi Sumbawa Bali Utara Selat Sunda Belitung Sulawesi Selatan

Hasil perhitungan jarak genetik menunjukkan jarak terkecil (terdekat) antara

populasi Sumbawa dan Bali Utara yaitu sebesar 0,017; sedangkan jarak genetik

terbesar (terjauh) adalah antara populasi Belitung dan Sulawesi Selatan yaitu

sebesar 0,142.

Berdasarkan dendrogram kekerabatan lima populasi tiram mutiara (Gambar

11) menunjukkan pemisahan antara dua kelompok populasi yang terdiri dari

populasi Sumbawa dan Bali Utara yaitu sebesar (D=0,017) di satu pihak dengan

populasi Selat Sunda dan Belitung (D=0,069) di pihak lain terhadap populasi

Sulawesi Selatan yang memiliki tingkat kedekatan genetik paling jauh (D=0,142).

(45)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Keragaman Haplotipe

Distribusi composite haplotipe BBCAA tertinggi ditemukan pada populasi

Sulawesi Selatan (60%), namun tidak ditemukan pada populasi lainnya, demikian

pula CCCAA (40%) pada populasi Selat Sunda dan AABAA (40%) pada populasi

Belitung. Populasi Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung dicirikan dengan

distribusi composite haplotipe AAAAA, dan populasi Sumbawa dan Sulawesi

Selatan dicirikan oleh distribusi composite haplotipe BACAA. Terkait dengan

kondisi lingkungan perairan yang berbeda pada lokasi pengambilan sampel

(Lampiran 9), diduga memberi pengaruh terhadap munculnya keragaman genetik

populasi tiram mutiara, seperti pada populasi Selat Sunda dan Bali Utara yang

memiliki ragam haplotipe yang tertinggi (0,328 dan 0,307). Hal ini terkait dengan

kemampuan individu menyediakan ragam genetik dalam mekanisme evolusi

sehingga bertahan hidup dan bereproduksi. Koehn et al. (1976) dan Koehn et al.

(1984) menyatakan bahwa perbedaan genetik dapat terjadi karena letak geografis,

perbedaan salinitas dan suhu. Perubahan keragaman alel yang mempengaruhi

keragaman genotipe juga disebabkan oleh migrasi, seleksi dan genetic drift

(Frankham et al. 2002).

Berdasarkan beberapa tipe haplotipe populasi Sumbawa (BAAAA, BCBAA,

BABAA) yang juga ditemukan pada populasi Bali Utara, menunjukkan kedekatan

secara geografis dan pertukaran populasi tiram mutiara terkait dengan budidaya

yang dilakukan oleh pembudidaya. Petani Sumbawa dan Bali Utara memperoleh

stok induk berasal dari wilayah timur, seperti Maluku dan Papua, sehingga

kemungkinan telah terjadi interbreeding antara populasi dari stok yang berbeda

dan introduksi keragaman jenis haplotipe baru. Menurut Hamzah et al. (2003),

induk tiram mutiara untuk kawasan tengah Indonesia tidak selamanya matang

gonad sepanjang tahun. Kawasan tengah Indonesia termasuk Sumbawa dan Bali

Utara, proses pematangan gonadnya mulai berlangsung dari awal bulan

September hingga Maret dan pada bulan April–Agustus telur kosong, sehingga

para pembudidaya mengalami kesulitan mencari induk lokal yang matang gonad

dan mereka umumnya mendatangkan dari daerah lain termasuk dari Maluku dan

(46)

Pada populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan yang secara geografis sangat

jauh, namun terdapat haplotipe yang sama BACAA pada populasi Sumbawa

(40%) yang juga ditemukan pada populasi Sulawesi Selatan (20%) diduga secara

genetik kedua populasi tersebut memiliki asal stok yang sama, terkait dengan

distribusinya yang secara geografis letak Selat Alas menghubungkan Laut Flores

di sebelah utara dan Samudera Hindia di sebelah Selatan, sehingga kontribusi

massa air selat tersebut dipengaruhi oleh Laut Flores dan Samudera Hindia.

Menurut Rusman (2003) menyatakan bahwa sepanjang tahun pergerakan massa

air di Selat Makassar mengarah ke selatan menuju Samudera Hindia melalui Selat

Lombok dan Laut Flores serta massa air oseanik masuk secara tetap ke Laut Jawa

melalui Selat Makassar yang berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Flores yang

berasal dari Samudera Hindia. Adanya massa air oseanik dari Selat Makassar ini

kemungkinan arusnya membawa telur tiram dan larva fase planktonik. Menurut

Stenzel (1971) bahwa pada kehidupan organisme tiram yang hidup di perairan

laut, ketika pada masa planktonik dapat secara mudah terdispersi oleh arus,

misalnya pada larva genus Crassostrea di daerah Gulf-Stream dapat terdispersi

sampai 1000–1300 km pada kecepatan arus 2 m/detik.

Sebaran composite haplotipe AAAAA yang merupakan haplotipe umum

(common haplotipe) pada populasi Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung diduga

dipengaruhi oleh faktor oseanografi, geografis dan hubungannya dengan perairan

di sekitarnya (Laut Flores, Selat Makassar dan Laut Cina Selatan), aliran arus

pada perairan Selat Bali, Selat Sunda, dan Belitung masuk dalam perairan Laut

Jawa. Rusman (2003) menyatakan bahwa di perairan Laut Jawa terdapat dua

massa air yaitu massa air tercampur dan massa air oseanik. Massa air tercampur

berfluktuasi secara musiman dan dikendalikan oleh massa air dari Laut Cina

Selatan (oseanik), curah hujan dan run off dari daratan Kalimantan, sedangkan

massa air oseanik masuk secara tetap ke Laut Jawa melalui Selat Makassar yang

berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Flores yang berasal dari Samudera Hindia.

Mengingat bahwa populasi tiram mutiara dalam siklus hidupnya mengalami stadia

planktonis selama 20–22 hari (Haws dan Ellis 2000), sehingga diduga telah terjadi

aliran gen pada ketiga populasi tersebut.

Gambar

Gambar 1.  Tiram mutiara (Pinctada margaritifera) ...............................................
Gambar 1. Tiram mutiara (Pinctada margaritifera) (Haws dan Ellis 2000)
Gambar 2. Siklus hidup tiram mutiara (Haws dan Ellis 2000)
Gambar 3. Peta distribusi penyebaran tiram mutiara (Martin 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait