• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerajaan Islam di Jawa

Dalam dokumen SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KELAS XII (Halaman 62-67)

BAB II PERAN WALISANGA DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

B. Kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan Demak diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah seorang adipati di Bintoro, Demak. Raden Fatah secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah mengalami masa kemunduran. Dan atas prakarsa para wali, Ia mendirikan kerajaan Islam yang beribu kota Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak. Kesuksesan Kerajaan Demak lepas dari kekuasan Majapahit yang sedang mengalami konflik internal kekuasaan. Perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg yang sangat memperlemah kekuatan Majapahit.

Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Trenggono. Kerajaan Demak berhasil memainkan peran strategis sebagai basis penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Daerah kekuasaan Kerajaan Demak meliputi pesisir pantai utara Jawa. Pengaruhnya bahkan melampaui beberapa wilayah di luar Pulau Jawa.

Dalam mengembangkan wilayah kekuasaanya, selain melakukan ekspansi wilayah ke barat, Kerajaan Demak juga bergerak ke arah timur dan luar Jawa. Tercatat pada tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak telah berhasil menguasai Tuban. Beberapa daerah menyusul dikuasainya pada tahun-tahun berikutnya: Wirosari/ Purwodadi (1528), Gagelang/ Madiun (1529), Medangkungan/Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan menaklukkan Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544, Sengguruh/ Malang (1545). Dalam upayanya menguasai Kerajaan Hindu Blambangan pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia di Panarukan.

Menurut catatan laporan perjalanan Portugis yang ditulis oleh Loaisa di tahun 1535, di antara kerajaan Islam di Nusantara, Kerajaan Demak dianggap paling kuat dan terus-menerus melancarkan serangan pada kekuasaan Portugis. Serangan Adipati Jepara Pati Unus yang waktu itu sudah menjadi bagian dari Kerajaan Demak ke markas Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 M menunjukkan Demak sebagai kekuatan yang disegani dan diperhitungkan.

sejarahbudayanusantara.weebly.com

Paska mangkatnya Sultan Trenggono, kepemimpinan Kerajaan Islam Demak dilanjutkan oleh Sunan Prawoto namun tidak berselang lama, tragedi berdarah terjadi. Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang sebagai bentuk balas dendam terhadap Sunan Prawoto atas meninggalnya Sultan Trenggono. Arya Penangsangpun bernasib seperti pendahulunya. Atas kehendak taqdir, dalam dalam pertarungan satu lawan satu perlawanan Arya Penangsang berhasil dipatahkan oleh Jaka Tingkir. Dengan bantuan Kyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi. Kemudian Jaka Tingkir naik tahta kerajaan dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang.

2. Kerajaan Pajang

Jaka Tingkir, adalah sultan dan raja pertama Kerajaan Pajang yang merupakan kelanjutan dari karajaan Demak. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah mangkat diganti oleh menantunya Arya Panggiri yang juga anak asuhan dari Prawoto. Namun putera Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa ingin menguasai dan tidak punya kemampuan untuk melawan Arya Panggiri, ia meminta bantuan Panembahan Senopati Penguasa Mataram untuk mengusir Arya Panggiri dan berhasil, dan akhirnya sejak itulah kerajaan Pajang dibawah kekuasaan Mataram. Perkembangannya selanjutnya, karena pada masa Sultan Agung bermaksud memberontak, maka penguasa Mataram menghancurkannya, dan berakhirlah kekuasaan Pajang pada tahun 1618 M.

3. Kerajaan Mataram Islam

Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613-1646M). Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak bersenjata antara kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M. ia digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M.

Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah pada akhirnya menjadi sebab runtuhnya kerajaan Islam Mataram. Namun demikian, Kerajaan Islam Mataram

banyak memberikan kontribusi terhadap proses kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih eksis sampai sekarang di Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono.

4. Kerajaan (Kesultanan) Cirebon

.

Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak kesultanan Cirebon adalah di pantai utara pulau Jawa. Secara geografis berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.

Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1 Sura 1358 tahun Jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa pertama adalah Ki Gedeng Alangalang dan wakilnya adalah Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh pangeran Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.

Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatu Rasulullah. Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang meyakini bahwa Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara resmi

menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568. Sayangnya hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.

Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan Ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya. Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya ditahan di Mataram. Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah kekosongan penguasa. Panembahan Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni:

a. Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)

b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar c. Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)

d. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713)

Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.

Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan. Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang

mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahuntahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon

5

.

Kerajaan (Kesultanan) Banten

Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kelapa dan Cimanuk. Putera dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808. Para pemimpin Kesultanan Banten adalah sebagai berikut :

a) Sunan Gunung Jati

b) Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570 c) Maulana Yusuf 1570 - 1580

d) Maulana Muhammad 1585 - 1590

e) Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 f) Sultan Abu al Ma’ali Ahmad 1640-1650

g) Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680 h) Sultan Abdul Kahar 1683-1687

i) Sultan Fadhl atau Sultan Yahya 1687-1690 j) Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)

k) Muhammad Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752) l) Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)

m) Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753) n) Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773) o) Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799) p) Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)

q) Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802) r) Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803) s) Aliyuddin II (1803-1808)

t) Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809) u) Muhammad Syafiuddin (1809-1813)

Dalam dokumen SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KELAS XII (Halaman 62-67)

Dokumen terkait