• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Analisa Kelembagaan dalam Konteks Persepsi dan Strategi Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat

Istilah “kelembagaan” atau “institution” dapat diartikan dari berbagai sudut pandang. Ostrom (2006) mengartikan kelembagaan sebagai sebuah konsep yang dipahami bersama oleh manusia di dalam berbagai situasi yang terjadi secara berulang yang dikendalikan oleh aturan-aturan (rules), norma-norma (norms) dan strategi-strategi (strategies). Yang dimaksud dengan aturan dalam hal ini adalah seperangkat pengertian yang dipahami secara bersama tentang apa yang harus, tidak boleh atau boleh dilakukan oleh seseorang atau kelompok dimana aturan tersebut dianggap dapat ditegakkan dan dipantau pelaksanaannya oleh agen atau organisasi tertentu. Agen atau organisasi tersebut juga memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada setiap pelanggar aturan tersebut. Norma diartikan sebagai aturan-aturan dimana penegakannya dilakukan oleh masing-masing individu atau kelompok secara internal dan eksternal melalui paksaan atau stimulus/insentif tertentu. Strategi diartikan sebagai rencana-rencana yang teratur yang diciptakan oleh individu di dalam struktur insentif berdasarkan aturan, norma dan perilaku yang diharapkan dari pihak atau individu lain di dalam situasi tertentu yang sesuai dengan kondisi fisiknya.

Ostrom (2006) mengajukan kerangka untuk analisa kelembagaan seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Berdasarkan kerangka analisa tersebut, kinerja suatu sistem (outcomes) akan ditentukan oleh pola interaksi di antara para aktor yang bekerja di dalam sistem tersebut. Pola interaksi menjelaskan bagaimana perilaku yang terbentuk di antara para aktor di dalam sistem tersebut. Oakerson (1992) membagi dua tipe pola interaksi tersebut, yaitu yang bersifat kooperatif dan non-kooperatif. Interaksi yang bersifat kooperatif di antara para aktor akan menghasilkan kinerja yang baik di dalam sistem tersebut, dan sebaliknya. Strategi kooperatif yang dipilih oleh para aktor tergantung kepada empat hal pokok, yaitu ketersediaan informasi, perilaku timbal balik dari aktor yang terlibat (reciprocity), efektifitas pemantauan atas perilaku yang terjadi dan efektifitas penegakan atas aturan-aturan yang telah disepakati. Kelemahan atas empat hal tersebut akan memicu perilaku non-kooperatif yang pada umumnya berujung kepada penurunan kinerja di dalam sistem.

Gambar 3 Kerangka analisa kelembagaan (Ostrom, 2006).

Pola interaksi di antara para aktor tersebut di atas merupakan hasil dari interaksi variabel-variable yang terdapat di dalam suatu unit konsepsi yang bersifat kompleks yang oleh Ostrom (2006) disebut sebagai arena aksi atau action arena. Terdapat dua set variabel di dalam arena aksi, yaitu situasi aksi (action situations) dan pelaku atau aktor (actors). Lebih lanjut Ostrom (2006) menjelaskan situasi aksi berdasarkan tujuh variabel yang bersifat umum, yaitu:

a. Pihak-pihak yang terlibat atau participants, yaitu pihak-pihak yang terlibat serta jumlahnya yang terkait atau berpartisipasi di dalam sistem tersebut (misalnya siapa saja serta berapa banyak jumlah pihak yang memanfaatkan suatu sumber daya tertentu).

b. Posisi atau peran-peran yang tersedia bagi para pihak tersebut, sebagai contoh apakah sebagai anggota atau ketua?

c. Tindakan-tindakan atau aksi-aksi yang diperbolehkan, misalnya teknologi pemanenan kayu seperti apa yang diizinkan? Apakah ada pembatasan tertentu dalam sistem pemanfaatan suatu sumber daya?

d. Potensi dampak yang dihasilkan, yaitu luas wilayah dampak yang mungkin dipengaruhi oleh para pihak yang terlibat dengan masing-masing peran di atas.

e. Tingkat pengendalian atas berbagai pilihan yang tersedia, misalnya apakah pihak pengguna atas suatu sumber daya tertentu dapat melakukan

tindakan-tindakan seperti dijelaskan di atas berdasarkan inisiatif sendiri atas harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pihak tertentu?

f. Informasi yang tersedia, yaitu informasi yang diketahui oleh pihak pengguna tentang kondisi sumber daya yang mereka manfaatkan, informasi tentang biaya dan manfaat yang ditanggung oleh pihak pengguna lain di dalam sistem pemanfaatan sumber daya yang sama, serta informasi tentang potensi dampak kolektif dari tindakan para pihak terhadap kondisi sumber daya.

g. Perhitungan-perhitungan biaya dan manfaat serta dampak yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan dari para pihak.

Aktor dalam kerangka analisa di atas dapat dipandang sebagai individu atau kelompok individu. Beberapa asumsi perlu digunakan terhadap perilaku aktor di dalam proses analisa tersebut. Asumsi-asumsi tersebut adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh para aktor; sumber daya, informasi dan keyakinan yang dimiliki para aktor; kemampuan para aktor dalam memanfaatkan informasi; serta mekanisme-mekanisme internal yang digunakan para aktor di dalam proses pengambilan suatu keputusan. Secara umum dapat diasumsikan bahwa pilihan strategi yang akan dilakukan oleh aktor akan tergantung kepada bagaimana persepsi dan pertimbangan aktor tersebut terhadap biaya, manfaat dan hasil akhir yang akan diperoleh di dalam sistem atau situasi tertentu. Beberapa asumsi yang bisa digunakan untuk menduga perilaku aktor di dalam kerangka analisa di atas menurut Ostrom (2006) antara lain adalah:

a. Anggapan bahwa pada dasarnya setiap individu adalah makhluk homo economicus, dalam artian bahwa setiap individu memiliki informasi yang lengkap serta tujuan atau keinginan yang jelas dan bahwa mereka akan memaksimumkan keuntungan dalam setiap situasi yang dihadapi.

b. Anggapan bahwa para aktor merupakan fallable learners, dalam artian bahwa mereka bisa saja, dan bahkan sering terjadi, memilih strategi atau keputusan yang salah karena keterbatasan informasi atau keterbatan kemampuan mereka dalam mengolah informasi. Namun demikian mereka akan belajar dari kegagalan-kegagalan tersebut karena insentif yang disediakan oleh sistem kelembagaan.

c. Anggapan bahwa para aktor akan mengembangkan perilaku reciprocity, dalam artian perilaku individu juga akan tergantung kepada bagaimana sikap dan tindakan aktor lain terhadap dirinya, seperti yang dijelaskan di dalam konsep menurut Oakerson (1992).

d. Anggapan bahwa para aktor akan bersikap oportunistik (opportunism assumption), dalam artian bahwa apabila memungkinkan, individu cenderung akan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, walaupun hal tersebut membawa akibat merugikan pihak lain. Sikap tersebut bisa terjadi secara kebetulan atau tidak direncanakan maupun direncanakan dengan segala strategi dan perhitungannya.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa arena aksi dipengahui oleh tiga set variabel, yaitu aturan-aturan yang digunakan (rules in use), atribut-atribut kemasyarakatan (attributes of community) dan kondisi fisik (physical/material conditions) dari sistem yang sedang dihadapi. Pengertian atas aturan menurut Ostrom (2006) telah dijelaskan di atas. Lebih lanjut disebutkan bahwa aturan-aturan tersebut diciptakan untuk mencapai keteraturan dan kepastian atau konsistensi di dalam interaksi manusia melalui pembentukan kelompok posisi yang diperlukan, diizinkan atau dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu di dalam arena aksi tersebut. Di dalam analisa kebijakan, pemahaman terhadap aturan-aturan yang digunakan oleh suatu individu atau kelompok di dalam arena aksi adalah sangat penting. Aturan-aturan tersebut bisa tertulis atau tidak tertulis, namun sepanjang aturan tersebut digunakan sebagai bahan referensi atas keputusan yang diambil oleh aktor, maka aturan tersebut dianggap sebagai aturan yang berlaku (rule in use). Ostrom (2006) menggolongkan aturan-aturan tersebut ke dalam tujuh kelompok, yaitu:

a. Aturan yang mengatur aktor untuk masuk ke atau keluar dari suatu sistem (entry and exit rules). Aturan-aturan ini akan mempengaruhi jumlah pelaku/participants, karakteristik dan sumber daya pelaku dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi pelaku untuk memasuki atau keluar dari sistem tersebut,

b. Aturan yang menciptakan posisi-posisi tertentu di dalam sistem (position rules) dimana posisi-posisi tersebut telah memiliki serangkaian kewenangan dan peran yang diatur dalam aturan kewenangan (authority rules),

c. Aturan yang mengatur ruang lingkup dampak (scope rules) yang membatasi dampak dari suatu tindakan atau sebaliknya membatasi tindakan-tindakan atas dampak tertentu,

d. Aturan yang mengatur otoritas atau pilihan (authority or choice rules) yang menentukan bentuk dari hierarki keputusan. Aturan otoritas juga memberikan penugasan atas apa-apa yang harus, boleh atau tidak boleh dilakukan oleh pelaku dengan peran-peran tertentu,

e. Aturan agregasi (aggregation rules), yaitu aturan yang mempengaruhi tingkat pengendalian terhadap tindakan-tindakan pelaku,

f. Aturan informasi (information rules) yang mempengaruhi tingkat akses pelaku terhadap informasi,

g. Aturan ganjaran atau hukuman (payoff rules), yaitu aturan yang mempengaruhi tingkat manfaat yang akan diterima atau biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku atas tindakan atau dampak yang dihasilkan. Aturan ini akan menciptakan insentif atau kebalikannya atas suatu tindakan tertentu.

Ostrom (2006) juga menambahkan bahwa perangkat aturan-aturan tersebut bersifat konfiguratif dan tidak bersifat additif, dalam artian pengaruh yang disebabkan oleh perubahan dalam salah satu aturan akan tergantung kepada aturan-aturan lainnya.

Selain dipengaruhi oleh perangkat-perangkat aturan yang berlaku, arena aksi dipengaruhi oleh atribut-atribut yang berkaitan dengan kondisi fisik dari sistem yang sedang dianalisa. Beberapa variabel yang penting untuk dipertimbangkan antara lain adalah tingkat excludability dan substractability. Variabel excludability atau tingkat kekhususan suatu sistem atau sumber daya menjelaskan seberapa jauh tingkat kesulitan dalam pengendalian atas sumber daya tersebut agar pemanfaatannya hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja. Sumber daya yang mempunyai tingkat exclusiveness nya rendah, dalam artian pemanfaatan sumber daya tersebut sulit dibatasi hanya untuk kalangan tertentu saja, dapat digolongkan sebagai jenis sumber daya milik publik (public goods).

Sumber daya yang dapat dimiliki oleh individu dan pemanfaatannya dapat dikontrol secara penuh oleh pemilik atau barang milik pribadi (private goods) merupakan kebalikan dari barang publik. Di antara kedua kelompok tersebut terdapat jenis sumber daya yang pemanfaatannya dapat dikontrol dalam tingkatan tertentu oleh kelompok individu. Jenis sumber daya tersebut tergolong kepada common pool resources, atau barang milik komunal. Variabel substractability atau tingkat pengurangan menjelaskan sejauh mana pemanfaatan suatu sumber daya oleh pihak tertentu akan mengurangi tingkat pemanfaatan oleh pihak lainnya.

Oakerson (1992) memberikan istilah jointness atau tingkat keterikatan atas variabel ini. Beberapa sumber daya alam memiliki tingkat pengurangan yang tinggi (seperti halnya sumber daya hutan), sehingga penataan kelembagaan akan menentukan tingkat kelestarian sumber daya tersebut.

Atribut lain yang mempengaruhi struktur arena aksi adalah atribut-atribut kemasyarakatan (attributes of community). Atribut-atribut ini antara lain meliputi norma atau perilaku yang diterima secara umum oleh suatu kelompok masyarakat, tingkat saling pengertian di antara anggota masyarakat, tingkat kesamaan pandangan atau tujuan dalam kehidupan bermasyarakat dan distribusi sumber daya di antara masyarakat yang terlibat di dalam arena aksi tersebut. Istilah budaya sering digunakan untuk mewakili kumpulan variabel tersebut (Ostrom, 2006).

Dalam konteks common pool resources, Oakerson (1992) menggunakan atribut decision making arrangements (penataan dalam pengambilan keputusan) yang menggabungkan atribut aturan dan kemasyarakatan menurut versi Ostrom.

Di dalam atribut tersebut Oakerson (1992) menggolongkannya kepada tiga variabel, yaitu aturan-aturan operasional (operational rules) yang mengatur tatacara penggunaan atau pemanfaatan atas sumberdaya oleh kelompok atau organisasi, proses penentuan keputusan bersama (condition of collective choices) yang berlaku di dalam kelompok serta aturan-aturan eksternal (external arrangements) atau aturan-aturan dari luar kelompok yang turut menentukan bagaimana suatu sumberdaya dimanfaatkan atau dikelola oleh kelompok tersebut.

Kerangka analisa kelembagaan menurut konsep Ostrom tersebut di atas telah banyak diaplikasikan di dalam berbagai bidang kajian (Polski dan Ostrom

1999). Namun demikian aplikasinya dalam konteks analisa persepsi dan keputusan petani masih relatif terbatas. Clement dan Amezaga (2008) menggunakan kerangka analisa kelembagaan untuk mengetahui efektifitas kebijakan pemerintah dalam program rehabilitasi hutan terhadap dinamika penggunaan lahan oleh petani di Vietnam. Kerangka analisa kelembagaan digunakan dengan menggabungkan perspektif sejarah dan persepsi petani dalam pengelolaan lahan dan hutan. Mereka menemukan bahwa kebijakan pemerintah turut campur dan mempengaruhi faktor-faktor lokal dan menciptakan pola pengambilan keputusan dan tindakan petani yang bersifat kompleks. Berdasarkan analisa tersebut, aktivitas rehabilitasi lahan yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat ternyata bukan disebabkan oleh respon petani terhadap insentif yang disediakan oleh pemerintah melalui kebijakan yang diterapkan, namun lebih karena akibat yang tidak terduga dan gangguan terhadap sistem kelembagaan lokal dengan adanya penerapan kebijakan pemerintah tersebut. Temuan tersebut mengingatkan pemerintah untuk tidak mudah teperdaya oleh anggapan dan keyakinan yang keliru di dalam menerapkan kebijakan karena akan menimbulkan konflik pada realitas kehidupan masyarakat. Temuan ini menegaskan perlunya kajian pada tingkat lokal dan mempertimbangkan kelembagaan lokal dalam merumuskan kebijakan tentang sistem penggunaan lahan yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.

Persepsi sangat menentukan cara pengambilan keputusan, seperti dikemukakan oleh Armstrong di dalam Clement (2007). Persepsi petani terhadap usaha tani, termasuk usaha tanaman kayu, akan menentukan bagaimana strategi petani di dalam menjalankan usaha tani mereka. Dalam konteks strategi tersebut, ada dua konsep penting tentang petani yang mendasari cara pandang para analis di dalam memahami perilaku petani, yaitu cara pandang sosok petani sebagai peasant dan petani sebagai farmer (Abar 2002).

Selanjutnya Abar (2002) menerangkan bahwa dalam konteks petani sebagai peasant, petani merupakan sosok yang hidup secara subsisten di dalam melakukan kegiatan usaha taninya, yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apabila petani memperoleh surplus dari aktivitas usaha taninya, petani tersebut akan tetap menyimpan surplus tersebut untuk jaminan keamanan

dalam mempertahankan hidupnya. Sebagai peasant petani menerapkan dua strategi dalam usaha taninya, yaitu memperbesar produksi dan mengurangi konsumsi (membatasi konsumsi pada bahan-bahan kebutuhan pokok saja), namun tetap mengalokasikan pengeluaran untuk mempertahankan hubungan sosial tradisionalnya. Cara pandang petani sebagai peasant dikemukakan oleh pakar sosiolog Eric R Wolf dan James C. Scott. Geertz di dalam Abar (2002) menyatakan sosok petani sebagai peasant menjadi ciri budaya petani Jawa dan menyebut konsep ekonomi petani tersebut sebagai konsep ekonomi moral.

Sebaliknya cara pandang petani sebagai farmer, memahami petani sebagai sosok yang akan melaksanakan kegiatan usaha taninya dalam rangka kegiatan bisnis untuk mencari keuntungan. Konsep ini cenderung menggunakan pendekatan pilihan rasional (rational choice) sehingga menganut konsep ekonomi rasional yang dikonstruksi oleh pakar sosiolog Samuel Popkin.

Belcher dan Kusters (2004) mengemukakan tiga model strategi petani di dalam menjalankan kegiatan usaha taninya berdasarkan kontribusi hasil usaha tani tersebut terhadap pendapatan total keluarga dan pendapatan tunai (cash income) keluarga. Ketiga model strategi tersebut dikembangkan dari studi yang komprehensif yang membandingkan berbagai kasus pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang dilakukan oleh petani di berbagai negara. Ketiga strategi tersebut adalah coping strategy, diversified strategy dan specialized strategy.

Coping strategy didefinisikan sebagai strategi petani dimana kontribusi usaha taninya terhadap pendapatan total keluarga relatif kecil (kurang dari separuh pendapatan total keluarga) dalam pola usaha yang bersifat subsisten. Diversified strategy didefinisikan sebagai strategi petani dimana kontribusi usaha taninya terhadap pendapatan total keluarga relatif kecil (kurang dari 50%), namun memberikan kontribusi yang cukup nyata terhadap pendapatan tunai keluarga.

Specialized strategy didefinisikan sebagai strategi petani dimana kontribusi usaha tani sudah melebihi 50% dari pendapatan tunai keluarga petani. Ketiga model strategi tersebut juga dapat dijadikan bahan acuan di dalam memahami strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat.

Dokumen terkait