• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

F. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Terhadap Kecerdasan Emosional Berwirausaha Ditinjau dari Kultur Keluarga.

Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalam bentuk sekolah. Pelaksanaan pembelajaran/diklat adalah proses kegiatan belajar peserta diklat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, untuk mencapai penguasaan kompetensi. Pelaksanaan pembelajaran/diklat yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional berwirausaha siswa. Hal ini disebabkan para siswa berinteraksi baik dengan teman maupun pekerja sehingga mereka berusaha untuk mengerti dan mengendalikan emosi.

Derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha siswa diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Kultur keluarga adalah kebiasaan-kebiasaan keluarga akan menjadi pola pikir tersendiri yang digunakan sebagai dasar seseorang bertindak dan mengambil keputusan. Peserta didik berasal dari anggota berbagai lingkungan keluarga dan masyarakat yang memiliki budaya dan kondisi sosial yang berbeda.

Pada kultur keluarga yang bercirikan jarak kekuasaan (power distance) kecil (Hofstede, 1994:32) nampak pada berani mengatakan yang benar, menghormati secara formal dan mengakui perbedaan, dan tidak tergantung pada orang tua. Kultur keluarga dengan power distance kecil mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan

terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan power distance besar. Power distance kecil menyebabkan anak menjadi mandiri sehingga ia mampu mengembangkan diri dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan.

Jarak kekuasaan (power distance) besar (Hofstede, 1994:32) nampak pada otoritas orang tua berpengaruh terus menerus sepanjang hidup, ketaatan kepada norma keluarga, dan bergantung pada orang lain, maka anak kurang mampu mengembangkan diri dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sehingga kecerdasan emosional berwirausahanya rendah. Power distance besar menyebabkan anak terkekang karena pengaruh orang tua yang otoriter.

Kultur keluarga yang bercirikan individualism (Hofstede, 1994:58) nampak pada demokratis dalam keluarga, mampu mengelola keuangan, tidak diwajibkan mengikuti perayaan/pesta yang diadakan keluarga, dan merasa bersalah jika melanggar peraturan. Kultur keluarga yang individualism mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan collectivism. Individualism menyebabkan adanya sikap demokrasi dalam keluarga sehingga anak mampu mengaplikasikannya dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

Collectivism (Hofstede, 1994:58) nampak pada kesetiaan dalam kelompok, perayaan/pesta yang diadakan keluarga tidak boleh dilupakan, merasa malu jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat

bersatunya anggota keluarga, maka siswa kurang mampu mengembangkan diri dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan, sehingga kecerdasan emosional berwirausaha akan rendah. Collectivism menyebabkan anak tidak mau membuka diri dengan kelompok lain.

Kultur keluarga yang bercirikan masculinity (Hofstede, 1994:87) nampak pada relasi orang tua dan anak ada jarak, perbedaan peran orang tua, dan suka tantangan. Kultur keluarga yang masculinity mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan femininity. Masculinity menyebabkan anak lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan.

Femininity (Hofstede, 1994:87) nampak pada peran wanita yang lebih rendah dari pria dan belajar bersama menjadi rendah hati, maka anak kurang mampu mengembangkan diri dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan sehingga kecerdasan emosional berwirausahanya rendah. Femininity menyebabkan anak kurang terbuka dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan.

Kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah (Hofstede, 1994:118) nampak pada kemampuan bertoleransi terhadap situasi yang tidak pasti, dan memiliki aturan. Kultur keluarga yang uncertainty avoidance lemah mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan uncertainty avoidance kuat. Uncertainty

avoidance lemah menyebabkan anak mempunyai inisiatif saat menghadapi kesulitan dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan.

Uncertainty avoidance kuat (Hofstede, 1994:118) nampak pada keluarga menjadi tempat belajar dan kurang mampu menghadapi situasi yang tidak pasti, maka anak kurang mampu mengembangkan diri dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sehingga kecerdasan emosional berwirausahanya rendah. Uncertainty avoidance kuat menyebabkan anak menjadi pesimis dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

2. Pengaruh Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Terhadap Kecerdasan Emosional Berwirausaha Ditinjau dari Kultur Sekolah.

Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang produktif dan dapat langsung bekerja di bidangnya setelah melalui pendidikan dan pelatihan di sekolah maupun di dunia kerja/industri. Pelaksanaan pembelajaran/diklat adalah proses kegiatan belajar peserta diklat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, untuk mencapai penguasaan kompetensi. Proses pembelajaran di sekolah dan di dunia kerja/industri bertujuan untuk mengembangkan potensi akademis, ketrampilan, dan kepribadian siswa. Pelaksanaan pembelajaran/diklat yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional berwirausaha siswa. Hal ini disebabkan para siswa berinteraksi baik dengan teman maupun pekerja sehingga mereka berusaha untuk mengerti dan mengendalikan emosi.

Derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha siswa diduga kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda. Kultur sekolah merupakan faktor esensial dalam membentuk siswa menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif, kecakapan personal, dan akademik. Kultur sekolah akan terwujud jika semua komponen ikut andil di dalamnya, karena hubungan kekerabatan individu merupakan kunci sebuah sistem.

Pada kultur sekolah yang bercirikan jarak kekuasaan (power distance) kecil (Hofstede, 1994:34) nampak pada perlakuan guru terhadap siswa sama/tidak pilih kasih, proses pembelajaran terpusat pada siswa, dan kesempatan bertanya. Kultur sekolah dengan power distance kecil mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan dengan jarak kekuasaan (power distance) besar. Power distance kecil menyebabkan siswa bebas dalam mengemukakan pendapat.

Jarak kekuasaan (power distance) besar (Hofstede, 1994:34) nampak pada komunikasi satu arah di kelas, kurang berani mengembangkan kemampuan dan bakat, dan adanya hukuman fisik jika melanggar peraturan, maka siswa dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan kurang baik sehingga kecerdasan emosional berwirausahanya rendah. Power distance besar menyebabkan proses pembelajaran didominasi oleh guru.

Pada kultur sekolah yang bercirikan individualism (Hofstede, 1994:62) nampak pada kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, dan sikap positif dalam mengerjakan tugas. Kultur sekolah yang individualism mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan collectivism. Individualism menyebabkan siswa mandiri dan mempunyai tujuan berprestasi dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan.

Collectivism (Hofstede, 1994:62) nampak pada kurang berani dalam mengungkapkan pendapat dan tergantung pada orang lain, maka siswa dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan kurang baik sehingga kecerdasan emosional berwirausahanya rendah. Collectivism menyebabkan kurangnya kemampuan siswa beradaptasi saat melaksanakan pendidikan dan pelatihan.

Pada kultur sekolah yang bercirikan masculinity (Hofstede, 1994:90) nampak pada suka berkompetisi dan berorientasi pada prestasi. Kultur sekolah yang masculinity mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibanding femininity. Masculinity menyebabkan adanya keinginan untuk maju.

Femininity (Hofstede, 1994:90) nampak pada lebih mengutamakan kinerja kelompok dan kurang berani mengambil resiko, maka siswa dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan akan kurang baik, sehingga

kecerdasan emosional berwirausaha rendah. Femininity menyebabkan terbatasnya lingkup pergaulan siswa.

Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah (Hofstede, 1994:119) nampak pada kejelasan guru dalam menerangkan materi pelajaran dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua. Kultur sekolah yang uncertainty avoidance lemah mempunyai derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha lebih tinggi dibandingkan uncertainty avoidance kuat. Uncertainty avoidance lemah menyebabkan siswa mau menerima kekurangan guru dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

Uncertainty avoidance kuat (Hofstede, 1994:119) nampak pada siswa menganggap guru selalu benar dan menolak kekurangan guru, maka siswa dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan kurang baik sehingga kecerdasan emosional berwirausaha rendah. Uncertainty avoidance kuat menyebabkan siswa menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada guru.

3. Pengaruh Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Terhadap Kecerdasaan Emosional Berwirausaha Ditinjau dari Bakat Kewirausahaan.

Seseorang yang memiliki bakat kewirausahaan dapat mengembangkan bakatnya melalui pendidikan. Pendidikan itu bisa dilakukan di sekolah maupun di dunia kerja/industri. Pelaksanaan pembelajaran/diklat adalah proses kegiatan belajar peserta diklat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, untuk mencapai penguasaan kompetensi. Proses pembelajaran di sekolah dan di dunia usaha bertujuan

untuk mengembangkan potensi akademis, ketrampilan, dan kepribadian siswa. Pelaksanaan pembelajaran/diklat yang baik akan meningkatkan kecerdasan emosional berwirausaha siswa. Hal ini disebabkan para siswa berinteraksi baik dengan teman maupun pekerja sehingga mereka berusaha untuk mengerti dan mengendalikan emosi.

Derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha siswa diduga kuat berbeda pada bakat kewirausahaan yang berbeda. Bakat kewirausahaan adalah kemampuan untuk kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencapai peluang menuju sukses, yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih. Apabila ingin menjadi wirausaha yang sukses, memiliki bakat saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki pengetahuan mengenai segala aspek usaha yang akan ditekuninya.

Pada siswa yang berbakat derajat pengaruh pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap kecerdasan emosional berwirausaha akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak berbakat. Hal ini tampak dari ciri kreatif, berani menanggung risiko, inovatif, mampu bekerjasama dalam kelompok, percaya diri, mampu mengatur kehidupannya sendiri, mudah menyesuaikan diri, knowledgeable, versatile, more carrier oriented and prepared, memiliki kemampuan manajerial yang baik, good characteristics, managerial style, desire for growth, desire for profits, restleness, dan pengendali aktivitas yang baik

(Suryana, 2003:31). Ciri-ciri tersebut mendukung siswa dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan dengan baik.

Dokumen terkait