• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR SINGKATAN

F. Kerangka Teori

Ketentuan Islam tentang akhlak berpakaian sangat terkait dengan fungsi pakaian yang dapat ditinjau dari empat dimensi. 1. Dimensi fisik: melindungi manusia dari cuaca, dan serangan

senjata jika dalam peperangan (QS. an-Nahl [16]: 81). Karenanya, pakaian dirancang untuk berbagai situasi dan keadaan. Ada pakaian hujan, ada pakaian musim dingin, ada pakaian berperang dan lainnya.28

28 M. Quraish Shihab menyebutkan: menurut ilmuwan, manusia mengenal pakaian sejak 72.000 tahun yang lalu. Menurut mereka, homo sapiens, nenek moyang kita berasal dari Afrika yang gerah. Sebagian mereka berpindah ke daerah dingin, dan mulai berpakaian dari kulit hewan untuk menghangatkan

BAB I Pendahuluan

21

2. Dimensi estetis: berhias (QS. al-A‘raf [7]: 26-27) untuk memenuhi rasa keindahan sebagai salah satu fitrah manusia. Melalui berbagai model pakaian, manusia dapat mengekspresikan rasa keindahan, karena Allah menyukai keindahan.29

3. Dimensi sosial: pakaian adalah simbol identitas,30 yang mengidentifikasi pemakainya sebagai muslimah (QS. al-Ahzab [33]: 59). Simbol identitas akan membangun kesepakatan makna melalui proses interaksi di masyarakat. Menurut Blumer, bagaimana masyarakat memaknai simbol, berimplikasi pada tuntutan peran yang dimainkan oleh pemakai simbol.31 Selain sebagai identitas muslimah, pada dimensi sosial juga dijelaskan

badan. 25.000 tahun lalu ditemukan cara menjahit, maka pakaian semakin berkembang. M. Quraish Shihab, Jilbab, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 33.

29 Dalam hadist dari Abdullah bin Mas’ud:

.))ربك نم ةرذ ُلاقثم هبلق يف ناك نم ةنجلا لخدي لَّ(( بحي لجرلا نإ :لجر لاق أ وكي ن هبوث ن نلا طمغو قحلا رطب ربكلا ،لامجلا بحي ٌليمج الله نإ(( :لاق .ًةنسح هلعنو ًانسح ))سا هاور ملسم . Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu”. Ada seorang yang bertanya: Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya

Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no.91

30Naomi Ellemers, mengutip Tajfel menyebutkan tiga aspek yang ada pada teori identitas sosial, pertama, analisis psikologi terkait proses motivasi pengetahuan yang memunculkan kebutuhan terhadap identitas sosial yang positif; kedua, menerapkan berbagai analisis ini untuk melihat relasi di dalam kelompok; dan ketiga, berbagai hipotesa terkait kontinum antar personal dan antar kelompok. Lihat Naomi Ellemers, et.al., Social Identity Context,

Commitment, Content, (Oxford: Blackwell Publishers, 1999), 9.

31 Jonathan. H. Turner, The Structure of Sociological Theory, (Amerika: Dorsey Press, 1975), 189.

22

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang bahwa pakaian mencegah dan melindungi perempuan dari berbagai gangguan manusia. Sebagai identitas lainnya, pakaian merupakan pembeda antara laki-laki dan perempuan, karena salah satu kriteria pakaian Islam adalah tidak menyerupai lawan jenis. Dalam Sunan Abi Daud disebutkan:

ح اعم نب الله دبع انثد ذ نع سابع نبا نع ةمركع نع ةداتق نع ةبعش انثدح ىبا انث هاور(ءاسنلاب لاجرلا نم نيهبشتملاو ل اجرل اب ءاسنلا نم تاهبشتملا نعل هنا معلصينلا دواد يبا ) 32

4. Hadits ini menyebutkan sabda Nabi: bahwa perempuan-perempuan yang menyerupai laki-laki, dan sebaliknya laki-laki yang menyerupai perempuan, akan mendapat laknat. Karenanya pakaian muslimah juga disyaratkan tidak menyerupai laki-laki. 5. Dimensi ibadah: pakaian adalah untuk menutup ‘aurat (QS.

al-A‘raf [7]: 26-27), dan ini sekaligus menjadi kriteria pakaian Islami yang membedakannya dengan pakaian-pakaian lainnya. Terkait ini, ulama sepakat bahwa pakaian harus menutup ‘aurat, tetapi ulama berbeda pendapat tentang batasan ‘aurat perempuan. Ada berpendapat, ‘aurat yang harus ditutup di luar shalat, seluruh tubuh kecuali mata, pendapat lainnya seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ada yang menyebutkan seluruh tubuh kecuali lengan, kaki, kepala, dan lain sebagainya.

6. Menutup ‘aurat juga berarti bahan pakaian tersebut tidak boleh tembus pandang. Hal ini di antaranya didasarkan pada hadist

32 Abi Daud, Sunan Abī Dāwūd, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 63.

BAB I Pendahuluan

23

tentang perkataan Nabi kepada Asma Bint Abi Bakar yang menggunakan pakaian tipis.33 Selain itu, menutup ‘aurat juga berarti pakaian harus longgar, tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Berdasarkan QS. al-Ahzab [33]: 59: yang artinya: “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” Beberapa mufassir menyebutkan kata jilbab yang dimaksudkan ayat ini adalah pakaian yang longgar.34

Ciri-ciri pakaian seperti yang telah dijelaskan di atas, diharapkan dipakai oleh muslimah. Akan tetapi pakaian dengan berpakaian merupakan dua hal yang berbeda. Jika pakaian muslimah

33 Abi Daud, Sunan Abī Dāwūd, 64.

اع نع نا : ةشئ أ قاقر بايث اهيلعو معلص الله لوسر ىلع تلخد ركب يبا تنب ءامس ضرعاف اي " : لاقو معلص الله لوسر اهنع أ رملا نا ءامس أ ا ة ذ هل حلصت مل ضيحملا تغلب ا نا ا ي اهنم ىر لَّا ذه و ا ذه )دواد ىبا هاور( " هيفكو ههجو ىلا راشاو ا

Dalam hadits ini disebutkan Rasulullah bersabda ketika Asma’ bint Abi Bakar menggunakan pakaian yang tipis: “Hai Asma’, seorang perempuan yang telah baligh tidak sepatutnya lagi tubuhnya terlihat kecuali wajah dan telapak tangan”. Hadist ini menjadi salah satu dalil untuk menentukan syarat busana muslimah yaitu tidak tipis atau tembus pandang.

34Terdapat ragam penafsiran terhadap kata jilbab. Al-Biqā‘i menyebutkan tiga pendapat terkait kata jilbab ini. Pertama, baju yang longgar berarti perintah menjulurkannya menutupi tangan dan kaki. Kedua jilbab berarti kerudung dengan demikian perintah menjulurkannya adalah menutupi wajah dan leher. Ketiga jilbab diartikan pakaian yang menutupi baju dan kerudung, dengan demikian perintah menjulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Dibandingkan dengan: َىَلَعَنَِه ِر مَ خََِبََنْب ِرْضَيْلا َو

َ نِهِبَ ْو ي ج

َ (QS.an-Nur [24]:31), dimana kata khumur dimaknai dengan kerudung yang diperintahkan dijulurkan untuk menutupi juyub (lubang leher baju), maka dapat dipastikan kata jilbab yang dimaksudkan pada al-Ahzab bukanlah kerudung karena al-Qur’an menggunakan kata khumur untuk menyebutkan kerudung ini. Sehingga jilbab dimaknai sebagai pakaian longgar yang menutupi. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 9, Jakarta: Lentera Hati 2006: 320

24

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang menjadi kata benda yang menunjukkan kain penutup tubuh sesuai dengan ketentuan Islam, maka berpakaian muslimah merupakan ekspresi perilaku sebagai hasil berfikir tentang cara yang dipilih untuk menutup tubuh. Karenanya berpakaian sangat terkait dengan berbagai situasi internal dan eksternal muslimah. Secara internal, muslimah akan dipengaruhi pertimbangan syari‘at Islam tentang kriteria pakaian muslimah, namun pada saat bersamaan muslimah juga akan dipengaruhi pertimbangan lain yang menyangkut kepuasan emosional (keindahan dan kenyamanan), pertimbangan kemampuan ekonomi, dan nilai kesopanan berpakaian yang eksis di masyarakat. Selain itu secara eksternal muslimah dipengaruhi oleh lingkungan sosial kehidupannya. Perempuan dengan berbagai latar pengetahuan dan pengalaman memilih tindakan berpakaian sesuai dengan makna yang ia yakini terhadap konsep pakaian. Pada sistem yang terbuka cara berpakaian perempuan turut dipengaruhi dan memengaruhi elemen-elemen sistem yang ada. Kemudian, sebagian pihak menganggap cara berpakaian yang tidak Islami berimplikasi negatif sehingga harus ditata melalui penerapan dakwah struktural.

Penerapan dakwah struktural yang menguat dengan semangat penerapan syari‘at Islam, pada prinsipnya merupakan bagian dari strategi dakwah yang penting. Strategi struktural merupakan pendekatan yang mengupayakan terjadinya perubahan melalui kebijakan, dan politik. Abdul Munir Mulkan memaknai dakwah struktural sebagai dakwah yang memiliki muatan larangan dan ancaman dengan tujuan mengubah perilaku keagamaan seseorang

BAB I Pendahuluan

25

atau masyarakat yang dinilai belum menunjukkan sifat mukmin atau muslim. HAMKA menyebutkan dakwah struktural dengan istilah dakwah dengan kekuasaan. Menurutnya pemerintah harus menegakkan amar bi al-ma‘rūf dan nahy ‘ani al-munkar karena pemerintah memiliki kekuasaan yang mampu melakukan dakwah tersebut.35 Dakwah melalui kekuasaan ini kemudian lebih sering disebut sebagai dakwah struktural yang menempatkan pemerintah sebagai penyelenggara dakwah. Fungsi pemerintah sebagai penyelenggara dakwah disandarkan pada al-Quran Surat al-Imran [3]: 104 yang mengamanahkan kewajiban dakwah yaitu da‘a ila al-khair, amar bi al-ma‘rūf dan nahy ‘ani al-munkar. Maka beberapa kitab dakwah mengetengahkan konsep “hisbah” sebagai bagian dakwah. Abdul Karim Zaidan dalam kitab Ushūl ad-Da‘wah menyebutkan “hisbah” sebagai tugas dakwah pemerintah dalam memerintahkan yang ma‘ruf jika telah nyata ditinggalkan dan melarang perbuatan yang munkar jika telah nyata dilakukan.36

Realitasnya, dakwah struktural pakaian muslimah yang dilaksanakan di berbagai daerah, umumnya diwarnai sanksi dan razia-razia pakaian yang dilaksanakan di tempat publik. Karenanya strategi dakwah struktural ini disebut mengedepankan pressure dan mendapat penolakan dari sebagian perempuan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik da‘i dan mad‘u yang akan mempengaruhi hasil

35 HAMKA, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru, 1981), 34-35.

26

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang dakwah. Dalam perspektif dakwah pelaksanaan dakwah seperti ini seharusnya dikaji kembali dengan mempertimbangkan unsur-unsur dakwahnya.

Dakwah pakaian muslimah terdiri dari tujuh unsur dakwah. Unsur pertama yaitu da‘i, bisa individu, kelompok, organisasi atau pemerintah yang melaksanakan dakwah untuk tujuan mempengaruhi mad‘u. Kedua, mad‘u dalam hal ini adalah masyarakat luas, khususnya perempuan Islam selaku yang dipengaruhi. Ketiga, materi (maddah) dakwah, yaitu pesan dakwah yang disampaikan. Maddah dakwah pakaian muslimah adalah syari‘at berpakaian menutup ‘aurat. Keempat, metode (manḥaj) dakwah yaitu cara, pendekatan, strategi dan teknik yang digunakan untuk menyampaikan maddah dakwah agar mad‘u dapat memahami, menerima dan menggunakan pakaian Islami. Kelima, media (waṣilah) dakwah yaitu berbagai sarana dan instrumen penunjang yang membantu tercapainya tujuan dakwah secara maksimal. Dalam pengembangan kajian dakwah dekade ini, unsur dakwah ditambah dengan tujuan dan efek (aṡar) dakwah. Tujuan yaitu apa yang dirumuskan sebagai target yang ingin dicapai melalui berbagai aktifitas dakwah yang dijalankan. Tujuan dakwah busana muslimah adalah agar syari‘at Islam tentang pakaian dapat diterapkan oleh perempuan muslim.

Setiap upaya dakwah harus mampu membangun sinergisitas unsur-unsur dakwah sebagai sebuah sistem. Sistem yang mengarahkan bagaimana seharusnya da‘i bersikap, siapa atau hal apa yang perlu dipahami dari mad‘u, apa atau seperti apa maddah dakwah

BAB I Pendahuluan

27

yang dibutuhkan mad‘u, apakah maddah dakwah ini tergolong pesan dakwah yang sudah jelas atau pesan yang masih dipahami secara berbeda beda oleh mad‘u, apa tujuan yang ingin dicapai, bagaimana metode (manḥaj) dakwah yang sesuai dengan kondisi mad‘u, media (waṣilah) apa yang perlu digunakan agar pesan dakwah lebih mudah dan maksimal diterima mad‘u, dan bagaimana efek (aṡar) dakwah yang dihasilkan.

Upaya dakwah bergijabu dengan realitas sosial di semua bidang kehidupan yang pada akhirnya menghantarkan pemahaman sistem dakwah secara makro.37 Sistem dakwah makro menempatkan persoalan dakwah sebagai salah satu bagian kehidupan yang berkait kelindan dengan bidang-bidang lainnya. Sehingga untuk memahami persoalan dakwah tidak bisa dilepaskan dengan bidang lain yang mempengaruhinya seperti politik, budaya, sosial, ekonomi, teknologi informasi, pendidikan dan lainnya. Layaknya sebuah interaksi, maka dakwah berkontribusi mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh berbagai bidang yang menguat di sekitarnya.

Dalam dakwah pakaian muslimah, perlu dipahami bahwa pola berpakaian terkonstruksi oleh banyak pengaruh, yang mengalir di sepanjang hidup perempuan. Mengaturnya dengan kebijakan, bukan hal yang sederhana. Jika pengaturan ini relevan dengan

37Sebelumnya, pemikiran dakwah lebih terfokus pada dakwah sebagai sistem mikro dimana persoalan dakwah dikacamatai dari komponen yang menyusun sistem dakwah yaitu da’i, mad’u, materi, metode, dan media dakwah (Amrullah Achmad, 1983:15).

28

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang konstruksi yang ada, maka dapat terjadi penyesuaian, namun jika pengaturan berbeda maka hal ini dapat menimbulkan berbagai efek negatif, termasuk konflik. Dalam perspektif Kajian Wanita, munculnya kebijakan tentang pakaian perempuan merupakan salah satu bentuk politisasi tubuh perempuan “atas nama agama”. Hal ini juga dianggap sebagai produk kebijakan yang diskriminatif, dan terkait dengan pola relasi gender yang timpang, dimana perempuan ditempatkan sebagai objek.

Situasi ini merupakan peta dakwah struktural pakaian muslimah. Dimana pelaksanaan dakwah berada diantara sisi: “pilihan berpakaian masing-masing individu” dan “konstruksi besar di sekitar mad‘u yang mempengaruhi cara berpakaiannya”. Maka pilihan strategi dakwah akan menentukan efek dakwah.