• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang dipilih untuk menutup tubuh. Karenanya berpakaian sangat terkait

DAFTAR SINGKATAN

A. Latar Belakang Masalah

6 Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang dipilih untuk menutup tubuh. Karenanya berpakaian sangat terkait

dengan berbagai situasi internal dan eksternal muslimah. Secara internal, muslimah dipengaruhi pertimbangan syari‘at Islam tentang kriteria pakaian yang Islami, namun pada saat bersamaan muslimah juga akan dipengaruhi pertimbangan psikologis yang menyangkut kepuasan emosional (keindahan dan kenyamanan), pertimbangan kemampuan ekonomi, dan nilai kesopanan berpakaian yang diyakini di masyarakat. Selain itu secara eksternal muslimah akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial kehidupannya.

Berpakaian merupakan perilaku budaya yang bersentuhan dengan ruang dan waktu, mengalami perubahan, penyesuaian, dan berinteraksi dengan nilai-nilai.15 Di Kelantan, perintah berpakaian Islami yang diatur melalui kebijakan, memiliki kesesuaian dengan tradisi berpakaian perempuan Melayu, sehingga resistensi yang muncul tidak kuat. Sementara di Aceh Barat, pakaian Islami yang

15Identitas berpakaian merupakan pilihan gaya berpakaian yang menunjukkan identitas suatu kelompok atau komunitas. Gaya berpakaian tidak sama dengan fashion karena gaya berpakaian merupakan bagian gaya hidup. Gaya hidup menurut Toffler sebagaimana dikutip oleh John A. Walker merupakan wahana yang dengannya individu mensinyalkan identifikasi mereka dengan sub kultur khusus. Fashion menurut Walker, adalah antusiasme berumur pendek-kegandrungan, keranjingan, atau mode (fad) atas model khusus pakaian. Sebaliknya gaya merupakan bentuk desain dengan karakter yang jelas. Sebuah gaya bisa saja sesuai dengan mode terkini (fashionable), namun bisa juga sebaliknya. Gaya berpakaian merupakan cerminan nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh anggota kelompok atau masyarakatnya. Dan identitas berpakaian yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu gaya berpakaian yang melekat pada individu dan masyarakat. Lihat John A Walker, Desain, Sejarah, Budaya:

Sebuah Pengantar Komprehensif, diterjemahkan Laily Rahmawati, dari Design History and the History of Design, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 186

BAB I Pendahuluan

7

distandarkan oleh pemerintah, berbeda dengan tradisi berpakaian perempuan. Perbedaan tampak misalnya antara model pakaian yang ditetapkan pemerintah (rok dengan terusan longgar), dengan pakaian adat perempuan Aceh Barat yang menggunakan celana panjang dan belit kain songket di pinggang. Sehingga muncul pertentangan antara tradisi berpakaian perempuan dengan peraturan berpakaian islami. Selain itu pakaian panjang dan berjilbab merupakan gaya pakaian yang tergolong baru dan belum mentradisi. Sampai akhir tahun 1990-an baju berleng1990-an pendek d1990-an rok selutut masih b1990-anyak digunak1990-an oleh perempuan Aceh Barat.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa dinamika berpakaian perempuan merupakan realitas yang kompleks. Pertama, dari konteks Fiqh, meski Mazhab Syafii acap kali disebutkan sebagai mazhab formal di Aceh dan Kelantan, namun terdapat juga perempuan yang merujuk pandangan lain, sehingga dari sisi normatif, terdapat keragaman pemahaman perempuan tentang menutup ‘aurat. Kedua, tindakan berpakaian merupakan perilaku yang terkait dengan budaya dan tradisi, sehingga mendakwahkan pakaian secara struktural melalui otoritas yang mengedepankan pressure, tentunya berpeluang menciptakan ruang ketegangan antara tradisi dan ketentuan berpakaian syar’i. Malah kondisi ini berpotensi menimbulkan ketegangan (constraint) berlapis. Ketegangan pertama bersifat normatif karena terdapat keragaman pemahaman tentang ketentuan berpakaian Islami. Masing-masing kelompok menganggap cara berpakaiannya telah syar’i, sementara pemerintah memandang hanya

8

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang menurut Mazhab Syafii yang syar’i. Ketegangan kedua, terkait tradisi berpakaian lokal dan nasional yang mengkonstruksi gaya berpakaian perempuan yang tidak sesuai dengan peraturan pakaian yang syar’i. Ketiga, pertentangan ini masih berhadapan lagi dengan cita rasa individu terkait kenyamanan dan selera keindahan. Pantas, nyaman, dan indah merupakan dimensi rasa yang memengaruhi cara berpakaian individu. Selanjutnya gaya berpakaian ini, mengalami kontraksi kembali dengan nilai-nilai baru modernitas dan globalisasi. Melalui arus besar informasi muncul kecenderungan trend fashion yang bertentangan dengan norma sosial budaya masyarakat Indonesia atau Malaysia, dan jauh dari ketentuan pakaian Islami.16

Disisi lain, bagi sebagian pemuka Islam, kondisi berpakaian perempuan yang tidak Islami dianggap menjadi pemicu masalah umat. Dianggap jadi penyebab perkosaan, rusaknya moral generasi muda, perusak nilai ibadah umat Islam khususnya laki-laki, dan penyebab turunnya azab Allah.17

16 Penetrasi gaya berpakaian modern bergerak cepat mewarnai gaya berpakaian perempuan Islam. Ekspresi gaya modern ini terkadang dimodifikasikan dengan beragam cara untuk tetap mempertahankan kriteria pakaian Islam, terkadang gaya modern ini bercampur dengan gaya pakaian muslimah dengan porsi yang lebih dominan sehingga kerap ditemui berjilbab tetapi pakaiannya tipis, berjilbab tapi pakaian terbalut ketat, atau berjilbab tetapi terlihat sebagian badan. Acap kali gaya modern ini diadopsi mentah-mentah tanpa proses penyesuaian dengan konteks lokal. Gaya berjilbab tapi ketat dan membalut tubuh ini popular dengan “jilboobs”.

17Bupati Aceh Barat, Ramli MS, menilai perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariat seperti minta diperkosa. Lihat Jakarta Globe, 2010, “West Aceh District Says Shariah Needed or There will be Hell to Pay”, diakses pada 1 Januari 2015, dari http://thejakataglobe.beritasatu.com/archive. Sementara

BAB I Pendahuluan

9

Pada situasi ketegangan berlapis, dan stigma negatif ulama, cara berpakaian mencuat sebagai agenda dakwah yang dianggap urgen. Sehingga pakaian perempuan menjadi tema dakwah yang muncul pada dakwah pribadi, kelompok, termasuk dakwah pemerintah yang disebut dengan dakwah struktural.18 Beberapa negara, provinsi dan kabupaten melaksanakan dakwah struktural tentang pakaian melalui penetapan peraturan. Sementara sebagian kelompok perempuan menganggap persoalan berpakaian adalah urusan pribadi, tidak perlu dicampuri negara. Campur tangan negara dianggap membatasi kebebasan beragama perempuan.19

seorang ulama Iran, Hojatoleslam Kazem Sedighi mengeluarkan pernyataan bahwa: “sebab dari semakin seringnya bencana gempa bumi akhir-akhir ini karena banyaknya wanita yang membuka aurat, banyaknya perzinahan dan seks bebas.” Pendapat ulama Iran ini mengundang protes dari perempuan muslim dan juga non muslim. Disebutkan bahwa pengikut grup penentang fatwa Kazem sudah mencapai ratusan ribu jumlahnya. Lihat Ruang Hati, 2010, Fatwa Penyebab Gempa, diakses27 Januari 2013, dari

http://www.ruanghati.com/2010/04/27/fatwa-penyebab-gempa-ditantang-ratusan-ribu-facebooker/

18 Abdul Munir Mulkan mengatakan bahwa dakwah struktural adalah dakwah yang memiliki muatan larangan dan ancaman dengan tujuan untuk mengubah perilaku keagamaan seseorang atau masyarakat yang dinilai belum menunjukkan sifat mukmin atau muslim. Mulkan menilai dakwah struktural memiliki kecenderungan politis melalui pengembangan hukum dan perundang-undangan. Dengan demikian pendekatan dakwah struktural erat kaitannya dengan penguatan fungsi pemerintahan dalam menjalankan dakwah untuk memperbaiki perilaku keagamaan masyarakat. Baca Abdul Munir Mulkan

Kesalehan Multikultural: Ber Islam Secara Autentik-Kontekstual di Atas Perdaban Global, (Jakarta: PSAP, 2005), 213

19Reed Taylor menuliskan: perdebatan penting yang direspon terkait perempuan dan penerapan syariat Islam di Aceh adalah persoalan kebebasan beragama. Penerapan syariat Islam dianggap telah membatasi kebebasan beragama perempuan dengan berbagai peraturan dan norma-norma yang

10

Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang