• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Kerangka Teori

29

kecenderungan yang ada dalam pesan-pesan yang tersebar melalui media massa.33

Dengan begitu, karena sedang tidak menguji hipotesis apapun, maka penelitian ini menggunakan jenis dan pendekatan analisis isi kuantitatif deskriptif, dimana, fokus dari analisis ini adalah menggambarkan secara detail teks suatu berita.34

Dalam penelitian ini, analisis isi digunakan untuk menggambarkan secara detail dan deskriptif isi dari berita tentang Meikarta di Portal Berita Online melalui alat-alat yang bersifat kuantitatif seperti model matematika, statistika, maupun ekonometrik. Akhirnya, hasil yang tersaji dalam penelitian ini berbentuk angka-angka yang kemudian dijelaskan secara deskriptif melalui beberapa uraian yang sesuai dengan konteks data yang dipaparkan.

G. Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan Teori Ruang Publik (Public Sphere) yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas sebagai landasan teori. Dimana Habermas menyebutnya sebagai bürgerliche Öffentlichkeit yang diterjemahkan menjadi Ruang Publik Borjuis dalam bahasa Indonesia yang berasal dari terjemahan bahasa Inggris.35

33 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta,Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm. 234.

34Eriyanto, Analisis Isi : Pengantar Metodologi,…., hlm. 47.

35 Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, Terjemahan Yudi Santoso (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008) hlm. xii.

30

Bagi Habermas kelahiran Ruang Publik Borjuis dapat terlihat ketika masyarakat telah melakukan pemisahan ruang privat dan ruang publik yang tadinya bersatu melalui perwakilan publik dalam feudal authorities, yang terdiri dari gereja, monarki dan aristrokat. Gereja tak lagi memiliki otoritas public terkait agama. Agama menjadi persoalan pribadi atau religious

freedom. Kerajaan memisahkan anatara pendapatan publik dari pajak dan

pendapatan pribadi bisnis penguasa, serta aristrokat yang berubah menjadi organ dalam public authority kedalam parlemen dan lembaga peradilan. Kondisi inilah yang kemudian berkembang menjadi public sphere dikalangan masyarakat borjuis yang terpisah dari Negara.36

Masyarakat borjuis yang tersebar di Prancis, Inggris dan Jerman ini secara berkala melakukan perbedatan kritis berdasarkan rasio yang berkenaan dengan masalah sastra dan seni hingga masalah ekonomi dan politik. Mereka memiliki karakter institusional yang mirip yakni:37

1. Mereka mempertahankan hubungan sosial yang mengesampingkan status sosial. Kesetaraan sesame manusia menjadi landasan dalam pertemuan mereka. Meski berasal dari kaum bangsawan sekalipun, mereka bertemu sebagai sesame manusia dalam keseteraan sosial. 2. Mereka membicarakan banyak persoalan yang belum dibicarakan

sebelumnya. Baik itu dominasi gereja, filsafat, seni hingga perkembangan kapitalisme.

36Syahputra, Rezim Media, hal 143

31

3. Mereka mengubah kebudayaan yang lahir dalam diskusi menjadi komoditas melalui jurna-jurnal yang mereka tulis sendiri dan disebarkan ke dunia luar.

Namun ruang publik yang kritis dan bebas intervensi tersebut mengalami perubahan yang signifikan ketika jurnal-jurnal kritis yang disebarkan melalui pers sebagai institusi ruang publik dikomersialkan. Menurut Habermas, kehadiran media massa yang mengkomersilkan ruang publik borjuis mengakibatkan degradasi dalam ruang publik itu sendiri. Karena pembaca berita dan pengonsumsi budaya yang semakin meluas berakibat pada konten yang dihasilkan oleh pers. Jika dulu berita politik maupun karya sastra berasal dari diskusi kritis untuk kepentingan publik, belakangan pers merubah dirinya menghasilkan konten yang ditujukan untuk peningkatan tingkah laku konsumeristik yang semata-mata untuk memaksimalkan penjualan.38

Hal itu terlihat dari bentuk-bentuk jurnalisme kuning dan edisi-edisi khusus yang dengan cepat menyentuh angka penjualan satu juta eksemplar. Pola pers senasasional ini tak lagi menerbitkan berita-berita politis dan editorial politis mengenai topik-topik moral. Jurnalisme kuning menganggap berita seperti itu sebagai pesan yang berlebihan dan penuh pertatuhan terkait keuntungan.39

Pun begitu dengan di Inggris Raya, Prancis dan Amerika Serikat, sekitar tahun 1830-an. Pers mulai merintis transisi dari mengusung ideologi menjadi murni bisnis. Dengan kondisi murahnya harga cetak dan besarnya jumlah

38 Ibid, hal 236-237

32

pembeli, kolom-kolom untuk ruang periklanan menjadi semakin luas. Hingga di pertengahan abad tersebut, pers telah menjadi sebuah bisnis besar di dalam kapitalisme lanjut (advance capitalism). Bahkan beberapa perusahaan Koran sudah di organisasikan sebagai perusahan bersaham.40

Apalagi ketika perusahaan-perusahaan besar mulai memperkuat kecenderungan menuju kompetisi monopolistik. Melalui periklanan, pasar dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan tertentu yang menawarkan nama besar. Dimana harga tak lagi menjadi penentu persaingan. Sehingga tak dapat dielakkan bahwa banjir periklanan telah menginfiltrasi media massa yang ditujukan untuk mengumpulkan pasar kedalam situasi dimana pelanggan diarahkan kepada perusahaan tertentu. Sehingga nilai pertukaran dalam pasar ditentukan oleh manopulasi psikologis akibat periklanan.41

Dalam kondisi demikian, perusahaan-perusahaan pers telah mereduksi dirinya sendiri menjadi hanya perusahaan periklanan bisnis semata. Dimana pada masa sebelumnya periklanan hanya menempati sekitar seperduapuluh ruang dalam jurnal-jurnal intelektual. Sehingga ketika periklanan telah mendapat tempat besar, maka para menghembuskan kepada publiknya untuk mengubah opini mereka tentang konsumsi yang menghamba kepada paksaan halus dalam rangka latihan konsmumsi konstan (constant consumption

training).42

40 Ibid, hal 257

41 Ibid 264-265

33

Apalagi ketika sistem dalam periklanan (pemasaran) mulai menyadari karakter politis yang dimilikinya melalui praktik-praktik kehumasan. Dimana melalui ruang publik yang terdapat dalam pers, perusahaan-perusahan besar dapat mengorganisasi opini publik untuk tujuan perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga praktik-prakti humas memiliki kekuatan politis yang mampu mengintervensi proses pembentukan opini publik.43

Hal itu diwujudkan melalui berita-berita sensasional yang mewujud seolah-olah sebagai kepentingan publik-seperti peningkatan kesejahteraan sosial oleh sebuah produk- Sehingga saran atau desakan yang diberikan kepada publik itu seolah-olah merupakan kesepakatan yang mereka buat sendiri, yang pada akhirnya produk-produk terntentu dapat diterima melalui konsesus yang seolah-olah berasal dari publik.44

Dengan begitu, pers yang dulu menghasilkan konsesus dari kesepekatan rasional melalui opini-opini yang bersaing secara bebas sudah tidak lagi ada. Karena pers sebagai layanan pembentukan opini, menyebarkan kepentingan-kepentingan privat yang memalsukan diri seolah-olah kepentingan-kepentingan publik.

Dengan kondisi seperti itulah penelitian ini berangkat. Dimana Meikarta sebagai produk properti dianggap memiliki indikasi kuat untuk mengintervensi ruang publik melalui Lippo Group. Terlihat dari besarnya dana iklan dalam media massa yang jika di total sepanjang tahun 2017 mencapai angka Rp 1.5 Trilliun. Angka tersebut dihitung dari Monitoring

43 Ibid 268-271

34

iklan pada 15 stasiun TV nasional, 99 surat kabar dan 120 majalah dan tabloid.45

Sehingga sangat mudah bagi Lippo Group untuk menguasai ruang publik dengan informasi-informasi positif yang pada akhirnya bertujuan untuk mendapat konsesus terkait proyek Meikarta. Maka pers dalam portal berita online yang menjadi sampel dalam penelitian ini, di indikasikan institusi kapitalis yang menomorsatukan keuntungan.

Maka dari itu, kecenderungan pemberitaan Meikarta juga perlu dilihat dari sisi komposisi jenis tulisan. Apakah cenderung berdasarkan tulisan

Adverotrial yang mengakomodir kepentingan pengiklan ataukah cenderung

berdasarkan berita yang menomorsatukan kepentingan publik. Kemudian setelah terpisah menjadi dua kategori besar, berita-berita yang memiliki indikasi mengakomodir kepentingan publik di analisis menggunakan kerangka objektivitas pemberitaan. Untuk melihat kecenderungan berita tentang Meikarta, apakah benar-benar merepresentasikan kepentingan publik ataukah hanya kepentingan privat pengiklan yang seolah-olah mewujud menjadi kepetingan publik. Lebih jelasnya terlihat dari bagan berikut ini.

45https://tirto.id/jorjoran-iklan-meikarta-di-tengah-kinerja-melorot-lippo-cikarang-cJeH (diakses pada tanggal 23/9/2018)

35

Berita-Berita tentang Meikarta di portal berita online (Detik.com, Kompas.com,

Liputan6.com)

Berita-berita Meikarta di Portal Berita Online yang masuk dalam kategori

Advertorial

Berita-Berita Meikarta di Portal Berita Online yang masuk dalam kategori Berita (non Advertorial)

Kecenderungan Frekuensi Jenis Tulisan Topik Meikarta Pada

Portal Berita Online

Kecenderungan Objektivitas Pemberitaan Meikarta Pada

Portal Berita Online Portal Berita Online (Media

Massa)

Frekuensi Advertorial Frekuensi Berita Publik Objektivitas berita Meikarta

Ruang Publk Jürgen Habermas

36

Dokumen terkait