• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Kuesioner SF-36 Medan Modifikasi

Lampiran 3 Informed Consent

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian

Lampiran 5 Data Induk

DAFTAR SINGKATAN

AV : Arteriovenous

BDI : Beck Depression Inventory

BMI : Body Mass Index

BUN : Blood Urea Nitrogen

CHOICE : Choice of Health Outcomes in Caring for ESRD

ESRD : End-Stage Renal Disease

GFR : Glomerular Filtration Rate

Hb : Hemoglobin

HD : Hemodialisis

IMT : Indeks Massa Tubuh

IRR : Indonesian Renal Registry

KDOQI : Kidney Disease Outcomes Quality Initiative

NKF : National Kidney Foundation

PERNEFRI : Perhimpunan Nefrologi Indonesia

PGK : Penyakit Ginjal Kronik

PTFE : Polytetrafluoroethylene

SF-36 : 36-Item Health Survey Short Form

URR : Urea Reduction Ratio

USRDS : United States Renal Data System

WHO : World Health Organization

CaXP : Calcium-Phosphorous Product

ABSTRAK

Pasien yang menjalani HD dalam waktu lama cenderung mengalami penurunan kualitas hidup. Pemantauan biomarker merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penilaian keberhasilan pengobatan pasien HD, yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Berdasarkan penelitian, terdapat beberapa biomarker yang berhubungan terhadap kualitas hidup pasien HD antara lain traditional biomarkers (adekuasi dialisis dan kadar Hb), nutritional biomarkers (serum kreatinin dan IMT), mineral metabolism biomarkers (serum kalsium, serum fosfat, dan CaXP).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biomarker apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien HD kronik. Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan menilai total skor dari kuesioner SF-36. Desain penelitian menggunakan metode cross sectional yang dilakukan terhadap 96 responden di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa variabel yang berhubungan dengan kualitas hidup, yaitu kreatinin (p = 0,001), IMT (p = 0,03), dan serum fosfat (p = 0,03). Penilaian multivariat didapatkan 2 variabel yang berpengaruh terhadap kualitas hidup yaitu kreatinin dan IMT dengan nilai RR masing-masing 4,070 dan 2,294 (p = 0,002 dan p = 0,069).

Kata kunci : Hemodialisis, Kualitas Hidup, Mineral Metabolism Biomarkers , Nutritional Biomarkers, Traditional Biomarkers

ABSTRACT

Patients undergoing HD for a long time tend to have a decrease in quality of life. Monitoring biomarkers are one of the factors that play role in the assessment of treatment success in HD patients, which indirectly will affect the quality of life. According to research, there are several biomarkers associated with quality of life, including traditional biomarkers (dialysis adequacy and Hb), nutritional biomarkers (creatinine and BMI), mineral metabolism biomarkers (calcium, phosphate, and CaXP).

This study aims to determine what type of biomarkers related to quality of life in chronic HD patients. Assessment of quality of life was measured using total score of the SF-36 health survey. The design of this study using cross sectional method, which is performed against 96 respondent in Rasyida Hemodialysis Center.

Bivariate analysis showed that there are several variable associated to quality of life, including creatinine (p = 0,001), BMI (p = 0,03), and phosphate (p = 0,03). Multivariate analysis showed that creatinine and BMI are the variable that have a relationship with quality of life with RR value 4,070 and 2,294 (p = 0,002 dan p = 0,069).

Keywords : Hemodialysis, Quality of Life, Mineral Metabolism Biomarkers , Nutritional Biomarkers, Traditional Biomarkers

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Berdasarkan data dari United States Renal Data System (USRDS) (2012), prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir atau disebut juga dengan end-stage renal disease (ESRD) di Amerika Serikat tahun 2010 yaitu 1.752 penderita per satu juta penduduk dan 383.992 diantaranya menjalani hemodialisis (HD).

Penyakit ini menghabiskan biaya mencapai $20 milyar tiap tahunnya. Beban ekonomi yang disebabkan oleh masalah kesehatan ini diperkuat oleh dampaknya terhadap kualitas hidup akibat tekanan fisik, psikologis, dan sosial yang ditimbulkan dari penyakit dan pengobatannya (Spiegel et al, 2008).

Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronik (PGK) pada tahun 2011 yaitu sekitar 12.780 orang dan 6.951 diantaranya menjalani HD. Jumlah ini semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2009 dan 2010 tercatat masing-masing 4.707 dan 5.184 orang menjalani HD (IRR, 2011).

Peningkatan epidemi PGK secara global yang berakhir pada ESRD merupakan masalah yang sangat serius bagi banyak negara berkembang. Perawatan terhadap pasien yang menjalani dialisis tidak hanya fokus pada aspek medis dan teknis, tetapi juga terhadap faktor psikososial (seperti kualitas hidup dan kepuasan pasien) yang juga akan ikut berpengaruh terhadap kesehatan pasien. Faktor-faktor lain dalam ESRD dengan dialisis, seperti gangguan tidur, gangguan fungsi seksual, anemia, manifestasi klinis dari penyakit komorbid, dan status nutrisi juga turut memberikan dampak terhadap kualitas hidup pasien (Okpechi et al, 2013).

Pasien yang menjalani HD dalam waktu lama jelas mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini terbukti dari beberapa hasil studi yang menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup pasien HD. Pada penelitian tahun 2011, di dapatkan prevalensi pasien HD yang mempunyai kualitas hidup kurang baik mencapai 47,4% (Nurcahyati, 2011).

Terlepas dari metode pengobatan, pasien HD harus menghadapi banyak permasalahan, misalnya gejala fisik, diet khusus, dan pembatasan aktivitas, sementara pengendalian mereka terhadap pengobatan tidak selalu bisa diprediksi (Mavromates, 2005; Zirogiannis et al, 1995 dalam Ginieri-Coccosis et al, 2008).

Secara psikologis, pasien dengan ESRD mempunyai insiden tinggi terhadap kejadian depresi, ansietas, dan mengahadapi kesulitan dalam menerima penyakitnya (Spiegel et al, 2008).

Beberapa studi melaporkan tingginya angka kejadian depresi pada pasien PGK terutama pada pasien yang menjalani terapi HD (Hinrichsen et al, 2010 dalam Wijaya, 2005). Berdasarkan penelitian, prevalensi depresi pada pasien HD dengan menggunakan skor Beck Depression Inventory (BDI) mencapai 51%, selain itu juga ditemukan bahwa 55,5% pasien mempunyai kualitas hidup yang rendah (Cengic, 2010). Pada penelitian tahun 2005, ditemukan bahwa prevalensi depresi pada pasien PGK yang menjalani HD mencapai 31,1% dan sebagian besar komponen kualitas hidup mereka lebih rendah dibandingkan dengan pasien PGK yang menjalani HD tanpa depresi (Wijaya, 2005).

Sedangkan untuk ansietas, dari hasil penelitian terhadap 28 orang (51,9 %) laki-laki dan 26 orang (48,1 %) perempuan penderita PGK yang menjalani HD di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, terdapat 42 orang (77,78 %) di antaranya yang mengalami kecemasan. Penderita dengan rerata periode dan frekuensi HD terpanjang mengalami kecemasan ringan, sedangkan penderita dengan rerata periode dan frekuensi HD terpendek mengalami kecemasan sedang (Luana et al, 2012).

Pemantauan terhadap biomarker merupakan salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan pengobatan pasien ESRD yang menjalani HD. Data menunjukkan bahwa kualitas hidup merupakan prediktor yang konsisten terhadap mortalitas secara keseluruhan pada pasien HD. Dengan demikian, penting untuk melengkapi data pasien dengan informasi tentang kualitas hidup pasien secara menyeluruh (Spiegel et al, 2008).

Berdasarkan data penelitian, beberapa biomarker yang berhubungan terhadap kualitas hidup pasien HD antara lain Traditional Biomarkers (adekuasi

dialisis dan kadar hemoglobin (Hb)), Nutritional Biomarkers (serum kreatinin dan indeks massa tubuh (IMT)), Mineral Metabolism Biomarkers (serum kalsium, serum fosfat, dan produk kalsium-fosfor (CaXP)) (Spiegel et al, 2008).

Indikator yang digunakan untuk menilai adekuasi dialisis adalah Urea Reduction Ratio (URR) dan Kt/V (Amini et al, 2011). Menurut pedoman Kidney

Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI), target Kt/V yang ideal adalah

1,2 dan URR ≥ 65% (NKF, 2006). Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa tiap penurunan 0,1 dari nilai Kt/V akan meningkatkan resiko kematian sebanyak 7%, meningkatkan angka kejadian rawat inap, dan meningkatkan angka kejadian komorbiditas. Memperbaiki adekuasi dialisis merupakan cara yang praktis dan efisien dalam menurunkan angka kematian, selain itu juga dapat mengurangi biaya perawatan dan menurunkan angka morbiditas (Held et al, 1996; Sehgal, 2001). Pasien yang berada dalam kelompok dialisis yang adekuat mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan kelompok dengan dialisis yang tidak adekuat (Chen et al, 2000).

Anemia merupakan komplikasi yang umum terjadi pada keadaan uremia dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis (Avram et al, 2003). Sekitar 80%-95% pasien PGK yang menjalani dialisis hampir selalu mengalami anemia (Ulya, 2007). Kadar Hb yang ideal terhadap pasien dialisis masih kontroversial, akan tetapi pasien dialisis dengan kadar Hb diatas rekomendasi pengobatan saat ini (>12g/dl) dapat lebih diuntungkan dengan jangka waktu kelangsungan hidup yang lebih panjang. Kelangsungan hidup pasien dialisis dapat ditingkatkan dengan penatalaksanaan yang lebih baik terhadap anemia (Avram et al, 2003).

Persoalan nutrisi merupakan hal yang umum terjadi pada pasien ESRD dengan dialisis, dan sering dihubungkan terhadap tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Beberapa indikator yang digunakan dalam penilaian nutrisi antara lain serum kreatinin, dan IMT (Pifer et al, 2002).

Konsentrasi serum kreatinin berhubungan dengan status nutrisi karena menggambarkan simpanan protein tubuh, massa otot, dan asupan protein dari makanan. Kadar kreatinin yang rendah pada pasien HD meningkatkan resiko

kematian sebanyak 60-70% dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai kadar kreatinin tinggi (Pifer et al, 2002).

Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, IMT yang tinggi tampaknya dapat memberikan efek perlindungan terhadap pasien HD kronik (Pifer et al, 2002). Peningkatan IMT pada pasien HD, dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada populasi tersebut (Fleischmann et al, 1999). Sebaliknya, penurunan IMT > 3,5% diketahui dapat meningkatkan secara signifikan resiko kematian pada pasien HD. Oleh karena itu, dengan perbaikan status gizi dapat memberi dampak yang penting terhadap kelangsungan hidup pasien dialisis (Pifer et al, 2002).

Evidence-based guidelines menentukan beberapa indikator yang digunakan dalam menilai metabolisme mineral, yaitu serum kalsium, serum fosfat, dan CaXP. ESRD dengan dialisis selalu disertai dengan perubahan terhadap metabolisme mineral. Manifestasi laboratorium yang diakibatkan antara lain, hypocalcemia dan hyperphosphatemia. Metabolisme mineral yang abnormal dapat menyebabkan terjadinya penyakit metabolik tulang, yang juga akan turut berperan dalam masalah kesehatan lainnya, seperti gangguan otot dan sendi, anemia, neuropati, dan impoten (Young et al, 2005). Selain itu, perubahan kadar serum kalsium, serum fosfat juga akan mempengaruhi pembentukan kalsifikasi vaskular, yang akan berperan dalam terjadinya penyakit oklusi pembuluh darah, termasuk koroner, perifer, dan sirkulasi serebral (Goodman et al, 2000; Tokuyama et al, 2002; Raggi et al, 2002 dalam Young et al, 2005). Qunibi et al (2004) menyatakan bahwa peningkatan CaXP berhubungan kuat dengan peningkatan resiko kematian akibat penyakit jantung pada pasien HD.

Oleh karena itu, kualitas hidup penting untuk dimonitor bukan hanya karena sebagai dasar mendeskripsikan konsep sehat tetapi juga karena hubungannya yang sangat erat dengan morbiditas dan mortalitas (Jofre et al, 2000).

Diantara semua instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas hidup secara umum, SF-36 merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dan telah tervalidasi secara luas. Beberapa penelitian, seperti The Hemodialysis (HEMO) dan The Choice of Health Outcomes in Caring for ESRD

(CHOICE) menggunakan SF-36 sebagai instrumen dalam menilai kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan pada pasien ESRD. USRDS juga telah menggunakan instrumen SF-36 dalam penelitiannya (Chen et al, 2000). SF-36 telah terbukti berguna dalam memantau kesehatan, memantau hasil dalam praktek klinis, dan mengevaluasi hasil pengobatan (Wang et al, 2008). Selain itu, SF-36 juga telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan isinya telah diperiksa lintas budaya (Bullinger et al, 1998; Wagner et al, 1998).

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang biomarker yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien HD kronik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : biomarker apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien HD kronik ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui biomarker yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien HD kronik.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan Traditional Biomarkers (adekuasi dialisis dan kadar Hb) dengan kualitas hidup pasien HD kronik.

2. Untuk mengetahui hubungan Nutritional Biomarkers ( serum kreatinin, dan IMT) dengan kualitas hidup pasien HD kronik.

3. Untuk mengetahui hubungan Mineral Metabolism Biomarkers (serum kalsium, serum fosfat, dan CaXP) dengan kualitas hidup pasien HD kronik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Bidang Pendidikan

Menambah wawasan tenaga medis tentang biomarker yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien HD.

2. Bidang Penelitian

Sebagai data dasar bagi peneliti lain untuk meneliti biomarker lain yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien HD.

3. Bidang Pelayanan Masyarakat

Masukan bagi praktisi medis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien HD dengan memperbaiki biomarker yang berhubungan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hemodialisis

2.1.1. Definisi dan Prinsip Kerja

HD adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semipermeabel (dialiser), yang berfungsi sebagai nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi, 2011).

Sistem HD terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan dilewati saat darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril menuju ke filter dialisis/ dialiser menggunakan pompa mekanik. Darah pasien akan ditransfer menuju sistem vaskuler eksternal tersebut melalui akses vaskuler, yang merupakan akses permanen ke aliran darah untuk HD (Dipiro et al, 2011).

Akses vaskuler dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu

arteriovenous (AV) fistula, AV graft, dan venous catheters. AV fistula dibuat

dengan cara anastomosis vena dan arteri (idealnya arteri radialis dan vena sefalika di lengan bawah). AV fistula membutuhkan waktu lebih kurang 1 sampai 2 bulan sebelum dapat secara rutin digunakan untuk dialisis. Sedangkan AV graft sintetik, yang merupakan pilihan lain untuk akses AV permanen, biasanya menggunakan

polytetrafluoroethylene (PTFE) sebagai penghubung. Secara umum memerlukan

waktu sekitar 2-3 minggu sebelum dapat digunakan secara rutin. Venous catheters merupakan akses vaskuler yang sering digunakan pada pada pasien HD kronik. Venous catheters dapat ditempatkan di vena femoralis, vena subklavia, atau vena jugularis interna (Dipiro et al, 2011).

Setelah masuk ke dalam sistem vaskuler eksternal, darah pasien akan diinjeksikan dengan antikoagulan sistemik (heparin) dan kemudian akan melewati dialiser. Dialiser adalah tempat dimana darah dan cairan dialisis (dialisat), yang terdiri dari air murni dan elektrolit, bertemu dan terjadi pergerakan molekul antara dialisat dan darah melalui membran semipermeabel. Terdapat dua mekanisme

pengangkutan zat terlarut melewati membran semipermeabel, yaitu difusi dan ultrafiltrasi (konveksi) (Daugirdas et al, 2007).

1) Difusi

Proses difusi pada HD berfungsi untuk membuang produk limbah yang terdapat dalam darah. Akibat perbedaan konsentrasi antara darah dan dialisat akan menyebabkan produk limbah dalam darah, yang mempunyai konsentrasi tinggi, bergerak melewati membran menuju dialisat yang mempunyai konsentrasi lebih rendah. Jika darah dan dialisat dibiarkan dalam kedaan statis satu sama lain melalui membran, konsentrasi produk limbah dalam dialisat akan menjadi sama dengan yang di dalam darah, dan pembuangan lebih lanjut dari produk limbah tidak akan terjadi. Oleh karena itu, selama proses HD, untuk mencegah konsentrasi kesetimbangan, gradien konsentrasi antara darah dan dialisat harus dimaksimalkan dengan terus mengisi kompartemen dialisat dengan cairan dialisis segar dan mengganti darah dialisis dengan darah yang belum terdialisis. Biasanya arah aliran dialisat dipompa ke dialiser berlawanan dengan arah aliran darah, hal ini berguna untuk memaksimalkan perbedaan konsentrasi antara produk limbah dengan dialisat (Daugirdas et al, 2007).

2) Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi selama HD diperlukan untuk mengeluarkan akumulasi air, baik yang berasal dari konsumsi cairan maupun metabolisme makanan selama periode interdialitik. Ultrafiltrasi terjadi ketika air didorong oleh tekanan hidrostatik ataupun tekanan osmotik melalui membran. Air akan terbawa bersama dengan zat terlarut yang melalui pori-pori membran (Daugirdas et al, 2007).

Setelah terjadi proses HD di dalam dialiser, maka darah akan dikembalikan ke tubuh pasien. Sedangkan dialisat yang telah berisi produk limbah yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis dengan cairan pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama HD akan semakin optimal (Depkes, 1999; Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005 dalam Septiwi, 2011).

Gambar 1. Prinsip Kerja HD (Dipiro et al, 2011)

Pada proses HD, darah pasien dipompakan ke dializer dengan kecepatan 300-600 ml/menit. Sedangkan dialisat dipompakan dengan kecepatan 500-1000 ml/menit. Laju pemindahan cairan dari pasien dikontrol dengan cara menyesuaikan tekanan dalam kompartemen dialisat (Dipiro et al, 2011).

2.1.2. Epidemiologi

Berdasarkan data USRDS, total insidensi kasus dialisis di Amerika Serikat meningkat sebanyak 0,27% pada tahun 2010 menjadi 114.083 kasus. Pada 31 Desember 2010 tercatat prevalensi kasus HD sebanyak 383.992 kasus, dimana terjadi peningkatan sekitar 4% dibandingkan tahun 2009 (USRDS, 2012).

Di Indonesia, jumlah penderita PGK pada tahun 2011 yaitu sekitar 12.780 orang dan 6.951 diantaranya menjalani HD. Jumlah ini semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2009 dan 2010 tercatat masing-masing 4.707 dan 5.184 orang menjalani HD (IRR, 2011).

Tabel 2.1. Pasien baru dan pasien aktif yang menjalani HD di Indonesia dari tahun 2007-2011 (IRR, 2011) 2007 2008 2009 2010 2011 Pasien Baru 4977 5392 8193 9649 15353 Pasien Aktif 1885 1936 4707 5184 6951 2.1.3 Indikasi

Kriteria untuk memulai terapi dialisis, antara lain adanya gejala uremia, hiperkalemia yang tidak respon terhadap terapi konservatif, peningkatan volume ekstraseluler yang persisten, asidosis yang sulit diatasi dengan terapi medis, diatesis hemoragik, creatinine clearance atau GFR dibawah 10 mL/menit (Fauci et al, 2008).

2.2. Kualitas Hidup 2.2.1 Definisi

Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap kedudukannya dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan berkaitan dengan tujuan, harapan, dan martabat untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya. Kualitas hidup merupakan konsep yang luas dan terpengaruh secara kompleks dengan kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi, dan hubungan mereka dengan lingkungannya (WHO, 1997).

2.2.2 Penilaian Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis

World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan mental, sosial, dan fisik yang baik dan tidak terbatas hanya pada tidak adanya penyakit. Oleh karena itu, pengukuran kualitas hidup dapat menunjukkan dampak penyakit terhadap kinerja fisik, mental dan sosial pasien (Kojima, 2012; Kusleikaite et al, 2010 dalam Rostami et al, 2013).

Penilaian kualitas hidup pasien ESRD yang menjalani HD terdiri dari beberapa aspek, antara lain : efek dialisis terhadap kehidupan sehari-hari, beban dari penyakit, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi sosial, fungsi seksual, dukungan sosial, fungsi fisik, peran fisik dalam rutinitas sehari-hari, rasa sakit, persepsi kesehatan umum, peran emosional, fungsi sosial, dan energi (Kastrouni et al, 2010).

Pendekatan yang paling sering digunakan dalam menilai kualitas hidup dalam suatu penelitian adalah dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri walaupun beberapa teknik lain seperti wawancara atau melalui telepon dapat digunakan (Wijaya, 2005).

Para ilmuan telah banyak mengembangkan alat ukur yang digunakan untuk menilai kualitas hidup, salah satu kuesioner yang telah digunakan secara luas dan telah tervalidasi adalah SF-36. SF-36 adalah instrumen berupa kuesioner yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas hidup pasien-pasien yang menderita penyakit kronik secara umum (Chen et al, 2000). Penggunaannya telah terbukti bermanfaat dalam memantau kesehatan, hasil praktek klinis, dan mengevaluasi hasil pengobatan (Wang et al, 2008).

2.3. SF-36 2.3.1 Definisi

SF-36 adalah instrumen non-spesifik yang umumnya digunakan untuk menilai kualitas hidup (Wang et al, 2008). SF-36 merupakan kuesioner multi fungsi dan bentuk singkat dari survey kesehatan dengan 36 pertanyaan (Ware, 2004). Kuesioner SF-36 terdiri dari 1 pertanyaan transisi, berfungsi untuk menilai perubahan kesehatan umum dalam satu tahun terakhir, dan 35 pertanyaan mengenai kualitas hidup yang dibagi dalam 8 skala, antara lain : 1) fungsi fisik, 2) keterbatasan akibat masalah fisik, 3) perasaan sakit/nyeri, 4) kesehatan umum, 5) vitalitas, 6) fungsi sosial, 7) keterbatasan akibat masalah emosional, dan 8) kesehatan mental. Kemudian masing-masing skala disimpulkan menjadi 2 dimensi utama, yaitu dimensi kesehatan fisik dan dimensi kesehatan mental (Kalantar-Zadeh et al, 2001).

Tabel 2.2. Pembagian Skala dan Dimensi SF-36 (Kalantar-Zadeh et al, 2001)

Pertanyaan Skala Dimensi

3.Aktivitas berat Fungsi fisik K eseha tan F isi k 4.Aktivitas sedang 5. Mengangkat/membawa belanjaan 6.Menaiki anak tangga beberapa lantai 7.Menaiki anak tangga satu lantai 8.Membungkuk, berlutut, atau jongkok 9.Berjalan lebih dari satu km

10.Berjalan beberapa ratus meter 11.Berjalan seratus meter

12.Mandi dan berpakaian sendiri

13.Mengurangi waktu dalam melakukan pekerjaan

Keterbatasan akibat masalah

fisik 14.Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan

sempurna

15.Hanya dapat melakukan pekerjaan/aktivitas tertentu

16.Sulit melaksanakan pekerjaan

21.Tingkatan rasa nyeri yang dirasakan Perasaan

sakit/nyeri 22.Rasa nyeri yang mengganggu

1.Kondisi kesehatan secara umum

Kesehatan umum K eseha tan Menta l

36.Kesehatan baik luar biasa

34.Sama sehatnya seperti orang lain 33.Lebih mudah sakit

35.Kesehatan memburuk 23.Semangat

Vitalitas 27.Energi

29.Lelah atau loyo 31.Capek

32.Seberapa lama keterbatasan fisik/emosi

mengganggu aktifitas sosial Fungsi sosial

20. Seberapa besar keterbatasan fisik/emosi mengganggu aktifitas sosial

17.Mengurangi waktu dalam melakukan pekerjaan Keterbatasan akibat masalah

emosional 18.Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan

sempurna

19.Tidak cermat dalam melakukan pekerjaan 24.Ragu-ragu

Kesehatan mental 25.Tertekan

26.Tenteram

28.Kecewa atau sedih 30.Bahagia

Perhatikan pada tabel 2.2. bahwa skala vitalitas dan kesehatan umum merupakan bagian yang timpang tindih dari kedua dimensi, yaitu dimensi kesehatan fisik dan dimensi kesehatan mental. Dan untuk pertanyaan nomor 2, yang merupakan evaluasi terhadap perubahan kesehatan selama satu tahun terakhir, tidak tergabung dalam skor, dimensi, maupun total skor dalam kuesioner SF-36 (Kalantar-Zadeh et al, 2001).

Untuk memudahkan penggunaan dan agar lebih mudah dimengerti, pertanyaan-pertanyaan SF-36 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, tanpa merubah makna aslinya. Beberapa pertanyaan diterjemahkan dan dimodifikasi ke dalam nilai perkiraan agar tidak membingungkan. Misalnya pertanyaan “Lifting/carrying groceries?” diterjemahkan membawa/ mengangkat belanjaan, mengangkat barang ringan 7-10 kg. “Walking several blocks” diterjemahkan menjadi 100 meter, dan lain-lain. SF-36 yang sudah diterjemahkan dan dimodifikasi ini disebut sebagai SF-36 Medan Modifikasi (Nasution, 2008).

SF-36 Medan Modifikasi telah digunakan secara luas di indonesia untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan. Selain itu validitasnya juga telah

Dokumen terkait