• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

DAFTAR SINGKATAN

CSS Cairan Serebrospinal

DNA Deoxyribonucleic Acid

JAMA The Journal of the American Medical Association

RNA Ribonucleic Acid

RS Rumah Sakit

RSUD Rumah Sakit Umum Daerah

SD Sekolah Dasar

SMA Sekolah Menengah Atas

SMP Sekolah Menengah Pertama

USU Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN II Kueisioner Penelitian

LAMPIRAN III Informed Consent

LAMPIRAN IV Surat Izin Penelitian

ABSTRAK

Antibiotika merupakan obat yang penting digunakan dalam pengobatan infeksi akibat bakteri. Penggunaan antibiotika yang tepat penting untuk diperhatikan dikarenakan efek sampingnya yang cukup membahayakan bagi pasien dan dapat menyebabkan resistensi antibiotika. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan penggunaan antibiotika pada masyarakat. Salah satu faktor yang penting adalah tingkat pengetahuan masyarakat mengenai antibiotika itu sendiri. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan tersebut, seperti tingkat pendidikan dari masyarakat, penjelasan oleh dokter, serta anggapan-anggapan lain yang menimbulkan adanya kesalahan saat mengonsumsi antibiotika.

Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RS Umum Daerah Pirngadi Kota Medan mengenai penggunaan antibiotika. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan teknik pengumpulan sampel digunakan adalah teknik purposive sampling. Total 100 responden dalam penelitian ini adalah pasien yang datang berobat ke poliklinik penyakit dalam di RSUD Pirngadi Kota Medan. Penelitian ini menggunakan data primer dalam pengumpulan data. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari data kuesioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RSUD Pirngadi Kota Medan terhadap penggunaan antibiotika sebagian besar tergolong baik, sebab dari 100 orang terdapat 78 responden (78%) yang menjawab pertanyaan pengetahuan dengan benar, responden yang berpengetahuan sedang sebanyak 14 orang (14%) dan responden yang berpengetahuan kurang sebanyak 8 orang (8%).

Saran dari penelitian ini adalah agar masyarakat lebih meningkatkan pengetahuan terhadap penggunaan antibiotika yang benar dan mengimplementasikannya menjadi sikap yang benar terhadap penggunaan antibiotika di kehidupan sehari-hari dan bagi dokter pelayanan kesehatan primer untuk menerapkan edukasi pada pasien tentang penggunaan antibiotika yang benar.

ABSTRACT

Antibiotics are important drugs used in the treatment of infections caused by bacteria. Appropriate use of antibiotics is important because the side effects are quite dangerous for the patient and can lead to antibiotic resistance. There are several factors that affect the use of antibiotics in the community. One important factor is the level of community knowledge about the antibiotic itself. Some of the factors that affect the level of knowledge, such as the level of education of the community, adequate education by the physicians, as well as other assumptions which give rise to an error when taking antibiotics.

The purpose of research is to see the level of patient’s knowledge in Internal Medicine Polyclinic Pirngadi Regional General Hospital on the use of antibiotics. This study design is a descriptive study with cross-sectional approach and sample collection techniques used is purposive sampling technique. Total of 100 respondents in this study are patients in Internal Medicine Polyclinic Pirngadi Regional General Hospital. Primary data is used during data processing.

The result shows that the level of knowledge of the patients in Internal Medicine Polyclinic Pirngadi Regional General Hospital on the use of antibiotics is good, based on the result showing that 78 people out of 100 respondents (78%) answered the question correctly, respondents who are knowledgeable are 14 respondents ( 14% ) and less knowledgeable respondents are 8 respondents (8%).

Suggestion from this study for community is to increase their knowledge about proper usage of antibiotics and implementing it into the right attitude towards the proper use of antibiotics in daily life and for physicians in primary health care to provide counseling and education to the community about the proper use of antibiotics.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Melihat kembali sejarah timbulnya berbagai macam penyakit pada manusia, penyakit infeksi memegang proporsi yang sangat besar di antara penyakit-penyakit lainnya. Pada pertengahan abad ke-19, ditemukan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab berbagai jenis penyakit infeksi yang telah mewabah kehidupan manusia sejak dulu (Saga dan Yamaguchi, 2009).

Banyak pasien di seluruh dunia menderita penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, protozoa, atau helminth yang tidak lagi rentan terhadap obat-obatan yang biasa digunakan untuk mengobati mereka (Chauhan et al, 2013).

Antibiotika adalah sebuah agen yang bekerja menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri secara langsung. Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap pertumbuhan bakteri dalam pengenceran tinggi (Rajabi, 2013).

Kurang dari 20 tahun setelah penemuan penicillin pada tahun 1928, Alexander Fleming mulai meneliti resistensi bakteri terhadap antibiotika. Fleming mencatat adanya strain bakteri yang resisten pada eksperimentalnya di cawan petri, walaupun adanya kehadiran penicillin. Ini merupakan awal pengetahuan tentang penggunaan antibiotik dimana pada awal berhasil dalam mengobati infeksi bakteri, sementara di lain sisi juga menyebabkan tumbuhnya strain bakteri yang resisten (Kreisberg, 2009).

Perkembangan resistensi terhadap agen antibiotika dan peningkatan biaya sebagai hasil dari penggunaan antibiotika yang tidak perlu dan tidak tepat telah menjadi masalah kesehatan yang global. Penggunaan antibiotik secara berlebihan dan tidak tepat dapat menyebabkan efek samping, peningkatan resistensi antibiotika (disebabkan penggunaan berlebihan) dan penyebaran infeksi via darah seperti Hepatitis B/C (disebabkan injeksi tidak steril) yang mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas serta menjadi beban ekonomi dalam pemeliharaan kesehatan (Tunger et al, 2009).

Antibiotika sering sekali disalahgunakan dan dilebihgunakan. Di Eropa, beberapa negara menggunakan antibiotik dengan dosis tiga kali lebih banyak dari yang dianjurkan dibandingkan negara lainnya pada kasus penyakit yang sama, sementara hanya 70% kasus pneumonia mendapat antibiotik yang tepat, dan sekitar setengah dari infeksi saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh virus dan diare yang disebabkan virus mendapatkan antibiotika secara tidak tepat (WHO, 2011).

Kepatuhan pasien dalam berobat adalah sekitar 50% di seluruh dunia dan lebih rendah pada negara berkembang, dimana di atas 50% dari setiap kasus disebabkan kurangnya instruksi atau edukasi pasien dan pemberian label obat yang dibagikan (WHO, 2011).

Perkembangan resistensi antibiotika diperburuk dengan resep antibiotik yang berlebihan. Lebih dari 50% antibiotika di seluruh dunia dibeli tanpa resep dokter. Keadaan lebih serius di negara berkembang karena penggunaan antibiotika tanpa pedoman dan kurangnya aturan penggunaan antibiotika. Faktor penyebab

self-antibiotic prescription di negara dengan pendapatan kurang yaitu tingginya biaya konsultasi medis dan ketidakpuasan terhadap praktisi medis (Abera et al, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian tentang profil pengetahuan masyarakat Manado mengenai antibiotik amoksisilin yang dilakukan melalui wawancara dengan kueisioner diperoleh data responden yakni masyarakat Kota Manado sebagian besar memiliki pengetahuan sedang mengenai antibiotik amoksisilin yakni 49,3 %. Kelompok tenaga kesehatan sebagian besar responden memiliki pengetahuan tinggi yakni 70 %, mahasiswa kesehatan memiliki pengetahuan sedang yakni 68 % dan masyarakat non kesehatan juga memiliki pengetahuan sedang yakni 52 % mengenai antibiotika amoksisilin (Pandean et al, 2013).

Pada studi cross sectional melalui wawancara terpimpin dengan menggunakan kuesioner di Puskesmas Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung didapatkan dari 83 responden, sebanyak 92,8% tidak mengetahui

kegunaan antibiotika, 69,8% tidak mengetahui resistensi antibiotika dan 69,8% juga tidak mengetahui cara mencegah resistensi antibiotika. Hal tersebut menunjukkan tingkat pengetahuan responden buruk. Sebanyak 59,1% responden membeli antibiotika tanpa resep dokter. Selanjutnya pada aspek perilaku penggunaan antibiotika didapatkan 66,8% minum antibiotika secara tidak tuntas. Didapatkan 67,4% berperilaku selalu menginginkan antibiotika saat batuk pilek. Pada saat batuk pilek dan tidak diberikan (Swastinitya et al, 2013).

Penelitian yang dilakukan di kota Medan mengenai hubungan tingkat pengetahuan tentang antibiotika dan penggunaannya di kalangan mahasiswa non medis Universitas Sumatera Utara mendapatkan bahwa 77% mahasiswa non medis USU memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap antibiotik, 18% persen memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan hanya hampir 5% memiliki pengetahuan yang rendah terhadap antibiotik (Pulungan, 2010).

Penelitian lainnya yang dilakukan di kota Medan mengenai tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Suka Maju medapatkan bahwa dari 336 jumlah keseluruhan responden, didapati 79,5% memiliki tingkat pengetahuan baik, 14,3% memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 6,3% memiliki tingkat pengetahuan rendah (Pratama, 2013).

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada penggunaan antibiotika di kalangan masyarakat diperlukan edukasi dan berbagai aspek yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika, agar tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penggunaan antibiotika dapat mencapai tahap yang diinginkan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dan penggunasalahan antibiotika di kalangan masyarakat. Hal ini dapat difasilitasi dengan komunikasi yang lebih efektif antara dokter dengan pasien (masyarakat pada umumnya), sehingga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien dan masyarakat terhadap keuntungan dan kerugian antibiotika. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RS Umum Daerah Pirngadi Medan mengenai penggunaan antibiotika?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RS Umum Daerah Pirngadi Medan mengenai penggunaan antibiotika.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RS Umum Daerah Pirngadi Medan mengenai penggunaan antibiotika berdasarkan jenis kelamin.

2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RS Umum Daerah Pirngadi Medan mengenai penggunaan antibiotika berdasarkan umur.

3. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien poliklinik penyakit dalam di RS Umum Daerah Pirngadi Medan mengenai penggunaan antibiotika berdasarkan tingkat pendidikan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi kepada masyarakat tentang penggunaan antibiotika yang tepat.

2. Sebagai pertimbangan bagi dokter pelayanan kesehatan primer dalam mengedukasi pasien mengenai penggunaan antibiotika.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antibiotika 2.1.1. Definisi

Antimikroba adalah istilah umum yang ditujukan untuk senyawa mencakup antibiotika, agen antimikroba pada makanan, sanitizer, desinfektan, dan senyawa lainnya yang bekerja melawan mikroorganisme. Antibiotika adalah agen antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri, fungi, atau secara sintetis (Mal. J. Microbiol., 2009).

Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat membunuh mikroorganisme lainnya, ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928. Antibiotika efektif dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri (Derderian, 2007).

Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan secara alami oleh mikroorganisme atau secara sintetis oleh ahli kimia di laboratorium. Antibiotika memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri (JAMA, 2009).

2.1.2. Klasifikasi

Antibiotika diklasifikasikan atas beberapa kelompok antara lain:

1. Berdasarkan spektrum kerjanya yaitu luas aktivitas, artinya aktif terhadap banyak atau sedikit jenis bakteri, terdiri atas:

a. Spektrum luas (aktivitas luas)

Bersifat aktif melawan bakteri gram positif dan gram negatif.

Contohnya : tetrasiklin, fenikol, fluorokuinolon, sefalosporin generasi tiga dan generasi empat.

b. Spektrum sempit (aktivitas sempit)

Mempunyai aktivitas terbatas dan berguna melawan hanya bakteri jenis tertentu.

Contohnya : glikopeptida dan basitrasin hanya efektif melawan bakteri gram positif, sedangkan polimiksin biasanya efektif melawan bakteri gram negatif. Aminoglikosida dan sulfonamida hanya efektif melawan organisme aerobik, sedangkan nitroimidazol secara umum efektif terhadap organisme anaerob (Michigan State University, 2011).

2. Berdasarkan efeknya terhadap bakteri yaitu daya kerja dalam menginaktivasi atau membunuh bakteri, terdiri atas :

a. Bakteriosid

Bekerja dengan cara membunuh organisme target.

Contohnya : aminoglikosida, sefalosporin, penisilin, dan kuinolon. b. Bakteriostatik

Bekerja degan cara menghambat pertumbuhan dan replikasi bakteri.

Contohnya : tetrasiklin, sulfonamide, dan makrolida (Michigan State University, 2011).

3. Berdasarkan cara atau mekanisme kerjanya yaitu sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya, terdiri atas:

a. Inhibitor sintesis dinding sel

Bekerja menghambat pertumbuhan dinding sel bakteri sehingga membunuh atau menghambat bakteri secara selektif.

Contohnya : penisilin, sefalosporin, basitrasin, dan vankomisin. b. Inhibitor fungsi membran sel

Bekerja merusak membran sel yang mengakibatkan kebocoran solut yang penting untuk kehidupan sel.

Contohnya : polimiksin B dan kolistin. c. Inhibitor sintesis protein

Bekerja menghambat sisntesis protein yang penting untuk produksi enzim, struktur seluler, metabolisme sel, multiplikasi sel sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya bakteri tersebut.

d. Inhibitor sintesis asam nukleat

Bekerja mengikat komponen yang berperan dalam sintesis DNA dan RNA, yang mengakibatkan terganggunya proses seluler normal sehingga terhambatnya multiplikasi bakteri.

Contohnya : kuinolon, metronidazol, dan rifampin. e. Inhibitor proses metabolisme

Bekerja menghambat proses seluler yang penting untuk kehidupan bakteri. Contohnya : sulfonamida dan trimetoprim mengganggu folic acid pathway

yang diperlukan bakteri untuk memproduksi prekursor yang penting dalam sintesis DNA (Michigan State University, 2011).

2.1.3. Golongan Antibiotik

Ada beberapa golongan – golongan besar antibiotik, yaitu: 1. Golongan Penisilin

Penisilin diklasifikasikan sebagai obat β-laktam karena cincin laktam mereka yang unik. Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, efek klinis, dan karakteristik imunologi yang mirip dengan sefalosporin,

monobactam, carbapenem, dan β-laktamase inhibitor, yang juga merupakan

senyawa β-laktam.

Penisilin dapat terbagi menjadi beberapa golongan : - Penisilin natural (misalnya, penisilin G)

Golongan ini sangat poten terhadap organisme gram-positif, coccus gram negatif, dan bakteri anaerob penghasil non-β-laktamase. Namun, mereka memiliki potensi yang rendah terhadap batang gram negatif.

- Penisilin antistafilokokal (misalnya, nafsilin)

Penisilin jenis ini resisten terhadap stafilokokal β-laktamase. Golongan ini aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus tetapi tidak aktif terhadap enterokokus, bakteri anaerob, dan kokus gram negatif dan batang gram negatif.

- Penisilin dengan spektrum yang diperluas (Ampisilin dan Penisilin antipseudomonas)

Obat ini mempertahankan spektrum antibakterial penisilin dan mengalami peningkatan aktivitas terhadap bakteri gram negatif (Katzung, 2007).

2. Golongan Sefalosporin dan Sefamisin

Sefalosporin mirip dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja, dan toksisitas. Hanya saja sefalosporin lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri sehingga memiliki spektrum yang lebih lebar. Sefalosporin tidak aktif terhadap bakteri enterokokus dan L.monocytogenes. Sefalosporin terbagi dalam beberapa generasi, yaitu:

a. Sefalosporin generasi pertama

Sefalosporin generasi pertama termasuk di dalamnya sefadroxil, sefazolin, sefalexin, sefalotin, sefafirin, dan sefradin. Obat - obat ini sangat aktif terhadap kokus gram positif seperti pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus.

b. Sefalosporin generasi kedua

Anggota dari sefalosporin generasi kedua, antara lain: sefaklor, sefamandol, sefanisid, sefuroxim, sefprozil, loracarbef, dan seforanid. Secara umum, obat – obat generasi kedua memiliki spektrum antibiotik yang sama dengan generasi pertama. Hanya saja obat generasi kedua mempunyai spektrum yang diperluas kepada bakteri gram negatif.

c. Sefalosporin generasi ketiga

Obat–obat sefalosporin generasi ketiga adalah sefeperazone, sefotaxime, seftazidime, seftizoxime, seftriaxone, sefixime, seftibuten, moxalactam, dll. Obat generasi ketiga memiliki spektrum yang lebih diperluas kepada bakteri gram negatif dan dapat menembus sawar darah otak.

d. Sefalosporin generasi keempat

Sefepime merupakan contoh dari sefalosporin generasi keempat dan memiliki spektrum yang luas. Sefepime sangat aktif terhadap haemofilus

dan neisseria dan dapat dengan mudah menembus CSS (Katzung, 2007). 3. Golongan Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein mikroba. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan

aktif terhadap masing – masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob maupun anaerob (Katzung, 2007).

4. Golongan Tetrasiklin

Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama untuk mengobati infeksi dari M.pneumonia, klamidia, riketsia, dan beberapa infeksi dari spirokaeta. Tetrasiklin juga digunakan untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh H.pylori. Tetrasiklin menembus plasenta dan juga diekskresi melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin diekskresi melalui urin dan cairan empedu (Katzung, 2007).

5. Golongan Makrolida

Eritromisin merupakan bentuk prototipe dari obat golongan makrolida yang disintesis dari S.erythreus. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif terutama pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, dan korinebakterium. Aktifitas antibakterial eritromisin bersifat bakterisidal dan meningkat pada pH basa (Katzung, 2007).

6. Golongan Aminoglikosida

Yang termasuk golongan aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lain – lain. Golongan aminoglikosida pada umumnya digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri gram negatif enterik, terutama pada bakteremia dan sepsis, dalam kombinasi dengan vankomisin atau penisilin untuk mengobati endokarditis, dan pengobatan tuberkulosis (Katzung, 2007).

7. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim

Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan sulfametoxazol merupakan pengobatan yang sangat efektif terhadap pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi salmonela sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi mikobakterium non tuberkulosis (Katzung, 2007).

8. Golongan Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat, siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain–lain. Golongan fluorokuinolon aktif terhadap bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh pseudomonas.

Golongan ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli, dan Campilobacter (Katzung, 2007).

2.1.4. Resistensi Antibiotika 2.1.4.1. Definisi

Resistensi terhadap antibiotika adalah perubahan kemampuan bakteri hingga menjadi kebal terhadap antibiotika. Resistensi terhadap antibiotika terjadi akibat berubahnya sifat bakteri sehingga tidak lagi dapat dimatikan atau dibunuh. Keampuhan obat menjadi melemah atau malah hilang. Bakteri yang resisten terhadap antibiotika tidak akan terbunuh oleh antibiotika,lalu berkembang biak dan menjadi lebih berbahaya (WHO, 2011).

2.1.4.2. Penyebab Terjadinya Resistensi

Terdapat berbagai faktor penyebab terjadinya resistensi yaitu faktor primer adalah penggunaan antibiotika, munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotika, dan penyebaran strain tersebut ke bakteri lain. Selain itu,faktor penjamu, seperti lokasi infeksi, kemampuan antibiotika mencapai organ target infeksi sesuai dengan konsentrasi terapi, flora normal pasien, dan ekologi lingkungan merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Penggunaan antibiotika secara berlebihan, memiliki andil yang besar dalam menyebabkan peningkatan resistensi terhadap antibiotika, terutama di rumah sakit. Peresepan antibiotika yang kurang perlu dan banyak terjadi di negara industri juga ditemukan pada banyak negara berkembang. Faktor yang juga berpengaruh adalah penyalahgunaan antibiotika oleh praktisi kesehatan yang tidak ahli,karena kurangnya perhatian pada efek yang merusak dari penggunaan antibiotika tidak tepat (Harniza, 2009).

Penggunaan antibiotika yang tidak tepat meningkatkan jumlah dan jenis bakteri yang kebal terhadap antibiotika. Setiap kali seseorang mengonsumsi antibiotika, maka bakteri yang sensitif akan terbunuh, tetapi bakteri yang kebal akan terus hidup, tumbuh dan berkembang biak. Penggunaan antibiotika yang berulang-ulang dan tidak tepat adalah penyebab utama peningkatan jumlah bakteri yang kebal terhadap obat. Penggunaan antibiotika secara cerdas, tepat, adalah kunci pengendalian penyebaran bakteri yang resisten terhadap antibiotika (WHO, 2011).

2.1.4.3. Mekanisme Terjadinya Resistensi

Beberapa bakteri mampu menetralkan antibiotik sebelum membunuhnya, bakteri lain mampu dengan cepat mengeluarkan antibiotika dari sel mereka dan bakteri lainnya mampu mengubah titik serang antibiotika sehingga tidak menggangu fungsi hidupnya. Antibiotika membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri yang peka. Tetapi, terkadang, salah satu bakteri dapat bertahan hidup karena mampu menetralisir atau menghindar dari efek antibiotika. Bakteri semacam ini akan berkembang biak dan menggantikan tempat bakteri-bakteri yang terbunuh. Bakteri yang semula peka terhadap suatu antibiotika pun dapat menjadi kebal melalui perubahan genetik di dalam selnya, atau dengan menerima DNA yang sudah resisten dari bakteri lain. Artinya bakteri dapat menjadi resisten terhadap beberapa antibiotika sekaligus. Ini tentu menyulitkan para dokter memilih antibiotika yang tepat untuk pengobatan (WHO, 2011).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika beraneka ragam, baik melalui pembentukan enzim penghancur antibiotika, penurunan aktivitas protein pengikat antibiotika, dan sebagainya. Fenotip yang tampil semuanya mempunyai dasar genetik. Beberapa contoh gen yang dikaitkan dengan resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1. Gen yang Terkait dengan Resistensi terhadap Antibiotika

No. Bakteri Antibiotik Gen terkait

1. Staphylococcus Metisilin MecA 2. Enterococcus Vankomisin VanC 3. Mycobacterium Isoniazid KatG 4. Mycobacterium Rifampisin RpoB 5. Mycobacterium Etambutol EmbB 6. Mycobacterium Pirazinamid PncA 7. Mycobacterium Fluorokuinolon GyrA

Pembicaraan mengenai resistensi bakteri terhadap antibiotika akan menyangkut dua jenis bakteri:

1. Bakteri yang secara alamiah resisten terhadap antibiotik tertentu (resistensi intrinsik). Faktor genetik yang melandasinya bersifat kromosomal.

2. Bakteri yang berubah sifatnya dari peka menjadi resisten. Perubahan fenotip ini dapat terjadi karena mutasi kromosomal dan/atau didapatnya materi genetik dari luar. Telah lama diketahui bahwa galur bakteri resisten dapat timbul lewat pemaparan bakteri dengan antibiotik dalam konsentrasi tinggi untuk waktu yang lama (Sjahrurachman, 2011).

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotika. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):

1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. 2. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

3. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.

4. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.

5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.

2.1.5. Prinsip Penggunaan Antibiotika

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotika: (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/ Menkes/ PER/ XII/ 2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika)

1. Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika

Dokumen terkait