• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian (Panduan Wawancara)

Lampiran 3 Lembar Penjelasan (Informed Consent)

Lampiran 4 Lembar Persetujuan

Lampiran 5 Ethical Clearance Lampiran 6 Data Induk

ABSTRAK

Siklus menstruasi menggambarkan kesehatan reproduksi wanita. Gangguan siklus menstruasi erat hubungannya dengan perubahan hormonal. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Beberapa penelitian pun mendapati kejadian gangguan siklus yang tinggi pada wanita usia muda atau mahasiswi.

Tujuan penelitian untuk melihat hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan siklus menstruasi pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012. Penelitian bersifat analitik dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012. Sampel penelitian berjumlah 220 responden yang diambil dengan metode stratified random sampling. Data mengenai siklus menstruasi diperoleh dengan wawancara sementara Indeks Massa Tubuh dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan. Analisis data menggunakan uji chi square.

Hasil penelitian menemukan 66,8% responden dengan siklus teratur sementara 33,2% dengan siklus tidak teratur. Didapati 41,7% IMTberat badan kurang, 25% IMT normal, 37,5% IMT berat badan lebih, dan 47,7% IMT obese memiliki siklus tidak teratur. Berdasarkan uji hipotesis didapati p<0,05 (X2=8,87, p=0,031, CI 95%) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan. Dari hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan siklus menstruasi.

Kata kunci: Indeks Massa Tubuh, siklus menstruasi, polimenorea, oligomenorea, amenorea sekunder

ABSTRACT

Menstrual cycle can describe woman’s reproductive health. Disorders of the menstrual cycle is closely related to hormonal changes. Many factors that affect, one’s Body Mass Index. Several studies has found a high incidence of disorders menstrual cycle in young adult woman or young college girls.

This study aimed to analyze the association of Body Mass Index with menstrual cycle in female students of Faculty of Medicine, University of North Sumatera, class of 2010, 2011, and 2012. This survey study was analytic used a cross sectional design. The population of study was female students of Faculty of Medicine, University of North Sumatera, class of 2010, 2011, and 2012. The selection of 220 respondent was performed by stratified random sampling. Data on menstrual cycle collected by interview using structured questionnaire while Body Mass Index was measured by measurement weight and height. Data were analyzed by chi square.

The result found a regular cycle 66,8% and irregular cycles 33,2%. As many as 41,7% of respondents with underweight, 25% normoweight, 37,5% with overweight, and 47,7% with obese have an irregular menstrual cycle. Based on the hypothesis test found p < 0.05 ( X2= 8.87 , p= 0.031 , CI 95 % ) which indicates that there is a relationship between Body Mass Index with the menstrual cycle . From the analysis of these data it can be concluded that there is a relationship between Body Mass Index with the menstrual cycle.

Keywords :Body Mass Index, menstrual cycle, polimenorrhoea, oligomenorrhoea, secondary amenorrhoea

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Siklus menstruasi merupakan tanda proses kematangan dari organ reproduksi dan erat kaitannya dengan hormon. Siklus menstruasi berperan dalam fertilitas dan kesehatan reproduksi perempuan (Sinha et al., 2011). Gangguan siklus menstruasi merupakan indikator penting yang menunjukkan adanya gangguan fungsi sistem reproduksi yang dihubungkan dengan peningkatan berbagai penyakit seperti kanker rahim, kanker payudara, infertilitas, dan patah tulang (Gudmundsdottir et al., 2011). Perubahan panjang dan pendek siklus menstruasi menggambarkan perubahan produksi hormon reproduksi (Patil et al., 2003).

Siklus menstruasi pada umumnya berlangsung secara teratur saat memasuki usia 17-18 tahun (Patil et al., 2013) ataupun 3-5 tahun setelah menarche (Rigon et al., 2012). Namun, penelitian di Iran yang dilakukan Gharravi (2006), diketahui bahwa wanita berusia 20-25 tahun yang memiliki siklus menstruasi normal hanya 39,8%. Di Indonesia perempuan berusia 20-24 tahun yang memiliki siklus menstruasi teratur sebesar 76,7% dan yang tidak teratur 14,4%, sedangkan, di Provinsi Sumatera Utara didapatkan 68,3% siklus yang teratur dan 11,6% perempuan dengan siklus tidak teratur (Depkes RI, 2010).

Menurut penelitian yang dilakukan di sejumlah negara, termasuk negara-negara berkembang lainnya, dikatakan bahwa gangguan menstruasi merupakan masalah yang cukup banyak dihadapi oleh wanita (Sianipar et al., 2009). Hillard dan Datch (2005) menemukan mahasiswi lebih sering menunjukkan masalah menstruasi yang tidak teratur. Penelitian di Jepang didapatkan 63% mahasiswi yang mengalami menstruasi tidak teratur (Yamamoto et al., 2009).

Penelitian yang dilakukan di beberapa universitas di Turkey didapatkan gangguan menstruasi berupa ketidakteraturan siklus menstruasi sebesar 31,2% (Cakir et al., 2009). Pada penelitian lain didapatkan prevalensi gangguan siklus, amenorea primer sebanyak 5,3%, amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%,

polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran sebanyak 15,8% (Bieniasz et al., 2009).

Faktor yang dapat menyebabkan gangguan siklus menstruasi antara lain gangguan hormonal, status gizi, tinggi atau rendahnya IMT, stress (Gharravi, 2009), usia, penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, pemakaian kontrasepsi, tumor pada ovarium, dan kelainan pada sistem saraf pusat-Hipotalamus-Hipofisis (Benson dan Pernoll, 2009). Ukuran tubuh pun berkorelasi dengan kelainan menstruasi. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa indeks massa tubuh yang berada diatas ataupun dibawah batas normal dihubungkan dengan siklus yang tidak teratur.

Persentase indeks massa tubuh wanita usia 20-24 tahun di Indonesia, didapati IMT kurus 18%, normal 68,45%, berat badan lebih 6,5%, dan obesitas 7,1%. Di Sumatera Utara didapati kurus 8,9%, normal 60,8%, berat badan lebih 12,8%, dan Obesitas 17,4% (Depkes RI, 2010).

Sinha et al. (2011) menemukan benar adanya hubungan indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi. Penelitian di Australia pun menunjukkan adanya hubungan indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi tidak teratur dan risiko terjadinya gangguan siklus menstruasi 2 kali lebih besar pada wanita yang obesitas daripada wanita normal. (Wei et al., 2009). Hossain et al. (2011) melakukan penelitian pada mahasiswi di Bangladesh dan didapati semakin besar besar IMT seseorang semakin besar kemungkinan dia menglami siklus menstruasi tidak teratur.

Penelitian di Bantul pada wanita usia subur didapati 27,1% dengan status nutrisi kurus, 17,5% status normal, dan 51,4% berat badan lebih mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur (Chotimah, 2012). Ernawati (2009) mendapatkan 27,8% wanita yang overweight dan 16,5% yang tidak overweight mengalami siklus tidak teratur. Penelitian Primastuti (2012) pada orang obesitas menunjukkan bahwa ada hubungan wanita obesitas dengan ketidakteraturan siklus menstruasi.

Sugiharto (2009) mengatakan bahwa kadar estrogen di dalam tubuh wanita berpengaruh dalam memberikan feedback untuk pengeluaran Gonadotropin

Releasing Hormone (GnRH) dan mempengaruhi pengeluaran hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).

Persen lemak tubuh yang tinggi menyebabkan peningkatan produksi androgen yang berperan dalam memproduksi estrogen. Proses aromatisasi androgen menjadi estrogen ini terjadi di sel-sel granulosa dan jaringan lemak. Sehingga, jumlah persentase jaringan lemak tubuh berperan dalam keseimbangan hormon estrogen di tubuh (Rakhmawati, 2013).

Melihat banyaknya kejadian gangguan siklus menstruasi pada wanita dewasa muda serta penelitian yang menunjukkan adanya hubungan indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi. Hal tersebut menjadi alasan peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas, peneliti ingin merumuskan masalah pada penelitian ini adalah:

Adakah hubungan antara indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi pada mahasiswi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi pada mahasiswi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui prevalensi indeks massa tubuh (berat badan kurang, normal, berat badan lebih, dan obese) di kalangan mahasiswi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012.

b. Untuk mengetahui prevalensi siklus menstruasi yang tidak teratur di kalangan mahasiswi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012.

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi siklus menstruasi dengan indeks massa tubuh pada mahasiswi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012

d. Untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan keteraturan siklus menstruasi pada mahasiswi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012

1.4. Manfaat Penelitian a. Bagi peneliti

Untuk menumbuhkan jiwa penelitian pada peneliti sendiri, sehingga kedepannya peneliti mampu melaksanakan penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih baik lagi.

b. Bagi subjek yang diteliti

Dapat dijadikan sebagai masukan kepada subjek yang diteliti bahwa ternyata indeks massa tubuh berdampak kepada siklus menstruasi.

c. Bagi masyarakat

Dapat memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya wanita-wanita usia reproduksi mengenai hubungan indeks massa tubuh dengan siklus menstruasi.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Indeks Massa Tubuh 2.1.1. Definisi Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) adalah berat badan (BB) dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m2) (Sugondo, 2009).

2.1.2. Indeks Massa Tubuh

Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body weight dan body dimension/build. Ada beberapa teknik yang lazim digunakan: tinggi badan / berat badan, lingkar, dan tebal lipatan kulit. Berbagai teknik pengukuran antropometri dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body build (ACSM, 2008; Thang et al., 2006).

Dalam penelitian Thang et al. (2006), berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai antropometri, yaitu tabel tinggi badan dan berat badan, indeks massa tubuh, rasio pinggang-pinggul (waist-to-hip ratio), lingkar, tebal lipatan kulit, Bioelectrical Impedance Analysis, dan Hydrostatic weighing.

Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu. Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT yang

tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat juga karena jaringan otot (Thang et al., 2006).

Berikut ini adalah batasan IMT untuk menilai status gizi menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Tabel 2.1. Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik

Kategori IMT (Kg/m2)

Berat Badan Kurang < 18,5

Normal 18,5 - 22,9

Berat Badan Lebih ≥23

Berisiko 23 - 24,9

Obese I 25-29,9

Obese II ≥ 30

Sumber: Sugondo, 2009. Ilmu Penyakit dalam Ed. V Jilid III

2.1.3. Cara mengukur Indeks Massa Tubuh

Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut World Health Organization (WHO) tahun 2011, menentukan IMT dilakukan dengan cara sampel diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus untuk mendapatkan besar IMT. Berikut adalah rumus untuk mendapatkan besar IMT:

[Tinggi Badan (m)]2 Berat Badan (kilogram)

2.2 Siklus Menstruasi

2.2.1 Definisi Menstruasi dan Siklus Menstruasi

Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik uterus disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro, 2009). Tahun-tahun reproduksi normal wanita ditandai dengan perubahan ritmis bulanan kecepatan sekresi hormon-hormon dan juga perubahan fisik pada ovarium serta organ-organ

seksual lainnya. Pola ritmis ini disebut siklus menstruasi (Guyton, 2008). Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi yang berikutnya. Hari mulainya perdarahann dinamakan hari pertama siklus (Wiknjosastro, 2009). Siklus normalnya berkisar 21-35 hari, dengan rata-rata panjang siklus 28 hari (Cohen, 2003).

2.2.2 Fisiologi Siklus Menstruasi

Siklus menstruasi terdiri dari dua siklus, siklus di ovarium dan di endometrium yang keduanya berjalan bersamaan. Fase di siklus ovarium terdiri dari fase folikel, fase ovulasi dan fase luteal. Sementara fase di siklus endometrium terdiri dari fase proliferasi, fase menstruasi, dan fase sekretorik (Guyton, 2008; Sherwood, 2010; Wiknjosastro, 2009).

1. Siklus ovarium a. Fase folikel

Fase awal folikel berlangsung 1 sampai 6 hari. Pada fase ini terjadi dua peristiwa yaitu, menstruasi dan permulaan perkembangan folikel. Pada setiap kali menstruasi, seluruh lapisan endometrium terlepas, kecuali suatu lapisan dalam dan tipis yang terdiri dari sel-sel epitel dan kelenjar yang menjadi bakal regenerasi endometrium. Prostaglandin uterus juga merangsang kontraksi ritmik ringan endometrium dan miometrium. Kontraksi-kontraksi itu membantu mengeluarkan darah dan debris endometrium dari rongga uterus melalui vagina

Pada saat seorang anak perempuan lahir, masing-masing ovum dikelilingi oleh selapis sel granulosa dan ovum dengan selubung sel granulosanya disebut folikel primordial. Sesudah pubertas, hormon FSH dari kelenjar hipofisis anterior mulai disekresikan, sehingga seluruh ovarium bersama folikelnya akan mulai berkembang (Guyton, 2008).

Penanda yang jelas pada perkembangan folikel adalah meningkatnya ukuran oosit dan sel granulosa menjadi kuboidal. Pada saat yang sama, taut rekat yang kecil berkembang antara oosit dan sel granulosa. Taut rekat ini berfungsi sebagai pertukaran nutrisi, ion-ion, dan molekul-molekul, disamping itu taut rekat ini membentuk saluran protein yang dikenal sebagai connexin yang berguna untuk

pertumbuhan dan multiplikasi dari sel granulosa. Multiplikasi sel granulosa ini kira-kira 15 sel yang disebut folikel primer (Speroff dan Friazt, 2005). Perkembangan menjadi folikel primer dapat berlangsung tanpa keberadaan FSH, tetapi perkembangan melebihi titik ini tidak mungkin terjadi tanpa kedua hormon ini (Guyton, 2008).

Fase akhir folikel berlangsung 7 sampai 14 hari. Pada fase ini terjadi pertumbuhan folikel dari folikel primer menjadi tahap antral. Pertumbuhan awal dari folikel primer menjadi tahap antral dirangsang oleh FSH. Efek awalnya adalah proliferasi yang berlangsung cepat dari sel granulosa, menyebabkan lebih banyak lagi sel-sel granulosa. Selain itu, banyak sel-sel berbentuk kumparan yang dihasilkan dari interstitium ovarium yang berkumpul dalam beberapa lapisan diluar sel granulosa, membentuk kelompok sel kedua disebut teka. Teka menjadi dua yaitu teka interna dan teka eksterna (Guyton, 2008).

Sel granulosa dan sel teka, keduanya bekerja sama dalam menghasilkan estrogen. Reseptor LH hanya ada pada sel teka, begitu juga reseptor FSH hanya ada pada granulosa. Pada teka interstisial, yang berlokasi di teka interna memiliki kira-kira 20.000 reseptor LH di membran selnya yang merangsang jaringan teka untuk menghasilkan androgen yang akan mengalami aromatisasi sehingga menjadi estrogen melalui FSH disel granulosa (Speroff dan Fritz, 2005).

Dibawah pengaruh estrogen dan FSH terjadi peningkatan cairan folikel pada rongga interseluler granulosa, cairan folikuler ini mengandung estrogen konsentrasi tinggi. Pengumpulan cairan ini menyebabkan munculnya antrum didalam massa sel granulosa, sehingga sel teka dan sel granulosa akan berproliferasi lebih cepat dengan laju sekresinya meningkat, dan masing-masing folikel akan tumbuh menjadi folikel antral.

Gambar 2.1. Siklus Menstruasi.

Sumber: Berek & Novak’s Gynaecology 14ed, 2007.

b. Fase ovulasi

Fase praovulasi dan ovulasi berlangsung 13 sampai 14 hari. Pada fase ini terjadi pertumbuhan folikel yang cepat sebagai persiapan untuk terjadinya ovulasi. Pertumbuhan yang cepat setelah terbentuk folikel antral meningkatkan diameter ovum tiga sampai empat kali lipat menghasilkan peningkatan diameter total sampai menjadi sepuluh kali lipat atau peningkatan massa sebesar seratus kali lipat (Guyton, 2008). Salah satu folikel biasanya tumbuh lebih cepat dari pada

folikel-folikel lain, berkembang menjadi folikel matang (de Graaf) (Sherwood, 2010).

Sebagian besar pertumbuhan ini disebabkan oleh ekspansi antrum yang drastis, disamping itu juga pertumbuhan sel teka, dan sel granulosa. Antrum menempati sebagian besar difolikel matang. Oosit, yang dikelilingi oleh zona pelusida dan selapis sel granulosa, tergeser secara asimetris kesalah satu sisi folikel yang sedang tumbuh dalam suatu gundukan kecil yang menonjol ke dalam antrum, kemudian menonjol dari permukaan ovarium, membentuk suatu daerah tipis yang mudah pecah (stigma) untuk mengeluarkan oosit saat ovulasi (Guyton, 2008).

Folikel-folikel yang lain mulai mengalami atresia (apoptosis), dan hanya satu folikel yang terus mengalami perkembangan. Folikel ini tumbuh lebih cepat menyekresikan lebih banyak estrogen, sehingga menyebabkan suatu efek umpan balik positif dalam folikel tunggal tersebut karena FSH meningkatkan proliferasi sel granulosa dan sel teka yang menimbulkan produksi estrogen lebih lanjut serta siklus proliferasi sel yang baru, kombinasi dari FSH dan estrogen menyebabkan peningkatan lebih banyak dan siklus proliferasi sel endometrium yang baru (Guyton, 2008).

Selama fase akhir folikuler, estrogen pertama sekali meningkat secara lambat, kemudian secara cepat, mencapai puncak kira-kira 24-36 jam sebelum ovulasi. Estrogen yang memuncak menyebabkan terjadinya lonjakan pengeluaran LH yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior (Speroff and Fritz, 2005). LH mempunyai efek khusus terhadap sel granulosa dan sel teka yang mengubah kedua jenis sel tersebut menjadi lebih bersifat sel yang menyekresikan progesteron dan sedikit estrogen. Oleh karena itu , kecepatan sekresi estrogen mulai menurun kira-kira 1 hari sebelum ovulasi, sementara sejumlah kecil progesteron mulai disekresikan.

Sesaat sebelum ovulasi, oosit menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya. Dalam waktu beberapa jam akan berlangsung dua peristiwa yang dibutuhkan untuk ovulasi: (1) teka eksterna mulai melepaskan enzim proteolitik dari lisozim yang mengakibatkan pelarutan dinding kapsul dan akibatnya

melemahnya dinding, menyebabkan makin membengkaknya seluruh folikel dan degenerasi dari stigma. (2) secara bersama, juga akan terjadi pertumbuhan pembuluh darah baru yang berlangsung cepat kedalam dinding folikel, dan pada saat yang sama, prostaglandin (hormon setempat yang mengakibatkan vasodilatasi) akan disekresi dalam jaringan folikuler. Kedua efek ini selanjutnya akan mengakibatkan pecahnya folikel disertai dengan pengeluaran ovum sehingga terjadilah ovulasi (Guyton, 2008).

c. Fase luteal

Fase awal luteal berlangsung 14 sampai 21 hari ruptur folikel pada ovulasi merupakan tanda berakhirnya fase folikel dan mulainya fase luteal. Folikel yang ruptur dan tertinggal di ovarium mengalami perubahan cepat (Sherwood, 2010), segera terisi darah (Wiknjosastro, 2009). Sel-sel granulosa dan teka yang melapisi folikel mulai berproliferasi dan bekuan darah cepat diganti oleh sel luteal yang kaya lemak dan berwarna kekuningan,membentuk korpus luteum. Lemak pada sel luteal ini berfungsi sebagai molekul prekursor steroid (Ganong, 2010).

Sel granulosa dalam korpus luteum mengembangkan sebuah retikulum endoplasma halus yang luas, yang akan membentuk sejumlah besar hormon seks wanita progesteron dan estrogen, tetapi lebih banyak progesteron (Guyton, 2008).

Fase akhir luteal berlangsung 21 sampai 28 hari, estrogen dan progesteron yang disekresi oleh korpus luteum mempunyai efek umpan balik yang kuat terhadap hipofisis anterior dalam mempertahankan kecepatan sekresi FSH dan LH yang rendah. Selain dari itu sel luteain juga menyekresi sejumlah kecil hormon inhibin yang juga menghambat sekresi hipofisis anterior, khususnya sekresi FSH, mengakibatkan konsentrasi FSH dan LH dalam darah menjadi rendah dan hilangnya hormon ini menyebabkan korpus luteum berdegenerasi secara menyeluruh, terjadi hampir tepat 12 hari setelah korpus luteum terbentuk, yaitu 2 hari sebelum dimulainya menstruasi (Guyton, 2008; Ganong, 2010).

2. Siklus endometrium a. Fase proliferatif

Setelah masing-masing daerah endometrium mengelepuas sewaktu menstruasi, mulai terjadi proses perbaikan regeneratif di endometrium, permukaan endometrium dibentuk kembali dengan metaplasia sel-sel stroma dan dengan pertumbuhan keluar sel-sel epitel kelenjar endometrium. Pada fase proliferative dini yang berlangsung antara hari ke-4 sampai hari ke-7 dengan keadaan endometrium tipis, kelenjarnya sedikit, sempit, lurus, dilapisi sel kuboid, dan stromanya padat.

Pada fase lanjut, proliferasi terjadi semakin cepat, kelenjar-kelenjar epitelial bertambah besar dan tumbuh ke bawah tegak lurus terhadap permukaan. Sel-selnya menjadi kolumnar dengan nuklei di basal. Sel-sel stroma berproliferasi, tetap padat dan berbentuk kumparan. Mitosis terjadi pada kelenjar dan stroma. Endometrium disuplai oleh arteri-arteri basal di miometrium (Wiknjosastro, 2009). Fase ini diperngaruhi oleh hormon estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel baru yang sedang tumbuh, berlangsung dari akhir menstruasi sampai ovulasi (Sherwood, 2010).

b. Fase sekresi

Setelah ovulasi, pada saat korpus luteum terbentuk, uterus memasuki fase sekretorik atau progestasional, yang bersamaan waktunya dengan fase luteal ovarium. Korpus luteum mengeluarkan sejumlah besar progesteron dan estrogen. Progesteron berkerja mengubah endometrium yang tebal menjadi jaringan yang kaya pembuluh darah dan glikogen. Jika tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum berdegenerasi sehingga sekresi estrogen dan progesteron menurun. Kemudian fase folikel dan menstruasi kembali dimulai (Sherwood, 2010).

c. Fase menstruasi

Fase ini bersamaan dengan berakhirnya fase luteal ovarium dan permulaan fase folikel. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi, penurunan kadar hormon-hormon ovarium merangsang oengeluaran prostaglandin uterus yang

menyebabkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh endometrium, sehingga aliran darah ke endometrium terganggu yang menyebabkan kematian endometrium. Prostaglandin uterus juga menyebabkan kontraksi ritmik ringan miometrium untuk mengeluarkan darah dan debris endometrium dari rongga uterus melalui vagina. Menstruasi biasanya berlangsung selama lima sampai tujuh hari setelah degenerasi korpus luteum, bersamaan dengan bagian awal fase folikel ovarium (Sherwood, 2010).

2.2.3. Regulasi Neuroendokrin

Aktifitas saraf menyebabkan pelepasan GnRH (gonadotropin releasing hormone) dengan cara pulsatil terutama terjadi di dalam mediobasal hipotalamus khususnya di nukleus arkuatus. Banyak pusat saraf dalam sistem limbik otak menghantarkan sinyal ke nuleus arkuatus untuk modifikasi intensitas GnRH dan frekuensi pulsasi. Hipotalamus menyekresikan GnRH secara pulsatil selama beberapa menit yang terjadi setiap satu sampai tiga jam. Pelepasan GnRH secara pulsatil menyebabkan pengeluaran LH dan FSH secara pulsatil juga (Guyton, 2008).

a. Kontrol fungsi ovarium

Tahap-tahap awal pembentukan folikel pra-antrum dan pematangan oosit tidak memerlukan rangsangan gonadotropik. Baik FSH dan estrogen merangsang proliferasi sel-sel granulosa. FSH dan LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel, tetapi kedua hormon ini bekerja pada sel yang berbeda. LH bekerja pada sel teka untuk merangsang produksi androgen, sementara FSH bekerja pada sel granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen teka (yang

Dokumen terkait