• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 1 angka (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebahagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN terdiri dari perusahaan perseroan (Persero) dan perusahaan umum (Perum). Sebagai Persero, BUMN mempunyai

ciri-ciri : (1) berstatus sebagai badan hukum privat, (2). hubungan usahanya diatur menurut hukum perdata, (3) makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan, dan (4) modal secara keseluruhan atau sebahagian adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagai Perum, BUMN memiliki ciri : (1). Melayani kepentingan umum sekaligus untuk memupuk keuntungan. Usaha dijalankan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektifitas dan ekonomis, cost accounting principles, dan management effectivenes serta bentuk pelayanan yang baik terhadap masyarakat. (2) berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan undang-undang, (3). Pada umumnya bergerak di bidang jasa vital atau public utilities, dan (4). Memiliki nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta, untuk mengadakan atau masuk ke dalam suatu perjanjian, kontrak dan hubungan dengan perusahaan lain.16

Makna ”kekayaan negara yang dipisahkan” merujuk pada pemaknaan bahwa BUMN adalah badan hukum mandiri yang pertanggungjawabannya dan kekayaannya terpisah dari pemiliknya (dalam hal ini Negara). Secara umum diterima bahwa suatu badan hukum memiliki karakteristik sebagai berikut : (a) perkumpulan orang (organisasi) (b) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (c) mempunyai harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pendirinya (pemiliknya) ; (d) mempunyai pengurus ; (e) mempunyai hak dan kewajiban ; dan dapat digugat atau menggugat dihadapan pengadilan.17 Sebagai subjek hukum, badan hukum memiliki kepribadian hukum (persoonlijkheid) yaitu suatu kemampuan untuk menjadi subjek pada setiap hubungan hukum. Setiap badan hukum memiliki kecakapan dalam melakukan suatu perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan. Pemisahan kekayaan negara sebagai penyertaan negara di BUMN didasarkan pada pertimbangan pemisahan pertanggungjawaban negara sebagai badan hukum publik dalam aktivitas yang dilakukan BUMN dalam hubungan keperdataan. Dengan cara ini, negara sebagai pemilik (pemegang saham) hanya memiliki pertanggungjawaban yang terbatas sebesar modal yang disetorkannya kedalam perusahaan. Alasan lainnya adalah dengan dipisahkannya kekayaan

16

Herman Hidayat, & Harry Z. Soeratin, “Peranan BUMN dalam Kerangka Otonomi

Daerah”, disampaikan pada Sosialisasi Peranan BUMN, Universtas Amir Hamzah, Medan, 9

April 2005.

17

negara tersebut sebagai penyertaan modal negara di BUMN, maka pengelolaan kekayaan tersebut ditundukkan pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat, tidak lagi ditundukkan pada prinsip-prinsip penggunaan dalam anggaran negara. Hal ini akan lebih fleksibel bagi BUMN untuk mengelola modal yang disetorkan oleh negara tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Tentunya sangat tidak fleksibel bagi dunia bisnis BUMN jika kekayaannya dan anggarannya dikelola sama persis dengan tata cara penggunaan anggaran negara (APBN). 18

Secara teoritis salah satu karakteristik utama dari badan hukum adalah memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pemiliknya (pemegang saham). Hal ini sejalan dengan doktrin seperate legal entity yang lazim dianut dalam hukum perseroan di Indonesia. Kekayaan badan hukum yang terpisah ini merupakan kekayaan mandiri dari badan hukum itu, dan bukan merupakan kekayaan pemiliknya. Kekayaan yang terpisah inilah merupakan jaminan dari seluruh perikatan yang dilakukan oleh badan hukum mandiri tersebut. Dalam perspektif ini, BUMN sebagai badan hukum, adalah legal entity yang berbeda dengan pemiliknya (Negara), pengurusannya tunduk pada prinsip- prinsip korporasi yang sehat, dijalankan oleh organ badan hukum itu sendiri, dan memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara sebagai pemiliknya. Dengan karakteristik inilah memungkinkan BUMN dikelola secara fleksibel sebagai badan usaha yang mandiri.

Dengan tetap menghormati teori-teori yang mengkategorikan kekayaan BUMN meerupakan keuangan negara, tesis ini diarahkan oleh teori badan hukum dan kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan cara pandang yang demikian, dalam tesis ini penulis memandang bahwa kekayaan BUMN tidak termasuk dalam pengertian keuangan negara secara keseluruhan. Artinya kekayaan BUMN yang

18

masuk dalam kategori keuangan negara adalah sebatas modal yang disetorkan oleh negara.

Oleh karena kekayaan yang dihasilkan oleh BUMN adalah kekayaan badan hukum, maka pengelolaannya pun tidak tunduk pada tata cara pengelolaan APBN tetapi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan korporasi yang sehat. Terkait hal ini, Pasal 5 ayat (3) UU BUMN menyatakan :

Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Dengan kata lain, pengelolaan BUMN harus dilakukan sesuai dengan prinsip- prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

Berdasarkan pertimbangan bahwa keuangan BUMN tidak identik sepenuhnya dengan keuangan negara dan pengelolaan BUMN harus sesuai dengan GCG, maka penggunaan anggaran BUMN yang tidak berasal dari APBN untuk membiayai pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN tidak tunduk pada ketentuan tata cara penggunaan APBN yang saat ini diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah akan tetapi tunduk pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN dengan tegas menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari APBN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara.19 Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana langsung dari APBN, yang pelaksanaannnya berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri Negara BUMN.20 Berdasarkan perintah Pasal 99 ayat (2) PP No. 45 Tahun 2005 tersebut Menteri Negara BUMN mengeluarkan Permeneg BUMN No. PER-05 /M-MBU/2008 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.

Permeneg BUMN No. PER-05 /M-MBU/2008 tersebut secara teori tidak perlu dipertentangkan dengan Keppres No. 80 Tahun 2003, karena Permeneg BUMN tersebut lahir karena perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah. Pasal 2 Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menyebutkan :

(1) Maksud diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN/APBD.

(2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.

Dengan demikian Keppres No. 80 Tahun 2003 hanya ditujukan untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN. Oleh karena pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN pada umumnya tidak dibiayai oleh dana APBN, maka tegaslah bahwa Keppres No. 80 Tahun 2003 tidak dapat dijadikan sebagai kerangka acuan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN.

19

PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN, Pasal 99 ayat (1).

20

Meskipun pengadaan barang dan jasa di lingkungan APBN yang tidak dibiayai oleh APBN diatur oleh direksi tidak berarti bahwa direksi BUMN bisa sewenang-wenang dalam menentukan proses pengadaan barang dan jasa tersebut. Oleh karena pengadaan barang dan jasa di BUMN merupakan bagian dari tugas pengurusan perseroan, maka proses tersebut harus sesuai dengan tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

Istilah good corporate governance muncul pada akhir tahun 1980-an yang diperkenalkan oleh Cadbury Committee dalam suatu laporan yang dikenal dengan

Cadbury Report.21 Kata governance diartikan sebagai the activity or manner of

goverring, sedangkan arti dari goverring sebagai having the power or right to govern.22

Maka good corporate governance diartikan sebagai sebuah perusahaan yang telah dikelola secara baik dan benar dan didasarkan pada prinsip-prinsip

fairness, accountability, responsibility, transparency. Dengan prinsip ini nilai

perusahaan dalam jangka panjang akan naik tanpa mengabaikan kepentingan

stakeholder yang lain. Pemberlakuan prinsip good corporate governance

merupakan langkah penting membangun dan memulihkan kepercayaan publik terhadap perusahaan.23

21

Tan kamello, dalam Sri Suyono, 2003 Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan

Dalam Rancangan Merger Diantara BUMN). Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

Medan.

22

Jonatahan Crowter (ed), Good Corporate Governance .Oxford Advanced Learners Dictionary, (New York : Oxford University Press, 1995), 515,

23

Bactiar Hassan Miraza, Good Corporate Governance” Makalah disampaikan pada lokakarya good corpore governance, kerjasama Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Universitas of South Carolina. Bursa Efek Jakarta dan Bapepam. 2000. Medan

Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP- 117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada

Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Istilah corporate governance adalah suatu

proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan, guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya berdasarkan peraturan perundangan dan nilai- nilai etika.

Bagi BUMN implementasi prinsip-prinsip corporate governance diatur dalam Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP.117/M-MBU/2002 dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.

b. kemandirian, yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip- prinsip korporasi yang sehat.

c. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;

d. pertanggungjawaban, kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;

e. kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak

stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Sebagian dari prinsip-prinsip tersebut sangat sesuai dengan prinsip-prinsip yang dikenal dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN yang terdiri dari :

a. efisien, berarti Pengadaan Barang dan Jasa harus diusahakan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan terbaik dalam waktu yang cepat dengan menggunakan dana dan kemampuan seminimal mungkin secara wajar dan bukan hanya didasarkan pada harga terendah;

b. efektif, berarti Pengadaan Barang dan Jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;

c. kompetitif, berarti Pengadaan Barang dan Jasa harus terbuka bagi Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara Penyedia Barang dan Jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yangjelas dan transparan;

d. transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang dan Jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon Penyedia Barang dan Jasa, sifatnya terbuka bagi peserta Penyedia Barang dan Jasa yang berminat;

e. adil dan wajar, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi syarat;

f. akuntabe1, berarti harus mencapai sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menjauhkan dari potensi penyalahgunaan dan penyimpangan.24

Selanjutnya untuk menghindari kesalahan dalam memahami makna konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, dipandang perlu untuk memberikan batasan definisi operasional sebagai berikut :

24

1. Pengadaan Barang dan Jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang pembiayaannya tidak menggunakan dana langsung dari APBN/APBD.25

2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.26

3. Perusahaan Perseroan, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.27

4. Anak Perusahaan adalah anak perusahaan BUMN yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN.28

5. Pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka adalah pengadaan barang/jasa yang diumumkan secara luas melalui media massa guna memberi kesempatan kepada Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan;29

6. Pemilihan langsung, atau seleksi langsung adalah pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas sekurang-kurangnya 2 (dua) penawaran;30

25

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara BUMN RI No. PER-05/M-MBU/2008

26

Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN

27

Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN

28

Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Negara BUMN RI No. PER-05/M-MBU/2008

29

Pasal 5 ayat (2) a Peraturan Menteri Negara BUMN RI No. PER-05/M-MBU/2008

30

7. Penunjukan langsung, adalah pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui

beauty contest;31

8. Pembelian langsung, adalah pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar, dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar.32

9. Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh

organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.33

10. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance adalah prinsip-prinsip yang mendasari kaedah, norma ataupun pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat terdiri dari prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran.34

Dokumen terkait