• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Konsepsi

Dalam dokumen MUHAMMAD RYAN RAINALDI (Halaman 42-116)

BAB 1 PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan kerangka Konsepsi

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan ataupun konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.37 Konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di dalam penelitian ini dirumuskan konsep dengan menggunakan model definisi operasional,38 yaitu :

1. Pengertian Ketentuan Tindak Pidana

Sistem hukum Indonesia mengenal azas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia lege Poenali” artinya “ peristiwa tindak pidana tidak akan ada, jika

ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. Jadi dengan demikian setiap penghukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan haruslah atas dasar perbuatan yang telah terlebih dahulu diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan diberi sanksi pidana.

37 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, “Perihal Kaedah Hukum”, (Bandung : ,Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 137.

38 SPS USU, Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum, (Medan : Universitas Sumatera Utara), hal. 5.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang ketentuan tindak pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian ketentuan tindak pidana. Ketentuan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku dapat dikenakan “subyek” tindak pidana. Terjadinya tindak pidana adalah karena adanya prilaku atau perbuatan manusia yang melanggar ketertiban umum terhadap aturan hukum dan perbuatan itu menimbulkan ketidaktenteraman dalam masyarakat. Dalam hukum pidana juga terdapat azas legalitas, yaitu tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelummnya.

Menurut Siomons dikutip oleh Djoko Prakorso bahwa Hukum Pidana adalah perintah dan larangan yang diadakan oleh Negara dengan suatu nestapa (pidana). Sedangkan menurut Van Hamel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.39

Adami Chazawi mengemukakan bahwa “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Negara Indonesia40”. Dalam hampir seluruh perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah ketentuan tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan

39 Djoko Prakoso, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal.

20

40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 67

suatu ketentuan tindak pidana tertentu. Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian ketentuan tindak pidana, antara lain :

1) Moeljatno berpendapat “perbuatan ketentuan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.41

2) Vos yang di kutip Martiman P. mengemukakan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.42

3) Karni yang dikutip Sudarto memberi pendapat bahwa “delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh seseorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa saja perbuatan itu patut dipertanggung jawabkan”43. Sedangkan arti delict itu sendiri dalam kamus Hukum diartikan sebagi delik, ketentuan tindak pidana, perbauatan yang diancam dengan hukuman.44

4) Simons, mengemukakan bahwa straafbaar feit adalah suatu tindakan melawan Hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan tindakannya.45

41 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal. 54

42 Martiman Prodjomidjojo. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I. (Jakarta : Pradnya Pramita, 1996), hal. 16

43 Sudarto, Hukum Pidana I. (Semarang : Yayasan Sudarto, 1990), hal. 42

44 R.Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Pramita, 2005), hal. 35

45 Simons, Leerbook Van Het Nederlandsche strafrecht, (terjemahan), (Bandung : Pioner Jaya, 1992), hal. 127

Berdasarkan pengertian diatas dikemukakan bahwa ketentuan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Tindakan yang dilakukannya tersebut adalah tindakan yang melanggar atau melawan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Namun apabila dikaitkan dengan tindak pidana cagar budaya, maka dapat diartikan bahwa ketentuan tindak pidana cagar budaya adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan pidana cagar budaya dan bagi setiap orang yang melanggar ketentuannya dapat diancam dengan hukuman pidana, dalam hal ini ketentuan yang dimaksud adalah undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.

Dalam Cagar Budaya terdapat ketentuan sanksi pidana Cagar Budaya, sanksi ketentuan pidana Cagar Budaya diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang ketentuannya bahwa :

Pasal 102

“Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 103

“Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

2. Pengertian Cagar Budaya

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa untuk melestarikan Cagar Budaya, Negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Pasal 1 menjelaskan bahwa :

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Mengenai tujuan pelestarian Cagar Budaya disebutkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya bahwa Pelestarian Cagar Budaya bertujuan:

1. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia 2. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya.

3. Memperkuat kepribadian bangsa.

4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

5. Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

3. Kriteria Cagar Budaya

Mengenai Kriteria Cagar Budaya disebutkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bahwa Kriteria Cagar Budaya adalah :

“Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria, antara lain apabila telah berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, dan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa”

1. Warisan Budaya

Warisan Budaya merupakan rekaman atau jejak masa lampau, pada hakikatnya adalah sesuatu yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi sebagai warisan budaya atau cultural heritage. Dengan kata lain pengertian Warisan Budaya adalah semua bukti atau sisa budaya masa lampau yang ditinggalkan manusia pada masa lampau, termasuk bentang lahan tertentu yang dapat menggambarkan, menjelaskan, serta memahami tingkah laku dan interaksi manusia dengan lingkungannya.

Menurut Cleere Warisan Budaya merupakan aset masyarakat yang sangat penting dan sangat beharga yang dapat dimamfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat, baik untuk kepentingan ideologis, akademis, dan ekonomi khususnya untuk pariwisata. Kepentingan ideologis, Warisan Budaya pada hakikatnya adalah refleksi dari kebesaran masa lampau, merupakan memori kolektif yang menjadi

kekuatan dan sarana untuk memperkokoh jati diri bangsa. Kepentingan akademis terkait terkait dengan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan sejarah. Kepentingan ekonomis dalam untuk pemamfaatan dan pengembangan pariwisata yang diharapkan sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Secara umum Warisan Budaya terbagi atas dua, pertama yang berbentuk Nasional, Warisan Budaya yang berbentuk nasional merupakan cerminan tingginya peradaban serta marwah bangsa itu dan salah satu ciri bangsa besar dan maju adalah bangsa yang mampu menghargai dan melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Semakin banyak warisan budaya masa lampau yang bisa digali dan dilestarikan, maka sudah semestinyalah peninggalan budaya tersebut semakin dihargai. Sedangkan Warisan Budaya yang kedua berbentuk lokal, Warisan Budaya yang berbentuk lokal merupakan warisan budaya daerah, dengan kata lain warisan budaya lokal adalah kebiasaan dalam daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya atau nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang berbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Warisan Budaya lokal tersebut berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat46. G. METODE PENELITIAN

Metodologi berasal dari kata “metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Metodologi artinya

46 http://rapendik.com/program/halo-pendidikan/budaya-sejarah/3212-warisan-budaya-indonesia.html, diakses pada hari tanggal 8 Desember 2016, Pukul 22.00 WIB

cara melakukan sesuatu dengan menggunakan fikiran secara seksama untuk mencapai tujuan.47 Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan, sedangkan cara penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.48

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan.

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menginventaris, memahami dan mempelajari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dalam penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan selanjutnya akan diinterpretasikan untuk memperoleh kesesuaian penerapan peraturan dihubungkan dengan permasalahan yang sedang diteliti dan disistematis sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.49

Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, tulisan-tulisan ilmiah akademisi, dokumen resmi negara, publikasi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan tulisan ini.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif ini pada dasarnya merupakan

47 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998), hal. 13.

48 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan ke 1 (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004) hal. 57.

49 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994) hal 93.

penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif mengenai ketentuan implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik azas-azas hukum (“rechsbeginselen”) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis.

Penelitian hukum normatif ini merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.50 Selain itu penelitian hukum normatif juga mengacu kepada

50Jhoni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005) hal. 47.

norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan dibantu dengan penelitian lapangan.

2. Sifat Penelitian

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan deskripstif analitis, evaluatif dan preskriptif.

a. Deskriptif

Sifat analisis deskriptif maksudnya adalah, bahwa peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek enelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya, disini peneliti tidak melakukan justifikasi terhadap hasil penelitiannya tersebut.51 Analisis data yang dipergunakan pada bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara analisis data dan komprehensif terhadap data primer dan data sekunder.

b. Evaluatif

Dalam analisis yang bersifat evaluatif ini peneliti memberikan justifikasi atas hasil penelitian. Peneliti akan memberikan penilaian dari hasil penelitian, apakah hipotesis dari teori hukum yang diajukan diterima atau ditolak.52

c. Preskriptif

Sifat analisis ini dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukannya. Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang

51 Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, ( Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2015), hal 183

52 Ibid, hal 183

seyogyanya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.53

3. Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder di bidang hukum menurut Ronny hanitijo, dapat dibedakan menjadi

a. Bahan hukum primer, meliputi:

1. Norma dasar Pancasila 2. Peraturan dasar UUD 1945 3. Peraturan perundang-undangan

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat, 5. Yurisprudensi

6. Traktat

( bahan – bahan hukum tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum mengikat ) b. Bahan bahan hukum sekunder, yaitu bahan – bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer meliputi :

1. Rancangan peraturan per undang – undangan 2. Hasil karya ilmiah para sarjana

3. Hasil penelitian

53 Ibid, hal 184

c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primerdan bahan hukum sekunder, misalnya Bibliografi dan Indeks kumulatif.54

4. Teknik Pengambilan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan – bahan hukum, baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dibantu dengan interview lapangan untuk membantu hasil penelitian kepustakaan. Dalam penelitian hukum normati, pengolahan bahan berujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan bahan hukum tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis, tentu sajahal tersebut dilakukan secara logis.55

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan-bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga terciptalah suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data tersebut.56 Bahan hukum yang telah diperoleh dari penelitian kepustakaan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan logika berfikir

54 Dillah, Philips, Suratman, Metode Penelitian Hukum, (Bandung : Alfabeta, 2013), hal 67

55 Op. cit, hal 181

56 Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280

deduktif. Bahan hukum yang telah diperoleh akan disusun dan dianalisis dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang relevan dengan permasalahan untuk kemudian akan diuraikan sedemikian rupa sesuai dengan permasalahan yang dibahas sehingga dapat disajikan dalam bentuk penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sebagai gambaran umum untuk memudahkan pemahaman materi yang disampaikan, tesis ini dibagi menjadi lima (5) bab yang berhubungan erat satu sama lain, dengan perincian sebagai berikut :

BAB I : Merupakan dasar-dasar dalam pembuatan tesis ini, dalam bab ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan tesis ini, tinjauan kepustakaan, metode penelitian apakah yang digunakan dalam menyelesaikan tesis ini serta sistematika penulisan.

BAB II: Merupakan kajian dari rumusan masalah yang pertama yaitu mengenai konsep dan dasar pengaturan cagar budaya dalam hukum nasional Indonesia dan pasal tentang adanya tindak pidana di dalam UU no 11 tahun 2010, diawali dengan ketentuan-ketentuan umum cagar budaya dan tindakan apa saja yang termasuk kedalam pidana berdasarkan UU no 11 tahun 2010.

BAB III: Merupakan kajian dari rumusan masalah yang kedua yaitu mengenai hambatan yang terjadi di dalam ketentuan pidana cagar budaya terutama pidana tidak melaporkan dimulai dengan apa yang terjadi di lapangan sehingga tindak pidana tidak melaporkan bisa tidak berjalan berdasarkan UU no 11 tahun 2010.

BAB IV: Merupakan kajian dari rumusan masalah yang terakhir mengenai kasus yang terjadi di Gampong Pande, Banda Aceh, Aceh, disini menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana tidak melaporkan penemuan benda cagar budaya, dan bagaimana kejadian tersebut berjalan.

BAB V: merupakan bab kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari semua bab yang telah menjawab semua rumusan masalah serta saran yang berupa masukan-masukan mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian ini akan dipaparkan di sini.

BAB II

PERBUATAN YANG DIKATEGORIKAN TINDAK PIDANA DI DALAM UNDANG UNDANG NO 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

A. Pentingnya Pelestarian Cagar Budaya

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.57

Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.58

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal

57 Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan,cetakan pertama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 4

58 Ibid, hal 5

pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.

Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh.

Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan.

Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya.

Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah tidak lagi berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (living society). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam peran baru atau tetap seperti semula. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan Cagar Budaya yang sifatnya sebagai monumen mati (dead monument) dan yang sifatnya sebagai monumen hidup (living monument). Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksistensinya.59

Ketika ditemukan, pada umumnya warisan budaya sudah tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat (dead monument). Namun, ada pula warisan budaya yang masih berfungsi seperti semula (living monument). Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan kedua jenis Cagar Budaya tersebut, terutama pengaturan mengenai pemanfaatan monumen mati yang diberi fungsi baru

59 Ibid, hal 8

sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengaturan mengenai pemanfaatan

sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengaturan mengenai pemanfaatan

Dalam dokumen MUHAMMAD RYAN RAINALDI (Halaman 42-116)

Dokumen terkait