• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUHAMMAD RYAN RAINALDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MUHAMMAD RYAN RAINALDI"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

(SUATU PENELITIAN DI KOTA BANDA ACEH)

TESIS

Oleh

MUHAMMAD RYAN RAINALDI 157005102

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

(SUATU PENELITIAN DI KOTA BANDA ACEH)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MUHAMMAD RYAN RAINALDI 157005102

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S Anggota : Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H

Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum Prof. Dr. Syamsul Arifin, S.H, M.H Dr. Marlina, S.H, M.Hum

(5)
(6)

kehendak-Nya penulisan Tesis ini dapat diselesaikan pada waktunya. Selanjutnya shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad saw yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penulisan Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program Magister Ilmu Hukum (S-2), Program Studi Ilmu Hukum Bagian Pidana di Universitas Sumatera Utara. Dengan Judul

“ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TIDAK MELAPORKAN PENEMUAN BENDA CAGAR BUDAYA BERDASARKAN UU NO 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA”

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan Tesis ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik ataupun saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan tesis ini.

Dalam penulisan Tesis ini penulis telah banyak menerima motivasi, bimbingan, dukungan moril, matril dan doa juga kerja sama dari bebrbagai pihak khusus.

Teristimewa kepada Ayahanda Effendi Usman dan Ibunda Oriza Sativa tercinta yang dengan kasih sayang telah berusaha payah membesarkan, mengasuh, mendidik penulis serta memberikan dorongan dalam bentuk moral, materi dan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan program Magister Ilmu Hukum (S-2) di Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan yang berbahagia ini izinkan juga penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

(7)

2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum Selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum S-2 Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S Selaku dosen Pembimbing Pertama saya di Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H Selaku dosen Pembimbing Dua Saya di Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Ekaputra, SH, M.Hum Selaku dosen Pembimbing Tiga Saya di Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. H Syamsul Arifin, SH., MH selaku dosen Penguji saya di Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Dr. Marlina, SH., M.Hum selaku dosen Penguji saya di Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staff Pengajar Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staff pegawai Biro Administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Saudara kandung saya yang selalu memberi motivasi, Siti Beutary Rizqina

(8)

Perantauan

13. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu memberikan nasehat dan senantiasa memotivasi penulis serta tidak bosan memberikan semangat dan menemani dalam menyelesaikan Tesis ini. Ade Surya Mandira, Zikrul Hakim, Mohd Restu Agung Pratama, Ade Yatsah Basuki, Muhammad Furqan, Rizky Maulana, Anis Syahputra, Muhammad Rachmawan, Saiful Akbar.

14. Serta teristimewa sahabat-sahabat dari Magister Hukum USU Herman Manalu, Irfan Fajri Rambe, Isa Al Qadri, Fifi Febiola Damanik, Jivo Sulistiawan, Leonardo Silalahi, Yuliany Siahaan, Melva Theresia, Sri Hartati, Mardhina, Aca Surya, Khoiruddin dan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak mengisi perjalanan perkuliahan juga membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri, karena segala sesuatu tidak akan terjadi jika bukan atas kehendak-Nya. Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi semua pihak.

Amin Ya Rabbal 'Alamin

Medan, Agustus 2017

Penulis,

Muhammad Ryan Rainaldi

(9)

( SUATU PENELITIAN DI KOTA BANDA ACEH ) Muhammad Ryan Rainaldi*

Alvi Syahrin, Suhaidi, Ekaputra**

ABSTRAK

Sistem hukum Indonesia mengenal azas legalitas, yaitu tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelummnya.Di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dijelaskan bahwa dalam Cagar Budaya terdapat beberapa pasal berisi ketentuan sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Melihat pada judul dan topik dari penelitian maka pembahasan ketentun pidana hanya terfokus pada tindak pidana tidak melaporkan yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (4) serta Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Pokok permasalahan yang akan diteliti adalah Perbuatan yang dikategorikan kedalam Tindak Pidana di Undang Undang no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.

Apa Hambatan dalam penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana “tidak melaporkan” penemuan benda cagar budaya yang terjadi di Banda Aceh. Bagaimana pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana “tidak melaporkan” penemuan benda cagar budaya yang terjadi di Banda Aceh. Jenis Penelitian penelitian hukum normatif, sifat Penelitian bersifat deskriptif , evaluatif, preskriptif, sumber Bahan Hukum data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, dibantu dengan interview lapangan untuk membantu hasil penelitian kepustakaan.

Perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana di dalam Undang- Undang No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya diatur di pasal 101 sampai dengan pasal 112, dijelaskan bahwa dalam Cagar Budaya terdapat beberapa pasal berisi ketentuan sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Hambatan dalam penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana “tidak melaporkan” Penemuan Benda Cagar Budaya di Gampong Pande Banda Aceh dibagi menjadi dua hambatan yaitu hambatan Internal dan eksternal. Pertanggungjawaban pidana dan prosedur seharusnya atas tindak pidana tidak melaporkan penemuan benda cagar budaya yang terjadi di Gampong Pande Banda Aceh adalah Hukum nasional tidak dipakai di dalam penanganan kasus ini, dikarenakan Pemerintah Aceh melalui dinas Pariwisata dan kebudayaan mewajibkan warga banda aceh yang meraup untung karena mendapatkan koin emas kuno di krueng pande untuk membayar zakat atas dasar Qanun Aceh nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal, pasal 19 ayat 8. Jadi qanun ini menjadi alasan pemaaf atas tindak pidana pada pasal 102 dan 103 Undang Undang Cagar Budaya yang terjadi di Banda Aceh, karena berlakunya asaz Lex Specialis derogat lex generalis, dimana hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Tidak Melaporkan, Benda Cagar Budaya

(10)

THE ANALYSIS OF LAW ENFORCEMENT TOWARDS CRIMINAL ACTION OF UNWILLING TO REPORT THE DISCOVERY OF PROPERTY

OF CULTURAL HERITAGE BASED ON ACT NO 11 YEAR 2010 ON CULTURAL HERITAGE

(A RESEARCH IN BANDA ACEH) Muhammad Ryan Rainaldi*

Alvi Syahrin, Suhaidi, Ekaputra**

ABSTRACT

Indoensia’s legal system is based on the principle of legality, which means that no one can be punished without the force of the existing legislation. In the Act No 11 Year 2010 on Cultural Heritage, it is clear that on Cultural Heritage, there are several articles containing the provisions of criminal sanctions for those violate them.

Considering the title and the topic of this research, the discussions of this criminal provision only focus on criminal act of unwilling to report the property of cultural heritage stipulated in Article 23 paragraph (1) and Article 26 paragraph (4) along with Article 102 and Article 103 Act No 11 Year 2010 On Cultural Heritage.

The subject matters to be observed are the Act which is categorized into Criminal Act in Act no 11 year 2010 on cultural heritage, the obstacles in applying the criminal sanctions towards the criminal act of “unwilling to report” the discovery of property of cultural heritage occurred in Banda Aceh and the appropriate criminal liability for the mentioned criminal offense. This research belongs to normative legal research. Furthermore, this is a descriptive, evaluative and prescriptive research which source of Legal Material are obtained from library research assisted with field interview to support the results of research literature.

Theactionis categorized as criminal acts in Act No 11 Year 2010 on cultural heritage stipulated from Article 101 to Article 112 which states that on Cultural Heritage, there are several articles containing the provisions of criminal sanctions for those who violate them. The obstacles in applying the criminal sanctions towards the act of “unwilling to report” the Discovery of Property of Cultural Heritage in Gampong Pande Banda Aceh are divided into two specific obstacles which are internal and external obstacles. The criminal liability and procedure supposed to be applied towards the act of unwilling to report the discovery of property of cultural heritage occurred in Gampong Pande Banda Aceh which is national Law is not used in handling this case because the Government of Aceh through the Department of Tourism and Culture allows the Banda Aceh citizens to gain profits from the discovery of ancient gold coin in kureng pande to pay zakat based on Aceh Qanun Regulation No 10 Year 2007 on Baitul Mal, article 19 paragraph 8. Thus, the regulation becomes an excuse for the crime in Article 102 and 103 Cultural Heritage Act occurred in Banda Aceh since the validity of Lex Specialis derogate lex generalis, where a special law overrides the common law.

Keywords : Criminal Act, Unwilling to Report, Property of Cultural Heritage

(11)

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan kerangka Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori... 9

2. Kerangka Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian... 36

1. Jenis Penelitian ... 37

2. Sifat Penelitian ... 39

3. Bahan Hukum... 40

4. Teknik Pengumpulan Data ... 41

5. Analisis Data ... 41

H. Sistematika Penulisan... 42

BAB II PERBUATAN DIKATEGORIKAN TINDAK PIDANA DI DALAM UNDANG UNDANG NO 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA ... 44

A. Pentingnya Pelestarian Cagar Budaya ... 44

B. Tugas dan Wewenang Pihak terkait Cagar Budaya ... 47

C. Perbuatan yang Dikategorikan Tindak pidana di Dalam Undang Undang no 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya ... 49

(12)

BANDA ACEH ... 58

A. Kronologis Terjadinya Tindak Pidana Penemuan dan Tidak Melaporkan Benda Cagar Budaya di Gampong Pande Banda Aceh ... 58

B. Hambatan Hambatan yang terjadi Dalam Penegakan Ketentuan Pidana Pada Undang Undang no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya ... 67

C. Upaya yang Dilakukan Oleh pemerintah dan penegak Hukum Untuk Mencegah Apabila terjadinya Tindak Pidana Cagar budaya ... 71

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS TINDAK PIDANA TIDAK MELAPORKAN PENEMUAN BENDA CAGAR BUDAYA BERDASARKAN KASUS YANG TERJADI DI GAMPONG PANDE BANDA ACEH ... 81

A. Prosedur Perlindungan Hukum Pencarian Cagar Budaya ... 81

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus Penemuan dan Tidak Melaporkan Benda Cagar Budaya di Gampong Pande Banda Aceh ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA

(13)

I. DATA PRIBADI

NAMA : MUHAMMAD RYAN RAINALDI

TEMPAT/LAHIR : SIGLI/20 JUNI 1992

AGAMA : ISLAM

NAMA AYAH : EFFENDI USMAN NAMA IBU : ORIZA SATIVA

SAUDARA : SITI BEUTARY RIZQINA SUKU/BANGSA : ACEH/INDONESIA

E-MAIL : RYANRAINALDI@GMAIL.COM

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM a. SD : SD NEGERI 3 SIGLI

b. SMP : SMPS YPPU SIGLI c. SMA : SMA NEGERI 1 SIGLI

2. PENDIDIKAN TINGGI

a. S1 : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA, DARUSSALLAM, BAND ACEH

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem hukum Indonesia mengenal azas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia lege Poenali” artinya “ peristiwa tindak pidana tidak akan ada, jika ketentuan

pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. Jadi dengan demikian setiap penghukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan haruslah atas dasar perbuatan yang telah terlebih dahulu diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan diberi sanksi pidana.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang ketentuan pidana di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya terlebih dahulu haru diketahui banwa tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi yang tertentu oleh undang undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bagi pelakunya dan perbuatan itu menimbulkan ketidaktenteraman dalam masyarakat. Dalam hukum pidana juga terdapat azas legalitas, yaitu tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelummnya.

Adami Chazawi mengemukakan bahwa “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Negara Indonesia1”. Dalam hampir seluruh perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah ketentuan tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu

1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 67

(15)

ketentuan tindak pidana tertentu. Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian ketentuan tindak pidana, antara lain :

1) Moeljatno berpendapat “perbuatan ketentuan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.2

2) Vos yang di kutip Martiman P. mengemukakan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan.3

3) Karni yang dikutip Sudarto memberi pendapat bahwa “delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh seseorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa saja perbuatan itu patut dipertanggung jawabkan”4. Sedangkan arti delict itu sendiri dalam kamus Hukum diartikan sebagi delik, ketentuan tindak pidana, perbauatan yang diancam dengan hukuman.5

Berdasarkan pengertian diatas dikemukakan bahwa ketentuan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Tindakan yang dilakukannya tersebut adalah tindakan yang melanggar atau melawan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Jakarta,: Bumi Aksara, 2000), hal. 54

3 Martiman Prodjomidjojo. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1996), Hal. 16

4 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto, 1990) , hal. 42

5 R.Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Pramita,2005), hal. 35

(16)

Namun apabila dikaitkan dengan tindak pidana cagar budaya, maka dapat diartikan bahwa ketentuan tindak pidana cagar budaya adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan pidana cagar budaya dan bagi setiap orang yang melanggar ketentuannya dapat diancam dengan hukuman pidana, dalam hal ini ketentuan yang dimaksud adalah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sedangkan benda cagar budaya adalah Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Bahwa salah satu kondisi yang menjadi latar belakang dibentuknya Undang Undang tentang Cagar Cudaya, adalah bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan,

(17)

pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 6

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Banyak perubahan yang terjadi antara Undang-Undang baru ini dengan Undang-Undang yang lama, dimulai dari filosofis, tidak hanya terfokus pada benda tetapi juga meliputi bangunan, situs, dan kawasan cagar budaya yang di darat atau di air. Satuan atau gugusan cagar budaya itu perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses penetapan. Lalu perbedaan juga terjadi Secara sosiologis, Undang-Undang ini mencakup kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif. Secara yuridis, Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan pelestarian yang meliputi perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan didalamnya juga tercantum tugas dan wewenang para pemangku kepentingan serta ketentuan pidana.7

Di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dijelaskan bahwa dalam Cagar Budaya terdapat beberapa pasal berisi ketentuan sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Melihat pada judul dan topik dari penelitian maka pembahasan ketentun pidana hanya terfokus pada tindak pidana tidak melaporkan yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (4) serta Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

6 Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan,cetakan pertama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal 56

7 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpsmpsangiran/2015/07/01/kontemplasi-sedalam- apakah-pemahaman-kita-terhadap-uu-cagar-budaya/, diakses pada 2 Maret Pukul 00.36 WIB

(18)

“Pasal 23 ayat (1) UU No 11 Tahun 2010 ketentuannya bahwa : “Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya”.

“Pasal 26 ayat (4), ketentuannya bahwa :“Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya”.

Pasal 102 UU No 11 tahun 2010 ketentuannya bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Dalam ketentuan Pasal 103 UU No.11 Tahun 2010 ketentuannya bahwa;

“Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.8

Berkaitan dengan ketentuan pidana yang telah disebutkan di atas, seharusnya bagi setiap orang yang menemukan atau mengetahui keberadaan benda bersejarah yang dilindungi oleh Negara harus melaporkan kepada aparat penegak hukum berwenang seperti kepolisian Republik Negara Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi di Krueng Geudong, Gampong Pande, Kecamatan Koetaradja, Banda Aceh, seorang pencari tiram yang bernama Shalihin (yang pertama kali menemukan koin emas) menemukan koin emas yang merupakan Benda Cagar Budaya. Namun setelah penemuan tersebut Shalihin tidak melaporkan kepada aparat penegak hukum,

8 Undang-Undang no 11 Tahun 2010 tentang cagar Budaya

(19)

melainkan langsung menjualnya kepada pedagang mas di Banda Aceh. Dalam ketentuan pidana, Shalihin telah melanggar Pasal 23 ayat (1) dan dapat dikenakan sanksi pidana menurut Pasal 102 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Setelah penemuan koin emas yang ditemukan oleh Shalihin, banyak warga lainnya datang ke lokasi penemuan tersebut untuk mencari Benda Cagar Budaya, namun pencarian ini ilegal karena tanpa izin pencarian dari pemerintah. Jadi bagi warga yang sengaja mencari Benda Cagar Budaya tersebut telah melanggar Pasal 26 ayat (4) dan dapat dikenakan sanksi pidana menurut Pasal 103 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Padahal dari beberapa kasus tentang pelanggaran cagar budaya yang terjadi di Indonesia semuanya diproses penegak hukum, oleh karena itu timbul niat penulis untuk mengkaji bagaimana sebenarnya kejadian yang terjadi di gampong Pande Aceh tersebut,

Berikut kasus kasus pelanggaran cagar budaya yang telah terjadi di Indonesia 1. Perobohan markas Radio Bung Tomo di Surabaya Jawa Timur pada bulan

Juni tahun 2016, kasus ini sudah naik ke tingkat penyelidikan dan hasil penyelidikan di kepolisian dilimpahkan ke pemkot bandung yaitu ppns dan satpol PP.9

2. Dua terdakwa kasus perusakan benda cagar budaya, bangunan SMA “17” 1 Yogyakarta, Mochammad Zakaria dan Yoga Trihandoko, divonis bersalah

9 https://nasional.tempo.co/read/news/2016/06/17/078780960/polisi-serahkan-penyelidikan- eks-markas-bung-tomo-ke-pemkot, diakses pada 2 maret 2017, pukul 00.16 WIB

(20)

oleh Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Mereka terbukti melanggar Pasal 105 jo Pasal 113 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.10

Dari uraian latar belakang yang telah dipaparkan diatas ,maka penulis berkeinginan mengkaji bagaimana kejadian penemuan koin emas di Gampong Pande, Banda Aceh, Aceh tersebut terjadi dan dikaitkan dengan Undang Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan mengambil judul “ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TIDAK MELAPORKAN PENEMUAN BENDA CAGAR BUDAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Perbuatan apa saja yang dikategorikan kedalam Tindak Pidana di dalam Undang Undang no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya ?

2. Apa Hambatan dalam penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana “tidak melaporkan” penemuan benda cagar budaya yang terjadi di gampong Pande Banda Aceh ?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana “tidak melaporkan”

penemuan benda cagar budaya berdasarkan kasus yang terjadi di Gampong Pande Banda Aceh ?

10 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2015/02/18/vonis-perusak-bangunan- cagar-budaya-sma-17-1-yogyakarta/, diakses pada 2 Maret 2017 pukul 00.28

(21)

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam tindak pidana berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya agar publik bisa mengetahui lebih rinci perbuatan mana saja yang tidak boleh dilakukan menurut Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya.

2. Untuk mengetahui hambatan - hambatan yang terjadi dalam penegakan hukum terkait dengan adanya pidana tidak melaporkan penemuan benda cagar budaya di dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

3. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya pertanggungjawaban pidana yang benar terhadap kejadian di Gampong pande Banda Aceh dan apakah sudah sesuai berjalan seperti yang sudah di atur di dalam Undang Undang no 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut : 1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada umumnya dan bidang hukum pidana khususnya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan penegak hukum, baik itu dalam penyelidikan dan penyidikan serta diharapkan dapat

(22)

memberikan pemikiran baru dan solusi mengenai penegakan hukum dan perlindungan cagar budaya.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan judul penelitian yang sama dengan “ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TIDAK MELAPORKAN PENEMUAN BENDA CAGAR BUDAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA”. Maka demikian, penelitian tesis ini adalah merupakan hasil penelitian orisinil dari penulis dan bukan merupakan hasil tulisan atau penelitian penulis lain.

F. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEPSI 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, dan keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,11 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik

11 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal.72-73

(23)

tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.12

Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atau topik yang sedang dikaji,13 serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.

Pemikiran teori hukum tidak terlepas dari keadaan lingkungan dan latar belakang permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan pada saat itu. Pemikiran tentang teori hukum adalah akumulasi keresahan maupun sebuah jawaban dari masalah kemasyarakatan yang dihadapi oleh generasi saat itu.14 Menurut Bruggink, teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.15

Teori hukum merefleksikan perjuangan hukum berada di anatara tradisi dan kemajuan, stabilitas dan perubahan, kepastian dan keleluasaan. Sepanjang objek hukum adalah menciptakan ketertibam, maka penekanannya diletakkan pada

12 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal.

27.

13 Mukti Fajar dan Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal 44.

14 Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni 1986) hal. 4

15 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1999) hal. 159- 160.

(24)

kebutuhan akan stabilitas dan kepastian. Pada umumnya teori-teori hukum dan para ahli hukum cenderung untuk lebih menekankan pada stabilitas daripada perubahan.16

Melihat pada judul dan topik dari penelitian ini, maka penelitian ini, dalam penulisannya, menggunakan teori Kepastian Hukum, Teori pemidanaan, khususnya pencegahan umum, dalam hal ingin melihat bagaimana konsep ketegasan dari suatu undang undang dan sejauh mana penegak hukum menegakkan hukum yang sudah ada di atas lapangan.

a. Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan- aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.17

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.

16 W. Friedman, Legal Theory, Third Edition, (London : Stevens and Sons Limited, 1953), hal.37.

17 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, ( Kencana : Jakarta, 2008 ), hal.158.

(25)

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan

3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.18

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.19

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut

18 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, ( Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), hal.59.

19 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, ( Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999 ), hal.23.

(26)

pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.20

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melinkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri(den begriff des Rechts).Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi.Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan

20 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), ( Jakarta : Penerbit Toko Gunung Agung, 2002, hal.82.

(27)

makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).21

Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Ke dua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.

Menurut jan michiel otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun, otto ingin memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;

b) Instansi-instansi penguasa(pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c) Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

d) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;

21Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal 47

(28)

e) Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.22

Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserai tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social disorganization atau kekacauan sosial.

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang- undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen),bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.

Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah

22Mas Marwan, Pengantar Ilmu Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2014), hal 64

(29)

kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).23

Hukum harus pasti karena dengan hal yang bersifat pasti dapat dijadikan ukuran kebenaran dan demi tercapainya tujuan hukum yang menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam masyaraka serta kepastian hukum harus dapat menjadi jaminan kesejahteraan umum dan jaminan keadilan bagi masyarakat.

Sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan kati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang.Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.

23 Ibid, hal 72

(30)

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.24

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :

Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

a) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik

b) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

c) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

d) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

e) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

f) Tidak boleh sering diubah-ubah;

g) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,

24 Ibid hal 24

(31)

perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.25

b. Teori Pemidanaan

Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius.

Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon)26

Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen)27 Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan- hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.

25Asikin Zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia .( Jakarta : Rajawali Pers,2012 ). hal 56

26 Darji Darmodiharjo, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, ( Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1995) , hal 73.

27 L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, ( Jakarta : P.T. Pradnya Paramita, 2000), hal 6.

(32)

Seiring perkembangan zaman permasalahan di bidang hukumpun semakin hari semakin rumit dan kompleks. Khususnya lagi dalam hukum pidana yang mencita-citakan lahirnya sebuah kodifikasi baru pengganti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP saja) warisan kolonial yang telah terlalu jauh tertinggal oleh zaman. Patut dicatat, pembaharuan hukum pidana selalu menimbulkan pertentangan-pertentangan pendapat yang tidak hanya terjadi antara para ahli hukum saja melainkan juga melahirkan pertentangan di tengah masyarakat.

Pertentangan yang terjadi tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum pidana (penal reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan deliknya ,namun juga mencakup kebijakan criminal (criminal policy) yang merupakan persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya perkembangan/kecendrungan kejahatan (crime trend).

Hukum pidana yang domeinnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat kita lihat ialah bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap wacana penegasan ancaman pidana mati terhadap terhadap para koruptor.

Menurut Hegel Negara ialah realitas “Roh” atau kesadaran, yang menjawab pertentangan dalam masyarakat. Tanpa Negara pertentangan yang ada di dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan.28 Maka menyikapi permasalahan dan pertentangan yang terjadi di dalam pembaharuan hukum pidana, Negaralah yang harus mengambil kebijakan guna mencegah terjadi pertentangan yang semakin

28 Darsono P, Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, ( Jakarta : Diadit Media, 2006), hal 21.

(33)

meluas yang bukannya mendatangkan solusi melainkan melahirkan debat kusir yang tak bermakna.

Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam domein hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana).

Teori teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut,teori relatif dan teori gabungan.29

a) Teori Absolut

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan an terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan30

29 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : PT Rafika Aditama, 2009), hal 22

30 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) ,Hal 105.

(34)

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.31 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.

Ciri pokok atau karakteristik teori Absolut yaitu : 1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;

5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

b) Teori Relatif

Teori relatif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang

31 Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hal 24

(35)

diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memberikan ancaman kepada masyarakat luas. Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada 2 macam yaitu:

1. Teori pencegahan Umum

Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Feuerbach memberkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan Paksaan Psikologis. Dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan karena apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu.32

2. Teori pencegahan Khusus

Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang

32 Adami Chazawi, Op Cit, hal. 157

(36)

yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam yaitu menakut-nakutinya, memperbaikinya, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus yaitu:

a. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang yang cukup dapat dicegah dengan cara penjatuhan pidana agar orang tidak melakukan niat jahatnya.

b. Akan tetapi, jika tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya.

c. Jika penjahat itu tidak dapat diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.

d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum didalam masyarakat.

Dalam pemberian sanksi pidana, pemberian macam-macam pidana badan, biasanya dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera secara langsung agar si peaku tidak melakuka pelanggaran untuk yang kedua kalinya. Efek langsung yang ditimbulkan bisa berupa sakit ataupun rasa malu, jikapidana tersebut dilakukan di depan khalayak ramai sebagai pelajaran baik terhadap pelaku (efek malu) dan rasa takut bagi masyarakat ataupun calaon pelaku lainnya untuk tidak melakukan hal serupa.

(37)

Hal di atas seseuai dengan teori pemidanaan teori relative (teori tujuan pemidanaan). Dalam teori ini, pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara33.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai 3 macam sifat, yaitu :

1) Bersifat menakut-nakuti 2) Bersifat memperbaiki 3) Bersifat membinasakan c ) Teori Gabungan (vernegings theorien)

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar34, yaitu :

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankan tata tertib masyarakat.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

33 Adami Chazawi, Op Cit, hal. 158

34 Ibid, hal. 166

(38)

Vos menerangkan bahwa di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran, yaitu, teori yang menitikberatkan pada pembalasan, teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum, dan teori yang menganggap sama antara keduanya.

a. Teori yang menitikberatkan pada pembalasan

Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib hukum, supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Sedangkan Zevenbergen, berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum. Sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum.

b. Teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum

Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan pidana, sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.35

35 Ibid

(39)

c. Teori gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat

Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara positif.

Sedangkan Simons, mempergunakan jalan pikiran bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus disesuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.

Sistim pemidanaan dan susunan pidana di dalam WvS Nederlandse dipengaruhi oleh aliran prevensi khusus. Hal ini seperti dinyatakan oleh Pompe dalam Handboek v.h. Ned. Strafrecht 1959. Berbeda dengan pendapat Hazewinkel Suringa, menyatakan bahwa WvS Nederlandse mempunyai tujuan yang kompromis. Menurut literatur mengenai KUHP (Undang-undang No.1 Tahun 1946) dengan menilik sistim dan susunan yang masih belum berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned.) dapat dikatakan mempunyai tujuan pidana dengan aliran kompromis atau teori gabungan mencakup semua aspek yang berkembang di dalamnya.

(40)

Di Indonesia, tujuan pemidanaan tidak pernah diatur secara eksplisit dalam Undang-undang hukum pidana, namun dalam Rancangan KUHP dapat dijumpai, yaitu:36

Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Selain adanya teori-teori mengenai pembenaran hukum pidana tersebut, terdapat juga pandanga-pandangan negatif yang menganggap hukum pidana itu sebagai ketidak adilan. Yakni keberatan dari sisi religius, keberatan biologis, dan keberatan sosial.

1. Keberatan Religius

Beranggapan bahwa pengenaan pidana (pengenaan derita dengan sengaja oleh pihak penguasa) tidak dapat dibenarkan. Leo Tolsoi, berpendapat bahwa kita tidak mungkin menghukum dengan nurani yang bersih. Mereka yakin bahwa orang-orang jahat janga dilawan atau ditolak, orang seperti itu harus dikasihi.

2. Keberatan Biologis

Pandangan yang dikemukakan oleh Max Schlapp dalam bukunya The New Criminology, bahwa gagasan pertanggungjawaban harus ditolak dan pidana dianggap

36 Ibid,

(41)

sebagai suatu campur tangan yang buruk. Menurutnya, semua perbuatan asosial bersumberkan dari kerja tidak sempurna kelenjar-kelenjar endokrin, dan sebab itu memandang hukum pidana sebagai a system on ignorance.

3. Keberatan Sosial

Keberatan ini mempertanyakan kewenangan negara untuk menghukum, karena negara sendiri yang secara langsung maupun tidak menetapkan syarat-syarat atau batasan kriminalitas. Lacassagne, salah satu pendukung aliran sosiologis Perancis menyatakan: tout le monde est coupable du crime, excepte le criminel (tiap orang sanggup melakukan delik atau dinyatakan bersalah, terkecuali si penjahat).

Sedangkan Clara Wichman, menolak adanya kewenangan negara untuk menghukum, karena dengan itu negara bukan menegakkan tertib hukum, melainkan justru melestarikan penguasaan suatu tertib hukum oleh kelas tertentu dan dengan cara itu membenarkan dan menjaga kelestarian hubungan-hubungan kemasyarakatan yang menguntungkan dominasi penguasa. Setiap penguasa memandang pelanggaran yang ditujukan terhadapnya sebagai bid’ah (penyimpangan aturan).

Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan hukum pidana dalam arti subjektif. Karena teori-teori ini menerangkan mengenai dasar-dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Kira-kira setelah abad 19, muncul teori-teori pembaharuan mengenai tujuan pemidanaan. Teori-teori tersebut yakni teori pembalasan, teori tujuan, dan teori gabungan. Jan Remmelink mengatakan selain adanya ketiga teori tersebut, ia juga menyebutkan mengenai teori perjanjian2.

Menurutnya, teori hukum kodrat dan perjanjian dipandang sebagai satu-satunya yang benar. Secara kodrati adalah wajar seseorang yang melakukan kejahatan akan

(42)

menerima kembali balasan yang setimpal, terhadap ketentuan kodrati demikian individu dianggap menundukkan diri.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan ataupun konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.37 Konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di dalam penelitian ini dirumuskan konsep dengan menggunakan model definisi operasional,38 yaitu :

1. Pengertian Ketentuan Tindak Pidana

Sistem hukum Indonesia mengenal azas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia lege Poenali” artinya “ peristiwa tindak pidana tidak akan ada, jika

ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”. Jadi dengan demikian setiap penghukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan haruslah atas dasar perbuatan yang telah terlebih dahulu diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan diberi sanksi pidana.

37 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, “Perihal Kaedah Hukum”, (Bandung : ,Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 137.

38 SPS USU, Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum, (Medan : Universitas Sumatera Utara), hal. 5.

(43)

Sebelum membahas lebih lanjut tentang ketentuan tindak pidana Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya terlebih dahulu perlu diketahui tentang pengertian ketentuan tindak pidana. Ketentuan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku dapat dikenakan “subyek” tindak pidana. Terjadinya tindak pidana adalah karena adanya prilaku atau perbuatan manusia yang melanggar ketertiban umum terhadap aturan hukum dan perbuatan itu menimbulkan ketidaktenteraman dalam masyarakat. Dalam hukum pidana juga terdapat azas legalitas, yaitu tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelummnya.

Menurut Siomons dikutip oleh Djoko Prakorso bahwa Hukum Pidana adalah perintah dan larangan yang diadakan oleh Negara dengan suatu nestapa (pidana). Sedangkan menurut Van Hamel adalah semua dasar-dasar dan aturan- aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.39

Adami Chazawi mengemukakan bahwa “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Negara Indonesia40”. Dalam hampir seluruh perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah ketentuan tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan

39 Djoko Prakoso, Pembangunan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hal.

20

40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 67

(44)

suatu ketentuan tindak pidana tertentu. Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian ketentuan tindak pidana, antara lain :

1) Moeljatno berpendapat “perbuatan ketentuan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.41

2) Vos yang di kutip Martiman P. mengemukakan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan.42

3) Karni yang dikutip Sudarto memberi pendapat bahwa “delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh seseorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa saja perbuatan itu patut dipertanggung jawabkan”43. Sedangkan arti delict itu sendiri dalam kamus Hukum diartikan sebagi delik, ketentuan tindak pidana, perbauatan yang diancam dengan hukuman.44

4) Simons, mengemukakan bahwa straafbaar feit adalah suatu tindakan melawan Hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan tindakannya.45

41 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal. 54

42 Martiman Prodjomidjojo. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I. (Jakarta : Pradnya Pramita, 1996), hal. 16

43 Sudarto, Hukum Pidana I. (Semarang : Yayasan Sudarto, 1990), hal. 42

44 R.Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Pramita, 2005), hal. 35

45 Simons, Leerbook Van Het Nederlandsche strafrecht, (terjemahan), (Bandung : Pioner Jaya, 1992), hal. 127

(45)

Berdasarkan pengertian diatas dikemukakan bahwa ketentuan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Tindakan yang dilakukannya tersebut adalah tindakan yang melanggar atau melawan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.

Namun apabila dikaitkan dengan tindak pidana cagar budaya, maka dapat diartikan bahwa ketentuan tindak pidana cagar budaya adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan pidana cagar budaya dan bagi setiap orang yang melanggar ketentuannya dapat diancam dengan hukuman pidana, dalam hal ini ketentuan yang dimaksud adalah undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.

Dalam Cagar Budaya terdapat ketentuan sanksi pidana Cagar Budaya, sanksi ketentuan pidana Cagar Budaya diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang ketentuannya bahwa :

Pasal 102

“Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 103

“Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

(46)

2. Pengertian Cagar Budaya

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa untuk melestarikan Cagar Budaya, Negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada Pasal 1 menjelaskan bahwa :

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Dan satu hal yang sebenarnya apakah yang boleh dikatakan mungkin tidak ada ditempat yang lain ya, mungkin tidak ada ditempat yang lain adalah, apa namanya kopetensi apa ya, kalau

Tahyul atau takhayyul adalah angan-angan, iaitu sesuatu yang dikhayalkan dalam bayangan fikiran manusia sebagai ada: padahal yang sebenarnya ia tidak ada; atau

NJOP = Nilai Jual Obyek Pajak (nilai ada di SPPT tahun berjalan, yg biasanya dipakai untuk perhitungan pajak jual belinya, harga jual beli sebenarnya bisa tidak sama dgn

“Apa ada yang berubah dari negeri kita?” Sang Ratu bertanya kepada para penduduk.. “Tidak Ratu, semua berjalan

- Kebijakan yang baik itu sebenarnya tidak terlalu banyak namun dapat di eksekusi, namun biasanya saat ada kebijakan baru yang ada dibenak kita adalah bukan bagaimana

“Sebab bila kita tidak benar-benar mengetahui keadaan yang sebenarnya mungkin terjadi, saya sebagai Golongan Karya atau kader Golkar akan dituduh sebagai penghalang daripada

Pernyataan ini, yang dalam Islam dikenal sebagai Kalimat Tauhid, biasanya diasumsikan dengan makna “tidak ada Tuhan (-tuhan) lain, hanya ada satu Tuhan, dan Tuhan itu

Sebenarnya sah – sah saja kalau ingin memainkan banyak pair atau pasangan mata uang tidak ada larangan cuman biasanya kita lebih banyak melakukan kesalahan dan biasanya