• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Ilmu hukum dalam menjalankan fungsinya selalu bergantung pula pada berbagai bidang ilmu lainnya termasuk dalam hal ini bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.9 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.10

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.11 Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata dan juga akibat adanya asas kebebasan berkontrak sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6.

10

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal 203.

11

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.12

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa: Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.13 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.14

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan. Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.15

Selanjutnya, dapat pula dijelaskan bahwa musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara anggota masyarakat mengandung komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai kaitan erat dengan hukum karena hukum

12

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal 55.

13

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal 15.

14

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, 1991, Bandung, hal. 56.

15

Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.16

Nilai tidak bersifat kongkrit melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu berlaku bagi siapa saja.17

Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral akan tercermin dari sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.18 Sikap masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar penegakan hukum (law enforcement).19 Sikap moral masyarakat yang ada akan melembaga dalam suatu budaya hukum (legal culture). Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat.

Lawrence M. Friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu

16

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hal 80.

17

R. Rosjidi Rangga Widjaja, Ilmu Perundang-undangan Indonesia Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 24.

18

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Gramedia Pustaka, 1996, Jakarta, hal. 250.

19Law Enforcement

adalah pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Lihat John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta 1989, hal. 140.

jalannya proses hukum.20 Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak akan berdaya21 jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan lancar. Hal ini meliputi sumber daya manusia yang trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta keuangan yang cukup.22

Penyelesaian sengketa di Indonesia biasanya memiliki pola tersendiri, Ade Maman Suherman mengutip pendapat Daniel S.Lev. mengatakan bahwa budaya hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik tersendiri yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu.23 Istilah budaya hukum digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum dalam mengatur kehidupan suatu masyarakat.24 Faktor penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus di antara para pihak yang bersengketa. Kenyataannya bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority)25 secara tidak merata.

20

Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki, Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 8.

21 Ibid

.

22

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 27

23

Ade Maman Suherman, Perbandingan Sistem Hukum RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 16

24

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op.Cit., hal. 108.

25Authority

menurut Mark Weber yang ia bedakan dari pengertian Power, ia mengartikan

Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan suatu perjanjian termasuk dalam hal ini perjanjian bangun bagi yang berkembang dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat merupakan suatu perjanjian yang tumbuh dalam masyarakat akibat adanya asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan demikian, perjanjian bangun bagi juga termasuk dalam suatu sistem hukum perjanjian yang berpedoman pada sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan dan pelaksanaannya.

Istilah perjanjian atau kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst (perjanjian).26 Perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan. Hal tersebut landasan hukumnya terdapat dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa "tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang". Akan tetapi perikatan yang lahir karena perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Perjanjian melahirkan perikatan ini menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang melaksanakannya. Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan diikuti oleh sekelompok orang tertentu. Power bersumber dari dalam kepribadian seseorang, maka

authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya. Lihat Ralph Dahrendorf, Case and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, Jakarta, 1959, hal. 162.

26

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 15.

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih.

R. Subekti memberikan rumusan perjanjian sebagai suatu peristiwa hukum dimana seseorang berjanji kepada orang lain dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.27 Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.28

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi prestasi.29 Menurut teori hukum baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah "suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum".30

Tan Kamello mengatakan bahwa dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding).31 Menurut beliau :

27

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, hal. 1.

28

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citara Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 9.

29

M. Yahya Harahap„egi-Segi Hukurn Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hal. 6.

30

Salim H S., Op.Cit, hal. 16

31

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar ,USU, 2 September 2006, hal .5.

Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional. Communis Opinio Doctorum selama ini memahami arti perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling), yaitu perbuatan penawaran (aanbod, offer), dan penerimaan (aanvaarding, acceptance). Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechthandeling) yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan arti perjanjian adalah hubungan hukum. Inilah alasan hukum (legal reasoning) yang dipergunakan mengapa esensi perjanjian yang dimaksudkan adalah sebagai hubungan hukum antara nasabah dengan debitor.32

Selanjutnya dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah Pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Notaris merupakan jabatan profesi yang dapat dikategorikan sebagai profesi hukum, sehingga sebagai sebuah profesi, notaris terikat dengan peraturan dari profesinya tersebut yang kita kenal juga dengan istilah kode etik (kode etik notaris).

32

Kode Etik Notaris merupakan suatu kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan Keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas dan jabatan sebagai Notaris.33

Kode Etik Notaris dilandasi oleh kenyataan bahwa Notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian dan keilmuan dalam bidang kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang kenotariatan. Secara pribadi Notaris bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang diberikannya.34

Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Otentik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu akta yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat dimana akta itu dibuat.35

Notaris merupakan perwujudan dan personifikasi dari hukum keadilan, kebenaran dan merupakan jaminan adanya kepastian hukum bagi masyarakat. 33 http://ucupneptune.blogspot.com/2007/11/ketentuan-dan-kode-etik-notaris.html,April 2010. 34 Ibid . 35 http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/07/tentang-jabatan-notaris.html, April 2008.

Kedudukan seorang notaris sebagai suatu profesi dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seorang dapat memperoleh nasehat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.36

Notaris berwenang untuk:37 a) membuat akta-akta otentik;

b) mengesahkan surat-surat di bawah tangan (legaliseren); c) mendaftarkan surat-surat di bawah tangan (waarmerken);

d) memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai Undang-Undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Wewenang Notaris adalah bersifat umum (regel) dan meliputi hal-hal sebagai berikut :38

1. sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya itu;

2. sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; 3. sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat;

4. sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. 5. Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat akta risalah lelang.

36

Tan Thong Kie, Media Notariat (Edisi kedelapan), Harvindo, Jakarta, 2001, hal 33.

37

http://welinkusuma.blogspot.com/2008/05/profesi-notaris.html.

38

Kemudian dapat dijelaskan bahwa dalam point 5 di atas terlihat bahwa notaris dapat memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, termasuk pula dalam hal ini menyelesaikan perselisihan akibat pelaksanaan akta perjanjian yang dibuat sebelumnya.

Dalam penyelesaian sengketa akibat pelaksanaan perjanjian yang dituangkan dalam akta yang dibuatnya ini notaris dapat juga bertindak sebagai mediator dalam proses mediasi. Notaris dalam hal ini adalah sebagai pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak dan yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Rachmadi Usman yang dikutip Runtung Sitepu dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya yang menyimpulkan bahwa :

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non- intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut “mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.39

Dengan perkataan lain, mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator saja dan melalui mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai

39

Runtung Sitepu, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, USU, Medan, 2006, Hal 24.

kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.

Bentuk penyelesaian sengketa yang pertama dan paling penting adalah Negosiasi (negosiation). Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga- lembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola diskusi atau negosiasi dalam pengambilan keputusan di antara para pihak yang berlawanan terhadap persoalan- persoalan yang mereka pertentangkan.

Di dalam mediasi kedua belah pihak yang bertentangan menyetujui untuk menerima pihak ketiga menyelesaikan sengketanya. Tetapi mereka bebas untuk menerima atau menolak keputusan tersebut. Melalui mekanisme pengendalian sengketa yang efektif akan menjadikan suatu kondisi yang kondusif, dengan kata lain dalam mediasi kekuasaan tertinggi ada di para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja.40

Proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak (mutually acceptable solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan pengadilan, karena merupakan hasil dari kesepakatan para pihak yang bersengketa. Artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan tengah yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka bersama. Sedangkan dalam putusan pengadilan ada pihak lain yang memutuskan, yaitu hakim.

40

Surya Perdana, Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan Disumatera Utara, USU e-Repository, Medan, 2008, hal 40.

Putusan pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para pihak, melainkan lebih dekat pada perasaan keadilan hakim itu sendiri yang belum tentu sama dengan perasaan keadilan dari para pihak yang bersengketa.41

2. Konsepsi

Konsep adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.42 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubuis) dari suatu istilah yang dipakai.43 Oleh karenanya untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Berdasarkan judul dari penelitian tesis ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut.

1. Notaris adalah yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan

41 Ibid

., hal 41

42

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993.

hal. 10.

43

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal. 35.

akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Peranan Notaris adalah peranan dari notaris di luar kewenangan pembuatan akta dalam hal ini keikutsertaan notaris dalam pemberian pendapat hukum (advis hukum) dan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

3. Penyelesaian sengketa adalah suatu upaya yang dilakukan oleh para pihak guna menyelesaikan perselisihan atau sengketa akibat adanya suatu perbuatan hukum yang disepakati sebelumnya.

4. Tuntutan Pembatalan adalah tuntutan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam suatu perjanjian untuk membatalkan perjanjian.

5. Pembatalan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum sebagai upaya untuk tidak melanjutkan sebuah perjanjian akibat terpenuhinya syarat batal dari suatu perjanjian.

6. Perjanjian Bangun Bagi adalah perjanjian yang dilaksanakan antara pemilik tanah dengan pelaksana pembangunan (pengembang) untuk pembangunan dengan membagi bagian masing-masing pihak berupa bangunan pertokoan sesuai dengan kesepakatan.

7. Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu

penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan dalam hal ini mediasi yang dilakukan oleh atau melibatkan notaris sebagai mediator.

Dokumen terkait