• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,15 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.16

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban.

Pertanggungjawab berasal dari kata tanggungjawab yang mengandung pengertian suatu keadaan dimana seseorang / kelompok wajib menanggung segala sesuatunya, jika ada sesuatu hal, yang dituntut dipersalahkan atau diperkarakan oleh pihak lain kepadanya.17 Konsep pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan

15 JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I), Jakarta, FE UI, 1996, hal. 203

16M Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hal. 80

17Donni Prayuda, Teori Pertanggungjawaban, Prenada Media, Jakarta, 2009, hal. 18

pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seorang atau kelompok yang bertentangan dengan undang-undang.

Menurut Hans Kelsen konsep yang berhubungan dengan kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab (pertanggungjawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia bertanggungjawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan dengan hukum yang berlaku.18 Seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, maksudnya adalah bahwa subjek hukum identik dengan subjek dan kewajiban hukum. Setiap orang termasuk pemerintah harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Pertanggungjawaban hukum yang dimaksud adalah tanggung jawab hukum secara pidana, perdata maupun secara administratif dalam hal ini adalah menyangkut tentang ketentuan-ketentuan hukum dari organisasi Notaris yang berkaitan dengan perintah dan larangan yang termuat dalam kode etik Notaris.19

Notaris sebagai pejabat umum memiliki tanggung jawab yang melekat dalam tugas kewajibannya untuk melaksanakan pembuatan akta autentik.

Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta autentik yang dibuatnya menyangkut pertanggungjawabkan terhadap formalitas akta tersebut apakah akta yang dibuat Notaris tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

18Jimly Asshidiqqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 28.

19Munir Fuady, Pertanggungjawaban Hukum Dalam Teori dan Praktek, Armiko, Bandung, 2007, hal. 16

berlaku di dalam pembuatan akta autentik Notaris. Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya membuat akta autentik yang berkaitan dengan keperdataan memiliki kewenangan atributif yaitu kewenangan yang melekat pada jabatan itu dan diberikan oleh undang-undang.

Bila dalam pembuatan akta autentik Notaris menyimpang dari ketentuan yang termuat di dalam undang-undang jabatan Notaris berkaitan dengan pembuatan akta autentik maka akta Notaris tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah tangan.

Dengan terdegradasinya akta Notaris menjadi akta di bawah tangan maka kekuatan pembuktiannya juga hanya memiliki kekuatan hukum sebagai akta di bawah tangan.

Dengan terdegradasinya akta autentik Notaris menjadi akta di bawah tangan maka Notaris wajib bertanggungjawab terhadap akibat hukum yang ditimbulkan oleh karena kesalahan atau kealfaannya.20

Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya tidak hanya berlaku saat dia masih bertugas aktif sebagai Notaris namun pertanggungjawaban tersebut juga tetap melekat saat Notaris tersebut memasuki masa akhir jabatannya karena usia pensiun. Meskipun protokol Notaris telah diserahkan / diahlihkan kepada pihak lain namun karena pertanggungjawaban Notaris tersebut melekat menjadi satu kesatuan dengan jabatan Notaris tersebut maka setiap permasalahan yang timbul karena akta yang dibuat oleh Notaris tersebut menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari Notaris yang telah berakhir masa jabatannya.21

20Aslam Nasution, Akta Autentik dan Akta Dibawah Tangan¸ Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 53

21 Dwi Djapriyatno, Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Publik, Utomo, Bandung, 2008, hal.30

Pertanggungjawaban Notaris dalam hukum pidana terjadi apabila akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki unsur melawan hukum (perbuatan melawan hukum) sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak atau pihak lain dengan terbitnya akta tersebut. Pertanggungjawaban Notaris apabila terjadi perbuatan melawan hukum (pidana) lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana, dan secara subjektif kepada pelaku yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya.22

Di dalam hukum pidana ada asas “actus non facit reum nisi mens sit rea”

yang berarti orang tidak akan mungkin dimintakan pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan tetapi seseorang yang melakukan pidana belum tentu ia dapat dipidana. Orang yang melakukan pidana akan dijatuhi sanksi pidana apabila dia terbukti telah melakukan kesalahan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang hukum pidana.23

Pertanggungjawaban Notaris di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban karena ada unsur kesalahan yang dibuat oleh Notaris tersebut dalam prosedur pembuatan akta autentik Notaris. Oleh karena itu apabila Notaris dalam pembuatan akta autentik tidak terbukti melakukan kesalahan maka Notaris tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Asas di dalam hukum pidana yang dikenal dengan geen straf zonder schuld atau liability based on fault / guilt atau culpabilitas,

22 Bondan Hadi Wiratmo, Pertanggungjawaban Notaris Dalam Hukum Pidana, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2006, hal. 24

23Ibid, hal. 25

merupakan asas untuk menentukan apakah seorang Notaris di dalam melaksanakan prosedur hukum pembuatan akta autentik terbukti atau tidak melakukan kesalahan secara hukum. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan kesalahan dalam membuat akta autentik maka Notaris tersebut wajib bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuatnya tersebut.24

Notaris yang menerbitkan akta autentik dan terbukti melakukan perbuatan pidana berupa pemalsuan baik berupa isi ataupun tanda tangan dalam suatu akta autentik notariil maka Notaris tersebut wajib mempertanggungjawabkan tersebut berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Isi akta yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh seorang Notaris dan harus memenuhi syarat formil dan materil. Adapun syarat formil adalah harus memuat tanggal, bulan, tahun, di tandatangani oleh para pihak, saksi dan Notaris.

Penandatanganan oleh para pihak dalam akta autentik notaril harus ditegaskan dalam akta dengan tujuan mengenai penegasan ini tidak lain untuk mengautentikan tanda tangan para pihak dalam akta tersebut.25

Akta dalam pengertian yuridis bila tidak dibubuhi tanda tangan tidak dapat dikategorikan sebagai akta autentik karena dengan adanya tanda tangan oleh yang bersangkutan dapat dipastikan siapa orang yang memberikan keterangan pada akta autentik tersebut. Syarat materil dari akta autentik berisi keterangan kesepakatan para

24R Soesanto, Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, 2010, hal. 38

25Ellise T. Sulastini. dan Wahyu Aditya, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Berindikasi Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 55

pihak, yang harus persis sama sesuai dengan yang diterangkan para pihak tanpa mengurangi hak konstantering. Pada prinsipnya di dalam suatu akta autentik Notaris tidak mengurangi atau melebihi dari apa yang diterangkan oleh para pihak.

Keterangan di dalam suatu akta autentik berkaitan dengan perbuatan hukum dan hubungan hukum antara para pihak.26

Pembuatan akta autentik adalah suatu tindakan yang disengaja oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti tentang perbuatan hukum dan hubungan tertentu yang diterangkan di dalam akta. Apabila akta autentik Notaris tersebut ternyata melebihi atau kurang dari apa yang diterangkan oleh para pihak maka Notaris telah melakukan kesalahan karena tidak mengakomodasi keinginan para pihak tersebut secara tepat sesuai dengan kehendak para pihak itu sendiri. Jika seorang Notaris melakukan tugas dan kewajibannya sesuai dengan UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, memenuhi tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta dan isi akta telah sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap maka tuntutan perbuatan melawan hukum baik secara perdata (Pasal 1365 KUH Perdata) maupun secara pidana (Pasal 236 dan Pasal 266 KUH Pidana) tidak akan mungkin dilakukan oleh para pihak. Hal ini disebabkan karena prosedur dan tata cara pembuatan akta autentik tersebut telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang kenotariatan dan telah memenuhi seluruh unsur yang dikehendaki oleh para pihak.27

26 Arman Sudrajat, Hubungan Hukum Notaris Dan Klien, Kencana Media, Jakarta, 2007, hal.15

27Denni Hardiman Wijaya, Akta Autentik Notariil Berdasarkan UUJN No. 30 Tahun 2004, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 59

Pada dasarnya hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak / para penghadap yang telah membuat akta autentik dihadapan Notaris tidak dapat dikonstruksikan/ditentukan pada awal pertemuan antau hubungan antara Notaris dengan para penghadap, karena pada saat pertemuan tersebut belum terjadi permasalahan. Untuk mengetahui hubungan hukum antara Notaris dengan penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata yaitu, “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan”.

Dengan demikian maka hubungan hukum itu timbul atau menjadi masalah sejak adanya permasalahan hukum berkaitan dengan akta autentik yang dibuat oleh Notaris. Sejak itulah dapat dikategorikan bahwa akta autentik terdegradasi menjadi akta di bawah tangan dalam status dan kekuatan pembuktian sebagai alat bukti, dengan alasan bahwa :

1. Pejabat umum yang bersangkutan secara hukum tidak berwenang dalam pembuatan akta tersebut.

2. Pejabat umum yang bersangkutan tidak mampu 3. Cacat dalam bentuknya.28

Pada saat akta autentik notariil tersebut mengandung permasalahan hukum karena adanya kesalahan yang dibuat oleh Notaris tersebut maka pada saat itulah Notaris dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Notaris wajib

28Endang Widiastuti, Notaris dan Kode Etik Profesi, Sumber Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 79

mempertanggungjawabkan akibat hukum dari kesalahan yang telah diperbuatnya dalam pembuatan akta autentik tersebut. Meskipun Notaris tersebut telah memasuki masa akhir jabatannya karena batas usia yang telah ditetapkan oleh UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, dan meskipun protokol Notaris tersebut telah diserahkan atau dialihkan kepada pihak lain.29

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.30 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Tanggung jawab adalah suatu keadaan dimana seorang Notaris wajib bertanggung jawab secara hukum baik perdata, pidana maupun secara administratif terhadap seluruh akta yang telah dibuatnya meskipun telah memasuki masa pensiun sebagai seorang Notaris.

2. Notaris adalah pejabat publik yang sekaligus sebagai profesi di bidang hukum yang bertugas memberikan pelayanan dan menciptakan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat dengan cara melakukan pembuatan

29Riki Susanto, Tanggungjawab Profesi Notaris Dalam Menjalankan Tugas dan Kewenangannya Dalam Pembuatan Akta Autentik, Citra Ilmu, Surabaya, 2007, hal. 63

30Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10

akta autentik dalam suatu perbuatan hukum melakukan legalisasi dan warmerking terhadap surat-surat di bawah tangan.

3. Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang yaitu Notaris untuk itu ditempat akta itu dibuat.

4. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.

5. Masa jabatan Notaris adalah rentang waktu pekerjaan Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam membuat akta autentik sejak Notaris tersebut diangkat sumpah oleh pejabat yang berwenang hingga batas usia yang ditentukan di dalam UUJN yaitu 65 (enampuluh lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 tahun lagi menjadi 67 (enampuluh tujuh) tahun.

6. Penyerahan protokol Notaris adalah pengalihan dokumen / arsip Notaris yang berada di dalam penyimpanan protokol Notaris yang telah memasuki masa akhir tugasnya karena batas usia yang telah ditentukan oleh undang-undang diserahkan kepada Notaris lain atau pejabat yang ditunjuk untuk itu dalam rangka menjaga dan memelihara protokol Notaris tersebut sebagai arsip negara.

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait