• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Konseptual

Dalam skripsi ini menggunakan kerangka konseptual sebagai berikut: Keyakinan terhadap keberadaan transendental atau kekuatan supra-manusia ini telah ada sepanjang sejarah umat supra-manusia. Bahkan dalam masyarakat primitif pun, “cara beragama” telah melekat dengan mempercayai kekuatan- kekuatan ruh (spirit), dewa- dewa dan jin yang terdapat di beberapa tempat seperti batu atau pohon. Dalam Islam, fenomena ‘bertuhan pada diri manusia’ ini disebut sebagai bentuk “perjanjian primordial”, yakni mengakui adanya Tuhan dan hasrat berbakti pada Nya sebagai alam asli manusia.9

Dalam konteks ini penulis akan memfokuskan pada agama Islam. Agama memiliki peran penting dalam membentuk moral manusia. Ajaran agama mengatur manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia. Ajaran agama Islam mengatur manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Agama Islam merupakan keyakinan yang dianut oleh sebagian beasar para pedagang di Pasar Projo Ambarawa.

9

Jurnal, Acep Mulyadi, Islam dan Etos Kerja: Relasi Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos Produktivitas Kerja di Daerah Kawasan Industri Kabupaten Bekasi. TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008, hal. 3

17

Agama Islam ~ baik normatif-teologis bersifat individual maupun amal-kebijakan kolektif ~ menekankan perlunya mengedepankan pola keseimbangan hidup. Di samping taat beribadah kepada Tuhan demi mencapai kebahagiaan akhirat, orang muslim juga harus bekerja keras dengan menggunakan segala kemampuan rasionalitasnya, kompetitif dan strategis. Terkait dengan akses sumber daya ekonomi, Islam merespons positif setiap pengembangan usaha perdagangan, sebagaimana dilakukan Muhammad sebelum menjadi Nabi.10Dalam perkembangan zaman yang semakin modern keberadaan agama terutama agama Islam mengalami tantangan akan eksistensinya. Bahkan tantangan tersebut menyebabkan terjadinya kemunduran peradaban manusia, guncangan yang paling terasa ialah munculnya paham ateisme dengan beragam variannya, seperti pemikiran sosialis yang berkembang sebagai basis keilmuan Marxisme mengonsepsikan bahwa agama adalah “candu”bagi masyarakat.11

Ajaran agama Islam mulai mengalami tantangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Ancaman yang paling nyata ialah berkembangnya paham sekuler, pada paham sekuler menempatkan agama pada posisi yang tidak begitu penting. Paham sekuler akan mendorong pada kehidupan masyarakat yang mengutamakan hal-hal keduniawian atau mendorong masyarakat bersikap dan bertindak ke arah hedonisme. Dengan berkembangnya sikap masyarakat yang hedonis akan menggeser posisi ajaran agama Islam sebagai pedoman bagi umat muslim. Untuk menjawab segala asumsi yang berusaha mengesampingkan peran agama dalam kehidupan ekonomi dijawab oleh sosiolog yakni Max Weber dengan mempublikasikan hasil studi empiris tentang konvergensi nilai-nilai agama dan munculnya kapitalisme pada masyarakat Barat. (The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism).

Dalam buku itu, Weber menautkan nilai-nilai keagamaan dengan perilaku rasional individu dalam konteks perkembangan ekonomi kapitalisme Eropa Barat Pasca-revolusi industri. Walaupun demikian Weber tidak menafikkan pengaruh “tradisi“ pemikiran “rasional” yang telah berurat

10

M Luthfi Malik. Etos Kerja, Pasar dan Masjid (Jakarta: LP3ES,2013), hal. 8

11

18

akar dalam kehidupan masyrakat Barat sebagai bentuk “rasionalitas instrumental” yang dapat memotivasi perilaku ekonomiindividu dan mendorong kemajuan kapitalisme. Selain rasionalitas, Menurut Weber, ada unsur esensial lain yang menjadi tenaga pendorong munculnya kapitalisme, yakni nilai-nilai doktrinal agama Protestan, khususnya madzhab Calvinis. 12

Dalam buku The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism Weber menjelaskan bahwa doktrinal agama Protestan Madzhab Calvinis bersumber pada doktrin Calling atau panggilan. Melalui doktrin Calling umat protestan didorong untuk menjalankan pekerjaan dengan baik, karena kualitas bekerja dan semangat yang baik dalam melaksanakan pekerjaan merupakan bagian dari ketaatannya dengan Tuhan. Dengan menegaskan bahwa hanya sebagian orang yang dapat terpanggil sehingga menjadi manusia yang selamat mendorong umat Protestan Madzhab Calvinis memiliki semangat dan berupaya mewujudkan untuk menjadi manusia yang terpanggil. Untuk menjadi manusia yang terpanggil dalam ajaran Protestan Calvinis manusia harus berupaya untuk bekerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keterkaiatan agama dengan ekonomi yang dikemukakan oleh Max Weber selaras dengan pemikran dari beberapa ilmuwan muslim mengonsepsikan “aktivitas ekonomi merupakan bagian integrasi dari kehidupan beragama”. Konsepsi pemikiran keilmuan yang berkembang dalam peradaban dunia Islam selama ini mengacu pada padigma integratif. Karena itu, mustahil memisahkan persoalan ekonomi dari konteks kehidupan lain seperti sosial, politik, budaya, dan sistem nilai keagamaan: tidak ada dikotomi atau pembelahan dalam tajam antara capaian capaian tujuan pengembangan ekonomi dengan kehidupan beragama. Kedua hal tersebut sama-sama berorientasi pada pencarian dan penguatan “amal kebajikan” terkait dengan kepentingan duniawi maupun akhirat. Menurut Umer Chapra13,

12

M Luthfi Malik. Etos Kerja, Pasar dan Masjid (Jakarta: LP3ES,2013), hal. 30.

13

Umer chapra, salah seorang berpengaruh dalam studi ekonomi Islam kontemporer, mengkritisi paradigma positivis pemikiran ilmu ekonomi konvensional,

19

Paradigma Islam sebagaimana tercantum dalam doktrin keagamaan memberi tekanan lebih pada terintegrasinya nilai-nilai moral dan persaudaraan kemanusiaan dengan keadilan sosial-ekonomi. Konsepsi tersebut merupakan sebuah isyarat bahwa kehidupan ekonomi dalam prespektif Islam tidak bersifat sekuler dan juga bebas nilai, tetapi mengarah pada penyatuan nilai-nilai berbagai elemen institusional mulai dari individu, keluarga, masyarakat, pasar, hingga negara. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya kesejahteraan bersama (falah).14 Keterkaitan ajaran agama dengan kegiatan ekonomi dapat terlihat dalam perilaku dari pelaku ekonomi. Dalam mengkaji perilaku ekonomi dari pelaku ekonomi maka tidak lepas dari etos kerja. Etos kerja sering diartikan sebagai semangat bekerja. Melalui etos kerja maka kiat-kiat pelaku ekonomi terbentuk. Etos kerja terbentuk atas nilai-nilai yang moral yang bersumber dari nilai budaya dan nilai-nilai ajaran agama Islam. Etos kerja dapat dianalogikan sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan antara kegiatan ekonomi dan ajaran agama Islam. Melalui etos kerja seorang pelaku ekonomi dapat menentukan strategi untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapai.

Akar kata etos (ethos) adalah berasal dari bahasa Yunani. Dari kata tersebut, pada awalnya hanya mengandung pengertian sebagai “adat kebiasaan”. Karena itu, etos dapat membentuk “karakter dasar” bagi masyarakat yang menganutnya. Namun, dalam proses perkembangan selanjutnya, kemudian menjadi suatu konsep pemikiran yang menjelaskan tentang bagaimana terbentuknya “spirit kehidupan” atau “jiwa khas” yang dimiliki suatu bangsa. Munculnya etos yang kuat untuk memotivasi baik klasik maupun neoklasik, karena logika yang digunakan adalah “hubungan simetris

antara kepentingan pribadi atau individu dengan kepentingan publik”. Menurut Chapra, secara bertahap dan berkelanjutan konsepsi seperti itu, “mengaburkan tanggung jawab sosial individu” sebagai pelaku ekonomi dan menjadikan mekanisme pasar sebagai instrumen utama merealisasikan tuntutan efisiensi dan keadilan dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi. Kecuali pasar, fungsi dan peran berbagai lain diabaikan

termasuk nilai-nilai moral agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat serta peran aktif negara dalam menjaga keseimbangan perekonomian; lihat, M Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Prespective (Jakarta: Syari’ah Economics and Banking

Institut, 2001), hal. 25

14

M Luthfi Malik. Etos Kerja, Pasar dan Masjid (Jakarta: LP3ES,2013). Hal. 40-41.

20

kehidupan masyarakat, adalah berkaitan dengan proses perkembangan sosio-historis dan kultural yang telah berlangsung lama.Etos adalah “karakteristik Jiwa” (spirit) terhadap sebuah konstruksi kebudayaan milik komunitas tertentu dalam mewujudkan sikap kepribadian dan aspirasi mereka sekaligus menjadi instrumen penuntun dalam menjalani kehidupan, baik perorangan dan kelompok kelembagaan. Karenanya, etos dapat memberikan spirit untuk mencapai kesuksesan kerja,baik individu, kelompok, maupun institusi (formal dan informal).Terbentuknya etos kerja juga mengaitkan dengan struktur lingkungan yang memengaruhinya. Karena itu, etos kerja memengaruhi orientasi kerja dan hasil kerja yang juga terbentuk melalui proses interaksi sikap mental atau perilaku individu, kelompok, atau komunitas, sebagai kecenderungan dasar yang mengaitkan dengan struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat.15

Terbentuknya etos kerja tidak lepas dari tata nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai ajaran agama Islam. Keyakinan merupakan dasar atau pondasi dari tumbuhnya sebuah peradaban sehingga ajaran agama Islam memiliki peran penting dalam terbentuknya etos kerja dari para pedagang Pasar Projo Ambarawa. Kesadaran akan pentingnya ajaran agama Islam sebagai pedoman dalam menjalankan segala aspek kehidupan.

Islam sebagai rahmatan li alâ’lamîn,memberikan sumber-sumber normatif yang berkaitan dengankerja, nilai kerja, dan etos kerja. Etos kerja harus didasarkan pada tiga unsur, tauhid, taqwa, danibadah. Tauiîd akan mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah sarana untuk men-Tauhidkan Allah SWT. sehingga terhindar dari pemujaan terhadap materi. Taqwa adalah sikap mental yang mendorong untuk selalu ingat, waspada, dan hati-hati memelihara dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Sedangkan ibadah adalah melaksanakan usaha atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah SWT., sebagai perealisasian tugas khalîfah fî al-ardl, untuk menjaga mencapai kesejahteraan dan ketentraman di dunia dan akhirat.16

15

Ibid, hal. 10-12

16

Jurnal, Acep Mulyadi. Islam dan Etos Kerja: Relasi Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos Produktivitas Kerja di Daerah Kawasan Industri Kabupaten Bekasi. TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008, Hal. 5

21

Dalam konsepsi Islam aktivitas ekonomi merupakan bagian integral dari ajaran agama. terbentuknya etos ekonomi dalam Islam adalah bersinerginya dengan nilai moral keagamaan dengan rasionalitas kalkulasi untung-rugi, sehingga terjadi keseimbangan di antara kedua elemen dasar ini.

Dalam konsepsi Islam, etos ekonomi kaum muslim tidak hanya terbentuk dari tradisi budaya, tetapi juga bersumber dari keyakinan agama yang membentuk etos-spiritual individu. Seperti iman, ikhsan, ikhlas dan taqwa. Nilai-nilai yang membentuk ilahiyah, individual, dan sosial, yang menjadi media terciptanya kesejahteraan hidup spiritual dan material.17

Etos kerja yang didasarkan atas ajaran agama Islam membentuk etos kerja Islami. Motivasi seseorang bekerja dengan mendasarkan atas ajaran agama Islam menjadi sebab muncul etos kerja Islami. Bagi umat muslim etos kerja Islami harus dimiliki dalam dirinya, motivasi mencapai kebahagiaan dunia sekaligus mencapai kebahadiaan akhirat merupakan pondasi dari karakter etos kerja Islami. Dalam ajaran agama Islam seorang muslim diajarkan untuk menjalani hidup secara seimbang yakni memenuhi kebutuhan dunia dengan bekerja serta memenuhi kebutuhan akan spiritual berupa beibadah kepada Allah.

Etos kerja Islami adalah Sikap hidup mendasar terhadap kerja disini identik dengan sistem keimanan atau aqidah Islam berkenaan dengan kerja atas dasar pemahaman bersumber dari wahyu dan akal yang saling bekerja sama secara proporsional. Akal lebih banyak berfungsi sebagai alat memahami wahyu (meski dimungkinkan akal memperoleh pemahaman dari sumber lain, namun menyatu dengan sistem keimanan Islam).18

Etos kerja Islami adalah karakter atau kebiasaan manusia dalam bekerja yang bersumber pada keyakinan atau aqidah Islam dan didasarkan pada Al-qur’an dan Sunnah. Manusia bekerja bukan hanya motif mencari kehidupan dunia tetapi bekerja merupakan perintah dari agama. Etos Kerja seseorang terbentuk oleh adanya motivasi yang terpancar dari sistem

17

M Luthfi Malik. Etos Kerja, Pasar dan Masjid (Jakarta: LP3ES, 2013), Hal. 51-52

18

Jurnal, Erwin Jusuf Thaib, Al-Qura’an dan As-Sunnah Sebagai Sumber Inspirasi Etos Kerja Islami, (Gorontalo: IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014), Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, Juni 2014, hal. 6.

22

keimanan atau aqidah Islam yang berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal.19

Dengan keberadaan transaksi jual-beli maka mendorong terbentuknya pasar. Pasar menjadi kebutuhan mendasar bagi kegiatan ekonomi di dalam masyarakat. Pasar berperan sebagai wadah terselenggaranya transaksi jual-beli yang mendorong pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat.

Dalam pemikiran ekonomi, pasar (market) cenderung dikonsepsikan sebagai tempat berlangsungnya transaksi jual-beli barang dan jasa tanpa memiliki keterkaitan dengan berbagai institusi sosial lain, misalnya, budaya dan agama, karena itu pasar berfungsi sebagai institusi ekonomi yang bekerja menurut mekanisme sendiri yang dikenal dengan “hukum pasar”. Pada konteks ini, basis moralitas yang telah berakar kuat dalam masyarakat tidak memiliki ruang cukup kondusif untuk berkembang, karena pasar hanya “bertugas” mempertemukan penjual dan pembeli yang di dorong oleh perhitungan untung-rugi.20

Dalam ilmu ekonomi seorang pelaku ekonomi harus berupaya untuk mencapai keuntungan maksimal. Keuntungan dalam perdagangan didapat melalui upaya dari seorang pedagang untuk mendapatkan pembeli. Keinginan seorang pedagang dalam mencapai keuntungan maksimal,membuat pasar hanya sebagai tempat atau sarana untuk menghasilkan pendapatan.

Berbeda dengan sosiologi dan antropologi ekonomi, keberadaan pasar dikonsepsikan sebuagai sebuah institusi yang memungkinkan setiap individu melakukan interaksi sosial. Institusi pasar tidak sekedar berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses transaksi jual beli barang dan jasa antara penjual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer, pedagang besar, dan pedagang perantara. Mereka terekonstruksi

19

Skripsi, Annidjatuz Zahra, Pengaruh Etos Kerja Islami Terhadap Kinerja Karyawan di CV Sidiq Manajemen Yogyakarta, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015), hal. 18.

20

M Luthfi Malik. Etos Kerja, Pasar dan Masjid (Jakarta: LP3ES, 2013), Hal. 12-13.

23

secara simultan dalam hubungan kelembagaan yang tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga sosial-budaya dan keagamaan.21

Kegiatan perdagangan mendorong terjalinnya jaringan ekonomi antar pelaku ekonomi, melalui jaringan ekonomi timbul pola hubungan patron klien. Patron klien terjalin atas kepentingan ekonomi di dalam pasar. Kepentingan juragan untuk memperluas jaringan dagang serta kepentingan pedagang pengecer untuk mendapatkan barang dagangan menjadi penyebab terjalin hubungan patron klien antara juragan dengan pedagang pengecer.

Hubungan patron-klien merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus. Dua pihak yang terlibat dalam hubungan pertukaran mempunyai kepentingan yang hanya berlaku dalam konteks hubungan mereka. Dengan kata lain, kedua pihak memasuki hubungan patron-klien karena terdapat kepentingan (interest) yang bersifat khusus atau pribadi, bukan kepentingan yang bersifat umum.Persekutuan semacam itu dilakukan oleh dua pihak yang masingmasing memang merasa perlu untuk mempunyai sekutu (encon) yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan lebih tinggi (superior) atau lebih rendah (inferior) daripada dirinya.Persekutuan antara patron dan klien merupakan hubungan saling tergantung. Dalam kaitan ini, aspek ketergantungan yang cukup menarik adalah sisi ketergantungan klien kepada patron. Sisi ketergantungan semacam ini karena adanya hutang budi klien kepada patron yang muncul selama hubungan pertukaran berlangsung. Patron sebagai pihak yang memiliki kemampuan lebih besar dalam menguasai sumber daya ekonomi dan politik cenderung lebihbanyak menawarkan satuan barang danjasa kepada klien, sementara klien sendiri tidak selamanya mampu membalas satuan barang dan jasa tersebut secara seimbang. Ketidakmampuan klien di atasmemunculkan rasa hutang budi klien kepada patron, yang pada gilirannya dapat melahirkan ketergantungan. Hubungan ketergantungan yang terjadi dalam salah satu aspek kehidupan sosial, dapat meluas ke aspek-aspek kehidupan sosial lainnya.22

Mekanisme pasar mendorong para pelaku ekonomi di Pasar Projo menjalankan interaksi sehingga tercipta pola hubungan patron klien. Rantai

21

Ibid, hal. 13

22

Jurnal, Moh. Hefni, Patron-Client Relationship Pada Masyarakat

Madura,(Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2009).KARSA, Vol. XV No. 1 April 2009, hal.17-18

24

ekonomi yang tercipta di Pasar Projo merupakan cerminan dari pola hubungan dari patron klien. Interaksi antar pelaku ekonomi dapat menyebabkan hubungan saling membutuhkan sehingga tumbuh pola hubungan patron klien.

Istilah patron berasal dari Bahasa Latin “patrönus” atau “pater”, yang berarti ayah (father). Karenanya, ia adalah seorang yang memberikan perlindungan dan manfaat serta mendanai dan mendukung terhadap kegiatan beberapa orang. Sedangkan klien juga berasal dari istilah Latin “cliĕns” yang berarti pengikut.23 Dalam literatur ilmu sosial patron merupakan konsep hubungan strata sosial dan penguasaaan sumber ekonomi. Konsep patron selalu diikuti oleh konsep klien, tanpa konsep klien konsep patron tentu saja tidak ada. Karenanya, keduanya istilah tersebut membentuk suatu hubungan khusus yang disebut dengan istilah clientelism.24Istilah ini merujuk pada sebuah bentuk organisasi sosial yang dicirikan oleh hubungan patron-klien, di mana patron yang berkuasa dan kaya memberikan pekerjaan, perlindungan, infrastruktur, dan berbagai manfaat lainnya kepada klien yang tidak berdaya dan miskin. Imbalannya, klien memberikan berbagai bentuk kesetiaan, pelayanan, dan bahkan dukungan politik kepada patron.25

Hubungan patron klien di pasar Projo mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi di kawasan pasar. Seiring pasar yang terus berkembang, maka pasar akan terus ber-transformasi mengikuti perkembangan zaman. Untuk bertahan ditengah gempuran globalisasi dan pasar bebas maka pasar khususnya pasar

23

Lihat istilah patron dan client pada Webster, Webster's New Twentieth Century Dictionary, edisi kedua (Oxford:Oxford University Press, 1975) dan Peter Davies (ed), The American Heritage Dictionary of The English Language (New York: Dell Publishing Co., Inc., 1977).

24

Sebagai sebuah konsep, clientelism dipandang sebagai sebuah proses evolusioner yang menimbulkan kesadaran akan adanya ikatan kekeluargaan yang kuat yang mampu memberikan keamanan fisik, ekonomi, dan emosional. Selain itu, konsep itu juga memunculkan kesadaran akan ketidaksamaan akses pada barang dan sumber. Lebih lanjut baca Sumeeta Shyamsunder Chandavarkar, Patron-Client Ties and Maoist Rural China (Thesis MA pada Departmen of Political Science, University of Toronto, 1997), hal. 1-2.

25

Jurnal, Moh. Hefni, Patron-Client Relationship Pada Masyarakat Madura,(Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2009).KARSA, Vol. XV No. 1 April 2009, hal.17

25

tradisional perlu melakukan transformasi agar dapat survive dalam gejolak ekonomi di Indonesia.

Konsep transformasi mengaitkan dengan perubahan di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, atau pun dengan sistem nilai keagamaan. Dalam prespektif ilmu sosial, itu merupakan proses perubahan kehidupan dari kondisi stagnan menuju tatanan yang lebih baik (ideal). Konseptualisasi tentang transformasi sosial dalam berbagai dimensi ajaran Islam, misalnya bukan hanya berkaitan dengan tatanan kehidupan yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan pencipta alam semesta(hablun-minallahi), tetapi juga terkait dengan konsep relasi sosial (hablun-minannas) sebagai bentuk hubungan yang mengaktualisasikan interaksi antar-individu, kelompok, komunitas, atau masyarakat, yang secara evolusioner membentuk struktur dan kultur sebagai “ruang terbuka” dan sekaligus menjadi instrumen informal terhadap berlangsungnya interaksi sosial secara lebih luas.26

Dalam transformasi ekonomi tidak lepas dari konsep transformasi sosial. Para pedagang Pasar Projo melaksanakan aktivitas perdagangan dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan, melalui penghasilan yang didapatkan para pedagang Pasar Projo Ambarawa mengalami mobilisasi sehingga terdapat perbaikan taraf hidup. Aktivitas perdagangan akan mendatangkan keuntungan bagi para pedagang Pasar Projo sehingga mendorong para pedagang Pasar Projo mengalami mobilisasi vertikal.

Sebagai fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat, konsep mobilitas memiliki pengertian yang beragam.Karena secara konseptual, mobilitas (mobility) digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk menganalisis dan mengkonsepsikan bagaimana proses pergerakan sosial suatu kelompok atau pun komunitas masyarakat. Mobilitas sebagai salah satu konsep cukup mendasar dalam ilmu sosial dapat dikategorikan menjadi pergerakan masyarakat dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Bentuk pergerakan fisik dapat berupa perpindahan georafis merujuk pada kegiatan perpindahan dari suatu tempat ke tewmpat lain. Kemudian, pergerakan masyarakat yang berbentuk non-fisik, atau yang lebih

26

M Luthfi Malik. Etos Kerja, Pasar dan Masjid (Jakarta: LP3ES, 2013), hal. 18-20

26

dikenaldengan mobilitas sosial. Berlangsungnya mobilitas seperti ini, adalah proses perpindahan dari suatu kelas sosial tertentu di masyarakat pada kelas sosial yang lainnya. Oleh karena itu,mobilitas tersebut adalah berlangsung secara horizontal dan vertikal.27

Dalam mengkaji penelitian ini penulis mengaitkan relasi kehidupan beragama pedagang Pasar Projo Ambarawa yang membentuk Tauhid dari pedagang Pasar Projo Ambarawa yang berimplikasi pada etos kerja pedagang Pasar Projo Ambarawa yang berlandaskan agama Islam dalam menghadapi gejolak perekonomian di pasar Projo Ambarawa, etos kerja yang dilandasi agama Islam dapat berpebgaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi pedagang Pasar Projo Ambarawa.