• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Pelabuhan” merupakan pengindonesiaan dari kata harbour dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa Inggris sendiri, kata harbour bersinonim dengan kata port. Meskipun demikian, Rhoads

Murphey berpendapat bahwa harbour dan port sesungguhnya merupakan dua konsep yang berbeda. Implikasinya, perlu penegasan pengertian pelabuhan untuk menghindari kemungkinan terjadinya definisi konseptual yang multiinterpretatif. Selain berguna sebagai kerangka referensi, penegasan definisi konseptual ini juga akan menjadi “pemandu” jalannya penelitian ini. Pengertian pelabuhan dalam disertasi ini mengacu kepada pengertian port dari Murphey, yang lebih menekankan pada aspek ekonomi. Pelabuhan dengan demikian dilihat sebagai pusat tukar-menukar atau keluar-masuk komoditas antara daerah penyangga dan daerah seberang Pengertian ini membedakannya dari harbour, yaitu pelabuhan sebagai tempat berlindung atau berteduh kapal-kapal. Pelabuhan dalam pengertian terakhir ini mempunyai acuan pada aspek fisik.44 Meskipun dalam disertasi ini juga dibahas tentang pengembangan pelabuhan secara fisik. Pengertian pelabuhan sebagai harbour akan berimplikasi pada fungsi-fungsi sarana dan prasarananya. Pembahasan tentang pelaksanaan dan penerapan atas fungsi-fungsi fisik pelabuhan inilah yang selanjutnya menjadikan konsep port bisa berlangsung secara efektif.

Pelabuhan yang mengacu pada konsep ekonomi di samping berfungsi sebagai tempat atau pusat tukar-menukar atau

masuk barang perdagangan juga menjadi salah satu syarat bagi kosmopolitannya suatu wilayah atau kota pelabuhan beserta dampak yang ditimbulkannya.45 Berdasarkan konsep ini diperoleh pengertian tentang adanya hubungan antara daerah penyangga dan daerah seberang karena adanya aktivitas suatu pelabuhan. Bagi wilayah pedalaman, pelabuhan berfungsi menarik kapal-kapal dari daerah seberang dalam perdagangan laut atas produk pedalaman.

Dengan demikian jelaslah, bahwa unsur pertalian historis akan membawa perubahan dan berpengaruh pada “nasib” sebuah pelabuhan, apakah pelabuhan akan berjaya, stagnan, atau mengalami kemerosotan kedudukan dan fungsi. Bagi pelabuhan Surabaya, ternyata terjadi perubahan atas fungsi pelabuhan dalam pelayaran yang ketika dikembangkan kapasitasnya dengan tujuan menjadi pelabuhan pusat pelayaran dan perdagangan

45Pelabuhan bukan asal saja sebagai tempat berlabuh, tetapi juga tempat kapal berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, dan angin dan arus yang kuat. Dalam jaringan lalu-lintas di sebuah negeri kepulauan, seperti Indonesia, fungsi pelabuhan ialah sebagai penghubung antara jalan darat dengan jalan maritim. Baca Sartono Kartodirdjo, et al, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 60. Selanjutnya K.N. Chaudhuri menjelaskan bahwa hubungan antara darat dan laut ditentukan oleh beberapa faktor yang terjalin dengan waktu atau sejarah yang menambah pengaruh pada berbagai nasib pelabuhan dan kota yang mendapatkan hasil dari perdagangan laut. Baca K.N. Chaudhuri, Trade and Civilization in the Indian Ocean An Economic History from the Rise of Islam to 1750 (Cambridge University Press, 1989), hlm. 161.

internasional yang sekaligus dapat menyaingi Singapura ternyata yang terjadi justru menjadi pusat pelayaran dan perdagangan interregional di Hindia Belanda.

Ada berbagai jenis atau klasifikasi tentang pelabuhan. Berdasarkan pengelolaannya ada pelabuhan yang diusahakan (Bedrijf Havens) dan yang tidak diusahakan (Niet Bedrif Havens). Berdasarkan kegiatan perdagangan dan pelayaran yang dilakukan oleh pelabuhan, Surabaya termasuk pelabuhan internasional. Pelabuhan internasional adalah pelabuhan bebas dan terbuka tanpa pembatasan bagi semua kapal asing yang berlabuh. Aktivitas utama pada pelabuhan internasional adalah kegiatan ekspor dan impor.46

Menurut Bintarto47, selain mempunyai arti ekonomis, pelabuhan juga mempunyai arti budaya, politis, dan geografis. Arti ekonomis pelabuhan tampak dari fungsinya sebagai pusat berlangsungnya kegiatan pelayaran dan ekspor-impor serta kegiatan ekonomi yang terkait lainnya. Pelayaran dan perdagangan laut merupakan salah satu variabel yang

46Baca: Wouter Cool, “Nederlandsch Indische havenraden”, dalam Koloniale Studien, I, Th.V, 1920 (Weltevreden: Albrecht and Co, 1920), hlm. 3-26. Lihat juga F.J.A Broeze, “Java Shipping 1820-1850: Preliminary Survey” dalam Archipelago 18, 1979, hlm. 253-254.

47R. Bintarto, Beberapa Aspek Geografi (Yogyakarta: Penerbit Karya, 1968), hlm. 33.

menentukan sebuah indikasi tentang berfungsi atau tidaknya sebuah pelabuhan.

Pelayaran itu sendiri dapat dikategorikan manjadi empat jenis, berdasarkan pada analisis perjalanan kapal dan jenis kapal sesuai dengan aktivitasnya. Empat jenis pelayaraan itu adalah: 1). Pelayaran Global; 2). Pelayaran Antar Asia; 3). Pelayaran Antarpulau; dan 4). Pelayaran Lokal atau pelayaran pantai. Pelayaran lokal tidak berlangsung melebihi perairan Pantai Utara Jawa. Pelayaran Antarpulau menunjuk pada pelayaran yang melewati Laut Jawa, tetapi tidak meninggalkan batas-batas kepulauan Indonesia-Malaya.48

Jenis pelayaraan global dan pelayaran antar Asia inilah yang termasuk dalam kategori pelayaraan internasional. Sementara jenis pelayaran antar pulau dan pelayaran lokal atau pelayaraan pantai termasuk dalam pelayaran interregional sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini. Dalam hal perdagangan antara daerah penyangga Surabaya menuju ke pelabuhan termasuk dalam jejaring perdagangan lokal. Hal inilah yang melandasi sebagian besar arah penelitian ini, karena kegiatan ekonomi yang terkait dengan fungsi pelabuhan berkembang saling terjalin dalam hubungan sebab-akibat secara historis.

48Gerrit J. Knaap, “Shipping and Trade in Java, c. 1775; A Quantitative Analysis”, Modern Asian Studies Vol 33, 1999 No.2

Dari segi geografis, manajemen, dan komersial, fungsi pelabuhan meliputi kegiatan sejak kapal memasuki pelabuhan, melakukan bongkar muat, sampai kapal meninggalkan pelabuhan dengan tujuan memperlancar layanan pelabuhan.49 Ternyata, pertalian historis tentang pengelolaan dan penerapan kebijakan pengembangan pelabuhan, menjadi faktor yang dominan dalam memengaruhi sistem pelayaran, bongkar muat, pengangkutan, dan lain-lain, dari suatu pelabuhan. Apakah pelabuhan itu kemudian akan berhasil atau tidak dalam pelayaran dan perdagangan sangat dipengaruhi oleh masa lalunya.

Jaringan suatu pelabuhan terhadap daerah lain juga sangat ditentukan oleh pelayaran yang terikat oleh sistem pelabuhan Surabaya. Menurut F. A. Sutjipto Tjiptoatmodjo,50 kota-kota di sekitar Selat Madura merupakan sebuah sistem antarhubungan yang menentukan jalannya fungsi integratif. Fungsi integratif ini terjalin, salah satunya melalui perdagangan. Dalam perspektif ini perdagangan laut dilihat sebagai faktor utama hubungan antar kota-kota pantai, yang sudah tentu peran pelabuhan sangat vital dalam perspektif ini. Berdasarkan pemikiran ini, intensitas

49Tentang hal ini, baca: Herman A.C. Lawalata, Pelabuhan dan Niaga Pelayaran (Port Operation) (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 22-23.

50F.A. Sutjipto Tjiptoatmodjo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad ke-17 sampai Medio Abad ke-19” (Disertasi tidak diterbitkan pada Universitas Gadjahmada Yogyakarta, 1983).

hubungan sosial-ekonomi, perdagangan, dan pelayaran yang berlangsung di pelabuhan Surabaya diasumsikan mempunyai fungsi integratif dalam pembentukan jaringan antar daerah. Itulah sebabnya pelabuhan Surabaya secara historis telah mempunyai jalur-jalur pelayaran yang secara tradisi telah berfungsi integratif, sehingga jalur-jalur pelayaran interegional tersebut sulit untuk berubah meskipun pelabuhan secara fisik dikembangkan kapasitasnya untuk meningkatkan pelayaran dan perdagangan internasional.

Pelabuhan Surabaya selain mempunyai keuntungan alami karena letaknya yang strategis, juga masih ditambah dengan adanya sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo yang bisa dilayari oleh perahu dagang sampai abad XIX. Kedua sungai ini telah membuka jalan masuk ke pedalaman yang subur dan padat penduduknya. Sungai Brantas sendiri mempunyai sebuah delta luas dan subur yang membentang di antara kedua cabang muaranya, Kalimas dan Kali Porong, yang menjadi batas di sebelah selatan Sidoarjo dengan Mojokerto dan Bangil di wilayah Kabupaten Pasuruan.51 Seiring dengan pembangunan jalan

51Delta ini merupakan delta terbesar dan paling terkenal di Jawa dengan lebar mencapai 24 paal (36,144 km) dari utara ke selatan dan panjangnya 29 paal (43,68 km) dari timur ke barat. Delta ini beberapa abad yang lalu merupakan teluk luas yang letaknya di dekat pantai ibukota kerajaan Majapahit, yang terpisah 26 paal dari laut. Seperti delta yang lainnya, pada

kereta api, maka wilayah penyangga Surabaya telah membentuk jaringan dalam struktur ekonomi yang mapan. Sebagian besar hasil produksi daerah pedalaman telah menjadi komoditas perdagangan baik interregional maupun internasional.

Kesemuanya ini berlangsung dalam hubungan yang saling kait dan didukung oleh jaringan transportasi, baik jalan kereta api maupun jalan raya, yang menghubungkan pelabuhan dengan daerah penyangga.52 Dengan demikian jelas, bahwa struktur ekonomi wilayah penyangga tentunya akan memengaruhi pelabuhan dalam menjalankan fungsi pelayaran dan perdagangannya. Konsep daerah penyangga bagi Surabaya menunjuk daerah penyangga bagi pelabuhan Surabaya, yaitu wilayah Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur. Oleh karena itu, bisa dipahami jika memburuknya produk perdagangan di daerah penyangga

mulanya delta ini merupakan kolam pasir dan lumpur. Pada masa lampau sungai Kediri berakhir di laut dekat ibukota kerajaan Majapahit. Ketika delta ini menjulang di atas air, sungai ini memanjang sampai Surabaya dan Porong. Delta ini sendiri dipotong oleh berbagai sungai kecil yang airnya sebagian berasal dari cabang utama dan sebagian dari sawah. Itulah sebabnya delta ini menjadi subur dan sekarang mencakup distrik Surabaya yang kaya. Baca selengkapnya: “De Staad der Soerabajasche havenwerken”, dalam Indisch bouwkundig tijdschrift, VI, 1913, jlm. 876.

52Arries Christopher, A Port System in A Developing Regional Economy, Evolution and Response in North Sumatra, Indonesia (Ann Arbor: University of Kentucky, 1989).

Surabaya telah menyebabkan aktivitas pelayaran dan perdagangan internasional di pelabuhan Surabaya mengalami penurunan.

Operasionalisasi pelabuhan pada hakikatnya merupakan sebuah sistem,53 yang terdiri atas tiga elemen, yaitu Port Administration atau Port Authority, Port Business (Perusahaan Pelabuhan), dan Port Users (Pengguna Jasa Pelabuhan). Sistem ini berlangsung dengan dukungan subsistem yang lain yaitu sarana dan prasarana pelabuhan.

Untuk bisa menjelaskan sistem pelabuhan agar sesuai dengan tujuan maka diperlukan manajemen. Dalam konteks ini, manajemen dilihat sebagai suatu cara untuk mengendalikan dan mengembangkan suatu sistem ekonomi dengan melakukan pengaturan terhadap fungsi-fungsi dari subsistem-subsistem

53Istilah sistem (Yunani: systema) bisa berarti entitas dan sekaligus alat analisis. Suatu sistem merupakan entitas yang tersusun dari berbagai unsur, unit, atau subsistem yang terintegrasi. Relasi di antara subsistem bersifat teratur dan berkesinambungan untuk menyangga keseimbangan sistem itu sendiri. Dengan demikian, suatu sistem selalu berkaitan dengan pengertian fungsi atau bersifat fungsional. Artinya, suatu sistem terdiri dari sejumlah subsistem yang berfungsi secara timbal-balik, saling memberi dan menerima (resiprocity) guna memelihara keseimbangan (equilibrium) suatu entitas sistemik tertentu. Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Antropologi Koentjaraningrat Sebuah Tafsir Epistemologis”, dalam E.K.M. Masinambow (ed.), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (Jakarta: AAI-YOI, 1997), hlm. 44-45.

pelabuhan seefisien mungkin.54 Salah satu subsistem pelabuhan yang menjadi ujung tombak bagi kegiatan pelayaran dan ekspor impor adalah berfungsinya sarana dan prasarana pelabuhan. Apabila dermaga dan pergudangan menjadi sarana bongkar muat bagi kapal-kapal yang datang dan berangkat, maka buruh bongkar muat menjadi prasarana yang sangat menentukan dalam proses tersebut. Buruh pelabuhan inilah yang menjadi ujung tombak bagi berjalannya perlayaran dan perdagangan serta hal-hal yang terkait dengan bongkar muat. Sikap dan perlakuan terhadap buruh pelabuhan akan memengaruhi sebuah sistem pelabuhan itu berjalan secara efektif atau tidak. Pemerintah cenderung membiarkan perusahaan-perusahaan tertentu yang mendominasi dan monopoli sarana pelabuhan khususnya dermaga dan gudang, sehingga kontrol atas buruh pelabuhan dipegang sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan pelayaran melalui mandor, sehingga nasib buruh sangat bergantung pada mereka sebagai majikan. Apabila cara pengelolaan terhadap sarana dan prasarana serta buruh pelabuhan ini tidak sesuai dengan tujuan

54Ada pula perspektif lain dari manajemen, yaitu suatu kelompok profesional yang menyelenggarakan suatu proses manajemen. Selain itu ada pula perspektif politis, yaitu manajemen sebagai suatu sistem power dan otoritas yang dipegang oleh individu atau kelompok yang berbeda yang digunakan sebagai taktik dan strategi di dalam mengejar suatu tujuan. Baca J. Child, “Manajemen”, dalam S.R. Parker, et al, Sosiologi Industri (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 166.

dikembangkannya pelabuhan, maka hal ini akan menjadi salah satu sebab tejadinya ketimpangan atas kerja pelabuhan tersebut.

Hal lain yang menyebabkan kurang berhasilnya pelabuhan Surabaya adalah tidak sesuainya kontrol manajemen pelabuhan antara yang diputuskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan kenyataan yang terjadi. Kebijakan menentukan bahwa untuk menjadikan pelabuhan Surabaya sebagai pelabuhan internasional yang modern, pemerintah harus melibatkan peran swasta yang lebih besar dalam mengelola pelabuhan. Namun demikian, rupanya peranan pemerintah tetap dominan dalam mengontrol manajemen pelabuhan. Meskipun pelabuhan Surabaya juga mengalami “masa swasta” pada periode 1920-an, akan tetapi perusahaan-perusahaan swasta hanya diperkenankan menyewa dermaga dan membangun gudang-gudang dalam jangka waktu tertentu saja.

Dermaga di pelabuhan Surabaya bisa dimonopoli pengelolaannya oleh swasta, tetapi hanya sebatas periode kontrak yang dibuat antara mereka dan pemerintah, sehingga gejolak persaingan antar perusahaan di Surabaya sering terjadi. Lobi-lobi pihak swasta kepada pemerintah dilakukan melalui Perkumpulan Perusahaan Dagang Surabaya (Handel Vereeniging Surabaya) dan pengangkatan wakil perusahaan dagang dalam Komisi Bantuan (Commissie van Bijstand). Namun, karena kuatnya kontrol

pemerintah atas pengelolaan pelabuhan menyebabkan peran swasta dalam sistem pelabuhan mengalami kendala.

Dokumen terkait