• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

Salah satu upaya untuk menegakkan hukum bagi Angota TNI AL yang melakukan tindak pidana desersi adalah dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagaimana dimaksud dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia junto UU No.1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No.20 Tahun 1982

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.

Penegakan hukum militer dalam SPP dan SPPM harus melibatkan peran struktur hukum masing-masing institusi terkait dalam sistem hukum (legal system).

Perlu dikaji dalam hal ini teori yang mendasarinya adalah teori legal sistem (legal

system theory). Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu

menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.16 Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.17

Sistem hukum lebih jauh diartikan oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, yang pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.18 Tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:19

1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; 2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas

hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;

3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumen-instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang

16

R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

17

Ibid.

18

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

19

Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistem sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.20 Ketiga elemen dalam sistem hukum di atas, teorinya berbeda dalam mencapai tujuan hukum antara hukum timur dan hukum barat.21

Teori legal sistem berguna dalam menganalisis peran aparat penegak hukum di lingkungan militer. Sebagaimana dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU No.31 Tahun 1997), menegaskan bahwa Polisi Militer22 (penyidik), Oditur23

20

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

(penuntut), dan Hakim

21

Ibid., hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, ”Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistem hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.

22

Pasal 1 ayat 11 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: “Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan”.

Militer24 (melaksanakan kekuasaan kehakiman militer) adalah institusi yang berhak melakukan penegakan hukum terhadap anggota TNI khususnya anggota TNI AL Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana. Peran ketiga institusi tersebut bekerja dalam sebuah sistem yang tidak sapat terpisahkan antara satu sama lainnya untuk mencapai tujuan tegaknya hukum militer.25

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum militer, jika salah satu elemen dari tiga kompenen sistem hukum di atas, tidak bekerja dengan baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistem hukum tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan hukum yang tidak efektif. Komponen-komponen sistem hukum di atas dipertegas oleh Soerjono Soekanto

26

23

Pasal 1 ayat 7 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”.

, yang merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

24

Pasal 1 ayat (4) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan”.

25

Mataramnews.com, Tanggal 20 Januari 2011. Dalam amanat tertulis yang dibacakan Kepala Staf Umum Panglima TNI Marsekal Madya TNI Eddy Hardjoko, mengatakan, sebagai salah satu unsur penegak hukum, Polisi Militer harus menampilkan dan mampu membangun citra positif demi mendukung proses transformasi dan reformasi hukum yang progresif di negeri ini. Proses penegakan hukum yang dilakukan dapat menggerakkan masyarakat untuk bertingkah laku sesuai hukum berlaku, dan sebaliknya penegak hukum dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat dan seluruh personel TNI khususnya. Terkait itu, diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki sifat ksatria, bermental baik, bijaksana, dan jujur.

26

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

Terkait dengan bekerjanya ketiga elemen dalam sistem hukum peradilan militer, khususnya Polisi Militer sebagaimana Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 menegaskan bahwa:

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Dalam SPP terdiri dari Polisi Militer, Oditurat Militer, Peradilan, dan Masyarakat. Tugas Polisi Militer ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer, melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempatnya diperiksa.

Polisi Militer atau Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) harus berkoordinasi dengan intansi yang bertugas melakukan penuntutan di lingkungan TNI sebagaimana penegasannya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997 yaitu Oditurat (lembaga oditur) merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Setelah diteliti oleh oditur militer, apabila berkas perkara menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, telah memenuhi syarat, maka oditur

militer menyerahkan kepada ketua pengadilan militer untuk dilakukan proses persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.31 Tahun 1997 menegasakan bahwa Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama (selanjutnya disebut Hakim) adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.

Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system khusunya di

lingkungan militer, menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Berarti dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,27

Tugas Polisi Militer dalam teori legal system, oleh UU No.31 Tahun 1997

tentang Peradilan Militer mengamanahkan tugas di bidang penyidikan sebagai penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik.

27

terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.28 Penyidikan sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan

permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.29

Hubungan koordinasi ketiga institusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu penyidik, penuntut, pengadilan (hakim) dan lembaga pemasyarakatan khususnya pemasayarakatan militer (Masmil). Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem tersebut dapat berupa: rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan penataran gabungan dan lain-lain.

30

Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses penegakan hukum. Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistem hukum yaitu: Pertama, Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan

28

M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.

29

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.

30

keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan Kedua,

Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.31

Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam sistem hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan tersebut dalam sidang praperadilan. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi dalam hal melakukan litigasi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.32

Jauh sebelumnya Plato, menyebutkan, ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah: militer (angkatan bersenjata); kaum intelektual; dan kaum interpreneur (pengusaha).33

31

Achmad Ali, Op. cit., hal. 204.

Pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya, apabila ketiga-tiga

32

Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 2.

33

Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.

kekuatan sosial di atas dapat dijalankan sesuai tugas masing-masing institusi terkait.34

2. Landasan Konsepsional

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ketiga elemen (Polisi Militer, Oditur, dan Hakim Militer) dalam penegakan hukum harus bekerja sama idealnya sebuah sistem yang bekerja dalam sistem peradilan militer untuk memberikan sanksi yang sesuai kepada anggota TNI khususnya TNI AL yang melakukan tindak pidana.

Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:

a. Penegakan hukum adalah upaya hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk berperan dalam melaksanakan hukum dengan baik meliputi peran masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana.

b. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum

pidana. Tindak pidana dirujuk kepada asas legalitas dalam Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Strafbaar feit

diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.35

34

Ibid.

35

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.

c. Desersi adalah suatu tindak pidana dengan tidak beradanya seorang atau lebih anggota militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin.36 d. Anggota TNI AL adalah anggota Tentara Nasional Indonesia37 yang bertugas:

melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.38

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik TNI dan/atau penyidik pidana umum dalam hal dan menurut cara yang dalam undang-undang (baik KUHAPMIL maupun KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.39

f. Sanksi yang dimaksud mencakup menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi

36

SR. Sianturi, Op. cit., hal. 257.

37

Pasal 1 angka 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

38

Pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

39

Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Petunjuk Pelaksana Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Jukal 17/IV2006/Tanggal 7 April 2006, hal. 4.

pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system,

sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.40

Dokumen terkait