• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan

gejala yang diamati.26 Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang diteliti. Teori ini masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas. 27

a. Teori Fiksi

Sejalan dengan hal tersebut, status hukum Yayasan sebagai badan hukum dapat diketahui dari berbagai teori mengenai badan hukum. Dalam kaitan Yayasan sebagai badan hukum dapat dikemukakan teori-teori sebagai berikut :

Teori ini dipelopori oleh Carl Von Savigny serta diikuti oleh C.W. Opzomer, Diephuis, Land, A.N. Houwing, dan Langemeyer. Menurutnya, bahwa badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan kata lain, sebenarnya menurut hukum alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, sedangkan badan hukum hanyalah objek. Jadi orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi dengan wujud yang tidak riil, sehingga tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka manusialah yang melakukannya sebagai wakilnya.28

26

JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), hal. 203.

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 127.

28

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 56.

b. Teori Organ

Sebagai reaksi atau lawan dari teori fiksi menimbulkan ajaran yang disebut teori realitas. Ajaran teori ini kemudian lebih dikenal dengan nama teori organ. Ajaran ini dipelopori oleh Otto Von Gierke di Jerman. Menurut ajaran ini, badan hukum itu merupakan suatu realitas sesungguhnya sama seperti kepribadian alam manusia di dalam pergaulan hukum. Badan hukum ini mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui perantaraan alat-alat perlengkapannya (organnya) seperti pengurus atau anggota. Kehendak atau kemauan dari badan hukum identik dengan kehendak atau kemauan dari pengurus atau anggota. Teori ini sekaligus menggambarkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan badan hukum. Pengikut ajaran ini di Belanda yaitu L.C. Polano yang terkenal dengan ajaran leer der volledige

realiteit (ajaran realitas sempurna). 29

c. Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteit)

Dari teori organ muncullah suatu teori baru yang merupakan penyempitan dari teori organ yang disebut teori kenyataan yuridis. Ajaran ini dikemukakan oleh E.M. Meijers, Paul Scholten, dan sudah merupakan ajaran yang diterima umum (heersende

leer). Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil,

walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebutkan teori tersebut, teori kenyataan sederhana (eenvoudige realiteit). Disebut

sederhana karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan

29

Agus Budiarto, Seri Hukum Perusahaan: Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 28.

hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, seperti halnya manusia. Teori yang dianut oleh Paul Scholten ini berasal dari teori organ yang dipersempit, artinya tidak begitu mutlak lagi, artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga tidak perlu lagi ditanyakan di mana kaki, tangan dan otaknya. Oleh karena itu menurut Paul Scholten, jika ada masalah yang timbul dalam badan hukum tidak perlu dipersulit, tetapi semuanya dikembalikan kepada perwakilannya.30

d. Teori Kekayaan Kolektif (Leer van de Collectieve Eigendom)

Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Pembela teori ini adalah Marcel Planiol (Prancis) dan Mollenggraaf (Belanda), kemudian diikuti pula Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, dan Apeldoorn. Menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggung-jawab bersama-sama. Di samping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Dengan kata lain, bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh sebab itu, badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum adalah sesuatu yang abstrak.31

30

Chidir Ali, Op. cit, hal. 35.

31

e. Teori Kekayaan Bertujuan (Doel vermogen)

Teori ini dipelopori oleh oleh A. Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum, karena itu badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberikan kepada badan hukum pada hak-hakikatnya hak-hak-hak-hak tanpa subjek hukum. Namun demikian, tidak dapat disangka adanya hak-hak atas kekayaan, sedangkan tidak ada manusia yang menjadi pendukung hak-hak itu, dengan kata lain, kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya. Jadi hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyainya, dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Di sini yang terpenting kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu tanpa peduli siapakah badan hukum itu apakah manusia atau bukan, apakah kekayaan itu merupakan hak-hak normal atau tidak.32

f. Teori tentang Harta Kekayaan yang Dimiliki oleh Seseorang dalam Jabatannya

(leer van Het Ambtelijk Vermogen)

Pelopor teori ini adalah Holder dan Binder. Menurut ajaran ini, tidak mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu, dengan kata lain tanpa daya kehendak (wilsvermogen), tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Ini merupakan

konsekuensi terluas dari teori yang menitikberatkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum, yang berkehendak adalah para pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka berhak, karena itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran

ini ialah, bahwa orang yang belum dewasa, di mana wali melakukan segala perbuatan

32

hukum, eigendom ada pada curatele eigenaarnya atau kuratornya. Teori ambtelijk

vermogen ini mendekati teori kekayaan bertujuan (doel vermogen).33

g. Teori Leon Duguit

Duguit tidak mengakui hak yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilakukan oleh subjek hukum itu. Di samping itu, Duguit menegaskan pula bahwa hanya manusia dapat menjadi subjek hukum tanpa menjadi pendukung hak. Oleh karena itu Duguit hanya menerima manusia sebagai subjek hukum, maka baginya juga hanya manusia menjadi subjek hukum internasional.34

Baik teori fiksi maupun teori kekayaan kolektif pada hakikatnya memandang bahwa sebenarnya badan hukum itu tidak ada atau sesuatu yang abstrak. Sebaliknya, teori organ memandang badan hukum adalah suatu realitas yang sebenarnya sama dengan manusia. Pandangan yang demikian ini sebenarnya terlalu jauh. Walaupun badan hukum dalam kenyataan yuridis sama dengan manusia dalam lapangan hukum kekayaan, seperti mempunyai hak kebendaan dan turut serta dalam pergaulan hukum sebagai pihak dalam suatu perjanjian, namun tidak semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia dapat pula dilakukan oleh badan hukum. Misalnya dalam

lapangan hukum keluarga, badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum. 35

Banyak orang berasumsi bahwa pemilik sebuah Yayasan adalah pendirinya. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa orang yang mendirikan sebuah badan

33 Ibid, hal. 62-63. 34 Ibid, hal. 63. 35 Ibid, hal. 63-64.

usaha sudah pasti adalah pemilik badan usaha tersebut. Namun apakah pemahaman tersebut berlaku juga bagi Yayasan? UU Yayasan memberi pengecualian untuk itu. Dalam UU No. 16 Tahun 2001, secara implisit disebutkan bahwa pendiri Yayasan bukanlah pemilik Yayasan. Pendiri Yayasan telah memisahkan kekayaannya untuk menjadi milik Yayasan, sehingga pendiri tidak terikat dan tidak lagi memiliki hak atas kekayaan yang telah menjadi milik Yayasan itu. Lantas, kita mungkin bertanya kalau bukan pendirinya, siapakah pemilik Yayasan itu? Dalam UU Yayasan tidak disebutkan secara dengan jelas siapa pemilik Yayasan. Organ Yayasan juga bukanlah pemilik sebuah Yayasan. Hal ini secara implisit diungkapkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal

5 UU No. 16 Tahun 2001 Jo.UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.36

36

Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan, menegaskan: Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No.16 Tahun 2001 menyebutkan, ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap. Ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 berbunyi Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan. Ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 diubah dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 2004, sehingga Pasal 5 dimaksud berbunyi sebagai berikut: (1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan

berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.

(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:

a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.

(3) Penentuan mengenai gaji, upah dan honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan. Penjelasan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004 menjelaskan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kekayaan Yayasan, termasuk hasil kegiatan usaha Yayasan, merupakan kekayaan Yayasan sepenuhnya untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan Yayasan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honorarium. Ayat (2), huruf (a) Yang dimaksud dengan”terafiliasi”

Dalam kedua pasal tersebut teranglah bahwa kekayaan dan hasil kegiatan usaha Yayasan tidak boleh dialihkan dan dibagikan kepada organ Yayasan. Akan tetapi, ketika dirujuk pada Pasal 68 UU No. 28 Tahun 2004 dapat dikatakan bahwa pemilik Yayasan adalah masyarakat. Dalam pasal tersebut, memang tidak dinyatakan secara langsung mengenai kepemilikan Yayasan. Namun, secara tidak langsung isi pasal tersebut mengatakan bahwa masyarakatlah pemilik Yayasan. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kekayaan hasil likuidasi diberikan kepada Yayasan yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama. Itu artinya kekayaan tersebut haruslah dipakai untuk mewujudkan tujuan Yayasan. Tujuan Yayasan sendiri diarahkan untuk kepentingan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakatlah pemilik Yayasan, hal mana juga dikuatkan oleh teori badan hukum mengenai kekayaan bertujuan.37

Teori kekayaan bertujuan mengungkapkan tentang keterikatan kekayaan sebuah badan hukum dengan tujuan dan maksud tertentu dari badan hukum yang bersangkutan. Sehingga, dalam sebuah badan hukum dikenal istilah “kekayaan bertujuan”. Dilihat dari teori ini, kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya dan digunakan untuk pendirian sebuah Yayasan termasuk dalam kekayaan bertujuan. Kekayaan itu menjadi milik tujuannya. Karena tujuan Yayasan adalah masyarakat, Yayasan menjadi milik masyarakat sehingga kekayaannya harus digunakan untuk

adalah hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal. Huruf (b), yang dimaksud dengan “secara langsung dan penuh” adalah melaksanakan tugas kepengurusan sesuai dengan ketentuan hari dan jam kerja Yayasan bukan bekerja paruh waktu (part time), dan Ayat (3) Cukup jelas.

37

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diuraikan di atas, Teori Kekayaan Bertujuan yang dicetuskan oleh A. Brinz. Dasar teori ini adalah bahwa hanya manusialah subjek hukum. Meskipun manusia adalah subjek hukum, posisi sebagai subjek hukum tidak serta merta menjadikannya pemilik atas kekayaan suatu badan hukum dan hak-hak yang melekat padanya. Hal ini terkait dengan pendirian suatu badan hukum dengan kekayaan yang telah dipisahkan dari kekayaan pendirinya. Lantas bagaimana status kekayaan tersebut? Pada prinsipnya, kekayaan suatu badan hukum sudah terikat dengan tujuan dan maksud tertentu dari badan hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain kekayaan tersebut adalah milik “tujuan dan maksud” dari sebuah badan hukum. Di sinilah nampak hubungan antara Teori Kekayaan Bertujuan dengan badan hukum Yayasan. Telah diketahui bahwa Yayasan memiliki tujuan yang idealistis, bersifat sosial dan kemanusiaan. Maka dari itu, kekayaan sebuah Yayasan adalah alat yang seharusnya hanya digunakan untuk mencapai tujuan dan maksud Yayasan itu sendiri. 38

Yayasan diakui sebagai badan hukum adalah suatu badan yang ada karena

hukum dan memang diperlukan keberadaannya sehingga disebut legal entity dan

menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.

Dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dijabarkan secara konkrit bahwa kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang maupun kekayaan

38

lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas dan karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan Yayasan. Pemisahan harta kekayaan Yayasan tersebut sebenarnya bertujuan untuk mencegah jangan sampai kekayaan awal Yayasan masih merupakan bagian dari harta pribadi atau harta bersama pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut masih tetap sebagai kekayaan milik pendiri Yayasan.39

Keadilan (justice) bersama-sama dengan kemanfaatan (utility) dan kepastian

hukum (legal certainty) merupakan tujuan hukum.40

39

Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 37.

Dan untuk mencapai tujuan hukum dimaksud tidak terlepas dari sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman

yang mengkaji sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen

yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum, yaitu struktur hukum (structure),

substansi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture). Dari ketiga

komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Dari uraian yang dikemukan Friedman ini nampak bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan

oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya

sistem tersebut. Sedangkan komponen substance mencakup segala apa saja yang

merupakan hasil dari sturcture, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang

berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh

40

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial

prudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media

Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas structure dan substance, masih diperlukan adanya unsur

ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum (legal culture).41

Kebutuhan terhadap ketertiban itu syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool as Social Engineering”.

42

Dalam pembahasan permasalahan tesis ini mengenai bagaimana tanggung jawab Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU No. 16 Tahun 2001, serta bagaimana status hukum harta kekayaan Yayasan tersebut

jika ditinjau berdasarkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, dan bagaimana

sikap pemerintah terhadap Yayasan yang tidak mau tunduk kepada kemauan pemerintah, teori-teori yang telah diuraikan di atas akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.

Dimana hukum harus diusahakan bersifat antisipatif, sehingga tidak menghambat laju perkembangan efesiensi ekonomi, mewujudkan iklim Yayasan yang kondusif melalui pengaturan tentang Yayasan.

41

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan:Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 4-5.

42

Roscoe Pound, Social Control Through Law: Jural Postulets, dikutip dari Buku Filsafat Hukum Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 280.

2. Landasan Konsepsional

Guna menghindarkan perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan tesis ini, defenisi operasional dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan

diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, pendidikan,

keagamaan, dan kemanusian, yang tidak mempunyai anggota.43

b. Akta pendirian adalah surat otentik mengenai keberadaan suatu badan hukum

yang memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu tentang badan hukum tersebut.44

c. Yayasan yang tidak didaftarkan adalah Yayasan yang tidak dimohonkan

pengesahannya kepada Menteri Hukum dan Hak azasi Manusia dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

d. Perubahan adalah suatu proses suksesi suatu sistem dari keadaan lama yang

tidak sesuai lagi pada tempatnya ke keadaan baru dengan tujuan untuk memperbaiki sistem tersebut agar sesuai dengan keadaan perkembangan zaman.45

e. Benda adalah benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dapat dinilai

dengan uang.46

43

Pasal 1 angka 1 UU Yayasan.

44

Pasal 14 UU Yayasan.

45

Gatot Supramono, Op. Cit, hal. 10.

46

f. Harta Kekayaan Yayasan adalah segala harta yang dapat dinilai berupa uang, barang maupun kekayaan lain dan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal.47

g. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah sumbangan atau bantuan

sukarela yang diterima Yayasan, baik dari Negara, masyarakat, maupun dari pihak ketiga lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.48

h. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.49 Wakaf adalah

perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.50

i. Hibah adalah pemberian suatu benda semasa hidup seseorang, tanpa

mengharapkan balasan.51

47

Lihat Pasal 5 dan Pasal 9 UU Yayasan.

Hibah berdasarkan Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf

48

Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf (a) UU Yayasan.

49

Pasal 1 angka 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

50

Pasal 215 ayat (1) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

51

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet ke-1 (Jakarta: UI Press, 1988), hal. 24.

(c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan adalah hibah dari orang atau dari badan hukum.

j. Hibah Wasiat merupakan pemberian yang dituliskan atau diucapkan sebagai

wasiat, sebagai kehendak terakhir si pemberi hibah wasiat yang berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat (si meninggal).52 Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris.53

k. Perolehan lain berdasarkan Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf (e)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, misalnya adalah deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung, atau perolehan dari hasil usaha Yayasan.

l. Likuidasi adalah proses pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang

meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham (persero).54

Dokumen terkait