TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN KEKAYAAN
YAYASAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN
T E S I S
Oleh:
SYAHRUL SITORUS
097005067/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN KEKAYAAN
YAYASAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN
T E S I S
Oleh:
SYAHRUL SITORUS
097005067/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN KEKAYAAN
YAYASAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
SYAHRUL SITORUS
097005067/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
( HALAMAN PENGESAHAN )
JUDUL TESIS : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN
KEKAYAAN YAYASAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN
NAMA : SYAHRUL SITORUS
NIM : 097005067
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM
Menyetujui: Komisi Pembimbing
K e t u a
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., CN, M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Magister Ilmu Hukum D e k a n
Telah diuji pada
Hari Selasa/Tanggal 22 Januari 2013
PANITIA PENGUJI DAN PEMBIMBING TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
2. Dr. T. Keizerina Devi. A, S.H., CN., M.Hum
3. Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum
ABSTRAK
Dengan berlakunya UU No.16 Tahun 2001 sebagaimana diubah melalui UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, mengamanatkan kepada seluruh Pengurus Yayasan untuk menyesuaikan akta pendiriannya dan Anggaran Dasarnya terhadap ketentuan dalam UU No.16 Tahun 2001 sebagaimana diubah melalui UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, selambat-lambatnya pada tanggal 06 Oktober 2008. Ternyata ketentuan tersebut sebahagian besar tidak dilaksanakan oleh Pengurus melainkan tetap mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan sebagaimana mestinya.
Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana tanggung jawab dari para Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan
sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008? kedua, bagaimana status
hukum dari harta kekayaan Yayasan jika ditinjau dari UU Yayasan dan PP No.63
Tahun 2008? dan ketiga, bagaimana sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan
yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008?
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya yang meneliti terhadap asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktrin, kaidah-kaidah yang terdapat di dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta menyangkut permasalahan baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yuridis dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi sasaran penelitian.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Pertama, tanggung jawab Pengurus
Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan adalah menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dengan akta notarial. Perubahan akta pendirian/ Anggaran Dasar Yayasan disampaikan kepada Dirjen AHU dengan dilampiri syarat-syarat formil
yang ditetapkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008. Kedua, status hukum harta
kekayaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 jika akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tersebut tidak disesuaikan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bertalian dengan status hukum Yayasan tersebut ”dianggap tidak pernah ada atau illegal” menurut perspektif Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, sehingga konsekwensinya status hukum harta kekayaan Yayasan dimaksud harus diserahkan kepada likuidator untuk dilikuidasi dan diserahkan kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau Negara untuk digunakan mencapai maksud dan tujuan Yayasan yang bubar tersebut.
terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 hingga telah lewat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang ditentukan tanggal 06 Oktober 2008, pemerintah masih tetap memberikan dan memperpanjang izin operasional/kegiatan sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan yang illegal dimaksud. Hal ini dapat dibuktikan dari penetapan tanggal, bulan, dan tahun dari beberapa surat keputusan yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Medan, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Provinsi Sumatera Utara, Badan Akreditasi Sekolah Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara.
Saran dalam penelitian ini adalah: Pertama, pengurus Yayasan yang tidak
menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, maka Pengurus Yayasan tersebut secara tanggung renteng bertanggung jawab memanggil likuidator untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya serta membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan Yayasan yang bubar.
Kedua, diharapkan Pemerintah melalui kebijakan yuridisnya agar tidak terlalu mengintervensi kebebasan masyarakatnya dalam hal kegiatan berorganisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul
dalam naungan Yayasan. Ketiga, diharapkan agar Pemerintah segera merevisi masa
tengggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dengan cara merevisi Pasal 71 UU Yayasan, Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 untuk menyelamatkan ribuan Yayasan lama agar tidak masuk kategori illegal, dan mencabut Pasal 3, Pasal 5 UU Yayasan karena ketentuan itu dinilai para Pendiri dan Pengurus Yayasan sebagai salah satu faktor yang sangat menyulitkan mengingat pola budaya ber Yayasan di Indonesia di samping beramal juga sarana mata pencaharian.
ABSTRACT
Law No.16/2001 which was amended by Law No. 28/2008 on Foundation (Foundation Law) and PP (Government Regulation) No. 63/2008 on the Implementation of Foundation Law, left on trust to all foundation management members to adjust their memorandum of association and statutes to the provisions in Law No. 16/2001 which was amended by Law No. 28/2004 on Foundation and PP No. 63/2008 on the Implementation of Foundation Law on October 6, 2008 at the latest. In reality, most of the provisions were not accomplished by the management; they still established their foundations regardless of the law.
The problems which arouse in the research were as follows: First, how was the responsibility of the foundation management for the foundations which were established prior to the imposition of Foundation Law and PP No. 63/2008? Secondly, how was the legal status of the foundation property viewed from the Foundation Law and PP No. 63/2008? Thirdly, how was the government policy on the existence of the foundations which were not yet adjusted to the Foundation Law and PP No. 63/2008?
The type of the research was judicial normative, a procedure of scientific study which is aimed to find the truth, based on logic from its normative view in order to study the principles and doctrines in legal provisions and Courts’ verdicts. The nature of the research was descriptive analityc, a study which describes facts concerning either the systematic or synchronizing frameworks, based on judicial aspects in order to solve the problems in the research.
Medan, Religious Office of North Sumatera, and Social Welfare Service of North Sumatera.
Some suggestions in the research are as follows: First, the management of the foundation, who do not adjust the memorandum of association/statutes to Foundation Law and PP No. 63/2008, will be jointly and severally responsible to ask liquidator to liquidate and close down the foundation and to give the foundation property to another foundation or corporate body or to the State in order to be adjusted to the activities of the close down foundation. Secondly, the government, through its judicial policy, is expected not to intervene with the freedom of the people in participating in organizational activities as it stipulated in the 1945 Constitution on the freedom to form an association and to assemble under a foundation. Thirdly, the government is expected to revise the time frame of adjusting the foundation memorandum of association/statutes to Foundation Law and PP No. 63/2008 by revising Article 71 of Foundation Law and Article 39 of PP No. 63/2008 in order to save the foundation from being illegal and withdraw Article 3, Article 5 of Foundation Law since these articles are considered by the founders and the management of foundation as one of the factors which is complicated because the aim of people to establish a foundation in Indonesia is not only to obtain benefit but also to practice austerity.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur tiada tara kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kuasa dan
kehendakNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar
Magister Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu “Tinjauan Yuridis Terhadap
Kedudukan Kekayaan Yayasan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang
Yayasan”. Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan pujian pada
hari Selasa tanggal 22 Januari 2013.
Sehubungan untuk itu, dengan kerendahan hati tulus dan ikhlas, Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A (K).
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung,
S.H., M.Hum sekaligus selaku Pembimbing Utama yang telah banyak
memberikan bimbingan sampai akhirnya Penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,
M.H. sekaligus selaku anggota Komisi Pembimbing I penulisan Tesis ini yang
telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada
akhirnya Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan, Ibu Dr. T. Keizerina Devi. A,
S.H., CN., M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing II yang telah banyak
berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna, yang dengan penuh
serta kritik yang konstruktif untuk memperoleh hasil yang terbaik dalam
penulisan Tesis ini.
5. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum dan bapak Dr. Hasim Purba,
S.H., M.Hum selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan serta
kritikan dalam penulisan Tesis Penulis ini.
6. Seluruh dosen, staf dan pegawai yang bertugas di Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ayahanda Kanan Sitorus dan Ibunda tercinta Syafaria Pasaribu yang telah
mengasuh, membesarkan dan memberikan dukungan moril maupun materil
kepada Penulis.
8. Istriku tercinta Dr. Lisa Priana, anakku tersayang Nasya Eliza Inggit Sitorus,
Dwina Sarah Delva Sitorus, dan Tondina Rahmadianti Sitorus yang selalu
memberikan motivasi kepada Penulis untuk menyelesaikan studi ini.
9. Teman-teman kuliah Angkatan 2009 di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang telah
banyak memberikan masukan sehingga Tesis ini dapat dapat diselesaikan,
Penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.
Akhirnya Penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak dan sekaligus menyampaikan permintaan maaf yang tulus jika
seandainya terdapat kekeliruan, dan tak luput pula Penulis dengan senang hati
menerima kritik dan saran yang bertujuan penyempurnaan Tesis ini.
Medan, Januari 2013
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
N a m a : SYAHRUL SITORUS
Tempat/Tgl. Lahir : Kilometer XIII/08 Juni 1971
Jenis Kelamin : Laki-laki
A g a m a : I s l a m
A l a m a t : Jln. Selamat Pulau No.101-B Medan-20147
Pendidikan Formal :- Sekolah Dasar RK Cinta Kasih Dolok Masihul Kabupaten
Deli Serdang dahulu/sekarang Kabupaten Serdang Bedagai
(Lulus tahun 1984);
- Sekolah Menegah Pertama (SMP) Negeri 2 Dolok Masihul,
Deli Serdang dahulu/sekarang Kabupaten Serdang Bedagai
(Lulus Tahun 1987);
- Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kotamadya
Tebing Tinggi Deli (Lulus Tahun 1990);
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat
Indonesia (Lulus Tahun 1996);
- S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas
Sumatera Utara (Lulus Tahun 1998);
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR SKEMA ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 18
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Keaslian Penelitian ... 20
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 20
1. Kerangka Teori ... 20
2. Landasan Konsepsional ... 31
G. Metode Penelitian ... 33
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 34
2. Sumber Data ... 34
3. Teknik Pengumpulan Data ... 35
4. Analisis Data ... 36
A. Yayasan Sebagai Badan Hukum ... 38
B. Tanggung Jawab Pengurus Yayasan Sebelum Berlakunya UU
Yayasan ... 49
C. Tanggung Jawab Pengurus Yayasan Setelah Berlakunya UU
Yayasan ... 56
D. Tanggung Jawab Pengurus Yayasan Menurut PP No.63 Tahun
2008 Tentang Yayasan ... 67
BAB III : STATUS HUKUM HARTA KEKAYAAN YAYASAN
DITINJAU DARI UU YAYASAN DAN PP NO. 63 TAHUN 2008 72
A. Pemisahan Harta Kekayaan Yayasan dari Harta Kekayaan Pendiri 72
B. Pengabaian Ketentuan Sanksi Hukum Dalam UU Yayasan
Terhadap Yayasan ... 80
C. Status Hukum Harta Kekayaan Yayasan yang Didirikan Sebelum
Lahirnya UU Yayasan Ditinjau Berdasarkan UU Yayasan dan PP
No.63 Tahun 2008 ... 85
BAB IV : SIKAP PEMERINTAH TERHADAP KEBERADAAN
YAYASAN YANG BELUM MENYESUAIKAN AKTA PENDIRIANNYA TERHADAP UU YAYASAN DAN PP NO. 63 TAHUN 2008 ... 96
A. Prosedur Pendirian Yayasan yang Didirikan Sebelum Lahirnya
UU Yayasan ... 96
1. Sebelum Berlakunya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 96
B. Penyesuaian Akta Pendirian atau Anggaran Dasar Yayasan di
Provinsi Sumatera Utara Terhadap UU Yayasan dan PP No. 63
Tahun 2008 ... 106
1. Mendirikan Yayasan Baru di Atas Yayasan Lama ... 106
2. Yayasan Telah Menyesuaikan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 Namun Belum Mendapat Pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ... 124
3. Yayasan Belum Menyesuaikan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 ... 132
C. Sikap Pemerintah Terhadap Keberadaan Yayasan yang Belum Menyesuaikan Diri Terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 ... 214
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 227
A. Kesimpulan ... 227
B. Saran ... 229
DAFTAR SKEMA
Skema 1 : Pendirian Yayasan Sebelum Lahirnya UU Yayasan ... 97
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Status Beberapa Yayasan Setelah Berlakunya UU Yayasan dan PP
No.63 Tahun 2008 ... 194
Tabel 2 : Jumlah Satuan Pendidikan Formal dan Informal Swasta yang Terdaftar
di Dinas Pendidikan Kota Medan ... 206
Tabel 3 : Jumlah Satuan Pendidikan Formal Swasta yang Terdaftar di Kantor
Kementerian Agama Kota Medan ... 208
Tabel 4 : Jumlah Satuan Pendidikan Informal Swasta yang Terdaftar di Kantor
Kementerian Agama Kota Medan ... 210
ABSTRAK
Dengan berlakunya UU No.16 Tahun 2001 sebagaimana diubah melalui UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, mengamanatkan kepada seluruh Pengurus Yayasan untuk menyesuaikan akta pendiriannya dan Anggaran Dasarnya terhadap ketentuan dalam UU No.16 Tahun 2001 sebagaimana diubah melalui UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, selambat-lambatnya pada tanggal 06 Oktober 2008. Ternyata ketentuan tersebut sebahagian besar tidak dilaksanakan oleh Pengurus melainkan tetap mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan sebagaimana mestinya.
Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana tanggung jawab dari para Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan
sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008? kedua, bagaimana status
hukum dari harta kekayaan Yayasan jika ditinjau dari UU Yayasan dan PP No.63
Tahun 2008? dan ketiga, bagaimana sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan
yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008?
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya yang meneliti terhadap asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktrin, kaidah-kaidah yang terdapat di dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta menyangkut permasalahan baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yuridis dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi sasaran penelitian.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Pertama, tanggung jawab Pengurus
Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan adalah menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dengan akta notarial. Perubahan akta pendirian/ Anggaran Dasar Yayasan disampaikan kepada Dirjen AHU dengan dilampiri syarat-syarat formil
yang ditetapkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008. Kedua, status hukum harta
kekayaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 jika akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tersebut tidak disesuaikan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bertalian dengan status hukum Yayasan tersebut ”dianggap tidak pernah ada atau illegal” menurut perspektif Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, sehingga konsekwensinya status hukum harta kekayaan Yayasan dimaksud harus diserahkan kepada likuidator untuk dilikuidasi dan diserahkan kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau Negara untuk digunakan mencapai maksud dan tujuan Yayasan yang bubar tersebut.
terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 hingga telah lewat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang ditentukan tanggal 06 Oktober 2008, pemerintah masih tetap memberikan dan memperpanjang izin operasional/kegiatan sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan yang illegal dimaksud. Hal ini dapat dibuktikan dari penetapan tanggal, bulan, dan tahun dari beberapa surat keputusan yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Medan, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Provinsi Sumatera Utara, Badan Akreditasi Sekolah Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara.
Saran dalam penelitian ini adalah: Pertama, pengurus Yayasan yang tidak
menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, maka Pengurus Yayasan tersebut secara tanggung renteng bertanggung jawab memanggil likuidator untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya serta membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan Yayasan yang bubar.
Kedua, diharapkan Pemerintah melalui kebijakan yuridisnya agar tidak terlalu mengintervensi kebebasan masyarakatnya dalam hal kegiatan berorganisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul
dalam naungan Yayasan. Ketiga, diharapkan agar Pemerintah segera merevisi masa
tengggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dengan cara merevisi Pasal 71 UU Yayasan, Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 untuk menyelamatkan ribuan Yayasan lama agar tidak masuk kategori illegal, dan mencabut Pasal 3, Pasal 5 UU Yayasan karena ketentuan itu dinilai para Pendiri dan Pengurus Yayasan sebagai salah satu faktor yang sangat menyulitkan mengingat pola budaya ber Yayasan di Indonesia di samping beramal juga sarana mata pencaharian.
ABSTRACT
Law No.16/2001 which was amended by Law No. 28/2008 on Foundation (Foundation Law) and PP (Government Regulation) No. 63/2008 on the Implementation of Foundation Law, left on trust to all foundation management members to adjust their memorandum of association and statutes to the provisions in Law No. 16/2001 which was amended by Law No. 28/2004 on Foundation and PP No. 63/2008 on the Implementation of Foundation Law on October 6, 2008 at the latest. In reality, most of the provisions were not accomplished by the management; they still established their foundations regardless of the law.
The problems which arouse in the research were as follows: First, how was the responsibility of the foundation management for the foundations which were established prior to the imposition of Foundation Law and PP No. 63/2008? Secondly, how was the legal status of the foundation property viewed from the Foundation Law and PP No. 63/2008? Thirdly, how was the government policy on the existence of the foundations which were not yet adjusted to the Foundation Law and PP No. 63/2008?
The type of the research was judicial normative, a procedure of scientific study which is aimed to find the truth, based on logic from its normative view in order to study the principles and doctrines in legal provisions and Courts’ verdicts. The nature of the research was descriptive analityc, a study which describes facts concerning either the systematic or synchronizing frameworks, based on judicial aspects in order to solve the problems in the research.
Medan, Religious Office of North Sumatera, and Social Welfare Service of North Sumatera.
Some suggestions in the research are as follows: First, the management of the foundation, who do not adjust the memorandum of association/statutes to Foundation Law and PP No. 63/2008, will be jointly and severally responsible to ask liquidator to liquidate and close down the foundation and to give the foundation property to another foundation or corporate body or to the State in order to be adjusted to the activities of the close down foundation. Secondly, the government, through its judicial policy, is expected not to intervene with the freedom of the people in participating in organizational activities as it stipulated in the 1945 Constitution on the freedom to form an association and to assemble under a foundation. Thirdly, the government is expected to revise the time frame of adjusting the foundation memorandum of association/statutes to Foundation Law and PP No. 63/2008 by revising Article 71 of Foundation Law and Article 39 of PP No. 63/2008 in order to save the foundation from being illegal and withdraw Article 3, Article 5 of Foundation Law since these articles are considered by the founders and the management of foundation as one of the factors which is complicated because the aim of people to establish a foundation in Indonesia is not only to obtain benefit but also to practice austerity.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal sejarah.
Para Pharaoh, lebih dari seribu tahun sebelum lahirnya Nabi Isa, telah memisahkan
sebagian kekayaannya untuk tujuan keagamaan. Xenophon, mendirikan Yayasan
dengan cara menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada
Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan, dan
hewan-hewan. Menjelang kematiannya pada tahun 347 sebelum masehi, Plato memberikan
hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya untuk disumbangkan selama-lamanya bagi
Academia yang didirikannya. Ini mungkin merupakan Yayasan pendidikan yang
pertama di dunia.1
Begitu juga halnya dengan kehadiran Yayasan dalam kegiatan masyarakat
Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan.
2
Pendirian Yayasan waktu
itu hanya bersandarkan kepada kebiasaan(custom), doktrin dan yurisprudensi.3
1
Chatamarrasyid Ais, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), hal. 1.
Karena
tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang
Yayasan di Indonesia. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama
sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Yayasan.
2
Adib Bahari, Prosedur Pendirian Yayasan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. iii
3
Rita M.L. &J. Law Firm, Resiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas & Pengurus Yayasan,
Secara sporadis dalam beberapa pasal peraturan perundang-undangan disebut
adanya Yayasan, seperti Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680 KUH Perdata,
Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 Rv, Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan
(Faillissements-verordening) yang telah mensejajarkan Yayasan sebagai badan hukum
yang dapat dijatuhkan pailit asal saja sebagai debitur yang berada dalam keadaan
berhenti membayar,4 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
(LN. 1955-27) di Pasal 15 mengatur tentang penghukuman terhadap badan hukum
Yayasan, serta dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(LN.1960-164 TLN. 2043), Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 49 Jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.
38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki
hak-hak atas tanah, mengakui Yayasan dapat memiliki hak-hak atas tanah, bahkan sejak tanggal
25 Agustus 1961 telah dibentuk Yayasan Dana Landreform oleh Menteri Agraria
sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.5
Istilah Yayasan di dalam beberapa ketentuan perpajakan juga disebutkan,
begitu juga halnya di dalam berbagai peraturan perundang-undangan agraria, Selain itu, di
dalam Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No. 01/Per/Menpen/1969
tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Mengenai Perusahaan Pers dalam Pasal 28
disebutkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan Pers harus
berbentuk Badan Hukum. Menurut Permen tersebut yang dianggap sebagai Badan
Hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan.
4
Natzir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia I (Perorangan), (Bandung:Alumni, 1987), hal. 20.
5
dimungkinkan pula bagi Yayasan mempunyai hak atas tanah. Pada tahun 1993 di
dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 227/KMK.017/1993,
juga telah dikenal Yayasan Dana Pensiun. Dari semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada pada waktu itu, tidak satu pun yang memberikan rumusan
mengenai definisi Yayasan, status hukum Yayasan, serta cara mendirikan Yayasan.
Berbeda halnya dengan di Belanda, secara tegas dalam undang-undangnya
menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum.6
Dalam beberapa yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia,
juga telah dikenal Yayasan sebagai badan hukum, seperti:
1. Yayasan Sukapura dan Wakaf Sukapura adalah wakaf atau badan hukum.
(Putusan Mahkamah Agung No. 152 K/Sip/1969 tanggal 26 Nopember 1969).
2. Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung:
a. Bahwa Yayasan Dana Pensiun H.B.M. tersebut didirikan di Jakarta dengan
nama “Stichting Pensiunfonds H.B.M. Indonesia” dan bertujuan menjamin
keuangan pada anggotanya;
b. Bahwa para anggotanya ialah pegawai-pegawai N.V. H.B.M.;
c. Bahwa Yayasan tersebut mempunyai pengurus sendiri terlepas dari N.V.
H.B.M. di mana ketua dan bendahara dipilih oleh Direksi N.V. H.B.M.;
d. Bahwa pengurus Yayasan tersebut mewakili Yayasan di dalam dan di luar
pengadilan;
6
e. Bahwa Yayasan tersebut mempunyai harta sendiri, antara lain harta benda
hibah dari N.V. H.B.M. (akte hibah); dan
f. Bahwa dengan demikian Yayasan tersebut merupakan suatu badan hukum.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 No.124 K/Sip/ 1973).
3. Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung: Perubahan Wakaf Al is Af menjadi Yayasan Al Is Af dapat
saja karena dalam hal ini tujuan dan maksudnya tetap, ialah untuk membantu
keluarga keturunan almarhum Almuhsin bin Abubakar Alatas. (Putusan
Mahkamah Agung tanggal 08 Juli 1975 No. 476 K/Sip/1975).
4. Gugatan penggugat tidak dapat diterima karena dalam surat gugatan tergugat
digugat secara pribadi, pada hal dalam dalil gugatannya disebutkan tergugat
sebagai pengurus Yayasan yang menjual rumah-rumah milik Yayasan dan
seharusnya tergugat digugat sebagai pengurus Yayasan. (Putusan Mahkamah
Agung tanggal 20 April 1977 No. 601 K/Sip/1975).7
Berdasarkan yurisprudensi tersebut tampak dengan jelas mengenai kedudukan
Yayasan sebagai badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan kedudukan
pengurus Yayasan dalam hukum acara perdata,
8
hanya saja tidak diketahui dengan
pasti pada saat kapan Yayasan memperoleh status sebagai badan hukum.9
7
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 91-92.
Politik
hukum Indonesia baru mengatur secara khusus mengenai Yayasan pada tanggal 06
8
H.P. Panggabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset Lembaga Keagamaan) dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 11.
9
Agustus 2001 dengan lahirnya UU No.16 Tahun 200110 yang telah direvisi melalui
UU No.28 Tahun 200411 tentang Perubahan Atas UU No.16 Tahun 2001 tentang
Yayasan12 (selanjutnya disingkat UU Yayasan) yang kemudian diikuti dengan lahirnya
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Tentang Yayasan (selanjutnya disingkat PP No.63 Tahun 2008).13
Salah satu faktor pendorong lahirnya UU Yayasan karena desakan dari
International Monetary of Fund (IMF). Ketika diminta bantuannya untuk
mengucurkan dana pinjaman untuk mengatasi krisis keuangan ditahun 1997-1998,
IMF mengajukan sejumlah persyaratan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk
mengambil langkah-langkah mereformasi berbagai sistem yang dinilai tidak
transparan, tidak akuntabel, dan mengarah pada praktik-praktik korupsi pada era Orde
Baru. Dalam pernyataannya yang tertuang di Letter of Intent-IMF, Pemerintah
Indonesia secara eksplisit mengakui terdapat banyak anggaran negara yang masuk
dalam kegiatan Yayasan. Salah satu rekomendasi IMF tersebut adalah mendesak
dilahirkannya undang-undang yang mengatur Yayasan supaya dikelola secara
transparan dan akuntabel.14
10
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132.
11
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430.
12
Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Yayasan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Notaris, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Wakaf Akurat-Sesuai Dengan Aslinya,
(Jakarta: Durat Bahagia, 2005).
13
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894.
14
UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah undang-undang pertama
mengatur secara eksplisit tentang Yayasan sejak Kemerdekaan Indonesia
dideklarasikan. Padahal draf UU Yayasan sebetulnya telah mulai dirancang oleh
Departemen Kehakiman sejak tahun 1976 dan sejak itu draf tersebut tidak
ditindaklanjuti. Baru 25 (dua puluh lima) tahun kemudian setelah muncul desakan
publik untuk meregulasi Yayasan terkait dengan sejumlah kasus korupsi berskala besar
yang melibatkan Yayasan terungkap ke publik, UU No.16 Tahun 2001 disyahkan oleh
Presiden Megawati Soekarno Putri dan kemudian diundangkan pada tanggal 06
Agustus 2001.15
15
Ibid.
Defenisi Yayasan yang ditemukan dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 16 Tahun
2001 tentang Yayasan mendefenisikan Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, kemanusian dan tidak mempunyai anggota. Meskipun Yayasan
bukan profit oriented, namun menurut UU No. 16 Tahun 2001 tidak menutup peluang
Yayasan bergerak di sektor bisnis. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 UU
No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan membolehkan Yayasan mendirikan badan usaha
yang kegiatannya sesuai maksud dan tujuan Yayasan dan membolehkan Yayasan
melakukan penyertaan modal di berbagai perusahaan komersil sepanjang nilai
UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ini dinilai mengandung sejumlah hal
positif dan negatif, diantaranya:16
1.
Hal-hal yang positif:
2.
Memagari praktik yang berlangsung selama ini bahwa kekayaan Yayasan
diposisikan sebagai kekayaan orang perorang pengurusnya. Pasal 3 UU No. 16
Tahun 2001 misalnya, melarang pembagian hasil kegiatan usaha Yayasan
kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan. Pasal 5 UU No. 28 Tahun
2004 mengharamkan pengalihan kekayaan kepada Pembina, Pengawas,
Pengurus, dan karyawan Yayasan, termasuk kepada pihak lain yang
mempunyai kepentingan kepada Yayasan.
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan
aktivitas Yayasan dengan mewajibkan penyusunan laporan tahunan yang dapat
diakses publik.
1.
Hal-hal yang negatif:
16
http://www.docstoc.com/docs/25724561/Tata-Kelola-Yayasan-Pemerintah-Ujian-Bagi-Refor masi-Birokrasi, diakses tanggal 12 Februari 2012.
Berpotensi mematikan Yayasan karena melarang pemberian honor tetap
terhadap Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan. Selama ini, puluhan ribu
Yayasan memberikan gaji dan honor tetap bagi para pengurusnya yang bekerja
2.
3.
Ada sejumlah ketentuan yang sulit dipenuhi Yayasan berskala kecil, salah
satunya adalah kewajiban audit tahunan terhadap laporan keuangan tahunan
Yayasan oleh kantor akuntan publik yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
4.
UU Yayasan justru menyediakan legitimasi bagi pemerintah untuk
mempertahankan dan mendirikan Yayasan pemerintah yang telah terbukti
menjadi lahan subur bagi banyak praktik-praktik korupsi di birokrasi. Padahal,
secara normatif, hakikat keberadaan Yayasan sebetulnya lebih tepat berada
didomain masyarakat madani atau non negara.
Pemerintah mendorong berbagai kegiatan filantropi khususnya di
negara-negara maju dengan memberikan insentif pajak. Namun demikian, UU
Yayasan tidak memfasilitasi faktor positif ini dengan tetap menempatkan
Yayasan sebagai badan kena pajak. Hal ini akan menjadi disentif bagi
penggalangan dana Yayasan untuk kepentingan filantropi.
Oleh karena berbagai hal negatif tersebut di atas, begitu disyahkan UU No.16
Tahun 2001 tanggal 06 Agustus 2001 yang dinyatakan berlaku mulai 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan mendapat berbagai kritik dari berbagai kalangan.
Kemudian UU No.16 Tahun 2001 ini diamandemen melalui UU No.28 Tahun 2004
yang berlaku efektif tanggal 06 Oktober 2005 dan hasil amandemen tersebut masih
tetap mendapat kritik dari berbagai kalangan. Beberapa poin kelemahan UU No. 16
dalam hal pelaksanaan dan penegakan kedua UU Yayasan tersebut, diantaranya
adalah:17
1.
2.
UU No.28 Tahun 2004 memperpanjang batas waktu penyesuaian anggaran
dasar seluruh Yayasan hingga tanggal 06 Oktober 2008, namun pada
kenyataannya, masih cukup banyak Yayasan yang belum melakukannya,
bahkan sejumlah Yayasan pemerintah pun belum memenuhinya.
Sejauh ini, belum ada penindakan yang diambil Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia atas pelanggaran UU Yayasan terhadap Yayasan termasuk juga
Yayasan pemerintah yang belum menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai
amanat UU Yayasan.
Yayasan sebagai badan hukum di Indonesia tumbuh dan berkembang
berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga tidak dapat dipastikan berapa
jumlah Yayasan ada di tanah air sebelum UU No.16 Tahun 2001 diundangkan.
Yayasan-Yayasan tersebut tidak ditumbuhkan oleh suatu aturan undang-undang atau
diberikan legitimasi oleh suatu aturan hukum, oleh karena saat itu tidak terdapat
undang-undang atau peraturan yang secara formal mengaturnya. Itulah sebabnya,
badan hukum Yayasan sangat sukar diidentifikasikan secara yuridis waktu itu. Namun
demikian status hukum Yayasan telah diakui sebagai badan hukum yang menyandang
hak dan kewajibannya sendiri, yang dapat digugat dan menggugat di sidang pengadilan
melalui pengurusnya. Yayasan pada saat itu dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni
17
Yayasan dengan tujuan idiil (vide Pasal 365 dan Pasal 365 a BW) dan Yayasan dengan
tujuan bisnis komersil (vide Pasal 102 Undang-Undang Kepailitan).18
Dengan berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU
No. 28 Tahun 2004, pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 tahun 2001 dengan tegas
ditentukan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusian, serta tidak mempunyai anggota. Walaupun
undang-undang tersebut tidak secara tegas menentukan Yayasan adalah badan hukum non
profit/nirlaba namun karena tujuannya yang bersifat sosial, keagamaan dan
kemanusiaan itulah yang menjadikan Yayasan sebagai suatu badan hukum non
profit/nirlaba.19
Mengingat pendirian Yayasan mempunyai syarat formal, maka status badan
hukum baru dapat diperoleh pada saat akta pendiriannya disyahkan oleh Menteri
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 16 tahun 2001. Tujuan
pemerintah mengundangkan peraturan perundang-undangan Yayasan dalam sistem
hukum di Indonesia adalah untuk memberikan landasan hukum yang kuat terhadap
eksistensi badan hukum Yayasan, dari pada selama ini hanya bersandarkan Wet op
Stichtingen produk hukum Belanda yang tidak memiliki keberlakukan di Indonesia.
Maksud lain yakni mencegah digunakannya Yayasan sebagai kedok mencari dana
untuk kepentingan pribadi seperti terungkap pada praktik penggunaan badan hukum
18
M. Adnan Amal, “Yayasan Sebagai Badan Hukum Sebuah Fenomena,” Varia Peradilan,
Majalah Hukum, Tahun IV No.45, Juni 1989, hal. 139-140.
19
Yayasan pada era Orde Baru. Konsep pendirian Yayasan di negara-negara Barat amat
berbeda dengan di Indonesia. Motif pendirian Yayasan di Barat yakni karena alasan
filantropis yang berarti pendiri Yayasan adalah orang-orang yang sudah sangat kaya
(dermawan). Sementara di Indonesia setelah berlakunya PP No. 63 Tahun 2008
dengan uang Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau bagi orang-orang yang
berpenghasilan pas-pasan dapat mendirikan Yayasan bukan untuk tujuan filantropis
murni, tetapi ada indikasi untuk menjadikan Yayasan sebagai usaha untuk memperoleh
mata pencaharian.
Sebelum berlakunya UU Yayasan, status Yayasan sebagai badan hukum masih
lemah karena tunduk pada aturan-aturan yang bersumber pada kebiasaan (custom),
doktrin, dan yurisprudensi. Pada waktu itu tidak ada peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang mengatur secara khusus mengenai Yayasan. Dengan berlakunya UU
Yayasan, status badan hukum Yayasan diperoleh setelah ada akta pendirian Yayasan
(vide Pasal 9 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2001) dan disahkan oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (vide Pasal 11 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2004). Pada prinsipnya,
terkait status badan hukum, Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU
Yayasan telah menjadi badan hukum. Namun berdasarkan ketentuan peralihan (Pasal
71 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2004/revisi UU No. 16 Tahun 2001), sejak berlakunya UU
No. 28 Tahun 2004 yaitu pada tanggal 06 Oktober 2005 akan muncul dua pengakuan
yang berbeda terhadap Yayasan. Ada Yayasan yang diakui sebagai badan hukum,
sementara di sisi lain ada juga Yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum.
sebelum berlakunya UU Yayasan. Yayasan sebelum berlakunya UU Yayasan tetap
diakui sebagai badan hukum pada saat UU Yayasan berlaku, jikalau Yayasan
bersangkutan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) atau telah didaftarkan di Pengadilan Negeri
dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait sebagaimana dimaksud
Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004.20
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa sejak berlakunya
UU Yayasan pada tanggal 06 Agustus 2002 dan revisinya pada tanggal 06 Oktober
2005 dapat dibedakan antara:
1. Yayasan yang memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) butir a atau butir b UU
Yayasan; dan
2. Yayasan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) butir a atau butir b
UU Yayasan.
20
Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004, menegaskan:
(1) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, yayasan yang:
a. Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau
b. Telah didafarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini, dengan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
Yayasan yang memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) butir a atau butir b UU
Yayasan, tetap diakui sebagai badan hukum dengan syarat dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak mulai berlakunya UU No. 28 Tahun 2004 (paling lambat
pada tanggal 06 Oktober 2008) maka Yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran
dasarnya dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 yang juga diatur
dalam UU No. 28 Tahun 2004 dan selanjutnya wajib memberitahukan kepada Menteri
paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian anggaran dasar ( vide
Pasal 71 ayat 3). Sanksi yang diberikan jika Yayasan dalam waktu 3 (tiga) tahun tidak
menyesuaikan anggaran dasarnya, maka Yayasan tersebut tidak dapat menggunakan
kata “Yayasan“ di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan
pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan (vide Pasal 71
ayat 4 UU No. 28 Tahun 2004).
bagi Yayasan tersebut untuk mendapatkan status badan hukum. Oleh karena itu, dianjurkan Yayasan tersebut dibubarkan melalui proses likuidasi.21
Hal dimaksud berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan.22
Tentu hal tersebut akan membawa dampak secara hukum terhadap legalitas
Yayasan, karena Yayasan itu berdasarkan sudut pandang UU No. 16 Tahun 2001 Jo.
UU No. 28 Tahun 2004 Jo. PP No. 63 Tahun 2008 tentang Yayasan tidak menyandang
status sebagai badan hukum lagi, sekalipun sebelumnya Yayasan dimaksud telah
menyandang status sebagai badan hukum. Bilamana hal ini terjadi konsekuensi Sebelum dan sesudah berlakunya
UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, harta kekayaan Yayasan ada yang bersumber
dari kekayaan pribadi pendiri Yayasan yang telah dipisahkan baik dalam bentuk uang
atau benda, sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, wasiat, dan
pendapatan sah lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum. Mengingat masih
banyak Yayasan yang belum mendapat legal entity karena belum menyesuaikan diri
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Yayasan sampai dengan tenggang
yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 dengan batas akhir
penyesuaiannya tanggal 06 Oktober 2008.
21
Rita M.L. & J. Law Firm, Op. Cit, hal. 58-61.
22
hukumnya juga akan berdampak ke segala aspek yang ada dalam Yayasan itu,
termasuk terhadap harta kekayaaan Yayasan tersebut.
Berpijak dari uraian di atas ternyata setelah lahirnya UU Yayasan dan PP
No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan di tengah-tengah
masyarakat disinyalir masih banyak Yayasan yang telah berdiri sebelum lahirnya UU
Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 sampai dengan tenggang waktu yang telah
ditentukan yakni tanggal 06 Oktober 2008, dan saat ini tetap melakukan
kegiatan-kegiatan usaha Yayasan dengan menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya.
Polemik Yayasan penyelenggara pendidikan yang belum menyesuaikan diri terhadap
UU Yayasan butuh solusi. Namun, belum ada kejelasan cara penyelesaiannya. Berikut
ini kutipannya:
Secara hukum, sekitar 90 persen dari 21.000 Yayasan pendidikan masuk kategori ilegal karena tidak menyesuaikan diri hingga tenggang tahun 2008. “Kami hanya pelaksana. Yang bisa dilakukan, Yayasan lama mengajukan untuk dibuat Yayasan. Artinya, harus ada hibah dari Yayasan lama ke Yayasan baru,” kata Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Aidir Amin Daud di Jakarta, Senin (28/3). Menurut Aidir, pemerintah tidak bisa memutihkan Yayasan pendidikan yang terlambat menyesuaikan diri selama aturan hukum soal Yayasan masih mengikat pemerintah. Namun, pemerintah juga tidak menindak tegas Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan diri. Pembubaran juga tidak direncanakan. Pembubaran baru bisa dilakukan dengan
putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang
mewajibkan Yayasan mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Adapun sebelumnya, cukup Akta Notaris. “Jika harus mengajukan pengujian pasal ke Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan belasan ribu Yayasan pendidikan di negeri ini, kami siap melaksanakannya,” kata Thomas. Thomas menjelaskan, uji materi yang diajukan, terutama Pasal 71 UU No 28/2004 dan UU No 16/2001 tentang batas waktu penyesuaian perubahan Yayasan. Selain itu, juga meminta Mahkamah Konstitusi mengamandemen Pasal 3, 5, dan 7. Dukungan untuk menguji Undang Undang Yayasan ke Mahkamah Konstitusi juga datang dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS). Ketua Umum BMPS Fathoni Rodli mengatakan, Yayasan pendidikan menjadi korban euforia reformasi yang sebenarnya membidik Yayasan di bawah penguasa Orde Baru.” Kami sudah mencoba membahas masalah ini dengan orang di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak ada solusi baik yang diberikan. Fathoni, menganjurkan lebih baik maju ke Mahkamah Konstitusi saja.23
Sejalan dengan uraian di atas, bertempat di ruang kerja Menteri Pendidikan
Nasional, pada tanggal 14 Februari 2011, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan
Hamid mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad
Nuh. Wakil Ketua MPR menyampaikan bahwa:
Pada hari Kamis tanggal 10 Februari 2011, Pimpinan MPR telah menerima kunjungan atau audiensi dari delegasi Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat. Dalam pertemuan tersebut, BMPS Pusat menyampaikan permasalahan yang muncul terkait perguruan swasta, dan berharap kepada Pimpinan MPR dapat membantu memecahkan permasalahan tersebut. Ada 3 (tiga) permasalahan penting yang perlu mendapatkan perhatian, di antaranya adalah banyak Yayasan penyelenggara Perguruan Swasta yang belum
menyesuaikan diri dengan UU No.16 tahun 2001 jo.UU No. 28 Tahun 2004.
Mengenai hal dimaksud, Mendiknas menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan undang-undang bukan kebijakan Mendiknas. Persyaratan dari Yayasan
itu sesuai dengan UU No. 16 tahun 2001 jo. UU No. 28 Tahun 2004 bukan
domain Kemendiknas tetapi merupakan domain Kementerian Hukum dan HAM. Ahmad Farhan Hamid menyampaikan bahwa menurut BMPS, ada Yayasan sekolah-sekolah yang mungkin terbatas pendapatannya terutama yang di pelosok-pelosok, yang tidak mampu membayar biaya notaris. Diharapkan ada solusi pemecahan masalahnya atau dibebaskan biaya notaris dan menjadi tanggung jawab bersama. Menurut Mendiknas, jika digunakan cara dengan
23
menghilangkan badan hukum Yayasan (sebagai rumahnya) ini akan menjadi rawan karena tidak punya induk legalnya. Yang terjadi adalah menjadi milik perorangan dan tidak sesuai dengan UU Sisdiknas. Usul pemecahan masalah ini bisa melalui BMPS dengan menginformasikan berapa Yayasan yang kira-kira berat (kurang mampu) dan belum mendapat legal entity. Dari informasi tersebut dapat diketahui jumlah sekolah yang belum mendapat legal entity per kabupaten/kota, sehingga dapat diberikan program, seperti urusan Sertifikat Prona yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional. Intinya Yayasan-Yayasan ini harus ada dan sesuai sehingga apabila ada kesulitan bisa dibantu oleh Kemendiknas.Terakhir, Ahmad Farhan Hamid menyampaikan bahwa permasalahan Yayasan ini dapat dikomunikasikan dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mencari alternatif penyelesaian masalahnya.24
Apabila berpijak kepada ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 dan
dikaitkan dengan laporan atau berita tersebut di atas, tentu akan membawa akibat
hukum terhadap ribuan Yayasan yang bergerak di bidang sosial khususnya Yayasan
penyelenggara pendidikan akan terancam bubar dan kekayaannya terancam dilikuidasi.
Jika hal ini terjadi, diperkirakan akan terjadi situasi “chaos” karena ratusan ribu,
bahkan jutaan Siswa dan Mahasiswa, Guru dan Dosen, serta karyawan non edukatif/
administratif berhenti beraktivitas karena dinilai illegal.25
Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, akibat hukum yang
ditimbulkan setelah berlakunya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 tentang
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, dapat menimbulkan sistemik
ke seluruh aspek kehidupan Yayasan yang saling berkaitan satu sama lainnya yang
24
http://www.mpr.go.id/pimpinan5/?p=66, diakses tanggal 27 Mei 2011.
25
http://diksia.com/nasib-yayasan-swasta-mulai-mengkhawatirkan/, diakses tanggal 25 Mei 2011. Diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPTSI), saat membuka Seminar Nasional di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu tanggal 23 Maret 2011. Seminar Nasional yang bekerjasama dengan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) ini bertema” Mengkritisi Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Pendidikan Dan Hak Hidup Yayasan
dapat menimbulkan dilema hukum, namun ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi
hanya membahas permasalahan yang tersebut di bawah ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yang telah menimbulkan dilema dalam
tubuh Yayasan, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi titik tolak
pembahasan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tanggung jawab dari para Pengurus Yayasan terhadap Yayasan
yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 jika ditinjau
dari UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008?
2. Bagaimana status hukum dari harta kekayaan Yayasan jika ditinjau dari UU
Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008?
3. Bagaimana sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan yang belum
menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun
2008?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini dapat
dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan dan menganalisis tanggung jawab dari para Pengurus
Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU No. 16
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis status hukum harta kekayaan Yayasan
tersebut jika ditinjau berdasarkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
3. Untuk menjelaskan dan menganalisis sikap Pemerintah Republik Indonesia
terhadap keberadaan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya
terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah :
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah dalam tulisan ini akan
memberikan pemahaman dan sikap kritis terhadap peraturan
perundang-undangan tentang Yayasan di Indonesia. Mengingat literatur yang membahas
masalah yang berkenaan dengan tema tesis ini masih minim, maka pemaparan
bahasan tesis ini juga didukung oleh pendapat para ahli hukum, notaris, pendiri
serta organ Yayasan. Selanjutnya hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan
dapat memperkaya bahan kajian dan kepustakaan mengenai perkembangan
pemikiran maupun pengaturan tentang fenomena sosial dan hukum dari
Yayasan, khususnya untuk bidang ilmu hukum keperdataan dan kenotariatan
bagi kalangan akademisi maupun untuk kalangan pemerhati masalah hukum
tentang Yayasan.
2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan
Pengawas Yayasan serta pelaksana kegiatan Yayasan, masyarakat luas,
maupun terhadap pemerintah dalam menyikapi fenomena sosial dalam
pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan tentang Yayasan yang baru.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan data dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di
Perpustakaan Fakultas Hukum maupun Program Studi Magister Hukum Universitas
Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan
Kekayaan Yayasan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan”,
belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian penelitian
ini adalah benar keaslianya baik dari materi, permasalahan, tujuan penelitian dan
kajiannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menjunjung tinggi kode etik
penulisan karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta –
fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini
gejala yang diamati.26 Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan
gambaran yang sistematis mengenai masalah yang diteliti. Teori ini masih bersifat
sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas. 27
a. Teori Fiksi
Sejalan dengan hal tersebut, status hukum Yayasan sebagai badan hukum dapat
diketahui dari berbagai teori mengenai badan hukum. Dalam kaitan Yayasan sebagai
badan hukum dapat dikemukakan teori-teori sebagai berikut :
Teori ini dipelopori oleh Carl Von Savigny serta diikuti oleh C.W. Opzomer,
Diephuis, Land, A.N. Houwing, dan Langemeyer. Menurutnya, bahwa badan hukum
itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu
yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai
subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan kata
lain, sebenarnya menurut hukum alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum,
sedangkan badan hukum hanyalah objek. Jadi orang bersikap seolah-olah ada subjek
hukum yang lain, tetapi dengan wujud yang tidak riil, sehingga tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka
manusialah yang melakukannya sebagai wakilnya.28
26
JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), hal. 203.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 127.
28
b. Teori Organ
Sebagai reaksi atau lawan dari teori fiksi menimbulkan ajaran yang disebut
teori realitas. Ajaran teori ini kemudian lebih dikenal dengan nama teori organ. Ajaran
ini dipelopori oleh Otto Von Gierke di Jerman. Menurut ajaran ini, badan hukum itu
merupakan suatu realitas sesungguhnya sama seperti kepribadian alam manusia di
dalam pergaulan hukum. Badan hukum ini mempunyai kehendak atau kemauan sendiri
yang dibentuk melalui perantaraan alat-alat perlengkapannya (organnya) seperti
pengurus atau anggota. Kehendak atau kemauan dari badan hukum identik dengan
kehendak atau kemauan dari pengurus atau anggota. Teori ini sekaligus
menggambarkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan badan hukum. Pengikut
ajaran ini di Belanda yaitu L.C. Polano yang terkenal dengan ajaran leer der volledige
realiteit (ajaran realitas sempurna). 29
c. Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteit)
Dari teori organ muncullah suatu teori baru yang merupakan penyempitan dari
teori organ yang disebut teori kenyataan yuridis. Ajaran ini dikemukakan oleh E.M.
Meijers, Paul Scholten, dan sudah merupakan ajaran yang diterima umum (heersende
leer). Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil,
walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers
menyebutkan teori tersebut, teori kenyataan sederhana (eenvoudige realiteit). Disebut
sederhana karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan
29
hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut
teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, seperti halnya manusia.
Teori yang dianut oleh Paul Scholten ini berasal dari teori organ yang dipersempit,
artinya tidak begitu mutlak lagi, artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga
tidak perlu lagi ditanyakan di mana kaki, tangan dan otaknya. Oleh karena itu menurut
Paul Scholten, jika ada masalah yang timbul dalam badan hukum tidak perlu dipersulit,
tetapi semuanya dikembalikan kepada perwakilannya.30
d. Teori Kekayaan Kolektif (Leer van de Collectieve Eigendom)
Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Pembela teori ini adalah
Marcel Planiol (Prancis) dan Mollenggraaf (Belanda), kemudian diikuti pula Star
Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, dan Apeldoorn. Menurut teori ini, hak dan
kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota
bersama-sama. Mereka bertanggung-jawab bersama-sama. Di samping hak milik
pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Dengan kata
lain, bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan
membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh sebab itu, badan hukum
adalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum adalah sesuatu
yang abstrak.31
30
Chidir Ali, Op. cit, hal. 35.
31
e. Teori Kekayaan Bertujuan (Doel vermogen)
Teori ini dipelopori oleh oleh A. Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang
dapat menjadi subjek hukum, karena itu badan hukum bukan subjek hukum dan
hak-hak yang diberikan kepada badan hukum pada hak-hakikatnya hak-hak-hak-hak tanpa subjek
hukum. Namun demikian, tidak dapat disangka adanya hak-hak atas kekayaan,
sedangkan tidak ada manusia yang menjadi pendukung hak-hak itu, dengan kata lain,
kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya. Jadi hak-hak dari
suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyainya,
dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan
atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Di sini yang terpenting kekayaan tersebut
diurus dengan tujuan tertentu tanpa peduli siapakah badan hukum itu apakah manusia
atau bukan, apakah kekayaan itu merupakan hak-hak normal atau tidak.32
f. Teori tentang Harta Kekayaan yang Dimiliki oleh Seseorang dalam Jabatannya
(leer van Het Ambtelijk Vermogen)
Pelopor teori ini adalah Holder dan Binder. Menurut ajaran ini, tidak mungkin
mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu, dengan kata lain tanpa daya
kehendak (wilsvermogen), tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Ini merupakan
konsekuensi terluas dari teori yang menitikberatkan pada daya berkehendak. Untuk
badan hukum, yang berkehendak adalah para pengurus. Dalam kualitasnya sebagai
pengurus mereka berhak, karena itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran
ini ialah, bahwa orang yang belum dewasa, di mana wali melakukan segala perbuatan
32
hukum, eigendom ada pada curatele eigenaarnya atau kuratornya. Teori ambtelijk
vermogen ini mendekati teori kekayaan bertujuan (doel vermogen).33
g. Teori Leon Duguit
Duguit tidak mengakui hak yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum,
tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilakukan oleh subjek hukum itu. Di
samping itu, Duguit menegaskan pula bahwa hanya manusia dapat menjadi subjek
hukum tanpa menjadi pendukung hak. Oleh karena itu Duguit hanya menerima
manusia sebagai subjek hukum, maka baginya juga hanya manusia menjadi subjek
hukum internasional.34
Baik teori fiksi maupun teori kekayaan kolektif pada hakikatnya memandang
bahwa sebenarnya badan hukum itu tidak ada atau sesuatu yang abstrak. Sebaliknya,
teori organ memandang badan hukum adalah suatu realitas yang sebenarnya sama
dengan manusia. Pandangan yang demikian ini sebenarnya terlalu jauh. Walaupun
badan hukum dalam kenyataan yuridis sama dengan manusia dalam lapangan hukum
kekayaan, seperti mempunyai hak kebendaan dan turut serta dalam pergaulan hukum
sebagai pihak dalam suatu perjanjian, namun tidak semua perbuatan hukum yang
dilakukan oleh manusia dapat pula dilakukan oleh badan hukum. Misalnya dalam
lapangan hukum keluarga, badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum. 35
Banyak orang berasumsi bahwa pemilik sebuah Yayasan adalah pendirinya.
Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa orang yang mendirikan sebuah badan
33
Ibid, hal. 62-63.
34
Ibid, hal. 63.
35
usaha sudah pasti adalah pemilik badan usaha tersebut. Namun apakah pemahaman
tersebut berlaku juga bagi Yayasan? UU Yayasan memberi pengecualian untuk itu.
Dalam UU No. 16 Tahun 2001, secara implisit disebutkan bahwa pendiri Yayasan
bukanlah pemilik Yayasan. Pendiri Yayasan telah memisahkan kekayaannya untuk
menjadi milik Yayasan, sehingga pendiri tidak terikat dan tidak lagi memiliki hak atas
kekayaan yang telah menjadi milik Yayasan itu. Lantas, kita mungkin bertanya kalau
bukan pendirinya, siapakah pemilik Yayasan itu? Dalam UU Yayasan tidak disebutkan
secara dengan jelas siapa pemilik Yayasan. Organ Yayasan juga bukanlah pemilik
sebuah Yayasan. Hal ini secara implisit diungkapkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal
5 UU No. 16 Tahun 2001 Jo.UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.36
36
Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan, menegaskan: Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No.16 Tahun 2001 menyebutkan, ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap. Ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 berbunyi Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan. Ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 diubah dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 2004, sehingga Pasal 5 dimaksud berbunyi sebagai berikut: (1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan
berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.