DAFTAR PUSTAKA
Buku
AI-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rajawali, 1989.
Al-Waqf fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah Mansyurat al-Maktabah al-Haditsah, Beirut, t.th.
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.
Basyir, Ahmad Azhar, Wakaf, Ijaroh, dan Syirkah, Bandung: al-Ma’arif, 1987. Chatamarrasjid, badan hukum yayasan (suatu analisis mengenai yayasan sebagai
suatu badan hukum), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.
Djatmika,Rahmat, Wakaf Tanah, Surabaya: Al- Ikhlas, 1983.
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichfiar Baru Van Hoeve, 1997.
Hasyimi Bnk, Sayyid Ahmad Al, Mukhratul Ahadist An-Anabawiyah Ahmad lbnu Nabhan, Surabaya.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.
Juwana, Hikmahanto, Pengelolaan Yayasan di Indonesia, Jurnal Renvoi (Agustus 2003.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.
Muhammad ibn Ali bin Muhammad al-Shaukani, Nayl al-Awtar Kairo: Mustafa al-Bab al-Halan, tanpa tahun), Vol. III.
Muis, Abdul, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Membuka Pelung Yayasan Berkarakter Komersial, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Sosialisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, diselenggarakan oleh Kerjasama Fakultas Hukum USU dengan Paguyuban Marga Tionghoa Sumatera Utara di Polonia Hotel pada tanggal 22 Juni 2002.
Nasution, Bahder Johan, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf Dan Shodakoh, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Nugroho, Eryanto, Undang-undang Yayasan Mempersempit Ruang Gerak Berorganisasi, Jakarta: Koalisi Ornop Untuk RUU Yayasan, 2003.
Peter, R, “Wakf in Classical Islamic Law”, dalam P.J. Bearman, Th Bianquis, dkk (ed), The Encyclopaeadia of Islam, Leiden : Brill, 2002), New Edition, Volume XI.
Pramono, Nindyo, Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Ridho, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni, 1986.
Setiawan, Tiga Aspek Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55 April 1990. Suhardiadi, Ari Kusumaastuti Maria, Ruang Lingkup Pengaturan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2001, Jurnal Renvoi, Agustus 2003.
Suroso, Nico Ngani, Tinjauan Yuridis tentang Perwakafin Tanah Hak Milik, Yogyakarta: Liberty, 1984.
Qudama, Ibn, al-Mughni, Beirut ; tanpa penerbit, 1993.
The International Center for Non Profit Law, Handbook on Good Practices for Law Relating to Non Goernmental Organization (Discussion Draft), World Bank, 1997.
Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006, hal. 29
Tobing, Loemban, G.H.S, Beberapa Tinjauan Mengenai Yayasan (Stichting),
Tumbuan, Fred B. G, Kedudukan Hukum Yayasan dan Tugas Serta Tanggung Jawab Organ Yayasan, Lokakarya Sosialisasi Undang-undang Yayasan, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Perseroan dan Kenotariatan (PPHN), Jakarta, 14 Agustus 2001.
Untung, Budi, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum Dan Manajemen, Yogyakarta: Andi, 2002.
Widhyadharma, Ignaius Ridwan, Badan Hukum YayasanUndang-undang Nomor 16 Tahun 2001, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
http://irmadevita.com/2008/pembubaran-yayasan-1. Diakses tanggal 8 Oktober 2010.
Internet
BAB III
PENGATURAN YAYASAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004
A. Pembentukan Yayasan
Pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan dalam dua
aspek, yaitu:
1. Aspek materiil
a. harus ada suatu pemisahan kekayaan;
b. suatu tujuan yang jelas;
c. ada organisasi (nama, susunan dan badan pengurus).
2. Aspek formil, pendiri yayasan dalam wujud akta otentik.50
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang 16 Tahun 2001, yayasan
didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
pendirinya sebagai kekayaan awal. Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang
perorangan (person) dan badan hukum (artificial person).51
50
Chatamarrasjid, Op. cit., hal. 18.
51
Pengertian artificial person menurut Black’s Law Dictionary adalah “Person creatid and devised by human laws for the purposes of society and government, as disting uished from natural person.”
Artinya hanya bisa
didirikan oleh orang perorangan saja atau boleh badan hukum saja. Dengan
demikian,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak
memberikan kemungkinan pendirian campuran orang perorangan dengan badan
hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya kewajiban dari para pendiri yayasan
untuk memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal
Yayasan yang didirikan oleh satu orang perorang, dapat didirikan karena:
1. Kehendak orang yang masih hidup untuk memisahkan (sebagian) harta
kekayaannya sebagai modal awal yayasan; atau
2. Kehendak orang yang masih hidup untuk memisahkan (sebagian) harta
kekayaannya sebagai modal awal yayasan yang akan berlaku apabila orang
tersebut meninggal dunia dengan mendasarkan pada surat wasiat. Dalam
hal ini, penerima wasiat akan bertindak mewakili pemberian wasiat.
Pendirian yayasan dengan surat wasiat ini memungkinkan berdasarkan
Pasal 9 ayat (3) UUY.
Undang-Undang Yayasan juga memberikan kemungkinan bagi pendiri
yayasan dalam rangka pembuatan akta pendirian yayasan untuk diwakili oleh
orang lain berdasarkan surat kuasa (Pasal 10 ayat 1 UUY). Pemberian kuasa
tersebut dimaksudkan karena pada prinsipnya si pendiri harus hadir pada saat
pembuatan akta pendirian, namun apabila ia berhalangan maka ia dapat diwakili
oleh orang lain dengan membuat dan memberikan surat kuasa yang sah. Dalam
hal yayasan didirikan dengan surat wasiat, penerima wasiat akan bertindak
mewakili pemberian wasiat, dan karenanya ia, atau kuasanya, wajib
menandatangani akta pendirian yayasan.
Penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat, hal ini merupakan
konsekuensi logis, karena pemisahan harta kekayaan si pemberi wasiat baru
terjadi pada saat si pemberi wasiat meninggal dunia, dan pada saat itu ia tidak
dapat hadir dan sudah tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum untuk
mendirikan yayasan, sehingga kepentingannya diwakili oleh sipenerima wasiat
permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli
waris atau penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat
tersebut.52
52
Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Sebagaimana halnya suatu tindakan atau perbuatan hukum di bidang
perdata, tindakan atau perbuatan hukum pembuatan akta pendirian yayasan dapat
dikuasakan oleh pihak yang berkehendak mendirikan yayasan (pendiri) kepada
pihak lain untuk hadir dan menghadap di hadapan notaris yang bertugas untuk
membuat akta pendirian yayasan tersebut. Meskipun undang-undang tidak
mensyaratkan bentuk pemberian kuasa, namun sebaiknya pemberian kuasa
tersebut dibuat secara tertulis.
Mengenai pemisahan harta kekayaan pribadi para pendiri dalam bentuk
uang atau benda sebagai modal awal yayasan, undang-undang menentukan adanya
persyaratan tertentu. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14 ayat (4)
Undang-undang Yayasan, persyaratan jumlah minimum harta kekayaan awal dalam bentuk
uang atau benda yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri sebagai modal
awal yayasan dicantumkan dalam anggaran dasar.
Apabila yayasan didirikan oleh lebih dari satu orang (baik orang
perorangan atau badan hukum) dan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, maka yayasan tersebut merupakan perjanjian. Pendirian yayasan
tidak sama seperti pendirian badan usaha lain seperti perseroan terbatas, perseroan
komanditer, firma dan persekutuan perdata, di mana badan usaha tersebut sudah
Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa
akta pendirian yayasan harus dibuat dengan akta notaris.53
Pendirian yayasan harus dilakukan melalui akta notaris, sehingga akta
pendirian merupakanakta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Hal ini merupakan
syarat mutlak bagi pendirian (bestaan svoorwaarde) suatu yayasan, sehingga syarat-syarat formalitas keotentiksitasnya suatu akta notaris, yakni pembacaan
akta oleh notaris, penandatanganan minuta akta di wilayah kerja notaris dan dalam
waktu dan tanggal tertentu, mutlak harus dipenuhi, dan apabila persyaratan
tersebut tidak dipenuhi maka pendirian yayasan dapat dimintakan pembatalan
(vernietigbaar; voidable). Dalam hal akta pendirian tersebut tidak dibuat di hadapan notaris Indonesia dan tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, maka
pendirian tersebut batal demi hukum (nietig; nul and void).
54
1. Anggaran Dasar; dan
Menurut Pasal 14 ayat (1) UUY, akta
pendirian yayasan memuat:
2. Keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu.
Tata cara pendirian yayasan sebagaimana di atur dalam Pasal 12 sampai
dengan Pasal 13 Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004, para pendiri
atau kuasanya mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan
secara tertuliskepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
53
Pasal 9 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
54
Kewenangan pemberian pengesahan akta pendirian yayasan oleh Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tersebut diberikan kepada Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kedudukan yayasan. Dalam hal pemberian pengesahan tersebut
memerlikan pertimbangan dari instansi terkait, maka pengesahan diberikan atau
tidak diberikan dalam jangka waktu:
1. Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban
permintaan pertimbangan diterima dari instansi terkait; atau
2. Setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban
permintaan pertimbangan kepada instansi terkait tidak diterima.
Apabila permohonan pengesahan tidak diterima (ditolak), maka Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia berkewajiban untuk memberitahukan secara
tertulis disertai alasannya kepada pemohon mengenai penolakan tersebut, alas an
penolakan dimaksud karena permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang Yayasan dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengesahan akta
pendirian yayasan, maka pengurus atau kuasanya wajib mengajukan permohonan
pengumuman pendirian yayasan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUY ditegaskan
bahwa yayasan memperoleh status badan hukum saat akta pendirian yayasan
memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
B. Pengelolaan Yayasan
Kehadiran UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba sudah barang tentu
atau Badan Hukum Nir Laba dapat menjadi dasar untuk menindak apabila terjadi
penyimpangan. Hanya saja apabila Undang-undang Yayasan hanya berisi tentang
prosedur pendirian belaka atau prosedur-prosedur lainnya, walaupun baik tetapi
tidak optimal. Undang-undangYayasan atau Badan Hukum Nir Laba harus berisi
pula ketentuan yang dapat memaksa pengurus beserta organ lainnya untuk
mengelola yayasan secara profesional dan baik.
Akhir-akhir ini di Indonesia sering didengungkan tentang prinsip
governance. Masalah governance yang berkaitan dengan pemerintahan dikenal dengan istilah good governance, sementara yang berkaitan dengan perusahaan dikenal dengan istilah corporate governance. Walaupun prinsip-prinsip yang dikandung berbeda satu sama lain, namun ada persamaan mendasar diantara
keduanya. Persamaan ini terletak pada konsep dasar dari governance yaitu perlunya kontrol berdasarkan aturan terhadap para pengelola, karena stakeholder
yang sangat variatif sulit diharapkan mengkontrol pengurus yang bertanggung
jawab atas kegiatan sehari-hari. Dalam good governance yang menjadi
stakeholder adalah rakyat, lembaga legislatif dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah pemerintah (eksekutif). Sedangkan dalam corporate governance yang menjadi stakeholder adalah pemegang saham yang bukan mayoritas, konsumen dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus
adalah direksi.
Kontrol terhadap pengelola perlu dilakukan karena bagi pengurus sulit
menafsirkan apa yang menjadi keinginan para stakeholder. Hal ini memberi peluang kepada pengelola untuk menjalankan aktivitas yayasan berdasarkan
inilah yang sangat berbahaya apabila tidak ada kontrol karena cenderung
disalahgunakan (abuse).
Adapun kontrol yang dilakukan tidak dapat dilakukan oleh para
stakeholder secara langsung. Kontrol dilakukan dengan cara membatasi kewenangan pengurus. Batasan inilah yang disebut sebagai prinsip governance. Dari prinsip governance dilahirkan prinsip-prinsip keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan pertanggung jawaban (responsibility).55
Apabila diperhatikan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, Pengurus harus memperhatikan prinsip governance ini
dalam menjalankan kepengurusan sehari-hari sehingga para stakeholder tidak dirugikan. Agar prinsip governance mempunyai kekuatan hukum dan dipatuhi ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan mengakomodasikannya
dalam suatu code of conduct yang bukan peraturan perundang-undangan.
Cara kedua adalah dengan mengakomodasikannya dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Cara kedua ini mensyaratkan keterlibatan negara
(legislatif) dalam hal-hal yang bersifat hubungan perdata. Keterlibatan negara ini
didasarkan pada argumentasi bahwa negara harus melindungi pihak yang lemah.
Prinsip governance dapat juga diterapkan dalam pengelolaan yayasan. Tujuan dari penerapan prinsip ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam
pengelolaan yayasan sehingga stakeholder dirugikan. Supaya prinsip governance
ini benar-benar dipatuhi, dalam konteks Indonesia perlu ditempuh cara kedua
yaitu mengakomodasikannya dalam peraturan perundang-undangan.
55
dapat disimpulkan bahwa banyak hal dalam prinsip governance yang telah diakomodasi. Dalam undang-undang telah dipilah-pilah organ yayasan, yaitu
Pembina, Pengurus dan Pengawas serta tugas dan tanggung jawab
masing-masing.56 Dalam konteks governance hal ini penting mengingat dibutuhkan kejelasan tentang siapa yang harus mempertanggungjawabkan apa (prinsip
responsibility). Bahkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) yang melarang Pengurus merangkap sebagai Pembina atau Pengawas merupakan hal penting untuk
menjaga profesionalisme pengurus.57
Selanjutnya wujud dari diterapkannya prinsip governance dalam
Undang-undang Yayasan adalah pengaturan tentang tujuan dari Yayasan yang sangat
limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1. Dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa tujuan yayasan adalah dibidang sosial, keagamaan dan
kemanusian.58 Bahkan apabila diperhatikan Bagian Umum dari Penjelasan
undang-undang Yayasan disebutkan bahwa, “Fakta menunjukkan kecenderungan
masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status
badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah
mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusian, melainkan juga
adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan
pengawas.”59
56
Lihat Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan “Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas: a. Pembina; b. Pengurus; dan c. Pengawas. Selanjutnya organ ini dijabarkan lebih lanjut dalam Bab VI yang berjudul Organ Yayasan.
57
Bunyi lengkap dari Pasal 31 ayat (3) adalah sebagai berikut, “Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.”
58
Secara lengkap Pasal 1 Angka 1 berbunyi sebagai berikut, “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
59
Penegasan ini menunjukkan bahwa yayasan tidak boleh lagi digunakan
untuk tujuan-tujuan yang bersifat komersial. Dalam konteks prinsip governance
hal ini berarti bahwa stakeholder (termasuk para donatur) dapat memastikan bahwa yayasan tidak dijadikan kedok belaka.
Ada dua kritik yang dapat disampaikan sehubungan dengan pengaturan
tentang pengaturan tujuan yayasan. Pertama adalah pengaturan tentang tujuan dari
yayasan yang tidak diatur dalam pasal tersendiri. Dalam Undang-undang Yayasan
pengaturan tentang tujuan dari yayasan hanya diatur dalam pasal definisi. Kritik
yang kedua adalah tujuan yayasan yang disebutkan dalam undang-undang belum
dilakukan secara tajam walaupun dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa
cakupan dari bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan antara lain adalah hak
asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan,
lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.60
60
Penjelasan Pasal 7 mengatakan sebagai berikut, “Maksud dan tujuan Yayasan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 mempunyai cakupan yang luas antara lain; hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.”
Ketidaktajaman formulasi tentang tujuan yayasan dapat berakibat pada
dilakukakannya praktek-praktek masa silam. Apakah sebuah kantor konsultan
dibidang lingkungan yang melakukan kegiatannya secara komersial dapat
mendirikan yayasan? Hal ini mengingat lingkungan hidup tercakup dalam bidang
sosial, agama dan kemanusiaan. Bukankah yang menjadi ukuran untuk
menentukan tujuan yayasan adalah pada kegiatannya? Artinya kegiatan yayasan
dilihat apakah mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan yayasan seharusnya tidak
didasarkan pada bidang kegiatan sebagaimana diatur dalam undang-undang
Berikutnya dalam konteks penerapan prinsip governance yang telah mendapat pengaturan dalam undang-undang Yayasan adalah larangan yayasan
mendirikan badan usaha yang penyertaannya melebihi dari 25% dari seluruh
kekayaan yayasan.61 Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2),
ketentuan ini dimaksudkan agar yayasan tidak menyimpang dari tujuan
didirikannya dan lebih mengejar aspek komersial.62
Demikian pula dengan prinsip transparansi dari governance yang telah mendapat pengaturan dalam undang-undang Yayasan, yaitu Bab VII tentang
Laporan Tahunan. Dalam Pasal 52 ayat (1), misalnya, disebutkan bahwa ikhtisar
laporan tahunan yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor
yayasan.
Walaupun sudah baik, namun
kekurangan dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) ini adalah masih dapat digunakannya
yayasan sebagai nominee untuk mendirikan perseroan terbatas.
63
Bahkan dalam Pasal 52 ayat (3) ada kewajiban bagi yayasan untuk
diaudit oleh Akuntan Publik.64
Di samping hal-hal tersebut diatas dalam Undang-undang Yayasan
disana-sini sudah diserap prinsip governance. Seperti apa yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2). Pasal tersebut menyebutkan bahwa Pengurus mempunyai kewajiban
untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.65
61
Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mengatur sebagai berikut, “Yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan ketentuan penyertaan kekayaan Yayasan paling banyak 25% (dua puluh lima) persen dari seluruh kekayaan Yayasan
62
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) menyebutkan sebagai berikut, “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap Yayasan mempertimbangkan dengan cermat apabila mendirikan badan usaha. Hal ini untuk menghindari agar Yayasan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan pendirian Yayasan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”
63
Lihat: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
64
Pasal 52 ayat (3)
65
Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang benturan kepentingan
antara Pengurus dengan Yayasan serta pembatasan kewenangan dari Pengurus
sehubungan dengan pengelolaan kekayaan yang dimiliki oleh yayasan.66
Kemudian Undang-undang Yayasan mensyaratkan keberadaan Pengawas sebagai
suatu keharusan.67 Hanya saja dalam ketentuan tersebut tidak diatur secara rinci
bahwa Pengawas haruslah orang yang independen baik terhadap Pengurus
maupun Pembina. Sehingga dalam menjalankan tugasnya Pengawas akan bekerja
secara profesional. Ketentuan lain yang sesuai dengan prinsip governance adalah kewenangan Pengawas untuk memberhentikan sementara anggota Pengurus.68
C. Pembubaran Yayasan
Kewenangan demikian penting untuk memberikan “gigi” bagi Pengawas dalam
menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan tersebut dikhawatirkan Pengurus akan
mengelola yayasan tanpa takut ada sanksi yang dikenakan padanya.
Apakah alasan yang dapat menyebabkan bubarnya suatu yayasan? Suatu
yayasan dapat bubar karena:69
1. Alasan sebagaimana dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar berakhir. Untuk suatu yayasan yang ditetapkan jangka
66
Pasal yang mengatur ketentuan tentang benturan kepentingan adalah Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut, “Setiap anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila: a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang bersangkutan; atau b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.”
67
Pasal 40 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi: “Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang pengawas yang wewenang, tugas dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
68
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut, “Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasannya.”
69
waktu berdirinya, maka yayasan tersebut akan secara otomatis bubar jika
jangka waktu yang sudah ditetapkan berakhir.
2. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai
atau tidak tercapai.
Misalnya, ada suatu yayasan yang didirikan khusus untuk memberantas
buta huruf di desa tertentu, kemudian seluruh desa tersebut sudah bebas
dari buta huruf, dan para pendiri (pembina) sudah merasa bahwa tujuan
yayasan tersebut tercapai dan bermaksud untuk membubarkannya, atau
sebaliknya.
3. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap berdasarkan
alasan:
a. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
b. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
c. Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utanng setelah
pernyataan pailit dicabut.
Dalam hal Yayasan bubar sebagaimana diatur dalam huruf a dan huruf b,
maka Pembina dapat menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan.
Likuidator inilah yang bertugas untuk menghitung seluruh asset Yayasan yang
pertama-tama akan digunakan untuk menyelesaikan kewajiban yayasan dan jika
ada asset yang masih tersisa, dapat diberikan kuasa dari Pembina (pendiri) atau
Pengurus dengan persetujuan pembina untuk melakukan penjualan atas
asset-asset tersebut. Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka penguruslah yang dapat
Pembubaran Yayasan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat
Pembina yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota
Pembina dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota
Pembina yang hadir.
Apabila terjadi
melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam
proses likuidasi yayasan di maksud.
diwajibkan untuk mencantumkan kata-kata “dalam likuidasi” di belakang nama
Yayasan. Contohnya: “Yayasan Amanah Bunda (Dalam Likuidasi). mengapa
demikian? Hal ini tentu saja untuk memberikan status yang lebih jelas atas
yayasan tersebut kepada pihak ketiga.70
Apabila
menunjuk likuidator. Dengan demikian, pihak ketiga yang akan melakukan
perbuatan hukum dengan yayasan tersebut ataupun penjualan atas
asset-asset yayasan, dapat tetap dilakukan melalui perantaraan likuidator yayasan
dimaksud. Dalam hal pembubaran Yayasan karena pailit, berlaku peraturan
perundang-undangan di bidang kepailitan.
Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, pemberhentian
sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tugas dan tanggung jawab,
serta pengawasan terhadap pengurus, berlaku juga bagi likuidator. Likuidator atau
kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan Yayasan yang
bubar atau dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal
penunjukan wajib mengumumkan pembubaran Yayasan dan proses likuidasinya
70
dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia. Likuidator atau kurator dalam
jangka waktu paing lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses
likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian
berbahasa Indonesia.71
sejak tanggal proses likuidasi berakhir wajib melaporkan Pembubaran Yayasan
kepada Dewan Pembina yayasan. Dalam hal laporan mengenai pembubaran
Yayasan dan pengumuman hasil likuidasi sebagaimana dimaksud di atas tidak
dilakukan, maka bubarnya Yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Pengaturan
mengenai kapan mulai berlakunya pembubaran yayasan tersebut adalah sama
dengan pembubaran perseroan terbatas berdasrakan Undang-Undang Perseroan
Terbatas Nomor 40 tahun 2007, yakni yayasan efektif bubar setelah likuidator
selesai melaksanakan proses likuidasi, melaporkan hasil likuidasi tersebut kepada
RUPS atau hakim pengawas yang mengangkatnya. Untuk kemudian mengajukan
mengenai pembubaran tersebut ke sisminbakum. Bubarnya PT efektif sejak
laporan perihal pembubaran PT oleh likuidator tersebut diterima oleh Menteri
Hukum dan HAM RI.72
71
Ibid
72
BAB IV
KEDUDUKAN HUKUM TANAH WAKAF DALAM HAL TERJADINYA PEMBUBARAN YAYASAN
A. Pembubaran yayasan dan akibat hukumnya
Berdasarkan pasal 39, pasal 47 dan pasal 62 Undang-undang Yayasan,
yayasan dapat dinyatakan pailit. Dengan dinyatakannya pailit suatu yayasan,
maka seluruh kekayaan akan tercakup dalam harta pailit (boedel) dengan
pengecualian harta kekayaan yang berasal dari wakaf. Dalam hal terjadi kepailitan
karena kesalahan atau kelalaian dari pengurus dan ternyata apabila harta kekayaan
yayasan tidak cukup untuk menutupi kerugian tersebut, maka sesuai ketentuan
pasal 39 Undang-undang Yayasan, anggota pengurus bertanggung jawab secara
tanggung renteng atas kerugian pihak ketiga (para kreditor yayasan).
Pengaturan mengenai pembubaran yayasan sangat penting, mengingat
yayasan adalah suatu badan hukum. Dengan menyimpulkan ketentuan alinea
pertama, pasal 8 Staatsblad 1870 No. 64 Rechtpersoonlijkheid van Vereenigingen
dimana pada dasarnya keberadan badan hukum bersifat permanent, artinya suatu
badan hukum tidak dapat dibubarkan hanya dengan persetujuan para pendiri dan
anggotanya. Dengan demikian, yayasan sebagai badan hukum hanya dapat
dibubarkan jika telah dipenuhi segala ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan
dalam anggaran dasarnya, yang menjadi sumber eksistensi badan hukum
tersebut.73
73
Yayasan dapat dibubarkan hanya dengan alasan-alasan yang dibatasi oleh
undang-undang. Adapun alasan pembubaran yayasan sebagaimana diatur dalam
pasal 62 Undang-undang yayasan adalah sebagai berikut:
1. Jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir
2. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau
tidak tercapai
3. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
berdasarkan alasan:
a. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
b. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
c. Harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah
dinyatakan pailit
Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang yayasan, maka bagi
yayasan yang pada saat undang-undang yayasan ini berlaku:
1. Telah didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam tambahan
berita Negara Republik Indonesia; atau
2. Telah didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan
kegiatan dari instansi terkait.
Tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu
paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya Undang-undang yayasan
ini, yakni terhitung sejak tanggal 6 Oktober 2004, maka yayasan tersebut wajib
menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang yayasan ini.
Yayasan tersebut wajib memberitahukan kepada menteri paling lambat satu tahun
Apabila yayasan dibubarkan, yayasan tidak dapat melakukan perbuatan
hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Bila
yayasan dibubarkan akibat putusan pengadilan, maka pengadilan dapat menunjuk
likuiditor. Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang
mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar.
Selanjutnya jika hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang
mempunyai maksud dan tujuan yang sama, maka sisa kekayaan tersebut
diserahkan kepada negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud
dan tujuan yayasan tersebut. Dengan dinyatakan pailitnya suatu yayasan, maka
seluruh harta kekayaan yayasan akan tercakup dalam harta pailit (boedel failliet).
B. Status Tanah Wakaf dalam hal Terjadinya Pembubaran Yayasan
Seringkali dipertanyakan siapa sesungguhnya pemilik yayasan. Bila
bertolak dari teori badan hukum tentang kekayaan, maka jelas bahwa kekayaan itu
tidak ada pemiliknya. Pendiri jelas bukan pemiliknya, karena ia telah memisahkan
kekayaannya untuk menjadi milik badan hukum yayasan dan pengurus bukanlah
pemilik karena ia hanya diangkat untuk mengurus organisasi yayasan. Dengan
demikian, tinggallah kemungkinan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.
Bahwa yayasan bukan milik pembina, pengurus, dan atau pengawas
terungkap antara lain dari ketentuan pasal 3 dan pasal 5 Undang-undang Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang melarang pemberian bagi organ-organ
yayasan tersebut, yakni pembina, pengurus, dan atau pengawas.
(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada
Pembina, pengurus dan pengawas
Pasal 5 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan:
Kekayaan yayasan, baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, pengurus, pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.
Undang-undang Yayasan secara implisit memperlihatkan bahwa yayasan
adalah milik masyarakat. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 68
Undang-undang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan yang mempunyai
maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar
(2) Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang
mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan
penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan
tersebut.
Ketentuan di atas memerlihatkan bahwa kekayaan yayasan adalah milik
dari “tujuan yayasan” itu sendiri, yakni masyarakat. Selanjutnya, dapat
dikemukakan bahwa pengadilan Alkmaar dalam putusannya tanggal 27 November
1980 (Nederlandse Jurisprudentie 1981 No. 602) tidak mengabulkan perubahan
tujuan yayasan yang dimaksud untuk memberi tunjangan kepada kerabat sedarah
(ahli waris) dari pendiri yayasan. Dengan demikian, Undang-undang yayasan
menegaskan bahwa pemilik yayasan adalah masyarakat dan bukan para pendiri/
Pengelolaan organisasi nirlaba seperti yayasan, tidaklah sama dengan
mengelola bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi
memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitasnya. Kinerja
finansial (return on investment, profit margin, dll) dapat dilakukan relatif lebih
murah pada perusahaan. Tetapi bagi yayasan, sekalipun kinerja finansial itu
penting, tidaklah mudah untuk menentukannya.74
Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, sumber dana utama yayasan
diperoleh dari sumbangan dari pendiri dan donator lainnya yang tidak
mengharapkan imbalan apapun dari yayasan tersebut. Maka, bila sumber
penerimaan kas yayasan semata-mata dari donasi atau bantuan menjadikan
yayasan tersebut tidak mandiri. Jika suatu saat sumbangan atau bantuan dari para
donator tersebut berkurang atau berhenti, maka kegiatan operasional yayasan
menjadi terancam. Meskipun yayasan diperbolehkan meminjam dana dari bank,
namun injaman tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Ada kemungkinan
yayasan akan mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman (dan bunga),
karena kegiatan pokok yayasan belum tentu memberikan cashflow positif. Kalau
pinjaman dilakukan untuk menopang kegiatan komersialnya, tentu pinjaman
tersebut dapat diperhitungkan dengan prospek atau estimasi pendapatan dari
kegiatan komersial. Bila di kemudian hari keputusan pinjaman uang ini
menyebabkan yayasan menjadi pailit sehingga pengurus yayasan dianggap
melakukan kesalahan, maka konsekuensinya akan ditanggung secara renteng oleh
pengurus yayasan, sesuai dengan ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut:
74
(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalain pengurus dan
kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut, maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
(2) Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan
karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab seara
tanggung renteng atas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3) Anggota pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan
yayasan yang menyebabkan kerugian yayasan, masyarakat atau Negara
berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu lima tahun
terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum
yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi pengurus yayasan manapun.
Kepailitan yayasan dilakukan berdasarkan Undang-undang Kepailitan
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.
Bila yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit atau
harta kekayaan tidak cukup untuk melunasi hutangnya, maka yayasan tersebut
dapat dibubarkan. Ketentuan ini menjadikan beban pengurus yayasan terasa
makin berat.75
Sejalan dengan diundangkannya Undang-undang yayasan, banyak muncul
kritik terhadap undang-undang ini. Secara umum, timbul dua kritik besar terhadap
Undang-undang yayasan dari perspektif gerakan filantropi76
75
Ibid, hal. 136
. Kritik tersebut
adalah:
76
1. Undang-undang yayasan mengedepankan sifat kontrol dan intervensi
Kentalnya sifat mengontrol dan intervensi dari undang-undang yayasan ini
mengemuka dalam beberapa hal, yang dapat dicontohkan di sini yaitu
dalam pengaturan mengenai pendirian yayasan dan struktur internal
organisasi.
Dalam pendirian yayasan, tidak adanya kemudahan dalam hal proses
pendirian sebuah yayasan merupakan salah satu bukti indikator bahwa
undang-undang ini kental semangat kontrolnya. Proses pendirian sebuah
lembaga filantropi seharusnya dibuat semudah mungkin sehingga akan
mengakomodasi secara maksimal keinginan dan harapan dari setiap orang.
Hal inilah yang tidak terlihat dalam undang-undang yayasan.
Permasalahan utama pada proses pendirian yayasan ini adalah adanya
proses pengesahan dari menteri kehakiman dan HAM (pasal 11
Undang-undang Yayasan). Proses pengesahan ini secara intervensif, juga jelas
menghambat lahirnya inisiatif-inisiatif masyarakat dalam pendirian
yayasan-yayasan sehingga aspek-aspek mudah, cepat dan biaya ringan tadi
tidak dapat tercapai.77
Pendirian yayasan seharusnya dapat dibuat dengan mekanisme yang lebih
efektif, yaitu pendaftaran. Proses pendaftaran cukup dengan akta notaris,
bukannya proses pengesahan, seperti dilaksanakan di Belanda dan untuk
organisasi non profit di beberapa Negara civil law lainnya (Bolivia, Brazil,
diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana unt seorang kaya raya yang sering menyumbang kaum miskin.
77
dan Italia)78, contoh konkrit dan paling dekat dengan konteks hukum
Indonesia adalah Wet op Stichtingen (Undang-undang Yayasan) Negara Belanda. Di dalam Wet op Stichtingen Stb. 327 tanggal 31 Mei 1986 masalah pendaftaran dapat dilihat pada pasal 7 Undang-undang Yayasan
yang berbunyi:79
Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Yayasan tersebut dapat dilihat bahwa
menurut Wet op Stishtingen, dalam melahirkan badan hukum yayasan di Belanda tidak diperlukan adanya pengesahan dari menteri kehakiman
melainkan cukup hanya dengan mendaftarkan pada suatu register terpusat
yang disediakan
“Pengurus berkewajiban, agar yayasan beserta nama, depan dan tempat tinggal dari pendiri atau pendiri-pendiri dan nama, nama depan dan tempat tinggal pengurus didaftarkan di dalam daftar pusta umum yang disediakan dan lagi pula pengurus harus mengusahakan agar salinan akta pendirian itu diumumkan pula. Selama pendaftaran dan pengumuman yang pertama belum dilaksanakan, adalah di samping yayasan, para pengurus untuk perbuatannya yang dilakukan atas nama yayasan bertanggung jawab tanggung menanggung”.
80
Dibandingkan dengan yayasan di Belanda yang hanya perlu mendaftarkan
diri di sebuah register terpusat di Kamer Van koopehendel en Fabrieken,
yayasan di Indonesia harus mendapatkan pengesahan dari seorang menteri untuk kemudian diumumkan. Pengaturan yang seperti
ini jelas akan mendorong inisiatif-inisiatif masyarakat dalam melakukan
aktivitas sosial yang pasti juga akan berdampak positif bagi perkembangan
gerakan filantropi.
78
The International Center for Non Profit Law, Handbook on Good Practices for Law Relating to Non Goernmental Organization (Discussion Draft), (World Bank, 1997), hal. 26.
79
Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 117.
80
kehakiman terlebih dahulu untuk diakui sebagai badan hukum yayasan.
Belum lagi jika dilihat dalam Undang-undang Yayasan ada embel-embel
“dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait” dalam proses pendirian
sebuah yayasan.
Pada struktur internal organisasi, undang-undang yayasan mengatur secara
rigid/ kaku dan detail tentang internal organisasi sebuah yayasan.
Undang-undang yayasan telah mengatur mulai dari struktur baku organ-organ
yayasan (Pembina, pengurus, pengawas), pengangkatan, pemberhentian,
penggantian organ yayasan, hingga kuorum rapat. Pengaturan tentang
internal governance dalam undang-undang yayasan ini nampaknya kurang
didasari oleh kesadaran akan keberagaman jenis yayasan yang ada di
Indonesia sehingga melahirkan pengaturan yang berlebihan seperti itu.
Penyeragaman itu sebenarnya tidak perlu. Seharusnya undang-undang
yayasan hanya mengatur hal-hal yang pokok saja mengenai internal
organisasi ini. Dengan demikian, untuk pengaturan detail lebih lanjutnya
diserahkan pada masing-masing organisasi yang akna dituangkan dalam
anggaran dasar organisasi tersebut.
2. Undang-undang Yayasan cenderung menghambat, tidak memberikan
fasilitas/ insentif
Tidak ada insentif bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas
kedermawanannya. Klausul pelarangan untuk memberikan gaji bagi
pengurus yayasan dan sama sekali tidak diaturnya fasilitas pajak bagi
tidak disertai niat untuk mendorong semangat aktivitas filantropi di
Indonesia.
Tidak diperbolehkannya yayasan untuk menggaji pengurusnya banyak
dipandang sebagai pengaturan yang tidak masuk akal. Berbeda dengan
pendirian yayasan, adalah wajar bagi pengurus yang menjalankan roda
kegiatan yayasan untuk mendapatkan honor ataupun gaji tetap.
Sementara jika berbicara tentang kebijakan pajak di sektor filantropi ini,
ada dua mekanisme yang biasa diterapkan dalam hal ini. Yang pertama
ialah pengecualian pajak bagi lembaga (tax exemption) dan yang kedua adalah pengurangan pajak bagi donator (tax deduction).
Dalam hal Undang-undang yayasan menyatakan bahwa pengaturan pajak
tidak dimasukkan di sini dengan alasan akan dimuat dalam undang-undang
pajak, tidaklah dapat diterima. Adalah benar bahwa pengaturan detail
mengenai mekanisme perpajakannya akan diatur dalam undang-undang
pajak, namun prinsip-prinsip fasilitas seperti tax exemption dan tax deduction sebenarnya bisa dicantumkan dalam Undang-undang yayasan.81
81
Eryanto Nugroho, Op. cit, hal. 186.
Dalam hal yayasan tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (1) Undang-undang
Yayasan berikut penjelasannya. Yayasan tersebut dapat dibubarkan
berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak
yang berkepentingan, yakni pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
Kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf oleh Undang-undang Yayasan
secara tegas ditentukan dalam pasal 26 ayat (3) bahwa kekayaan tersebut diatur
berdasarkan ketentuan perwakafan. Ini sekaligus harus dijelaskan bahwa kekayaan
yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan
perwakafan diberlakukan.82 Mengapa demikian? Karena harta wakaf merupakan
benda di luar perdagangan (res extra commercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karna itu tidak dapat disita dan dieksekusi.83
82
Ignaius Ridwan Widhyadharma, Badan Hukum Yayasan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001), (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001), hal. 38.
83
Fred B. G. Tumbuan, Kedudukan Hukum Yayasan dan Tugas Serta Tanggung Jawab Organ Yayasan, Lokakarya Sosialisasi Undang-undang Yayasan, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Perseroan dan Kenotariatan (PPHN), Jakarta, 14 Agustus 2001, hal. 11.
Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang
mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dalam pasal 68 ayat (1)
undang-undang yayasan, maka sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada negara
dan tujuan yayasan tersebut (pasal 68 ayat (2) Undang-undang Yayasan).
Dengan demikian, yayasan yang bubar dan masih memiliki sisa kekayaan,
sisa kekayaannya tidak kembali kepada pendiri atau donator atau pembina atau
pengurus atau pengawas, melainkan diserahkan kepada yayasan lain yang
mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar atau
setidaknya kepada negara dengan penggunaan sesuai dengan maksud dan tujuan
yayasan tersebut. Jelas bahwa pendiri atau donator tidak dapat menerima kembali
apa yang telah dipisahkan dan diserahkan dari sebagian hartanya kepada yayasan,
dan organ yayasan tidak menerima sedikitpun bagian sisa dari kekayaan yayasan.
Artinya kekayaan yayasan murni ditujukan untuk kegiatan yayasan yang bersifat
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka apabila suatu yayasan
berdiri di atas tanah yang berasal dari wakaf, maka tanah wakaf tersebut
merupakan bagian dari harta kekayaan yayasan. Oleh karena itu, apabila terjadi
pembubaran yayasan, maka tanah wakaf tempat yayasan berdiri tidak akan beralih
kepada pihak manapun, termasuk dalam hal ini adalah kepada pendiri atau
donator atau pembina atau pengurus atau pengawas, bahkan kepada waqif (yang
mewakafkan), tetapi tanah wakaf akan diserahkan kepada yayasan lain yang
memiliki maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang telah dibubarkan.
Hal ini mengingat agar peruntukan tanah wakaf yang tidak berubah, yakni sesuai
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Pengaturan wakaf dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
2. Sebelumnya adanya undang-undang yang mengatur tentang yayasan,
kedudukan yayasan sebagai badan hukum (rechtspersoon) sudah diakui, dan diberlakukan sebagai legal entity, namun status yayasan sebagai badan hukum dipandang masih lemah karena tunduk pada aturan-aturan yang
bersumber dari kebiasaan atau yurisprudensi. Yayasan diatur dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan dan telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004. Undang-undang Nomor
16 Tahun 2001 menyatakan bahwa yayasan merupakan badan hukum yang
terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak
mempunyai anggota.
3. Kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf oleh Undang-undang Yayasan
secara tegas ditentukan bahwa kekayaan tersebut diatur berdasarkan
ketentuan perwakafan, maka kekayaan yang berasal dari wakaf tidak
karena harta wakaf merupakan benda di luar perdagangan (res extra
commercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karena
itu tidak dapat disita dan dieksekusi.
B. Saran
1. Hendaknya dalam undang-undang yayasan ditegaskan kembali mengenai
pemisahan kekayaan dari pendiri kepada yayasan dilaksanakan dengan
penyerahan hak milik kepada yayasan, sehingga menegaskan terjadinya
hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan.
2. Perlu adanya penyesuaian undang-undang yayasan dengan memberikan
pengaturan yang tegas untuk melindungi kekayaan yayasan dengan
memberikan pembatasan mengenai jenis-jenis kekayaan yayasan yang
dapat dimiliki oleh suatu yayasan. Karena ketidakadaan pembatasan jenis
kekayaan yang dapat diperkenankan untuk dimiliki yayasan, berarti tidak
dapat secara tuntas menyelesaikan permasalahan dalam hal melindungi
nilai kekayaan yayasan yang pada hakikatnya bersifat sosial tersebut.
3. Perlu ditentukan dengan jelas kedudukan tanah wakaf yang di atasnya
telah didirikan suatu bangunan, kemudian yayasan dibubarkan atau
dinyatakan pailit. Bagaimana dengan status tanah wakaf tersebut?
BAB II
WAKAF DAN PENGATURANNYA DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF
A. Sejarah Perkembangan Wakaf
Wakaf memiliki akar keislaman yang kuat. Kitab Suci Al Quran meskipun
tidak menyebutkan secara eksplisit istilah wakaf, jelas mengajarkan pentingnya
menyumbang untuk berbagai tujuan baik.26 Hadist Nabi dan praktek para sahabat
menunjukkan bahwa wakaf sesungguhnya bagian dari ajaran Islam.27
Wakaf dalam bentuknya yang masih sederhana telah dipraktekkan oleh
para sahabat berdasarkan petunjuk Nabi.
Namun
demikian, dalam perkembangannya pertumbuhan wakaf yang pesat tidak terlepas
dari dinamika sosial, ekonomi dan budaya yang mengiringi perkembangan
masyarakat Islam dari masa ke masa.
28
26
Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta : Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006, hal. 29
27
Salah satu Hadist yang dikatkan dengan wakaf adalah hadist shahih muslim yang berbunyi : Rasulullah SAW bersabda “Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amaml baiknya kecuali tiga perkara: sedekah yang mengalir (sadaqah jariyah), ilmu yang bermanfaat serta anak sholeh yang mendoakannya.
28
Riwayat Jabir, menyebutkan bahwa semua sahabat Nabi yang mampu telah mempraktekkan wakaf. Lihat Ibn Qudama, al-Mughni, (Beirut ; tanpa penerbit, 1993), hal. 598-599
Pada masa awal Islam, yaitu sekitar
abad ke-7 dan 8 Masehi, kegiatan wakaf telah cukup terlihat nyata. Perkembangan
wakaf pada periode ini terkait erat dengan dinamika sosial ekonomi dan
keagamaan masyarakat. selama periode pembentukannya masyarakat Islam awal
terlibat dalam kegiatan ekspansi ke luar wilayah Hijaz melalui kekuatan militer.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan pada masa itu wakaf dapat berupa peralatan
militer seperti kuda, senjata dan lain sebagainya termasuk untuk masjid dan
dan keagamaan, wakaf pada masa awal telah juga dimanfaatkan untuk menyantuni
fakir miskin dan untuk menjamin keberlangsungan hidup karib kerabat dan
keturunan wakif.29
Salah satu riwayat yang menjadi dasar praktek wakaf pada masa awal
Islam adalah sahabat Umar ibn al Khattab menanyakan kepada Nabi tentang
niatnya untuk bersedekah dengan lahan yang dimiliknya, selanjutnya Nabi
bersabda in shi’ta habbasta aslaha wa tasaddaqta biha (Jika engkau bersedia, pertahankan tanahnya dan sedekahkan hasilnya).30
Ungkapan Nabi tersebut dan keseluruhan hadist Ibn Umar ini pada
gilirannya menjadi landasan doktrinal wakaf. Hadist ini sedikitnya memberikan
lima prinsip umum yang membentuk kerangka konseptual dan praktis wakaf,
yaitu Pertama, prinsip tersebut mencakup kedudukan wakaf sebagai sedekah sunnah yang berbeda dengan Zakat. Kedua, kelanggengan aset wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan atau disumbangkan. Ketiga, keniscayaan aset wakaf untuk dikelola secara produktif. Keempat, keharusan menyedekahkan hasil wakaf untuk berbagai tujuan baik. Kelima, diperbolehkannya pengelola wakaf mendapat bagian yang wajar dari hasil wakaf.
Mengikuti petunjuk dan saran
Nabi tersebut, Sayyidina Umar mempraktekkan wakaf.
31
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan
perkembangan penyebaran Islam. Pada masa-masa awal penyiaran Islam,
kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dakwah membuat
29
R. Peter, “Wakf in Classical Islamic Law”, dalam P.J. Bearman, Th Bianquis, dkk (ed),
The Encyclopaeadia of Islam, (Leiden : Brill, 2002), New Edition, Volume XI, hal. 59-60
30
Muhammad ibn Ali bin Muhammad al-Shaukani, Nayl al-Awtar (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halan, tanpa tahun), Vol. III, hal. 127
31
pemberian tanah wakaf untuk mendirikan masjid menjadi tradisi yang lazim dan
meluas di kantong-kantong Islam Nusantara.32
Praktek wakaf ini diasumsikan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan
sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di Nusantara sejak akhir
abad ke-12 Masehi. Di Jawa Timur tradisi yang menyerupai praktek wakaf telah
ada sejak abad ke-15 Masehi dan secara nyata disebut wakaf dengan
ditemukannya bukti-bukti historis baru ada pada awal abad ke-16 Masehi.33
B. Dasar Hukum Wakaf
Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke
waktu mengalami kemajuan, tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan
tetapi muncul juga wakaf untuk kegiatan pendidikan seperti pesantren dan
madrasah termasuk untuk kepentingan sosial seperti tempat pemakaman bahkan
untuk tempat usaha yang hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial
keagamaan.
Ada beberapa dalil atau ketentuan yang menjadi dasar daripada ibadah
wakaf menurut ajaran Islam, walaupun di dalam Al-Qur'an secara tegas dan
terperinci tidak mengatur persoalan wakaf akan tetapi ada beberapa ayat Al
Qur'an yang memerintahkan agar semua umat Islam berbuat kebaikan, sebab
amalan-amalan wakafpun termasuk salah satu macam perbuatan yang baik dan
terpuji. Dalil-dalil tersebut yaitu:
1. Al-Qur'an surat Al-Imran ayat 92 yang artinya: Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
32
Ibid., hal. 71
33
sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
2. Al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 77 yang artinya: Wahai orang-orang yang
beriman, rukuk dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta
berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia.
3. Al-Qur'an, surat An-Nahl ayat 97, yang artinya: Barang siapa yang berbuat
kebaikan, laki-laki atau perempuan dan is beriman, niscaya akan Aku beri
pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan.
4. Al-Qur'an surat AI-Imron ayat 92, yang artinya :
Engkau tidak akan sampai pada kebajikan bila tidak melepaskan sebagian
daripada yang engkau sukai.34
5. Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 267, yang artinya: Belanjakanlah
sebagian harta yang kamu peroleh dengan baik.
6. Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairah yang terjemahannya: Apabila seseorang meninggal dunia semua
pahala amalnya terhenti, kecuali tiga macam amalan yaitu: shodaqoh
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang senantiasa
mendoakan baik untuk orang tuanya.35
7. Hadist Riwayat Bukhari Muslim, yang menceritakan bahwa pada suatu
hari sahabat Umar datang pada Nabi Muhammad SAW untuk minta
nasehat tentang tanah yang diperolehnya di Ghaibar (daerah yang amat Para ulama menafsirkan iIstilah
shodaqoh jariyah disini dengan wakaf.
34
Adijani AI-Alabij, Perwakafan Tanah dl Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 25
35
subur di Madinah), lalu is berkata: Ya Rasulullah, apakah yang engkau
perintahkan kepadaku rnengenai tanah itu? Lalu Rasulullah berkata: Kalau
engkau mau, dapat engkau tahan asalnya (pokoknya) dan engkau
bersedekah dengan dia, maka bersedekahlah Umar dengan tanah itu,
dengan syarat pokoknya tiada dijual, tiada dihibahkan dan tiada pula
diwariskan.36
Menurut jumhur ulama, keumuman kedua ayat ini menunjukkan di antara
cara mendapatkan kebaikan itu adalah dengan menginfaqkan sebagian harta yang
dimiliki seseorang di antaranya melalui sarana Wakaf. Di samping itu sabda
Rasulullah SAW tentang kisah Umar bin Khattab di atas, jumhur ulama
mengatakan bahwa Wakaf itu hukumnya sunah, tetapi ulama-ulama Mahzab
Hanafi mengatakan bahwa Wakaf itu hukumnya mubah (boleh), karena Wakaf
orang-oranq kafir pun hukumnya sah.
Namun demikian, mereka juga mengatakan bahwa suatu ketika hukum
Wakaf bisa menjadi wajib, apabila Wakaf itu merupakan sebuah obyek dari nazar
seseorang. Mengenai status pemilikan harta yang telah diwakafkan, apabila akad
Wakaf telah memenuhi rukun dan syaratnya, menurut Imam Abu Hanifah tetap
menjadi milik Wakif dan Wakif boleh saja bertindak hukum terhadap harta
tersebut. Ulama Mahzab Syafi’i dan Hambali, bahkan juga Imam Abu Yusuf dan
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani apabila Wakaf telah memenuhi rukun
dan syaratnya, maka pemilikan harta menjadi lepas dari tangan Wakif dan
berubah status menjadi milik Allah SWT yang dipergunakan untuk kepentingan
umum.
36
Ulama fiqih membagi Wakaf kepada dua bentuk: Pertama, Wakaf khairi, yaitu Wakaf yang sejak semula diperuntukkan bagi kemaslahatan atau
kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan
tanah untuk membangun masjid, sekolah, dan rumah sakit. Kedua, Wakaf ahli
atau zurri, yaitu Wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan dan
kepentingan umum, karena apabila penerima Wakaf telah wafat, harta Wakaf itu
tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima Wakaf. Wakaf tidak boleh di
pindah tangan atau dirubah, tetapi kalau itu dikehendaki oleh masyarakat tanah
tersebut harus diganti sesuai dengan fungsinya dan manfaatnya juga harus lebih
daripada sebelumnya.
Selanjutnya pada Pasal 28-31 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf dan Pasal 22-27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
secara eksplisit menyebut tentang bolehnya pelaksanaan wakaf uang.
Selain hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa
tentang Wakaf Uang pada tanggal 11 Mei 2002, yang menyatakan bahwa:
1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk
tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat berharga,
3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh);
4. wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan dan/atau diwariskan. Dengan demikian, wakaf uang hukumnya
boleh baik menurut undangundang maupun agama.
C. Macam-macam Wakaf
Wakaf yang dikenal dalam syari'at Islam, dilihat dari penggunaan dan
pemanfaatan benda wakaf terbagi dua macam yaitu:
1. Wakaf Ahli (Wakaf Dzurri), yaitu: Wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga/famili,
lingkungan kerabat sendiri.
2. Wakaf Khairi, yaitu: Wakaf yang tujuan peruntukkannya sejak semula
ditujukan untuk kepentingan orang umum (orang banyak), dalam
penggunaan yang mubah (tidak dilarang Tuhan) serta dimaksudkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah SWT. Seperti Masjid, Mushola, Madrasah,
Pondok Pesantren, Perguruan Tinggi Agama, Kuburan, dan, lain-lain.
Wakaf umum inilah yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat serta sejalan dengan perintah agama yang secara tegas
menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan umat Islam untuk
kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilal pahala jariyah
yang tinggi. Artinya meskipun si Wakif telah meninggal dunia, la akan
tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang diwakafkan tersebut
tetap dipergunakan untuk kepentingan umum.
Sedangkan berkaitan dengan klasifikasi, wakaf dibagi menjadi 3 golongan:
2. Untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin;
3. Untuk keperluar yang miskin semata-mata. Hal yang sama dikemukakan
juga oleh Muhammad Yousof Farooki, menyebutkan klasifikasi dari para
fuqaha dalam tiga kategori :
a. Waqf, in favour of the poor alone;
b. Waqf, in favour of the rich and then for the infigent; and
c. Waqf, in favour of the rich and the poor alike. Namun sayangnya Farooki tidak membuat uraian sedikitpun mengenai ketiga kategori
wakaf tersebut.
Dalam menguraikan tiga macam wakaf tersebut Fyzee menyatakan bahwa
wakaf golongan pertama dapatlah disamakan dengan apa yang disebut dalam
hukum modern sobagai "public trust" yang bersifat amal atau tujuan kebaikan umum. Misalnya, sekolah atau rumah sakit yang dibuka untuk semua golongan.
Wakaf golongan kedua meliputi wakaf keluarga yang dimaksudkan untuk
kepentingan keluarga yang mendirikan wakaf. Sedangkan wujud terakhir adalah
untuk kebaikan orang miskin. Golongan ketiga meliputi lembaga-lembaga yang
membagi-bagikan bahan makanan, bahan pakaian, atau bantuan obat-obatan bagi
mereka yang tidak mampu semata-mata.
Klasifikasi ini kelihatannya memang masih belum begitu jelas namun
uraian tentang hal ini kelihatannya sangat terbatas sekali. Kebanyakan penulis
membedakan wakaf dalam ruang lingkupnya dimana Muhammad Yousof Farooki
rnembedakannya atas:
1. Al Waqf al-ahli, family waqf; and
Para penulis mempergunakan berbagai istilah tentang hal ini. Ahmad
Azhar Basyir, menyebutnya wakaf ahli (keluarga atau khusus) dan wakaf khairi
(umum), Muhammad Daud Ali menyebutnya wakaf khusus atau wakaf keluarga
atau wakaf ahli dan wakaf umum atau wakaf khairi, sedangkan Imam Suhadi
menggunakan istilah wakaf khusus dan wakaf umum.
D. Pihak-pihak yang Terkait dalam Wakaf 1. Waqif
Wakif adalah Pihak Yang Mewakafkan harta benda miliknya
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 2) Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 7, wakif
meliputi :
a. Perorangan;
Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
persyaratan:37
1) Dewasa
2) Berakal sehat
3) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan
4) Pemilik sah harta benda wakaf
b. Organisasi
37
Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan.38
c. Badan Hukum
Wakif badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan.39
2. Mauquf ‘alaihi
Penerima wakaf adalah orang yang menerima faedah atau manfaat dari
harta benda yang diwakafkan. Ia bisa berupa pihak tertentu atau pihak umum yang
tidak tertentu seperti orang-orang miskin, para ulama atau masjid. Wakaf al-ahli
(wakaf keluarga) biasanya diberikan kepada pihak tertentu seperti anak-anak
wakif, atau saudara-saudara wakif. Sedangkan wakaf al-khairi (kebajikan) tidak mesti ditetapkan penerimanya. Imam Syafi‘i berpendapat bahawa wakaf kebajikan
tidak memerlukan penerima yang tertentu. Begitu juga imam Hanafi berpendapat
bahawa penerima wakaf kebajikan tidak perlu ditentukan. Sehingga apabila
seseorang mewakafkan rumah tanpa menyebut penerima wakaf, maka manfaat
dari rumah yang diwakafkan tersebut diberikan kepada fakir miskin secara
umum.40
38
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 2
39
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 3
40
Undang-undang No. 41 tahun 2004 menyatakan bahwa penerima wakaf
berkaitan dengan peruntukan wakaf. Dimana pada pasal 22 disebutkan bahwa;
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukkan bagi: Pertama, sarana dan kegiatan ibadah; kedua, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; ketiga, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; keempat, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan kelima, kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan apabila wakif
tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, maka Nazhir dapat menetapkan
peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi
wakaf.41
3. Nazhir
Nazhir adalah pihak nyang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk
di kelola dan di kembangkan sesuai dengan peruntukannya.42
a. Perseorangan
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 9, Nazhir meliputi:
Perseorangan hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi
persyaratan:43
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam
41
Pasal 23 ayat 2 UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf.
42
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2004 Pasal 1 ayat 4
43
c. Dewasa
d. Amanah
e. Mampu Secara jasmani dan rohani
f. Tidak Terhalang Melakukan perbuatan Hukum
b. Organisasi
Organisasi manya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi
persyaratan:44
1) Pengurus yang bersangkutan memenuhi persyatan nazhir
perseorangan dan
2) Organisasi yang bergerak dibidang sosial, kemasyarakan dan/atau
keagamaan Islam
c. Badan Hukum
Badan Hukum hanhya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi
persyaratan:45
1) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan
2) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan Peraturan
Perundang- Undangan yang berlaku
3) Badan Hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam
Tugas seorang Nadzir:
a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
b. Mengelola dan mengembangkan harta benda sesuai dengan tujuan,
44
Ibid, Pasal 10 ayat 2
45
fungsi dan peruntukannya
c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
Nazhir yang telah mengurus dan mengawasi harta benda wakaf maka
nazhir yang bersangkutan boleh, dan bahkan berhak untuk mendapatjkan bagian
dan menerima penghasilan yang pantas dari hasil tanah wakaf sebagai
imbalannya. Pemberian imbalan yang dimaksud jumlahnya ditetapkan oleh
Kantor Urusan Agama Kabupaten/ Kotamadya setempat. Ketentuan yang
dimaksyud tidak boleh melebihi dari jumlah 10 persen (10%) dari hasil bersih
tanah wakaf.
Nazhir dianggap berhenti dari jabatan apabila:46
a. 1 Meninggal dunia
b. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan prundangan
yang berlaku.
c. Atas permintaan sendiri
d. Tidak melaksanakan tugasnya dan melanggar ketentuan.
E. Rukun dan Syarat Wakaf
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun Wakaf itu hanya satu
yakni akad yang berupa ijab (pernyataan mewakafkan harta dari Wakif).
Sedangkan kabul (pernyataan menerima Wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama
Mahzab Hanafi, karena menurut mereka akad Wakif tidak, bersifat mengikat.
Artinya, apabila seseorang mengatakan "saya wakafkan harta saya pada anda",
46
maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi Wakaf berhak atas
manfaat harta itu.
Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun Wakaf ada empat, yaitu: orang
yang berwakaf, harta yang diwakafkan, penerima Wakaf, dan akad Wakaf. Untuk
orang yang berwakaf disyaratkan:47
1. orang merdeka;
2. harta itu milik sempurna dari orang yang berwakaf;
3. balig dan berakal; dan
4. cerdas.
Apabila harta itu terkait utang, ulama Mahzab lianafi merinci hukumnya
sebagai berikut:48
1. jika utang itu tidak mencakup seluruh harta, maka mewakafkan sisa harta
yang tidak terkait utang hukumnya sah; dan
2. apabila utang itu mencakup seluruh harta Wakaf, maka akad wakafnya
dianggap mau (ditangguhkan) sampai ada izin dari para-para piutang, jika
mereka izinkan, maka wakafnya sah dan apabila tidak mereka izinkan,
maka wakafnya batal.
Terhadap syarat-syarat harta yang diwakafkan terdapat perbedaan ulama.
Ulama Mahzab Hanafi mensyaratkan harta yang diwakafkan itu:49
1. Harus bernilai harta menurut syarak dan merupakan benda tidak bergerak.
Oleh sebab itu, minuman keras tidak bisa diwakafkan, karena minuman
dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam pandangan syarak;
2. tertentu dan jelas;
47
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichfiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1507.
48
Ibid, hal. 1506
49