• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi Teknik Pengkodean Regular Low Density Parity Check Code Pada Sistem MC-CDMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Simulasi Teknik Pengkodean Regular Low Density Parity Check Code Pada Sistem MC-CDMA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

SIMULASI TEKNIK PENGKODEAN REGULAR LOW DENSITY PARITY CHECK

CODE PADA SISTEM MC-CDMA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan untuk memenuhi syarat sebagai sarjana sains

TONNY JULIANDY

040801025

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERSETUJUAN

JUDUL : SIMULASI TEKNIK PENGKODEAN REGULAR LOW

DENSITY PARITY CHECK CODE PADA SISTEM

MC-CDMA

Kategori : SKRIPSI

Nama : TONNY JULIANDY

Nomor Induk Mahasiswa : 040801025

Program studi : SARJANA (SI) FISIKA

Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA

Diluluskan di Medan, Maret 2009

Diketahui/disetujui oleh

Ketua departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing

(Dr. Marhaposan Situmorang) (Dr. Marhaposan Situmorang)

(3)

PERNYATAAN

SIMULASI TEKNIK PENGKODEAN REGULAR LOW DENSITY PARITY CHECK CODE PADA SISTEM MC-CDMA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan – ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya

Medan, Maret 2009

(4)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Sang pencipta semesta alam, pemegang kendali langit dan bumi, atas nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada hamba-Nya yang dhaif ini sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan . Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan manusia yang paling sempurna, penutup para nabi, Rasulullah Muhammad SAW . Sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama mengerjakan tugas akhir ini, terutama ditujukan kepada : 1. Mama dan Papa di Medan Hj. Ramilis dan H.Rajiman,S.E, yang telah menjadikan Tonny

sebagai manusia yang paling beruntung di dunia. Terima kasih atas kasih sayang , doa dan cinta yang diberikan sejak Tonny lahir hingga sekarang, meskipun ucapan terima kasih tidak sebanding dengan segala pengorbanan yang Mama dan Papa berikan. Semoga apa yang Tonny raih saat ini bisa memberikan kebanggaan tersendiri bagi Mama dan Papa. 2. Thomas,Taufik dan Fitri adik-adik saya yang paling saya sayangi, terima kasih atas kasih

sayang, kesabaran, serta pengertian yang telah diberikan. Meskipun Tonny tidak bisa memberikan kasih sayang secara optimal. Semoga kalian juga bisa membanggakan Mama dan Papa.

3. Bapak DR.Marhaposan Situmorang yang telah memberikan banyak sekali masukan, bimbingan, ilmu kepada saya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik, untuk semua yang telah Bapak berikan untuk saya.

4. Seluruh pengurus UKMI Al-Falak. Terima kasih banyak atas kesabaran , ukhuwah , perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada Tonny, terima kasih sudah menjadi keluarga terbaik selama di Kampus.

5. Abdullah, Novi,Nadra,Reza,Gilang (adik-adik di Laboratorium Instrumentasi Digital). Terima kasih sudah menerima Tonny sebagai Koordinator sekaligus keluarga kalian. 6. Seluruh Dosen dan staf Departemen Fisika Universitas Sumatera Utara.

7. Uun, terima kasih banyak atas diskusi, bimbingan, masukan, dan bantuannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Maaf kan Tonny kalau sering merepotkan.

8. Saudara-saudariku di KAMMI Komisariat USU.

(5)

Abstrak

Sebagai efek dari perkembangan jaman, teknologi telekomunikasi khususnya dalam sistem komunikasi wireless, dituntut untuk dapat menyediakan layanan data yang berkecepatan tinggi (high data rate) dengan Quality of Service (QoS) yang reliable dengan kata lain memiliki Bit Error Rate (BER) yang kecil dengan daya sekecil mungkin). Masalah yang timbul dalam komunikasi bergerak adalah adanya multipath fading, yang mengakibatkan adanya kesalahan data yang diterima pada Receiver menjadi meningkat.Sistem Multi

Carrier-Code Division Multiple Access (MC-CDMA) merupakan teknik penggabungan teknik akses

jamak varian dengan Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). Penggunaan MC-CDMA membuat frequency selective fading akan berubah menjadi flat fading sehingga proses untuk mengatasi akibat dari pengaruh fading menjadi lebih mudah. Selain kemampuan mengatasi multipath fading, juga dapat mengefisienkan penggunaan bandwidth. Teknik pengkodean kanal dibutuhkan untuk mengatasi random error yang diakibatkan multipath

fading. Tugas akhir ini mensimulasikan performansi teknik pengkodean Regular Low Density

Parity Check (LDPC) pada sistem MC-CDMA dengan skema termodifikasi menggunakan

(6)

SIMULATION OF REGULAR LOW DENSITY PARITY CHECK CODE CODING

TECHNIQUES IN MC-CDMA SYSTEM

Abstract

As an effect of the globalization era, telecommunication technology, especially in wireless communication system is forced to prepare high data rate with reliable Quality of Service (QoS) with Low Bit Error Rate (BER) and very small power). The problem in mobile communication is multipath fading, which affected the rising of error data receive on receiver side.Multi Carrier-Code Division Multiple Access (MC-CDMA) system is a combine technique between multiple access techniques with Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). The using of MC-CDMA will make frequency selective fading change into flat fading, so the process for overcoming the fading effect is easier. Beside the ability to overcome multipath fading, it also makes the use of bandwidth more efficient. The channel coding technique is needed to overcome random error which resulted by multipath fading. This final project simulates the Regular coding technique’s performance Regular Low Density Parity Check (LDPC) on MC-CDMA system by modified scheme using MATLAB 7.0.4 software. The simulation result is analyzed about the compare number of bit ‘1’ effect, the effect of variant size of block code, number of decoding iteration and the effect of user’s speed.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Singkatan xii

Daftar Simbol xiii

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Tujuan 2

I.3 Batasan Masalah 2

I.4 Manfaat Penelitian 3

I.5 Tempat Penelitian 3

I.6 Sistematika Penulisan 4

BAB II DASAR TEORI

2.1 Low Density Parity Check (LDPC) Codes 5

2.1.1 Regular LDPC 6

2.1.2 Metode Encoding Lower Triangular Shape Based 7 2.1.2.1 Efficient Encoder Based On Approximation 7

2.1.3 LDPC Decoding 12

2.1.3.1 Log Domain Sum Product Algorithm 12

2.2 Interleaver 15

2.3 Mapper 16

2.4 CDMA 17

2.5 Multicarrier CDMA 18

(8)

2.5.2 Kode Penebar 21 2.6 Guard Time atau Cyclic Prefix 22

2.7 Model Kanal Transmisi 23

2.7.1 Kanal Additive White Gaussian Noise (AWGN) 23 2.7.2 Multipath Rayleigh Fading 24

BAB III MODEL SISTEM LDPC CODED MC-CDMA

3.1 Model Sistem Pengirim LDPC Code MC-CDMA 29

3.1.1 Sumber Data 29

3.1.2 LDPC Encoder 29

3.1.2.1 Regular LDPC Encoder 29

3.1.3 Interleaver 31

3.1.4 Mapper 31

3.1.5 Subsistem Pengirim MC-CDMA 31 3.2 Model Sistem Penerima LDPC Code MC-CDMA 33 3.2.1 Subsistem Penerima MC-CDMA 33

3.2.2 Demapper 34

3.2.3 Deinterleaver 34

3.2.4 LDPC Decoder 35

3.2.5 Data Terima 37

3.3 Pemodelan Kanal 38

3.3.1 Kanal AWGN 37

3.3.2 Kanal Multipath Rayleigh Fading 38

3.3.3 Frekuensi doppler 40

BAB IV ANALISIS HASIL SIMULASI

4.1 Analisis pengaruh jumlah bit ‘1’ pada matriks parity check 42 4.2 Analisis ukuran block (code length) matriks parity check 44 4.3 Analisis pengaruh jumlah iterasi decoding 46 4.4 Analisis pengaruh kecepatan user 48 4.5 Analisis perbandingan Regular LDPC dan Uncoded

pada sistem MC-CDMA

(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 52

5.2 Saran 53

Daftar Pustaka 54

Lampiran:

Lampiran A Validasi LDPC dan Validasi Kanal Lampiran B Vehicular Channel Model

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 : Perhitungan koefisien 10

Tabel 2.2 : Perhitungan koefisien 10

Tabel 3.1 : Parameter kanal IMT-2000 Vehicular Channel 38 Tabel 4.1 : Parameter simulasi pengujian LDPCC MC-CDMA 41 Tabel 4.2 : Coding gain pada tiap variasi jumlah bit ‘1’

untuk BER yang 10-4

43

Tabel 4.3 : Coding gain pada tiap variasi code length untuk BER 10-3

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 (a) : Matriks parity check (2,4) Regular LDPC n=8 5 Gambar 2.1 (b) : Tanner graph (2,4) Regular LDPC 5 Gambar 2.2 : Model matriks parity check untuk efisiensi

encoding oleh Thomas J. Richardson dan Rüdiger L.

Urbanke 2001

8

Gambar 2.3 (a) : Faktor graph matriks parity check 13 Gambar 2.3 (b) : Notasi pada algoritma sum product 13 Gambar 2.4 : Block Interleaver dan Deinterleaver 16

Gambar 2.5 : Konstelasi Sinyal QPSK 17

Gambar 2.6 : Klasifikasi CDMA 18

Gambar 2.7 (a) : Skema MC-CDMA 19

Gambar 2.7 (b) : Skema MC-DS-CDMA 19

Gambar 2.8 : Skema MC-CDMA termodifikasi 19 Gambar 2.9 : Proses OFDM (Orthogonal Frequency Division

Multiplexing)

20

Gambar 2.10 (a) : Spektrum Multi Carrier Tidak Overlap 21 Gambar 2.10 (b) : Spektrum Multi Carrier Overlap Ortogonal 21 Gambar 2.11 : Guard Interval dengan Cyclic Prefix 22

Gambar 2.12 : Model Kanal AWGN 23

(12)

Gambar 4.1 : Grafik BER vs Eb/No Regular dan Irregular LDPC pada sistem MC-CDMA dengan variasi jumlah bit ‘1’ pada matriks H

43

Gambar 4.2 : Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC pada sistem MC-CDMA dengan variasi ukuran block (code length)

45

Gambar 4.3 : Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC untuk variasi jumlah iterasi decoding

47

Gambar 4.4 : Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC untuk variasi kecepatan user

49

Gambar 4.5 : Grafik BER vs SNR Regular LDPC dan uncoded MCCDMA

(13)

DAFTAR SINGKATAN

AWGN : Additive White Gaussian Noise BER : Bit Error Rate

BPA : Belief Propagation Algorithm BPSK : Binary Phase Shift Keying DFT : Discrete Fourier Transform FDM : Frequency Division Multiplexing IDFT : Inverse Discrete Fourier Transform IFFT : Inverse Fast Fourier Transform ISI : Inter Symbol Interference LDPCC : Low Density Parity Check Code LLRs : Log-likelihood ratios

MC-CDMA : Multi Carrier Code Division Multiple Access

MC-DS-CDMA : Multi Carrier Direct Sequence Code Division Multiple Access MPA : Message Passing Algorithm

MRC : Maximum Ratio Combining

OFDM : Orthogonal Frequency Division Multiplexing PDF : Probability Density Function

QoS : Quality of Service

QPSK : Quadrature Phase Shift Keying RA : Repeat Accumulate

(14)

DAFTAR SIMBOL

A : Bagian matriks parity check dengan ukuran (m-g) x (n-m) : variable acak Gaussian dengan mean nol dan variansi B : Bagian matriks parity check dengan ukuran (m-g) x g

: Bandwidth koheren : Doppler spread Bs : Bandwidth sistem

C : Bagian matriks parity check dengan ukuran g x (n-m) c : codeword (keluaran encoding)

c0,c1,c2.. : Variable nodes

D : Bagian matriks parity check dengan ukuran g x g

dc : menyatakan bobot bit ‘1’ pada baris matriks H

dv : menyatakan bobot bit ‘1’ pada kolom matriks H

E : Bagian matriks parity check dengan ukuran g x (m-g) f0,f1,f2 : Check nodes

: Frekuensi kerja sistem

: Frekuensi pergeseran (efek Doppler)

g : Faktor gap yang ada pada matriks parity check H : Matriks parity check

H0 : Matriks Hadamard

I : Ukuran baris blok interleaver J : Ukuran kolom blok interleaver k : Panjang data input encoder

L(m) : kumpulan bit-bit yang merupakan persamaan ke-m parity check

M(l) : kumpulan check node yang terhubung dengan bit node l m : Lebar matriks parity check

N0 : Osilator frekuensi rendah

n : Panjang kode / panjang matriks parity check P : jumlah lengan MC-CDMA

p1,p2 : representasi bit-bit parity dengan panjang p1=g dan p2=m-g

Pe,QPSK : Peluang error QPSK

p(x) : probabilitas kemunculan derau

: peluang informasi bit node l yang dikirim ke check node m : peluang informasi yang mengumpulkan bit ke-l menjadi i R : coderate LDPC

SPR : Jumlah subcarrier setiap lengan MC-CDMA

T : Bagian matriks parity check dengan ukuran (m-g) x (m-g) Tc : Time koheren

Ts : Periode simbol

(15)

v : Kecepatan user

: fraction dari variable node : fraction dari check node

: Konstanta dari hasil yang harus bersifat non singular : standar deviasi

: Mean excess delay : rms delay spread : panjang gelombang

: sudut antara arah propagasi sinyal datang dengan arah pergerakan antena (X) : distribusi bobot kolom pada matriks H

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Teknik pengkodean Low-Density Parity-Check Code (LDPC) Code pertama kali diperkenalkan oleh Gallager, PhD pada tahun 1960. LDPC merupakan salah satu kelas dari pengkodean linier block yang menggunakan konsep sparse parity check matric P, dimana jumlah bit’1’ dalam matrik P berjumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah bit ‘0’. Teknik pengkodean LDPC mempunyai performansi mendekati Shannon-Limit jika dibandingkan dengan teknik pengkodean Turbo Code. Sistem pengkodean LDPC dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan konstruksi sistematik dari matrik parity checknya yaitu regular dan

irregular low-density parity-check (LDPC). Konstruksi pertama, regular LDPC, mempunyai

jumlah bit ‘1’ yang sama dalam tiap baris dan kolom pada matrik parity check-nya. Sementara untuk irregular LDPC jumlah bit ‘1’ dalam tiap baris dan kolom pada matrik parity check-nya bervariasi.

Sistem Multi Carrier - Code Division Multiple Access (MC-CDMA) merupakan teknik penggabungan teknik akses jamak varian dengan Orthogonal Frequency Division

Multiplexing (OFDM). Penggunaan MC-CDMA lebih dikarenakan kurang baiknya kinerja

sistem single carrier CDMA akibat adanya frekuensi selective fading. Penggunaan

multicarrier modulation membuat sifat frequency selective fading akan berubah menjadi flat

fading sehingga penanganan akibat pengaruh fading menjadi lebih mudah. Selain

kemampuannya dalam menangani multipath fading juga dapat mengefisienkan penggunaan

bandwidth. Teknik pengkodean kanal merupakan suatu teknik untuk melindungi informasi

agar kesalahan di sisi penerima dapat dikurangi. Teknik pengkodean kanal dibutuhkan untuk mendapatkan nilai Bit Error Rate (BER) yang rendah.

(17)

pada LDPC berfungsi untuk mengurangi komplexitas pada proses decoding. LDPC code didefinisikan sebagai kode sparse parity check matrix dan diharapkan dengan mengirimkan

high-bit-rate dapat memiliki probabilitas kesalahan bit yang rendah. Dari kelebihan

masing-masing sistem ini, maka perlu dilakukan analisis performansi dari penggabungan LDPC Code dan sistem MC-CDMA yang selanjutnya disebut LDPC Code MC-CDMA.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan simulasi teknik pengkodean regular LDPC code pada sistem MC-CDMA. 2. Menganalisa sistem pengkodean LDPC pada sistem MC-CDMA dengan variasi

jumlah bit “1” melalui simulasi.

3. Menganalisa sistem pengkodean LDPC pada sistem MC-CDMA dengan kondisi

mobile user melalui simulasi.

1.3Batasan Masalah

Dalam penelitian ini pembatasan masalah adalah sebagai berikut:

1. Sistem MC-CDMA yang digunakan merupakan MC-CDMA yang termodifikasi. 2. Sistem pengkodean LDPC menggunakan parity check matrik regular .

3. Metode encoding regular LDPC menggunakan metode Lower Triangular Shape

Based.

4. Metode decoding LDPC regular menggunakan iterative decoding dengan algoritma

Sum of Product.

5. Menggunakan mapper Quadrature Phase Shift Keying (QPSK). 6. Kode penebar yang digunakan adalah Walsh Hadamard.

7. Model kanal yang digunakan adalah kanal Aditive White Gaussian Noise (AWGN) dan Multipath Rayleigh Fading.

8. Code rate yang digunakan adalah ½.

9. Analisa dilakukan pada kecepatan user 0 km/jam, 3 km/jam, 50 km/jam, dan 120 km/jam.

(18)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Meningkatkan pemahaman tentang penggunaan teknik pengkodean regular LDPC Code pada sistem MC-CDMA.

1. Mengetahui bagaimana menentukan parameter-parameter untuk simulasi LDPC code pada sistem MC-CDMA.

2. Mengetahui teknik pengkodean yang paling cocok diimplementasikan pada sistem MC-CDMA

1.5Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Instrumentasi Digital Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Jl.Bioteknologi No.1 Medan.

1.6Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada masing-masing bab adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Pada bagian ini secara berurutan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab II Landasan Teori

Bagian ini berisi tentang dasar-dasar teori dari LDPC code dan sistem MC-CDMA.

Bab III Model Sistem LDPC Code pada Sistem MC-CDMA

Pada bagian ini akan dirancang pemodelan sistem yang akan disimulasikan.

Bab IV Analisis Hasil Simulasi

(19)

Bab V Kesimpulan dan Saran

Berisi kesimpulan mengenai Tugas Akhir ini dan saran untuk pengembangan selanjutnya.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Low Density Parity Check (LDPC) Code

Low Density Parity Check (LDPC) Code termasuk salah satu kelas dari linier block.

LDPC code didesain menggunakan matriks parity check yang bersifat sparse, dimana jumlah bit ‘0’ lebih banyak dibanding bit ‘1’. LDPC Code pertama kali diperkenalkan oleh Gallager pada tahun 1960 dalam disertasinya, yang kemudian dikembangkan oleh David J.C. MacKay dan Radford M. Neal yang membuktikan bahwa LDPC code merupakan good error

correcting yang memiliki performansi lebih baik yang mendekati Shanon Limit dibandingkan

Turbo code berdasarkan penelitian C.Berrou pada tahun 1993. (Hamdaner, 2006)

LDPC code dapat direpresentasikan dalam bentuk matriks dan juga graph bipartite atau juga disebut Tanner graph. Berikut contoh matriks parity check dan juga tanner graph dengan ukuran m x n (4,8).

Gambar 2.1 (a) Matriks parity-check (2,4) Regular LDPC n=8 (b) Tanner graph (2,4)

Regular LDPC (Leiner, B. M. J., 2005)

Dari matriks H diatas, akan didapat dua nilai yaitu dc dan dv, dimana dc menyatakan

(20)

H. Agar matriks H yang dibentuk dapat dinyatakan sebagai matriks yang bersifat low density, maka dv « n dan dc « m.

Berdasarkan representasi Tanner graph diatas, dapat dilihat bahwa terdapat m check

node yang menyatakan jumlah dari bit parity, sedangkan n variable node menyatakan jumlah

bit dalam codeword. Dalam representasi Tanner graph, check node (fi) akan terhubung ke

variable node (cj) jika dan hanya jika nilai elemen dari hij pada matriks H=1.

Konstruksi kode LDPC yaitu membentuk partikular matrik parity check LDPC (H). Teknik konstruksi dalam penelitian secara random ones. Beberapa desain dalam mengkonstruksi LDPC antara lain: (William E. R., 2003)

1. Regular Gallager Codes

2. Mackay Codes

3. Irregular LDPC Codes 4. Finite Geometry Codes

5. Repeat Accumulate (RA), Irregular Repeat Accumulate (IRA), dan extended IRA. 6. Array Codes

7. Combinatorial LDPC codes

Teknik pengkodean LDPC code berdasarkan konstruksi sistematik dari matriks parity

check terbagi menjadi 2 yaitu regular dan irregular low-density parity-check (LDPC).

Regular LDPC memiliki jumlah bit ‘1’ yang sama untuk tiap baris dan kolom pada matriks

parity check, sedangkan Irregular LDPC memiliki jumlah bit ‘1’ yang bervariasi untuk tiap

baris dan kolom pada matriks parity check.

2.1.1 Regular LDPC

Sebuah kode LDPC disebut sebagai kode regular jika memiliki bobot kolom (dv)

maupun baris (dc) yang seragam (uniform). Untuk kode regular mdc = ndv. Coderate dapat

didefinisikan terhadap pengaruh beban baris dan kolom sebagai berikut.

(21)

Matriks H dalam gambar 2.1 merupakan matriks parity check dengan dv = 2 dan dc = 4.

Dalam Tanner graph juga dapat dilihat bahwa setiap check nodes dan variable nodes memiliki jumlah sisi (edges) yang sama.

2.1.2 Metode Encoding Lower Triangular Shape Based

Proses encoding merupakan proses pembuatan bit codeword c, dimana untuk regular LDPC menggunakan efisiensi encoding dengan pendekatan lower triangulation. Metode ini diperkenalkan oleh Thomas J.Richardson dan Rüdiger L. Urbanke pada tahun 2001, dimana tujuan dari metode ini adalah membentuk matriks parity check yang berbentuk lower

triangular. (Richardson,T.J., Urbanke R.L., 2001)

2.1.2.1 Efficient Encoder Based On Approximation Lower Triangulation

Diketahui matriks parity check H (m n) dan codeword c (1 n), dimana pada perkalian HcT = 0. Pendekatan dengan bentuk lower triangular dapat dilihat pada gambar 2.2

dengan matriks parity check sebagai berikut:

(2.4)

dimana, A matriks (m-g) (n-m), B (m-g) g, T (m-g) (m-g), C g (n-m), D g g dan

E g (m-g). Setiap matriks bersifat sparse dan T adalah lower triangular yaitu diagonalnya

(22)

T

0

n - m g m - g

m - g

g

n

m

A B

C D E

Gambar 2.2 Model matriks parity check untuk efisiensi encoding oleh Thomas

J.Richardson dan Rüdiger L. Urbanke,2001

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses encoding ini dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu proses Pre-Processing Step dan Actual Encoding Step yang akan dijelaskan berikut ini:

Input

Preprocessing

= Non-singular parity check matrix H.

Output = Parity check matrix dengan bentuk dimana

bersifat non-singular.

1. [Triangulation] Melakukan proses permutasi baris dan kolom sehingga menghasilkan

parity check matrix H yang mendekati bentuk lower triangular.

Dengan menggunakan nilai gap (g) sekecil mungkin.

2. [Check Rank] Menggunakan Gaussian Elimination untuk melakukan proses

pre-multiplication. Untuk mengeliminasi seluruh bit ‘1’ pada kanan bawah submatriks H

menggunakan eliminasi.

(2.5)

(23)

Gaussian ini digunakan untuk mendapatkan persamaan dari bit parity dengan persamaan

HxT=0.

Input

Encoding

= Parity Check Matrix dalam bentuk dimana

adalah matrik non-singular dan sebuah vector .

Output = Vector , , , sehingga ,

, s adalah sinyal informasi

yang dikirimkan sedangkan p1 dan p2 adalah paritas.

Sehingga dihasilkan persamaan berikut:

AsT + Bp1T + Tp2T = 0 (2.6)

(-ET-1A + C)sT + (-ET-1B + D)p1T = 0 (2.7)

1. Menentukan nilai p1 (ditunjukkan pada Tabel 2.1).

2. Menentukan nilai p2 (ditunjukkan pada Tabel 2.2).

(2.8)

Dari persamaan 2.8 maka didapat perhitungan koefisien p1Tseperti tabel 2.1.

Tabel 2.1 : Perhitungan koefisien p1T

Operasi Penjelasan

Perkalian dengan matrik sparse

Perkalian dengan matrik sparse Perkalian dengan matrik sparse Penjumlahan

Perkalian dengan matrik g x g

(24)

Dari persamaan 2.9 maka didapat perhitungan koefisien pT2 seperti tabel 2.2.

Tabel 2.2 : Perhitungan koefisien pT2

Operasi Penjelasan

Perkalian dengan matrik sparse Perkalian dengan matrik sparse Penjumlahan

Untuk menguji apakah codeword yang dihasilkan sudah benar dapat dilakukan dengan menguji apakah nilai .

Ilustrasi mengenai proses encoding dengan pendekatan lower triangular dapat dilihat pada contoh berikut:

Misal diberikan matriks parity check seperti berikut:

Matriks H ini diubah menjadi bentuk lower triangular sehingga urutan kolom matriks parity

check-nya menjadi (1,2,3,4,5,6,7,10,11,12,8,9) dengan g = 2.

(25)

Dapat dilihat bahwa ø = ET-1B + D = singular (determinan = 0). Sifat singular

ini dapat dihilangkan dengan cara menukar kolom ke-5 dengan kolom ke-8 sehingga

diperoleh ø = (jika ø tidak singular, maka pertukaran kolom tidak diperlukan).

Sehingga urutan kolom diubah menjadi 1,2,3,4,10,6,7,5,11,12,8,9 sehingga diperoleh matriks

parity check yang ekivalen sebagai berikut:

Matriks ini yang akan digunakan sebagai matriks parity check dalam pembentukan codeword.

2.1.3 LDPC Decoding

Beberapa algoritma iterative decoding untuk menghitung distribusi variable dalam sebuah model graf muncul dengan nama yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Nama dari algoritma tersebut antara lain: Sum Product Algorithm (SPA), Belief Propagation Algorithm (BPA), dan Message Passing Algorithm (MPA). Salah satu jenis dari Sum Product Algorithm yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

2.1.3.1 Log Domain Sum Product Algorithm

(26)

check node. Setiap bit node berhubungan dengan kolom dari matriks parity check, yang juga

merupakan bit codeword. Setiap check node berhubungan dengan baris pada matriks parity

check yang direpresentasikan sebagai persamaan parity check. (Futaki, Hisashi,Tomoaki,

2002)

Untuk mendeskripsikan notasi pada algoritma sum-product dapat dilihat gambar berikut:

Check node: m

Check node index

m

Bit node index l

L(3) L(3)\ 1

(a) (b)

Gambar 2.3 (a) Faktor graph matriks parity check

(b) Notasi pada algoritma sum product

M(l) menunjukkan kumpulan check node yang terhubung dengan bit node l, dalam hal

ini bit “1” pada kolom ke-l pada matriks parity check. L(m) menunjukkan kumpulan bit-bit yang merupakan persamaan ke-m parity check, dalam hal ini posisi bit “1” pada baris ke-m dari matriks parity check.

,dimana i = 0,1, menunjukkan peluang informasi bit node l yang dikirim ke

check node m, mengindikasikan . , menunjukkan peluang informasi yang

mengumpulkan bit ke-l menjadi i. Peluang posteriori untuk sebuah bit merupakan perhitungan dari pengumpulan seluruh informasi ekstrinsik dari check nodes yang diperoleh dengan mengikuti prosedur iterative belief propagation.

Untuk kode biner, algoritma sum-product dapat dilakukan secara efisien pada Log

domain, dimana peluang ekivalen dikarakteristikkan dengan log likelihood rations (LLRs):

(2.10)

(27)

(2.12)

(2.13)

merupakan likelihood dari bit ke l yaitu i, i = 0,1.

Prosedur iterative belief propagation (log domain decoding algorithm) sebagai berikut:

Tahap Inisialisasi

Setiap bit node l menentukan priori LLR . Contoh kasus terhadap pengiriman informasi pada kanal memoryless AWGN dengan modulasi BPSK,

(2.14)

Dimana x,y merepresentasikan bit yang dikirim dan bit yang diterima, dan adalah variansi derau. Untuk setiap posisi (m,l) dijelaskan Hml = 1, dimana Hml merepresentasikan elemen dari

baris ke-m dan kolom ke-l pada matriks parity check H, dan diinisialisasi sebagai berikut:

dan (2.15)

1. Checks to bits

Setiap check node m mengumpulkan seluruh informasi yang masuk , ’s dan memperbaharui kekuatan bit l berdasarkan pada informasi seluruh bit yang dihubungkan pada check node m.

(2.16)

2. Bits to checks

(2.17)

(28)

Proses decoder menghasilkan peluang posteriori untuk bit l dengan menjumlahkan informasi dari seluruh check nodes yang menghubungkan bit l.

(2.18)

Hard decision dibuat berdasarkan , dan menghasilkan pendekodean masukan yang dapat diperiksa terhadap matriks parity check H. Jika H = 0, atau iterasi maksimum maka proses decoder berhenti dan keluarannya adalah . Jika sebaliknya maka proses decoder akan kembali pada step 1-3.

2.2 Interleaver

Kondisi multipath menyebabkan kedatangan sinyal pada sisi penerima melalui dua atau lebih jalur dengan jarak yang berbeda. Hal ini berakibat akumulasi sinyal terima akan terdistorsi. Pengaruh negatif dari kanal dapat mengakibatkan kecenderungan terjadinya error berurutan atau burst error. Pemakaian pengkodean akan baik digunakan pada error yang terdistribusi random dibandingkan jika digunakan pada burst error. (Budiman, G., 2005)

Time diversity atau interleaving adalah salah satu cara yang efektif untuk mengatasi

burst error. Interleaving sebelum transmisi (pada pengirim) dan deinterleaving setelah

penerimaan (pada penerima), menyebabkan pola burst error menjadi disebar dalam waktu, untuk selanjutnya akan ditangani oleh decoder dimana akan dianggap sebagai pola error yang

random. Ide dibalik interleaving adalah untuk memisahkan simbol-simbol data terkode dalam

domain waktu. Penghalangan waktu tersebut diisi oleh simbol-simbol dari data terkode lain.

Simbol-simbol terkode dari encoder akan diterima dalam blok-blok oleh sebuah block

interleaver sebelum dilakukan proses mapping. Pengurutan yang bisa dilakukan adalah

dengan mengisi deretan terkode pada baris-baris pada susunan I baris dan J kolom. Data terkode sejumlah J pertama akan menempati baris pertama, dan untuk data ke-(J+1) sampai dengan data ke-(2J) menempati baris kedua, dan begitu seterusnya sampai semua baris dalam

block interleaver terisi seluruhnya. Kemudian data dibaca per kolom pada satu waktu dan

(29)

Interleaver Deinterleaver

J columns J columns

Output

Gambar 2.4 Block Interleaver dan Deinterleaver

Gambar 2.4 mengilustrasikan contoh dari block interleaver dengan ukuran baris (l) dan ukuran kolom (j). Di penerima, deinterleaver melakukan proses sebaliknya. Deinterleaver menerima simbol-simbol dari demapper, lalu terjadi proses deinterleaver dalam kolom, dan akan dibaca perbaris kemudian dikirim ke decoder.

2.3 Mapper

Teknik mapping yang digunakan untuk melihat performansi dari channel coding LDPC yaitu Quadrature Phase Shift Keying (QPSK). Data secara serial akan dibentuk menjadi simbol-simbol data. (Hamdaner, 2006)

Mapping QPSK merupakan mapping yang sama dengan BPSK, tetapi pada QPSK

terdapat empat buah level sinyal, yang merepresentasikan empat kode binary, yaitu ‘00’, ‘01’, ‘11’, dan ‘10’. Masing-masing level sinyal disimbolkan dengan beda fasa 900. Mapping QPSK memiliki efisiensi bandwidth dua kali lebih besar dibandingkan dengan BPSK, karena dua bit disimbolkan dengan satu simbol sinyal mapping.

Probabilitas bit error (BER) sinyal QPSK pada kanal AWGN diformulasikan dengan:

Q Q

(2.19)

(30)

Q

I

01 11

10 00

Gambar 2.5 Konstelasi Sinyal QPSK

CDMA

Code Division Multiple Access adalah teknik akses jamak yang didasarkan pada sistem

komunikasi spektral tersebar dengan masing-masing pengguna diberikan suatu kode penebar yang unik dan saling orthogonal yang akan membedakan satu pengguna dengan pengguna yang lain.

Pada implementasi prinsip spektral tersebar sebagai teknik akses jamak dikenal beberapa metode dan tekniknya, yaitu :

1. Averaging System : Sinyal informasi ditebar merata pada bandwidth sangat lebar

sepanjang waktu atau yang dikenal Direct Sequence Code Division Multiple

Access (DS-CDMA)

2. Avoidance system : sinyal modulasi narrow-band yang dilompatkan pada

bandwitdh atau waktu yang sangat lebar atau yang dikenal dengan Frequency

Hopping Code Division Multiple Access (FH-CDMA), dan Time Hopping Code

Division Multiple Access (TH-CDMA).

3. Hybrid : merupakan gabungan teknik dari avoidance dan averaging system Contohnya : DS/FH, TH/DS, dan lain-lain.

(31)

CDMA

Gambar 2-6 Klasifikasi CDMA

2.5 Multicarrier CDMA

Multicarrier CDMA merupakan suatu gabungan dari teknik modulasi OFDM dengan

CDMA. Dalam sistem MC-CDMA, satu deretan data symbol user di-spread menggunakan

high rate spreading code yang kemudian dilewatkan pada multicarrier modulator. (Hara, S.,

Prasad, R., 1997).

Skema multicarrier CDMA dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : Pertama, deretan data asli diberikan spreading code, dan selanjutnya dimodulasi pada subcarrier yang berbeda dengan chip yang berbeda juga dengan kata lain operasi spreading dilakukan pada domain frekuensi (gambar 2.7.a). Kedua, deretan data asli dikonversikan dari serial ke paralel kemudian kemudian diberikan spreading code, kemudian dimodulasi dengan subcarrier yang berbeda untuk setiap data asli dimana spreading dilakukan pada domain waktu (gambar 2.7.b).

(32)

Berdasarkan kedua skema tersebut, dilakukan penelitian yang dihasilkan oleh

Shinusuke Hara dan Ramjee Prasad yang memastikan bahwa dengan memodifikasi skema

MC-CDMA dapat menghasilkan suatu sistem yang mampu membuat sinyal terima seolah-olah melewati kanal yang bersifat non-selective atau flat (gambar 2.8)

Serial to Paralel

Converter ∑

Data

j C1

j

CGMC Cos(2 f1t+(GMC-1)/Ts)t

Cos(2 f1t)

j

a1

j

aP 1:P

Gambar 2.8 Skema MC-CDMA termodifikasi

MC-CDMA dapat dikategorikan dalam dua skema: yang pertama yaitu deretan data asli diberikan spreading code dan selanjutnya dimodulasi untuk setiap subcarrier yang berbeda (Gambar 2.7(a)). yang kedua yaitu deretan data asli dikonversikan dari serial ke paralel kemudian diberikan spreading code, dan selanjutnya dimodulasi untuk setiap subcarrier yang berbeda pada setiap deretan data asli (Gambar 2.7(b)). Skema yang pertama dikenal sebagai MC-CDMA (Multicarrier CDMA) dan skema yang kedua dikenal sebagai MC-DS-CDMA (Multicarrier Direct Sequence CDMA). Modifikasi sistem MC-CDMA hasil penelitian Shinusuke Hara dan Ramjee Prasad memastikan agar sistem mampu membuat sinyal terima seolah-olah melewati kanal yang memiliki sifat nonselektif atau flat (Gambar 2.8).

2.5.1 Modulasi Multicarrier

(33)

orthogonal satu sama lain dan dimultiplex sehingga menghasilkan sinyal OFDM.(Sahihputra,

Gambar 2.9 Proses OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing)

OFDM sebagai modulasi multicarrier, tentunya membutuhkan modulator dan

demodulator (umumnya komponen osilator, mixer, filter) untuk tiap subcarrier-nya dan hal

ini sangatlah kompleks. Dengan menggunakan Inverse Discrete Fourier Transform (IDFT) sebagai modulator dan Discrete Fourier Transform sebagai demodulator pada sistem OFDM maka kompleksitas ini dapat dikurangi. IDFT digunakan untuk menghasilkan subcarrier yang saling orthogonal, dan bila subcarrier yang digunakan adalah 2n , maka untuk mengurangi waktu komputasi dapat digunakan Inverse Fast Fourier Transform (IFFT).

Prinsip orthogonal menunjukkan adanya hubungan matematis antar frekuensicarrier pada sistem. Pada sistem FDM konvensional, masing-masing carrier diatur agar tidak saling

overlapping dan antar carrier dipisahkan oleh guard band sehingga akan mengurangi

(34)

frekuensi (a)

frekuensi penghematan bandwidth

(b) 00

Gambar 2.10 Spektrum Multi Carrier (a) Tidak Overlap (b) Overlap orthogonal

2.5.2 Kode Penebar

Pemilihan kode penebar yang tepat untuk digunakan, sampai saat ini masih tidak terlalu jelas parameternya. Apabila panjang dari kode diasumsikan sama dengan jumlah dari banyaknya subcarrier,N. Dimana setiap elemen dari kode akan ditunjukkan oleh chip. Setiap

chip dari kode sebenarnya diset {1,-1}. Sifat kode yang diinginkan adalah dapat memberikan

pola kode yang berbeda untuk user yang berbeda agar saling orthogonal.(Budiman, G., 2005)

Salah satu jenis kode penebar adalah Walsh Hadamard. Walsh Hadamard adalah kode penebar dimana masing-masing baris saling orthogonal. Kode ini dibangkitkan oleh operasi matriks . Unit dasar matriks pembangkit kode Walsh Hadamard yaitu:

(2.20)

2.6 Guard Time atau Cyclic Prefix

(35)

Gambar 2.11 Guard Interval dengan Cyclic Prefix

2.7 Model Kanal Transmisi

Model kanal yang digunakan pada analisa performansi yaitu pada kanal Additive

White Gaussian Noise (AWGN) dan pengaruh kanal Multipath Rayleigh Fading.

2.7.1 Kanal Additive White Gaussian Noise (AWGN)

Pada kanal transmisi selalu terdapat penambahan derau yang timbul sebagai akibat dari akumulasi derau termal dari perangkat Tx, kanal transmisi, dan Rx. Derau yang menyertai sinyal pada sisi penerima dapat didekati dengan model matematis statistik AWGN. Derau AWGN merupakan gangguan yang bersifat Additive terhadap sinyal transmisi, dimodelkan dalam pola distribusi acak Gaussian dengan rataan (mean) nol, standar deviasi 1, dan mempunyai rapat spektral daya yang tersebar merata pada lebar pita frekuensi tak berhingga. AWGN mempunyai distribusi dengan pdf sebagai berikut:

(2.21)

Dimana : = probabilitas kemunculan derau = standar deviasi

m = rataan (mean)

(36)

Additive White Gaussian Noise (AWGN) merupakan model kanal sederhana dan umum

digunakan dalam suatu sistem komunikasi. Model kanal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Kanal Sinyal yang dikirim

x(t)

Sinyal yang diterima y(t) = x(t) + n(t)

Derau n(t)

Gambar 2.12 Model Kanal AWGN

Jika sinyal yang dikirim x(t), pada kanal akan dipengaruhi oleh derau n(t) sehingga sinyal yang diterima menjadi y(t) = x(t) + n(t). (Amin, M., 2008)

2.7.2 Kanal Multipath Rayleigh Fading

Dalam sistem komunikasi wireless, kondisi lingkungan yang terdiri dari berbagai objek sangat mempengaruhi penjalaran sinyal dari Tx menuju Rx, yang mengakibatkan sinyal yang dipancarkan oleh suatu transmitter akan melewati berbagai lintasan dan mengalami peredaman, penguatan, scattering, difraksi, dan sebagainya.

Sehingga sinyal yang diterima pada Rx merupakan superposisi dari banyak komponen gelombang pantul yang masing-masing memiliki amplitudo dan fasa yang saling independen. Hal inilah yang disebut dengan multipath propagation atau multipath fading.

Kanal radio sangat mempengaruhi kinerja dari suatu sistem komunikasi khususnya sistem seluler. Secara umum model propagasi dalam sistem komunikasi bergerak dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Large scale propagation didefinisikan sebagai rata-rata daya yang hilang akibat transmisi

sinyal pada jarak yang jauh. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang ada antara

transmitter dan receiver yaitu hutan, gedung bertingkat, lembah, gunung, dan sebagainya.

Model ini digunakan untuk memprediksi rata-rata kekuatan sinyal dimana seolah-olah jarak antara Tx dan Rx terpisah cukup jauh, sehingga dapat mengestimasi area cakupan Tx.

2. Small scale atau fading model didasari perubahan variasi amplitudo dan fasa yang acak

(37)

yang tajam dari kekuatan sinyal pada jarak Tx dan Rx yang cukup dekat, dan digunakan untuk mengetahui kinerja dari suatu sistem komunikasi.

Multipath dalam kanal radio akan menimbulkan efek small scale fading, efek ini juga

mengakibatkan beberapa hal berikut :

1. Perubahan level daya terima yang cepat sepanjang interval waktu yang cukup pendek. 2. Terjadi pelebaran spektral akibat adanya Doppler shift yang bervariasi pada tiap sinyal

multipath .

3. Terjadi dispersi waktu, akibat adanya delay propagasi multipath.

Faktor- faktor yang mempengaruhi small scale fading yaitu: 1. Multipath propagation

Adanya objek pemantul dan scatter akan menyebabkan disipasi energi sinyal dalam amplitudo, fasa, dan waktu. Hal ini akan menyebabkan perbedaan sinyal kirim yang sampai pada antena penerima.

2. Kecepatan penerima

Gerak relatif antara pengirim dengan penerima menghasilkan modulasi frekuensi random berkaitan dengan pergeseran frekuensi Doppler yang berbeda untuk tiap lintasan

multipath. Doppler shift akan positif atau negatif tergantung dari pergerakan penerima,

apakah mendekat atau menjauh dari pengirim. 3. Kecepatan objek pemantul

Jika objek-objek bergerak dalam suatu kanal radio, maka akan menghasilkan pergesaran

Doppler yang berubah terhadap waktu (time varying Doppler shift) yang berbeda untuk

setiap komponen multipath. 4. Bandwidth sinyal transmisi

Jika bandwidth sinyal yang ditransmisikan relatif lebih lebar dibandingkan bandwidth kanal multipath, akan mengalami frequency selective fading. Sehingga sinyal yang diterima akan mengalami distorsi, dimana hal ini berhubungan dengan bandwidth koheren kanal.

Berikut ini adalah beberapa parameter penting dalam menganalisa karakteristik kanal

(38)

Tonny Juliandy : Simulasi Teknik Pengkodean Regular Low Density Parity Check Code Pada Sistem MC-CDMA, 2009. USU Repository © 2009

1. Doppler shift

Doppler shift disebabkan oleh pergerakan relatif antara pemancar dan penerima dan akibat

dari pergerakan objek-objek pemantul pada kanal. Hal ini mengakibatkan adanya pelebaran spektral sinyal yang diterima oleh penerima.

Hal ini ditunjukkan oleh gambar 2.12. (Amin, M., 2008)

v

d

Gambar 2.13 Ilustrasi dari efek Doppler

Jika adalah Doppler shift, maka dinyatakan, sebagai berikut:

(2.22)

(2.23)

2. Delay Spread dan Coherence Bandwidth

Delay spread merupakan suatu interval ukuran delay masing-masing lintasan yang

dilewati sinyal dengan nilai penguatan atau peredaman tertentu. Masing-masing lintasan akan memberikan excess delay tertentu.

Delay spread adalah parameter yang menggambarkan karakteristik respon impuls kanal

pada domain waktu, sedangkan untuk menggambarkan karakteristik respon impuls kanal pada domain frekuensi digunakan parameter coherence bandwidth.

Coherence bandwidth ( ) adalah ukuran statistik kanal yang menggambarkan pada interval frekuensi tertentu, kanal dapat dianggap “flat”. Sebagai pendekatan, coherence

bandwidth ( ) dapat dihitung dengan persamaan(2.24)

(39)

Coherence bandwidth dapat mendefinisikan sifat fading sebagai frequency selective atau

sebagai flat fading. Jika ditransmisikan sinyal dengan bandwidth lebih besar dari

coherence bandwidth, maka sinyal tersebut akan terkena frequency selective fading.

Tetapi jika ditransmisikan sinyal dengan bandwidth lebih kecil dari coherence bandwidth, maka sinyal tersebut akan terkena flat fading.

3. Doppler Spread dan Coherence Time

Doppler Spread merupakan ukuran pelebaran spectral yang disebabkan oleh pergerakan kanal dan didefinisikan sebagai interval frekuensi pada spektrum Doppler yang nilainya tidak nol.

Coherence Time merupakan ilustrasi efek Doppler pada domain waktu dan digunakan untuk mengkarakterisasi variasi waktu dari tingkat dispersi frekuensi dari kanal dalam domain waktu. Sebagai pendekatan, coherence time ( ) dapat dihitung dengan persamaan (2.25).

(2.25)

Coherence Time dapat digunakan untuk mengkarakterisasi sifat kanal berdasarkan variasi

(40)

BAB III

MODEL SISTEM LDPC CODE MC-CDMA

Sesuai dengan objektivitas dalam penelitian ini, untuk mendapatkan suatu sistem komunikasi yang memiliki kecepatan tinggi, high mobility, QoS yang reliable yaitu BER yang rendah dengan kebutuhan Eb/No yang kecil dan untuk kebutuhan komunikasi outdoor serta aplikasi Mobile WiMAX, maka model sistem MC-CDMA yang akan disimulasikan adalah Multi-carrier CDMA (MC-CDMA) dengan skema termodifikasi. Pada sistem ini diberikan teknik pengkodean kanal yaitu LDPC code untuk mengatasi random error dengan metode

regular dan irregular. Sistem ini di ujicobakan pada kanal AWGN (Additive White Gaussian

(41)

S/P IFFT P/S Cyclic

Gambar 3.1 Pemodelan Sistem LDPC Code pada MC-CDMA

Blok diagram sistem secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 3.1 yang terdiri dari sisi pengirim, kanal yang digunakan, serta sisi penerima. Subsistem pada bagian pengirim dan penerima MC-CDMA termodifikasi akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Melalui ujicoba ini dapat dilihat perbandingan performansi sistem.

3.1 Model Sistem Pengirim LDPC Code MC-CDMA

3.1.1 Sumber Data

Sumber data merupakan generator random biner yaitu ‘0’ dan ‘1’ yang dilakukan secara acak sebanyak jumlah bit yang diinginkan dengan probabilitas kemunculan bit ‘0’ dan ‘1’ sama besarnya. Pada pemograman MATLAB 7.0.4 akan digunakan fungsi “randint”

untuk membangkitkan data.

(42)

3.1.2.1 Regular LDPC Encoder

Pembentukan kode LDPC dilakukan berdasarkan regular Mackay code. Matriks parity

check yang dibentuk, dibangkitkan secara random dengan jumlah bit ‘1’ disetiap kolom dan

baris yang seragam. Variasi simulasi LDPC yang digunakan yaitu pada ukuran block matriks

parity check, kemudian jumlah bit 1 pada tiap kolom dari matriks parity check, jumlah iterasi

(43)

Mulai

Inisialisasi matriks Pembentukan zeroes matriks

[row,col]

Menempatkan x bit ‘1’ pada tiap kolom Secara random, dengan syarat jumlah bit ‘1’

Pada baris sama dengan y

Pembentukan parity check matrix lower triangular

Parity check matriks

Proses multiplication untuk Eliminasi gaussian

D= singular

Tidak (kolom a), kemudian cari kolom sebelumnya Cari kolom di D yang menjadikan D singular pada baris yang sama yang membuat menjadi

tidak singular jika ditukarkan (kolom b) Tukarkan kolom a dengan b untuk membentuk

matriks parity check yang baru

P = parity check matriks

Proses encoding (pembentukan codeword)

Selesai

Ya

Gambar 3.2 Flowchart proses encoding Regular LDPC Code

(44)

3.1.3 Interleaver

Interleaver yang digunakan adalah blok interleaver, dengan ukuran yang mengikuti

standar Mobile WiMax 802.16.e 2005 untuk modulasi QPSK yaitu 16 baris dan 24 kolom (384).

3.1.4 Mapper

Deretan codeword yang telah melalui proses interleaving dipetakan dengan mapper QPSK, sebagaimana dipaparkan dalam Bab II.

3.1.5 Subsistem Pengirim MC-CDMA

Diagram blok subsistem pengirim MC-CDMA termodifikasi dapat dilihat pada gambar berikut:

S/P IFFT P/S Cyclic

Prefix 1

P

C1

CSPR

CSPR C1

1

N Copier

Spreader

Gambar 3.3 Subsistem Pengirim MC-CDMA Termodifikasi

Parameter yang digunakan dalam sistem ini disesuaikan dengan objektivitas dalam tugas akhir ini yaitu menggunakan standard IEEE 802.16e 2005 untuk Mobile WiMax yaitu jumlah point IFFT sebanyak 128.

Blok-blok yang terdapat dalam subsistem pengirim MC-CDMA antara lain:

(45)

Blok ini merupakan blok untuk membagi data informasi ke dalam setiap lengan pada blok MC-CDMA. Dalam simulasi ini digunakan lengan sebanyak enam belas lengan MC-CDMA (P=16).

2. Copier

Pada blok ini, data yang masuk akan digandakan sebanyak subcarrier pada tiap lengan, sehingga setiap lengan memiliki data yang sama dengan data yang masuk sebelum digandakan. Jumlah subcarrier yang digunakan setiap lengan adalah delapan.

3. Spreader

Pada blok ini setelah sinyal dibagi dalam setiap subcarrier, dilakukan proses perkalian dengan kode Walsh-Hadamard untuk user tertentu. Proses penebaran data dilakukan dalam domain frekuensi, sehingga setiap simbol informasi dikalikan dengan hanya 1 elemen kode spreader pada setiap subcarrier untuk tiap lengan. Dengan demikian jumlah kode Walsh-Hadamard yang digunakan adalah sebanyak subcarrier yaitu delapan bit.

4. Inverse Fast Fourier Transform

IFFT berfungsi sebagai OFDM baseband modulator. Setiap aliran simbol data akan dimodulasi oleh frekuensi subcarrier yang dibangkitkan oleh IFFT. Penggunaan IFFT untuk menjamin orthogonalitas antar subcarrier. Jumlah point IFFT yang digunakan sama dengan jumlah subcarrier total yaitu 128 lengan. Perintah untuk melakukan proses IFFT memanfaatkan fungsi yang telah tersedia pada Matlab 7.4.0.

5. Parallel to Serial Converter

Blok ini berfungsi untuk mengumpulkan atau menggabungkan kembali data informasi (multiplexer) dari setiap subcarrier setelah IFFT. Data-data yang sebelumnya dalam deretan data paralel digabungkan kembali menjadi deretan data serial.

6. Add Cyclic Prefix

Cyclic prefix ditambahkan pada awal simbol OFDM yang berasal dari deretan akhir

sinyal OFDM. Cyclic Prefix ini diperlukan untuk mengatasi ISI. Panjang cyclic prefix yang digunakan adalah 1/16 panjang simbol, sehingga terjadi 6,25% loss bandwith.

3.2 Model Sistem Penerima LDPC Code MC-CDMA

(46)

Diagram blok subsistem penerima MC-CDMA termodifikasi, dapat dilihat pada

Gambar 3.4 Subsistem Penerima MC-CDMA Termodifikasi

Blok-blok yang terdapat pada subsistem penerima MC-CDMA adalah sebagai berikut:

1. Remove Cyclic Prefix

Sinyal yang dikirim merupakan gabungan sinyal informasi dan juga cyclic prefix, maka pada bagian penerima cyclic prefix yang ditambahkan, pada bagian penerima dilepaskan, sehingga didapatkan sinyal informasi dari beberapa subcarrier.

2. Serial to Parallel Converter

Pada blok ini, sinyal informasi yang diterima kemudian dipisahkan/dibagikan ke masing-masing lengan subcarrier.

3. Fast Fourier Transform

Bagian ini melakukan fungsi demodulasi. Sinyal informasi dalam domain waktu dikonversi ke domain frekuensi. Dimana jumlah point FFT yang terdapat pada bagian penerima harus sama dengan jumlah point IFFT pada bagian pengirim.

4. Despreader

Pada bagian ini dilakukan proses despreader dengan menggunakan kode Walsh

Hadamard yang sama pada bagian pengirim.

5. Combiner

Setelah proses despreading, deretan simbol data di-combine menggunakan Maximum

Ratio Combiner (MRC) dimana gain untuk MRC didapat dari persamaan berikut:

(47)

6. Parallel to Serial Converter

Blok ini berfungsi untuk menggabungkan kembali data informasi dari setiap lengan, menjadi satu deretan data serial yang baru, untuk digunakan pada proses selanjutnya.

3.2.2 Demapper

Proses demapping berfungsi untuk mengubah kembali deretan simbol data menjadi deretan codeword. Keluaran dari demapper akan menjadi masukan deinterleaver.

3.2.3 Deinterleaver

Deinterleaver memiliki fungsi yang berkebalikan dengan interleaver. Blok ini

mengumpulkan kembal bit-bit codeword yang disebar, menjadi deretan codeword yang sebenarnya, sebagaimana yang terdapat pada deretan codeword sebelum memasuki

interleaver.

3.2.4 LDPC Decoder

Proses decoding dilakukan sesuai dengan teorema bipartite graph (Tanner graph), dimana representasi dari matriks parity check yang didapat akan dibentuk kedalam bit node dan check node. Setiap bit node berhubungan dengan kolom dari matriks parity check yang juga merupakan bit codeword, sedangkan check node berhubungan dengan baris pada matriks

parity check yang direpresentasikan sebagai persamaan parity check.

Dalam proses decoding nilai yang akan mempengaruhi performansi adalah banyaknya iterasi dalam menentukan output blok decoder. Semakin banyak iterasi maka akan didapat nilai output yang memenuhi syarat: cHT = 0, dimana c merupakan codeword dan H merupakan matriks parity check.

(48)

:

Mulai

Tahap Inisialisasi

Gamma_n=(4/No)*rx_waveform

For iterarion=1:max_iter

Bit to Check Messages

Bitmessage(ind)=tanh(-(s.g(ind)+s.a(ind))/2);

Check to Bit Messages

s.b(ind)=-2*atanh(bitmessage(ind));

Updating APP LLR (Log Likelihood Ratio)

Sum_of_b=sum(s.b,1);

Keluaran sinyal informasi estimasi = vhat

Selesai

Inisialisasi Data Awal :

Sinyal diterima dari blok demapper (rx_waveform), h, No, jumlah bit baris (rows), jumlah bit kolom (cols), ind, r, c, dan iterasi decoding

S=struct(‘a’,sparse(rows,cols,0),’b’,sparse(rows,cols,0,’g’,sparse(rows,cols,0)); a:check to bit message sebelum iterasi, b:current check to bit message; g:updated codebit APP LLR

l

Gambar 3.5 Flowchart proses decoding LDPC Code

Proses untuk mendapatkan output decoder yang sesuai dengan syarat diimplementasikan dengan fungsi if mod(vhat*h’,2)=0 pada program. Jika syarat terpenuhi, maka langsung menjadi output dari decoder, tanpa menyelesaikan seluruh iterasi.

(49)

Data terima yang merupakan keluaran dari deinterleaver, akan dibandingkan dengan data yang dikirim. Banyaknya kesalahan bit akan dibagi dengan jumlah total bit yang dibangkitkan pada pengirim, sehingga menghasilkan performasi sistem yang disebut Bit Error

Rate (BER). Besarnya BER pada setiap nilai Eb/No akan menjadi parameter yang dianalisis.

3.3 Pemodelan Kanal

Model kanal propagasi dalam simulasi ini terdiri dari kanal AWGN dan multipath

rayleigh fading.

3.3.1 Kanal AWGN

Pemodelan kanal Additive White Gaussian Noise seperti yang dijelaskan pada bab II. Skrip yang digunakan dalam simulasi MATLAB 7.0.4adalah:

outkanal= awgn (outcp,snr(hitung_snr),’measured’);

dimana, ”outcp” merupakan output dari cyclic prefix, sedangkan ”snr(hitung_snr)”

merupakan nilai SNR yang diinginkan dalam dB dan “measured” menunjukkan akan dilakukan pengukuran daya sinyal sebelum ditambahkan level noise tertentu sesuai dengan SNR yang diinginkan.

3.3.2 Kanal Multipath Rayleigh Fading

Model kanal multipath rayleigh fading yang digunakan dalam simulasi, ditunjukkan pada gambar 3.6 berikut:

τ1

(50)

Rayleigh fading simulator menggunakan model Jakes sebagai berikut:

ac

as

( )2

Σ ( )1/2 ( )2

Gambar 3.7 Generator Rayleigh Fading model Jakes

Berdasarkan model Jakes tersebut, dan yang merupakan variabel acak dengan

mean nol dan variansi , ditentukan sebagai berikut:

(3.2)

(3.3)

(3.4)

adalah osilator frekuensi rendah yang frekuensinya sama dengan .

n=1,2,3,…,N0 (3.5)

Dimana:

Sedangkan merupakan frekuensi pergeseran Doppler.

(51)

Tabel 3.1 Parameter kanal IMT-2000 Vehicular Channel

Path 0 1 2 3 4 5

Delay ( s) 0 0,31 0,71 1,09 1,73 2,51

Redaman 1 0,8 0,126 0,1 0,031 0,01

Perhitungan rms delay spread terhadap sinyal multipath:

- Mean excess delay

Second moment dari delay

- Rms delay spread

- Bandwidth coherent

3.3.3 Frekuensi Doppler

Sistem ini bekerja pada frekuensi 2,5 GHz dengan kecepatan user 0,30,50,120 km/jam. Kecepatan user tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk nilai frekuensi Doppler sebagai berikut:

(52)

- User pejalan kaki (pedestrian) dengan kecepatan 3 km/jam

- User bergerak dengan kecepatan sedang, yaitu dengan kecepatan 50 km/jam

(53)

BAB IV

ANALISIS HASIL SIMULASI

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisa teknik pengkodean Regular LDPC melalui simulasi. Parameter yang akan diamati adalah performansi dari sistem yaitu kualitas sinyal yang ada di sisi penerima yang akan direpresentasikan dengan grafik BER vs Eb/No. Simulasi yang dilakukan memfokuskan pada performansi dari teknik pengkodean LDPC, sehingga perlu dilakukan penentuan parameter sistem dari MC-CDMA termodifikasi. Hal-hal yang akan dianalisa yaitu pengaruh jumlah bit ‘1’ pada matriks parity check, nilai

coderate, ukuran block (code length) dari matriks parity check, jumlah iterasi decoding dan

pengaruh kecepatan user.

Dalam setiap simulasi digunakan beberapa parameter tetap untuk sistem MC-CDMA termodifikasi. Adapun parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Parameter simulasi pengujian LDPC Code MC-CDMA

Parameter Nilai

Jumlah lengan MC-CDMA 16 Jumlah subcarrier setiap lengan 8

Jumlah subcarrier 128 Panjang kode penebar 8

Cyclic Prefix 1/16

Frekuensi 2,5 GHz

Jumlah bit 384000

4.1 Analisis pengaruh jumlah bit ‘1’ pada matriks parity check

(54)

Untuk mengetahui perubahan performansi yang diakibatkan perubahan jumlah bit ‘1’ pada sistem dengan teknik pengkodean Regular LDPC dilakukan simulasi dengan parameter sebagai berikut:

Code length = 512

Coderate = ½

Jumlah iterasi decoding = 20 Kondisi kanal = Rayleigh Kecepatan user = 0 km/jam Variasi jumlah bit ‘1’ = 3, 5, dan 7

Gambar 4.1 Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC pada sistem MC-CDMA dengan

variasi jumlah bit ‘1’ pada matriks H

(55)

Tabel 4.2 Coding gain pada tiap variasi jumlah bit ‘1’ untuk BER yang 10-4

Regular LDPC Uncoded

Jlh bit ‘1’ 3 5 7

13 dB Eb/No (Db) 6,7dB 7,3dB 9,4dB

Coding gain 6,3dB 5,7dB 3,6dB

Berdasarkan tabel 4.2 yang merepresentasikan coding gain masing-masing sistem terhadap uncoded MC-CDMA, diketahui bahwa Regular LDPC MC-CDMA memiliki performansi lebih baik dibandingkan Uncoded MC-CDMA yang memberikan coding gain paling besar yaitu 6,3dB untuk BER 10-4.

4.2 Analisis ukuran block (code length) matriks parity check

Analisis performansi LDPC akibat pengaruh ukuran block (code length) berkaitan dengan jumlah bit node (n) yang dibentuk matriks parity check code. Untuk mengetahui pengaruh perubahan code length pada sistem dengan teknik pengkodean Regular LDPC dilakukan simulasi dengan parameter sebagai berikut:

Jumlah bit ‘1’ = 3

Coderate = ½

Jumlah iterasi decoding = 20 Kondisi kanal = Rayleigh Kecepatan user = 0 km/jam

(56)

Gambar 4.2 Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC pada sistem MC-CDMA dengan

variasi ukuran block (code length)

Hasil simulasi ditunjukkan pada gambar 4.2. Pengamatan pada BER 10-3 untuk

Regular LDPC dengan code length 128 tercapai pada Eb/No 7,2dB, untuk code length 512

target BER tercapai pada Eb/No 5,8dB, sedangkan pada code length 1024 target BER tercapai pada EB/No 5,3dB. Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semakin besar ukuran block (code length) maka performansi dari Regular LDPC semakin baik, hal ini disebabkan karena semakin besar ukuran block maka perbandingan antara jumlah bit ‘1’ dengan bit ‘0’ juga semakin rendah, sesuai dengan sifat low density dari matriks parity

check-nya.

Tabel 4.3 Coding gain pada tiap variasi code length untuk BER 10-3

Regular LDPC Uncoded

Code length 128 512 1024

(57)

Coding gain 5,8dB 7,2dB 7,7dB

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa performansi Regular LDPC lebih baik dibandingkan Uncoded MC CDMA, dimana Regular LDPC dengan ukuran 1024 memberikan

coding gain paling besar yaitu 7,7dB.

4.3 Analisis pengaruh jumlah iterasi decoding

Algoritma decoding yang digunakan dalam penelitian ini adalah algoritma log domain

sum product algorithm. Dalam proses decoding yang digunakan terdapat faktor iterasi

decoding yang merupakan pengulangan proses decoding untuk mendapatkan keputusan nilai

terrendah dari kesalahan bit. Keputusan decoding yang digunakan merupakan tipe hard

decision.

Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang optimal dari iterasi untuk proses

decoding. Iterasi pada proses decoding menunjukkan kompleksitas dari pengkodean LDPC.

Parameter simulasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

Variasi jumlah iterasi = 5, 10, 15, 20,dan 30 Jumlah bit ‘1’ = 3

Coderate = 1/2

Kondisi kanal = Rayleigh Kecepatan user = 0 km/jam

(58)

Gambar 4.3 Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC untuk variasi

jumlah iterasi decoding

Hasil simulasi pada gambar 4.3 menunjukkan perbandingan jumlah iterasi decoding pada Regular LDPC. Pengamatan pada BER 10-4 dengan 5 dan 10 iterasi decoding di Eb/No 7,5dB, 15 iterasi di Eb/No 6,8dB, 20 iterasi di Eb/No 6,75dB, dan 30 iterasi di Eb/No 6,3dB. Jika diperhatikan pada setiap kenaikan jumlah iterasi decoding, maka dapat dilihat terjadi perbaikan performansi berupa coding gain.

Pada iterasi 5 dan 10 dihasilkan coding gain sebesar 5,5 dB. Untuk 15,20, dan 30 iterasi dihasilkan coding gain sebesar 6,2dB, 6,25dB, dan 6,7dB. Hasil yang dapat disimpulkan berdasarkan grafik tersebut yaitu nilai optimal untuk iterasi decoding ialah 15, karena untuk iterasi 20 dan 30 terjadi peringkatan coding gain yang tidak terlalu besar yaitu . Mengingat bahwa jumlah iterasi mempengaruhi delay proses decoding, maka diambil kesimpulan bahwa 15 adalah jumlah iterasi yang optimal untuk jumlah iterasi

(59)

Sehingga dapat diambil kesimpulan untuk performansi Regular LDPC code nilai optimal jumlah iterasi decoding yaitu 15 iterasi yang memberikan coding gain cukup besar, namun memiliki delay proses yang lebih rendah dibandingkan dengan 20 dan 30 iterasi.

4.4 Analisis pengaruh kecepatan user

Pada sub bab ini menganalisa pengaruh pergerakan user pada kondisi kanal Rayleigh

fading. Simulasi dilakukan dengan parameter sebagai berikut:

Variasi kecepatan user = 0 km/jam, 3 km/jam, 50 km/jam, dan 120 km/jam

Jumlah bit ‘1’ = 3 Jumlah iterasi decoding = 20

Kondisi kanal = Rayleigh

Coderate = 1/2

Code length = 512

Gambar 4.4 Grafik BER vs Eb/No Regular LDPC untuk variasi kecepatan user

(60)

sedangkan untuk user dengan kecepatan user 3 km/jam target BER tercapai pada Eb/No 7 dB, pada kecepatan user 50 km/jam target BER tercapai pada Eb/No 9,2dB sedangkan untuk user dengan kecepatan 120km/jam target BER tidak tercapai, karena pada batas Eb/No 10 dB BER yang tercapai hanya 0,0013.

4.5 Analisis performansi Regular LDPC pada sistem MC-CDMA

Pada subbab ini, akan membandingkan Regular LDPC dan Uncoded MC CDMA dengan menggunakan parameter optimal dari setiap percobaan sebelumnya, yang dilakukan pada kondisi kanal Rayleigh dengan kecepatan user 120 km/jam. Hasil simulasi ditunjukkan pada gambar 4.5 berikut.

Gambar 4.5 Grafik BER vs SNR Regular LDPC, Irregular LDPC, dan uncoded

MC-CDMA

Berdasarkan gambar 4.5, dapat dilihat bahwa kinerja dari system regular LDPC lebih baik dibandingkan Uncoded MC-CDMA pada saat user bergerak dengan kecepatan tinggi. Namun dengan target BER sebesar 10-4 Regular LDPC tidak mampu mencapai target BER

(61)

Perbandingan teknik pengkodean Regular LDPC dan Uncoded MC-CDMA yang disimulasikan dengan berbagai variasi parameter yang telah ditentukan yaitu variasi jumlah bit ‘1’, nilai coderate, jumlah iterasi decoding, ukuran block code/code length (subbab 4.1-4.5). Dimana untuk variasi jumlah bit ‘1’ menunjukkan bahwa jumlah bit ‘1’ pada matriks

parity check (H) akan mempengaruhi performansi sistem berkaitan dengan sifat low density

matriks H dalam teknik pengkodean LDPC dimana performansi sistem akan lebih baik jika jumlah bit ‘1’ dalam matriks H lebih sedikit.

Peningkatan nilai coderate dalam teknik pengkodean LDPC juga mempengaruhi performansi sistem karena seiring meningkatnya jumlah bit informasi yang dikirimkan pada panjang kode yang sama maka daya yang dibutuhkan untuk melakukan proses transmisi juga semakin besar.

Untuk jumlah iterasi decoding, jika semakin banyak jumlah iterasi decoding yang digunakan, maka akan meningkatkan performansi sistem karena nilai estimasi sinyal informasi yang dihasilkan akan semakin mendekati nilai sinyal yang dikirimkan. Sedangkan untuk ukuran block (code length) semakin besar ukuran code length maka performansi sistem semakin baik, karena semakin besar ukuran code length maka perbandingan bit ‘1’ dengan bit ‘0’ semakin rendah, sehingga matriks parity check yang didapat memiliki densitas yang semakin rendah sesuai dengan sifat low density.

Secara keseluruhan, performansi sistem yang menggunakan teknik pengkodean

Regular LDPC lebih baik jika dibandingkan sistem dengan menggunakan Uncoded

MC-CDMA.

BAB V

Gambar

Tabel 2.1 : Perhitungan koefisien
Gambar 4.1 : Grafik BER vs Eb/No Regular dan Irregular LDPC
Gambar 2.2 Model matriks parity check untuk efisiensi encoding oleh Thomas
Tabel 2.1 : Perhitungan koefisien
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bila dilihat bahwa baik kadar vitamin A dalam darah maupun lama diare tidak berbeda bermakna antara kelompok kasus dan kontrol, maka dapat dianggap bahwa suplementasi vitamin A

Intelektual terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Produktif Administrasi Perkantoran di Kelas X SMK 11 Bandung.. Skripsi pada FPEB UPI Bandung:

Benang sintetik yang dapat diabsorbsi yang paling banyak digunakan adalah polygarin 910 (Vicryl) yang dapat menahan luka kira-kira 65% dari kekuatan pertamanya setelah 14 hari

Terlihat metode Jacobian jauh lebih banyak melakukan iterasi dibandingkan metode Newton-Raphson tetapi untuk solusi sistem persamaan nonlinear metode Jacobian

Pada tanggal 1 Januari 2000, nama Coca Cola Bottling Indonesia mulai resmi digunakan dan nama tersebut menjadi suatu nama dagang pada sejumlah perusahaan patungan antara

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran menggunakan permaianan Fun Frame in Physics cocok untuk materi cermin cembung dan efektif

Dengan dilakukannya penelitian ini maka diperoleh gambaran bahwa terdapat variabel yang mempengaruhi mutu website Dinas Pariwisata Pacitan ,yaitu variabel

Mengetahui penerapan model Project Based Learning dan strategi portofolio untuk meningkatkan hasil belajar kognitif biologi dan keterampilan metakognitif siswa kelas XI IPA