ANALISIS HUKUM PRINSIP TRANSPARANSI PENGELOLAAN
KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2004 (STUDI PADA YAYASAN
PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA)
TESIS
Oleh
IRMA FATMAWATI
077005077/HK
FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS HUKUM PRINSIP TRANSPARANSI PENGELOLAAN
KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2004 (STUDI PADA YAYASAN
PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRMA FATMAWATI
077005077/HK
FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS HUKUM PRINSIP TRANSPARANSI PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 (STUDI PADA YAYASAN PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA)
Nama Mahasiswa : Irma Fatmawati Nomor Pokok : 077005077 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH. M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi. A. SH. CN. M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) (Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 20 November 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum
ABSTRAK
Yayasan dalam menjalankan kegiatannya bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan umumnya menerima pendapatan (income) yang berlebih (surplus) setelah dikurangi biaya-biaya. Maka kelebihan pendapatan tersebut bukan merupakan keuntungan organ yayasan, tetapi merupakan kekayaan yayasan yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oleh organ yayasan.
Akhir-akhir ini banyak yang mendirikan yayasan dengan mengutamakan profit atau mengejar/mencari keuntungan dan/atau penghasilan sebesar-besarnya. Padahal pada rumusan Pasal 3 ayat (2) dikatakan dengan jelas bahwa “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan pengawas”. Dengan rumusan yang demikian, maka hasil keuntungan yayasan tidak dapat dipergunakan oleh organ yayasan termasuk pembina, pengurus dan pengawas yayasan untuk memperkaya diri pribadi.
Yayasan sebagai suatu lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum yang dapat menyelenggarakan sendiri kegiatannya dengan harta kekayaan yang terpisah dan berdiri sendiri. Maka kebanyakan kegiatan yang diselenggarakan para pendiri yayasan lebih condong mengembangkan yayasan ke dunia usaha pendidikan karena pendidikan adalah merupakan tonggak kehidupan masyarakat menuju ke depan dan tidak berlaku surut bahkan semakin banyak manusia semakin meningkatnya masyarakat membutuhkan pendidikan sehingga yayasan yang berstatus pendidikan tidak tertutup kemungkinan usahanya akan menurun, bahkan keberadaan yayasan oleh pemerintah juga mendorong peningkatannya dengan jalan pemerintah menyalurkan bantuan dana untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan, tapi para pendiri yayasan selalu mencoba-mencoba untuk mencari keuntungan dengan tidak menyalurkan dana bantuan tersebut secara keseluruhan demikian juga sebagai hasil keuntungan yayasan yang selalu dimanfaatkan pendiri yayasan sebagai mata pencahariannya sehingga hasil keuntungan yayasan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk keperluan merehabilitasi yayasan. Bahkan pendiri yayasan sama sekali tidak menerapkan prinsip keterbukaan (full disclosure) secara akuntabilitas yang tujuannya agar semua transaksi keuangan yayasan dan semua dana yang ada dilaporkan sesuai yang diterapkan dalam undang-undang yayasan baik dalam pelaporan keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Karena semua yang dilaksanakan oleh pengurus yayasan berarti pengurus yayasan sebagai peran kunci bagi jalannya yayasan.
Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung sepenuhnya pada eksistensi dari yayasan. Ini berarti pengurus merupakan organ kepercayaan yayasan sebagai pengemban (fiduciary duty) bagi kepentingan yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
ABSTRACT
In doing social activity, religious and humanity, the foundation take an income after reduced the expenses get the surplus finally, then it is not the profit, but the surplus have to be put as a foundation property which is used for personil interest by foundation organizer.
Recently, there are so many businessmen built the foundation by emphasizing the profit as big as possible. Where as in the rule of chapter 3 text 2 clearly said that “The foundation can not share the result of the activity affort to the founder, organizer, and controller”. With that rule, then the foundation profit can not be used by foundation organ including the foundation founder, organizer and controle to enrich themselves.
Because the foundation as an organization is acknowledge officially as a corporation can organize its own activity with separate property and stand property. Mostly the activity which is organized by the foundation founder is dominate to develop the foundation to education world effort because education is a main people life to progress and not decrease but so much human then so much increasing people need education then the foundation has education status, probably their effort will get down, even the existence of the foundation by government is also to push the increasing by distributing fund contribution to increase education quality, but the foundation founders are always try to look for the profit by not distribute the fund contribution entirely and as the profit result the foundation is always used by the foundation founders as means of their subsistence, then the result of foundation profit can not be used again for the need The foundation rehabilitation.
Even the foundation founders are not make principle of transparency (full disclosure) accountability which is the purpose that all the foundation financial transactions and all the exist funds are reported according to the foundation law in a financial reporting and tax obligation. All of the is done by the foundation founder means the foundation organizer is a main to the foundation procedure.
The foundation can not do its activity without the organizer, thus the existence of the organizer depend on the existence from the foundation. It means the organizer is a foundation organ reliable as fiduciary duty for the foundation interest to get intention and foundation purpose.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan rahmat dan karunia-Nya jualah
akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Analisis Hukum
Prinsip Transparansi Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan Menurut Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004” (Studi pada
Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya).
Tesis ini dibuat dengan tujuan untuk melengkapi salah satu syarat dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kehidupan manusia selalu membutuhkan bantuan dari orang lain, oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. Sp.A(K). selaku Rektor atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku Pembimbing Utama
sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan sampai
akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
5. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A. SH. CN.
M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan
dan arahan dalam penyelesaian tesis ini;
6. Para Guru Besar dan semua Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama
mengikuti proses perkuliahan;
7. Teman-teman sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan
informasinya yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian
perkuliahan sehingga pembuatan tesis;
8. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terutama Ellika Sari, Andoko,
Isdiana, Abdillah, Theresia dan Rudi Saut yang telah banyak memberikan
masukan dan motivasi pada penulis sehingga tesis ini dapat selesai;
9. Teman-teman di Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya yang telah banyak
memberi informasi kepada penulis;
10.Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Ayahanda (alm)
H.M. Djafar Ali, SH. dan Ibunda yang tercinta Hj. Sri Hayati, SH serta suami
tercinta H. Akhmad Taufik, SE. MBA beserta anak-anak Ahmad Yazid dan
Ahmad Zulkifli, adik-adik H.M. Isa Indrawan, SE. MM. MBA. Hj. Isma
Khaizerani, ST dan H. Ahmad Baqi Arifin, SH. MM. MBA yang telah
sangat setia dan tabah mendampingi dan membantu penulis dalam kehidupan;
11.Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tak
dapat penulis cantumkan nama-namanya di sini, yang telah membantu penulis
Akhirnya penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan dan segala masukan serta saran untuk penyempurnaan tesis ini saya
mengucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Irma Fatmawati
Lahir/Tempat : Medan, 16 April 1966
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Gatot Subroto Km. 4.5 Medan
Telepon : 061- 30106105
Hp : 061- 8459329
Pendidikan :
SD Harapan 1972-1978
SMP Harapan 1978-1982
SMA Panca Budi 1982-1985
Fak. Ilmu Sosial USU 1985-1990
Fak. Hukum Panca Budi 1994-1996
Sekolah Pascasarjana Hukum USU 2007-2009
Suami : Akhmad Taufiq
Anak : 1. Ahmad Yazid
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ………... vii
DAFTAR GAMBAR... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang……….. 1
B. Perumusan Masalah……….. 13
C. Tujuan Penelitian……….. 13
D. Manfaat Penelitian……… 14
E. Keaslian Penelitian………... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 15
1. Kerangka Teori……… 15
2. Kerangka Konsepsi………. 18
G. Metode Penelitian... 20
1. Jenis dan Sifat Penelitian………... 20
2. Metode Pendekatan………... 20
4. Tekhnik Pengumpulan Data……….… 22
5. Analisis Data……… 22
BAB II PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-
UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004... 23
A. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan... 23
1. Pengertian dan Karakteristik Prinsip Transparansi... 23
2. Fungsi Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan
Yayasan... 24
3. Kedudukan Prinsip Transparansi dalam Good
Corporate Governance... 26
B. Pengaturan Prinsip Transparansi dalam UU No. 16
Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004... 35
1. Prinsip Transparansi dalam Pengaturan Yayasan Sebelum Keluarnya UU No. 16 Tahun 2001 jo
UU No. 28 Tahun 2004……….. 35
2. Prinsip Transparansi dalam UU No. 16 Tahun 2001
jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan... 38
C. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan
Usaha Yayasan... 40
1. Pengelolaan Yayasan………... 40
2. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan
Usaha Yayasan………... 42
3. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan
BAB III PERAN DAN FUNGSI PENGURUS DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN
2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004... 54
A. Prinsip dalam Pengelolaan Yayasan... 54
B. Peran dan Fungsi Pengurus dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan... 76
C. Tanggung Jawab Pengurus dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan... 79
BAB IV IMPLEMENTASI PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA... 88
A. Profil Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 88
1. Sejarah Berdirinya Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 88
2. Organ-organ Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya.... 91
3. Kegiatan Usaha Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 93
B. Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 95
C. Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 105
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 109
A. Kesimpulan... 109
B. Saran... 111
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Struktur Organisasi YPDKY... 92
ABSTRAK
Yayasan dalam menjalankan kegiatannya bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan umumnya menerima pendapatan (income) yang berlebih (surplus) setelah dikurangi biaya-biaya. Maka kelebihan pendapatan tersebut bukan merupakan keuntungan organ yayasan, tetapi merupakan kekayaan yayasan yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oleh organ yayasan.
Akhir-akhir ini banyak yang mendirikan yayasan dengan mengutamakan profit atau mengejar/mencari keuntungan dan/atau penghasilan sebesar-besarnya. Padahal pada rumusan Pasal 3 ayat (2) dikatakan dengan jelas bahwa “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan pengawas”. Dengan rumusan yang demikian, maka hasil keuntungan yayasan tidak dapat dipergunakan oleh organ yayasan termasuk pembina, pengurus dan pengawas yayasan untuk memperkaya diri pribadi.
Yayasan sebagai suatu lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum yang dapat menyelenggarakan sendiri kegiatannya dengan harta kekayaan yang terpisah dan berdiri sendiri. Maka kebanyakan kegiatan yang diselenggarakan para pendiri yayasan lebih condong mengembangkan yayasan ke dunia usaha pendidikan karena pendidikan adalah merupakan tonggak kehidupan masyarakat menuju ke depan dan tidak berlaku surut bahkan semakin banyak manusia semakin meningkatnya masyarakat membutuhkan pendidikan sehingga yayasan yang berstatus pendidikan tidak tertutup kemungkinan usahanya akan menurun, bahkan keberadaan yayasan oleh pemerintah juga mendorong peningkatannya dengan jalan pemerintah menyalurkan bantuan dana untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan, tapi para pendiri yayasan selalu mencoba-mencoba untuk mencari keuntungan dengan tidak menyalurkan dana bantuan tersebut secara keseluruhan demikian juga sebagai hasil keuntungan yayasan yang selalu dimanfaatkan pendiri yayasan sebagai mata pencahariannya sehingga hasil keuntungan yayasan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk keperluan merehabilitasi yayasan. Bahkan pendiri yayasan sama sekali tidak menerapkan prinsip keterbukaan (full disclosure) secara akuntabilitas yang tujuannya agar semua transaksi keuangan yayasan dan semua dana yang ada dilaporkan sesuai yang diterapkan dalam undang-undang yayasan baik dalam pelaporan keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Karena semua yang dilaksanakan oleh pengurus yayasan berarti pengurus yayasan sebagai peran kunci bagi jalannya yayasan.
Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung sepenuhnya pada eksistensi dari yayasan. Ini berarti pengurus merupakan organ kepercayaan yayasan sebagai pengemban (fiduciary duty) bagi kepentingan yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
ABSTRACT
In doing social activity, religious and humanity, the foundation take an income after reduced the expenses get the surplus finally, then it is not the profit, but the surplus have to be put as a foundation property which is used for personil interest by foundation organizer.
Recently, there are so many businessmen built the foundation by emphasizing the profit as big as possible. Where as in the rule of chapter 3 text 2 clearly said that “The foundation can not share the result of the activity affort to the founder, organizer, and controller”. With that rule, then the foundation profit can not be used by foundation organ including the foundation founder, organizer and controle to enrich themselves.
Because the foundation as an organization is acknowledge officially as a corporation can organize its own activity with separate property and stand property. Mostly the activity which is organized by the foundation founder is dominate to develop the foundation to education world effort because education is a main people life to progress and not decrease but so much human then so much increasing people need education then the foundation has education status, probably their effort will get down, even the existence of the foundation by government is also to push the increasing by distributing fund contribution to increase education quality, but the foundation founders are always try to look for the profit by not distribute the fund contribution entirely and as the profit result the foundation is always used by the foundation founders as means of their subsistence, then the result of foundation profit can not be used again for the need The foundation rehabilitation.
Even the foundation founders are not make principle of transparency (full disclosure) accountability which is the purpose that all the foundation financial transactions and all the exist funds are reported according to the foundation law in a financial reporting and tax obligation. All of the is done by the foundation founder means the foundation organizer is a main to the foundation procedure.
The foundation can not do its activity without the organizer, thus the existence of the organizer depend on the existence from the foundation. It means the organizer is a foundation organ reliable as fiduciary duty for the foundation interest to get intention and foundation purpose.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yayasan atau stichting merupakan suatu badan usaha yang digunakan
masyarakat untuk melaksanakan berbagai kegiatan sosial seperti pendidikan,
keagamaan, rumah sakit, dan badan sosial lainnya. Masyarakat mempunyai persepsi
bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, keagamaan, rumah sakit
maupun kegiatan sosial lainnya mempunyai tujuan yang bersifat sosial untuk
kepentingan masyarakat.1
Keberadaan yayasan pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan bagi
masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan
bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan merupakan alat yang secara
fungsional menjadi sarana untuk hal-hal atau pekerjaan dengan tujuan sosial,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.2
Dapat disimpulkan bahwa pendirian yayasan atau stichting pada awalnya
sebagai wadah hukum untuk kegiatan yang sifatnya bukan untuk mencari keuntungan
dari berbagai aktivitas yang diselenggarakannya, tetapi sarat dengan motif sosial
dalam rangka membantu kegiatan sosial masyarakat.
1
N. Adnan Amal, Yayasan Sebagai Badan Hukum, Varia Peradilan (Tahun IV, 1989), hal. 20.
2
Di Indonesia kegiatan sosial yang dilakukan yayasan diperkirakan muncul
dari kesadaran masyarakat kalangan mampu yang memisahkan kekayaannya untuk
membantu masyarakat yang mengalami kesusahan. Dipilihnya yayasan sebagai
wadah untuk beraktivitas sosial tentu bukan tanpa alasan. Dibanding dengan bentuk
badan hukum lain yang hanya terkonsentrasi pada bidang ekonomi dan usaha,
yayasan dinilai lebih memiliki ruang gerak untuk menyelenggarakan kegiatan sosial
seperti pendidikan, kesehatan serta keagamaan yang pada umumnya belum ditangani
oleh badan-badan hukum lain.3
Pendirian yayasan di Indonesia pada masa itu dilakukan berdasarkan
kebiasaan dalam masyarakat, doktrin dan yurisprudensi dengan tujuan untuk
kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.4 Walaupun belum diatur dalam
suatu Undang-Undang, tetapi dalam pergaulan hidup yayasan diakui keberadaannya
sebagai badan hukum yang dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat
yang artinya dapat melakukan jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Sehingga
status hukum yayasan sebelum adanya Undang-Undang Yayasan diakui sebagai
badan hukum yang menyandang hak dan kewajibannya sendiri yang dapat digugat
dan menggugat di muka pengadilan, serta memiliki status yang dipersamakan dengan
orang perorangan sebagai subjek hukum dan keberadaannya ditentukan oleh hukum.5
3
Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Op.Cit, hal. 1.
4
Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai
Suatu Badan Hukum Sosial), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 104. 5
Pengakuan terhadap kedudukan yayasan dalam suatu perundang-undangan
baru ada pada tahun 2001, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang
diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dan diberlakukan secara efektif 1 (satu)
tahun kemudian, terhitung sejak tanggal diundangkannya pada tanggal 6 Agustus
2001. Azas dari undang-undang ini adalah transparansi dan akuntabilitas, di mana
maksud dan tujuan yayasan adalah untuk kepentingan sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.6
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan ternyata belum dapat menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan
hukum dalam masyarakat. Masih terdapat berbagai penafsiran tentang yayasan,
sehingga menimbulkan ketidak-pastian dan ketidak-tertiban hukum yang akhirnya
memberi peluang bagi pendiri yayasan untuk tidak mematuhi ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam undang-undang tersebut.7
Dalam rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 7 September
2004, telah disetujui dan disahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Yayasan. Dan berdasarkan persetujuan DPR tersebut
dituangkan dalam bentuk perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 28
6
Yoseph Suardi Sabda, Yayasan dan Perbuatan Melanggar Hukum, makalah Direktur Perdata Kejaksaan Agung, (Jakarta: 2002).
7
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.8
Pada dasarnya tujuan filosofis pendirian yayasan dipahami sebagai badan
hukum yang tidak bersifat komersil atau tidak mencari keuntungan (nirlaba atau
non-profit). Tetapi pada kenyataannya yayasan sering dipergunakan bukan untuk
kepentingan sosial dan kemanusiaan, melainkan untuk memperkaya pribadi pendiri
ataupun pengurus yayasan, menghindari pajak, menguasai suatu lembaga pendidikan
terus-menerus, menembus birokrasi, memperoleh berbagai fasilitas dari negara atau
penguasa dan berbagai tujuan lainnya.9
Banyak hal yang menyebabkan yayasan menyimpang dari tujuan filosofis
pendiriannya, antara lain karena sulit untuk mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan kegiatan sosial. Yayasan pendidikan yang masuk kategori kegiatan sosial,
pada kenyataannya sering dimanfaatkan untuk yang mengejar keuntungan, bahkan
sering dikatakan untuk mendapatkan pendidikan yang baik seseorang harus
membayarnya dengan mahal.10
Pada umumnya Yayasan sering menjalankan usaha-usaha bisnis dan
komersial dengan segala aspek dan manifestasinya, di mana hal ini terjadi karena
adanya perbedaan argumentasi antara pihak pertama yang mengemukakan bahwa
tidak ada larangan bagi yayasan untuk melakukan kegiatan bisnis sehingga yayasan
8
Ibid.
9
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit, hal. 104.
10
boleh berbisnis agar dapat meningkatkan kegiatan perekonomian serta membuka
kesempatan kerja. Pihak lain mengajukan argumentasi bahwa walaupun tidak ada
aturan yang melarang yayasan melakukan kegiatan bisnis, akan tetapi pada
hakekatnya tujuan yayasan bukanlah profit-oriented, melainkan social-oriented.11
Terlepas dari pro dan kontra tentang gerak yayasan dalam lapangan bisnis
tersebut, pada kenyataannya dewasa ini banyak yayasan yang cenderung dan bahkan
nyata-nyata menjalankan usaha-usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek dan
manifestasinya. Apabila ternyata bahwa yayasan sudah jelas-jelas mengalihkan atau
mengubah kegiatannya di bidang usaha, dengan sendirinya bentuk yayasan yang
ditetapkan semula juga harus diakhiri, di mana dengan masuknya yayasan ke bentuk
usaha yang bersifat bisnis tentunya maksud dan tujuannya sudah untuk mencari laba
atau keuntungan.12
Latar belakang keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan dikemukakan dalam bagian awal Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang antara lain menyebutkan bahwa
pendirian yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat
dan yurisprudensi Mahkamah Agung karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya, dan fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk mendirikan
yayasan dengan maksud berlindung di balik status badan hukum yayasan yang tidak
hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan
11
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Op.Cit, hal. 6.
12
kemanusiaan; melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para
pendiri, pengurus dan pengawas.13
Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik
masalah yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud
dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasar, sengketa para pengurus dengan
pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk
menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh
dengan cara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara
hukum karena belum ada hukum positif mengenai yayasan sebagai landasan yuridis
penyelesaiannya.14
Penyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi di tubuh yayasan, secara
terbuka dan nyata terbukti dengan meningkatnya pendirian yayasan yang melibatkan
pendidikan. Hal ini karena banyaknya jumlah masyarakat yang membutuhkan
pendidikan, sehingga kesempatan untuk mendirikan yayasan dengan tujuan mencari
keuntungan dan bukan lagi mempunyai sifat dan tujuan sosial dalam rangka
membantu masyarakat lemah terbuka lebar. Hal ini sangat bertentangan dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004, yang menentukan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
13
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
14
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu
di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
Reformasi hukum mengenai yayasan pada hakikatnya bersifat sangat
mendasar, yaitu meliputi:
1. Aspek organ yayasan, yaitu pembina, pengurus dan pengawas serta
wewenangnya masing-masing;
2. Pengelolaan harta kekayaan menjadi jelas, di mana harta menjadi terpisah tanpa
mengenal pemiliknya;
3. Pengelolaan yayasan bersifat sukarela, yaitu berdasarkan kesanggupan seseorang
untuk menjadi anggota yayasan dan profesional.15
Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat
sosial, keagamaan dan kemanusiaan maka untuk mencapai tujuan yayasan tidak
hanya diperlukan sejumlah uang, akan tetapi juga dibutuhkan orang-orang yang
sanggup dan rela menyumbangkan tenaganya untuk mengurus dan mengelola
yayasan serta mewakili yayasan di dalam ataupun di luar pengadilan.16 Sebagai badan
hukum yayasan juga memiliki organ perusahaan yang terdiri dari pembina, pengurus
dan pengawas. Pengurus dalam hal ini dipercaya sebagai pengelola yayasan, maka
pengurus berkewajiban melaporkan setiap kegiatan yayasan pada pejabat yang
berwenang.17
15
HP Panggabean, Kasus Aset Yayasan dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif
Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 24. 16
Ibid, hal. 121.
17
Apabila yayasan mendapat bantuan dari pemerintah, maka pengurus wajib
melapor pada Instansi Pemerintah yang memberi bantuan. Jika yayasan mendapat
bantuan dari masyarakat ataupun pengurus yayasan mempunyai kekayaan dalam
jumlah tertentu, maka pengurus berkewajiban untuk mengumumkan ikhtisar laporan
yayasan dalam surat kabar. Selain itu ada juga kemungkinan pemeriksaan terhadap
yayasan melalui Badan Peradilan yang dapat dilakukan apabila pengurus dianggap
lalai dalam tindakannya (mismanagement) atau dalam kebijaksanaan pengelolaannya,
ataupun yayasan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan
tindakan yang bertentangan dengan anggaran dasar, atau melakukan tindakan yang
merugikan yayasan atau pihak ketiga.18
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 disebutkan
bahwa reformasi terhadap konsep yayasan dilakukan dengan latar belakang sebagai
berikut:
1. Untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang
yayasan.
2. Menjamin kepastian dan ketertiban hukum.
3. Mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.19
Selain itu sesuai dengan Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
18
HP. Panggabean, Op.Cit. hal. 121.
19
Yayasan, dikatakan bahwa mengingat peranan yayasan dalam masyarakat dapat
menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka penyempurnaan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan pula agar yayasan tetap dapat
berfungsi dalam usaha mencapai maksud dan tujuannya di bidang sosial, keagamaan
dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.20
Yayasan dapat membentuk badan usaha tersendiri yang mengelola kegiatan
komersial; di mana kegiatan usaha dari badan usaha yang dimiliki oleh yayasan dapat
berbetuk:
1. Kesenian dan Budaya.
2. Olah Raga.
3. Perlindungan Konsumen.
4. Lingkungan Hidup.
5. Kesehatan.
6. Ilmu Pengetahuan.21
Dalam kegiatan usaha yang dilakukan yayasan, yayasan masih boleh
mendapat keuntungan sejauh keuntungan yang diperoleh dipergunakan untuk tujuan
yang idealistis yakni yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Usaha yang
memperoleh keuntungan ini bertujuan agar yayasan tidak bergantung pada bantuan
dan sumbangan.22
20
Ibid.
21
HP Panggabean, Op.Cit. hal. 42.
22
Dalam menjalankan usahanya, yayasan dapat mendirikan badan usaha, yang
kegiatannya tetap harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan; namun pembina,
pengurus dan pengawas yayasan tidak diperkenankan merangkap jabatan sebagai
direksi, pengurus, komisaris ataupun pengawas dari badan usaha tersebut. Pembagian
organ dalam yayasan ini dimaksudkan untuk menghindari konflik intern yayasan
yang tidak hanya merugikan kepentingan yayasan melainkan juga pihak lain.23
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
yayasan pada hakikatnya merupakan organisasi hybrid di mana sebagian aktivitas
yayasan berada dalam domain organisasi non profit, namun sebagian dapat
melakukan kegiatan komersial yang bertujuan untuk mencari keuntungan semata.
Dengan demikian pengelolaan terhadap harta yayasan juga dipandang perlu dilakukan
penataan ulang dan pembenahan diri.
Pengelolaan yayasan secara profesional dan efisien dengan penerapan prinsip
transparansi dalam setiap kegiatan operasionalnya sudah merupakan kebutuhan
pokok pada masa sekarang ini. Yayasan pada hakekatnya merupakan suatu entitas
hukum yang keberadaannya dalam lalu-lintas hukum di Indonesia sudah diakui oleh
masyarakat luas berdasarkan realita hukum positif yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia.
Kecenderungan masyarakat memilih bentuk yayasan antara lain karena
alasan:
23
a. Proses pendirian sederhana.
b. Tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah.
c. Adanya persepsi dari masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan
subjek pajak. 24
Pengakuan yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subjek hukum
mandiri seperti halnya orang, secara teoritis dalam kenyataannya hanya didasarkan
antara lain karena adanya kekayaan terpisah, tidak membagi kekayaan atau
penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu dan
didirikan dengan akta notaris. Ciri-ciri demikian memang cocok dengan ciri-ciri
badan hukum pada umunya yaitu adanya kekayaan terpisah, adanya tujuan tertentu,
adanya kepentingan sendiri dan adanya organisasi yang teratur.25 Sebagai suatu
lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum yang dapat
menyelenggarakan sendiri kegiatannya, dengan harta kekayaan yang terpisah dan
berdiri sendiri, Yayasan mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan sendiri
dokumen-dokumen kegiatannya. Di mana penyelenggaraan dokumen-dokumen
tersebut dilaksanakan oleh pengurus yayasan, sehingga pengurus yayasan adalah
peran kunci bagi jalannya yayasan. Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan
kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung
sepenuhnya pada eksistensi yayasan. Ini berarti pengurus merupakan organ
24
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 201.
25
Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
kepercayaan yayasan sebagai pengemban fiduciary duty bagi kepentingan yayasan
untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.26
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 pada tanggal 6
Agustus 2001 yang diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004,
menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan di Indonesia
agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya melalui prinsip
transparansi atau keterbukaan dalam setiap kegiatan usahanya.
Prinsip transparansi secara umum merupakan bagian dari Good Corporate
Governance yang merupakan bentuk upaya motivasi pengurus untuk meningkatkan
keberhasilan (effectiveness) dan sekaligus juga mengendalikan prilaku pengurus,
yang dalam hal ini harus dapat menunjukkan keterbukaan informasi kepada publik
mengenai berbagai kebijaksanaan, berikut kejelasan dalam pelaksanaan suatu
kebijaksanaan serta tanggung jawab para pelaksana terhadap pelaksanaan amanat
yang diembankan. Keterbukaan tentang segala informasi yang berkaitan dengan
aktivitas yayasan adalah karakteristik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap yayasan.27
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 merupakan pencerminan
prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan dari sudut manajemen, meliputi
pendokumentasian kegiatan usaha serta data pendukung administrasi keuangan,
26
Yahya Zein, Op.Cit.
27
mekanisme penyusunan laporan tahunan dan pengumuman laporan tahunan di papan
kantor dan surat kabar.28
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 mengatur tentang penggunaan prinsip transparansi dalam
pengelolaan kegiatan usaha yayasan?.
2. Bagaimana peran dan fungsi pengurus yayasan dalam penerapan prinsip
transparansi pada pengelolaan kegiatan usaha yayasan menurut Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004?.
3. Bagaimana penerapan prinsip transparansi dalam pengelolaan kegiatan usaha
pada Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui pengaturan penggunaan prinsip transparansi dalam
pengelolaan kegiatan usaha yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
28
Darwina Wijayanti, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dan Upaya Tata Laksana
2. Untuk mengetahui peran dan fungsi pengurus yayasan dalam penerapan prinsip
transparansi pada pengelolaan yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
3. Untuk mengetahui penerapan prinsip transparansi dalam pengelolaan kegiatan
usaha pada Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan
pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan hukum,
khususnya terkait dengan prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberi informasi
sekaligus sosialisasi terhadap masyarakat umumnya dan khususnya kalangan praktisi
hukum tentang penerapan prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara,
maka penelitian tentang: “Analisa Hukum Prinsip Transparansi Pengelolaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004” belum pernah dilakukan dalam topik dan
permasalahan yang sama.
Dengan demikian, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka sehingga dapat
dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan
dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran
yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat
sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas.
Kerangka teoritis lazimnya dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan juga
dapat dipergunakan dalam penelitian hukum yaitu pada penelitian hukum sosiologis
dan empiris.29
Roscoe Pound dalam teori Sociological Jurisprudence berpendapat bahwa
didalam masyarakat terdapat kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai
kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum atau positivisme
hukum dengan listing law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan
masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. Dalam hal ini ada 2
29
kepentingan yang harus dilindungi yaitu kepentingan publik (negara) dan
kepentingan individu (personal).30
Dalam hal ini hukum yang baik dibentuk dengan mempertimbangkan
berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat, baik kepentingan umum (termasuk
yang utama adalah kepentingan negara), kepentingan individu dan kepentingan
kepribadian.31
Kepentingan umum, individu dan kepribadian membutuhkan kepastian
hukum yang harus dapat menjamin hak dan kewajiban setiap manusia. Kepastian
hukum tercermin dalam bentuk peraturan berupa perundang-undangan yang dapat
menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam masyarakat.
Menurut hukum modern, setiap manusia merupakan pendukung hak dan
kewajiban dalam pergaulan hukum. Bertolak dari mekanisme pergaulan hukum
dalam hidup manusia di masyarakat, maka subjek hukum merupakan salah satu yang
menjadi faktor dari mekanisme hukum.32
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam pergaulan hukum
dikenal dengan istilah subjek hukum (subjectum juris). Tetapi manusia bukanlah
satu-satunya subjek hukum, ada subjek hukum lain yaitu segala sesuatu yang menurut
hukum mempunyai hak dan kewajiban, dan dalam hal ini dinamakan dengan badan
hukum (rechtspersoon).33
30
Bismar Nasution, Filsafat Hukum, (Medan: USU/Diktat Mata Kuliah Filsafat Hukum).
31
Ibid.
32
Sudarsono, Op.Cit. hal. 5.
33
Menurut sifatnya badan hukum ada 2 macam, dan salah satunya adalah
yayasan. Utrech menjelaskan bahwa yayasan di sini merupakan tiap kekayaan
(vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan, dan yang
diberi tujuan tertentu. Dalam pergaulan hukum, yayasan bertindak sebagai
pendukung hak dan kewajiban tersendiri.34
Sebagai suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang
bersifat sosial, maka untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan tersebut,
sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 dikatakan bahwa yayasan boleh melakukan kegiatan usaha
dengan cara mendirikan badan usaha ataupun ikut serta dalam suatu badan usaha.35
Untuk memudahkan masyarakat dalam mengetahui dan mengontrol setiap
kegiatan usaha yayasan, maka dibutuhkan adanya prinsip transparansi dalam setiap
pelaksanaan kegiatan usaha yayasan pelaksanaan.36
Prinsip transparansi merupakan salah satu dari 4 (empat) prinsip utama
dalam Good Corporate Governance yang diartikan sebagai pengelolaan perusahaan
yang baik. Good Corporate Governance disingkat dengan GCG merupakan konsep
yang menyangkut struktur perusahaan, pembagian tugas, pembagian kewenangan dan
pembagian beban tanggung jawab dari masing-masing unsur perusahaan.37
34
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1.
35
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit. hal. 6.
36
Ibid. hal. 95.
37
Prinsip transparansi adalah syarat untuk sempurnanya pertanggungjawaban,
di mana dituntut adanya sikap transparansi agar pertanggungjawaban kerja lebih
terjamin validitas dan akurasi pembuktiannya.38
Prinsip transparansi menyatakan bahwa kerangka pengelolaan perusahaan,
dalam hal ini adalah yayasan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan
informasi yang akurat atau tepat berkaitan dengan materi yang menyangkut kegiatan
usaha dari yayasan tersebut.39
2. Kerangka Konsepsi
Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti, sedangkan
konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan
diteliti.
Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau
pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat
abstrak. Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan
penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini.
Prinsip adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir ataupun
bertindak dan sering diarikan sebagai dasar.40
38
M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 72.
39
Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta: UI Press, 2001), hal. 21.
40
Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai jasa,
produk, dan kebijakan dari institusi atau perusahaan kepada stakeholder dan
shareholder, baik yang berhubungan dengan internal maupun eksternal. Transparansi
sering juga diidentikkan dengan kesempurnaan atau keutuhan informasi.41
Prinsip transparansi merupakan bentuk keterbukaan dalam setiap kegiatan
terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan, sehingga perlu adanya suatu
laporan tahunan keuangan yang merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pihak
ketiga dan jaminan untuk mencegah terjadinya manipulasi.42
Kegiatan adalah aktivitas usaha atau pekerjaan.43
Usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk
mencapai suatu maksud.44
Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 diartikan sebagai badan hukum yang terdiri atas kekayaan
yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.45
41
Djokosantoso Moeljono, Good Corporate Culture Sebagai Inti dari Good Corporate
Governance, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 19. 42
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit. hal. 95.
43
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit. hal. 362.
44
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 532.
45
G. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu ”method” yang berarti cara atau
jalan. Dan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode adalah menyangkut
masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran
ilmu yang bersangkutan.46
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi
normatifnya.47
Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian yang
dilakukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan fakta-fakta
tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi
berdasarkan aspek yurisidis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi
objek penelitian.48
2. Metode Pendekatan
Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif, yakni dengan melakukan analisis terhadap
permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum yang
46
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 16.
47
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005), hal. 46.
48
mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku.
Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. 49
3. Alat Pengumpulan Data
Bahan atau materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh melalui penelitian
kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam
konteks ini, data sekunder mempunyai peranan, yakni melalui data sekunder tersebut
akan tergambar penerapan peraturan perundang-undangan tentang yayasan.
Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data
kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan
berupa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004.
b. Bahan hukum skunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku dan tulisan-tulisan
ilmiah hasil penelitian para ahli.
49
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
c. Bahan hukum tertier berupa bahan yang dapat mendukung bahan hukum
primer, terdiri dari kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia dan kamus besar
Bahasa Indonesia.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang
memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh
dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan penelitian. Dan untuk melengkapi data yang berasal dari studi
kepustakaan tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan wawancara terhadap
organ-organ yayasan yaitu yang mewakili pembina, pengurus dan pengawas Yayasan Prof.
DR. H. Kadirun Yahya.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan
metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir dengan hal-hal yang
khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan perangkat interpretasi dan
kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya penelitian ini digolongkan sebagai
penelitian normatif yang dilengkapi dengan perbandingan penelitian data-data
BAB II
PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004
A. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan 1. Pengertian dan Karakteristik Prinsip Transparansi
Transparansi merupakan suatu prinsip yang sangat penting dalam suatu badan
usaha. Prinsip ini menjamin adanya pengungkapan ataupun keterbukaan segala
informasi yang berkaitan dengan performance serta berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan badan usaha secara tepat waktu dan akurat.50
Pengertian transparansi memberikan suatu petunjuk agar pelaku kunci yang
terlibat untuk bertanggung jawab dan menjamin kinerja pelayanan publik yang baik.
Prinsip transparansi merupakan pelaksanaan keterbukaan dalam setiap kegiatan yang
dilakukan oleh pihak terkait atas pelaksanaan kewenangan yang diberikan padanya.
Prinsip ini terutama berkaitan erat dengan keterbukaan terhadap efektivitas kegiatan
dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan ataupun program yang telah
ditetapkan. Transparansi mempunyai karakteristik:
a. Adanya tujuan yang telah ditetapkan;
b. Penentuan standard yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan;
c. Mendorong penerapan atau pemakaian standarisasi;
50
Adri Mustiko, Peran Prinsip Transparansi dalam Mewujudkan Good Corporate
Governance pada Perseroan Terbatas Terbuka, dikutip dari buku Corporate Governance oleh Tager I.
d. Mengembangkan standard organisasi dan operasional secara ekonomis.51
2. Fungsi Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan
Kehadiran dunia usaha sangat berperan penting dalam menopang kegiatan
perekonomian masyarakat dan bangsa. Dunia usaha akan mendorong menguatnya
sektor riel masyarakat dan sekaligus akan menyerap tenaga kerja serta mengurangi
pengangguran. Perkembangan dunia usaha terutama di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa.
Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan
teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa
yang ditawarkan semakin bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi
dalam negeri.
Sehubungan dengan itu, sudah semestinya dunia usaha juga harus memiliki
tata kelola usaha yang baik dan tidak merugikan kepentingan masyarakat, khususnya
para konsumen. Salah satu solusinya, perlu diberlakukannya dan ditegakkannya
prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) bagi dunia usaha dan praktek
bisnis pada umumnya, sebagai pedoman dan parameter kinerja dunia usaha dalam
menjalankan aktivitasnya. Dalam hal ini kontrol dan pengawasan publik terhadap
praktek bisnis dapat melibatkan baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan kalangan
dunia usaha sendiri. Perkembangan bisnis sekarang menuntut adanya transparansi
51
YB. Sigit Hutomo, “Reformasi Yayasan Perspektif Hukum dan Manajemen, The Jakarta
manajemen dalam mengelola perusahaan. Pihak manajemen harus menyajikan
kondisi perusahaan secara jelas, baik secara finansial maupun operasional.
transparansi manajemen ini tidak lepas dari peran independen yaitu audit eksternal.
Audit eksternal yang independen adalah akuntan publik dan akuntan pemerintah.
Akuntan publik sebagai badan pemeriksa laporan keuangan perusahaan privat,
sedangkan akuntan pemerintah dalam hal ini badan Pemeriksa Keuangan sebagai
Pemeriksa Perusahaan Publik atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena
itu perusahaan Indonesia dapat dipercaya masyarakat maupun investor jika sudah
diperiksa laporan keuangan oleh akuntan dalam tahun-tahun belakangan ini berbagai
tuntutan dari masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang baik merupakan suatu
gejala yang sulit dihindari baik di sektor pemerintahan maupun sektor swasta.
Suatu badan usaha yang bergerak di sektor publik akan memberikan perhatian
yang penuh terhadap prinsip transparansi dalam bentuk prosedur dan penekanan atas
nilai-nilai yang direfleksikan pada kebijakan administratif sehingga memungkinkan
masyarakat untuk menilai bentuk pertanggungjawaban yayasan dalam setiap
aktivitasnya, terutama berkaitan dalam kegiatan usaha yayasan.
Ellwod menjelaskan ada 4 (empat) dimensi transparansi yang harus dipenuhi
oleh organisasi sektor publik atau badan hukum, yaitu:
a. Transparansi Kejujuran dan Transparansi Hukum
Transparansi kejujuran terkait dengan keterbukaan atas tindakan yang tidak
transparansi hukum berkaitan dengan jaminan akan kepatuhan terhadap hukum
dan peraturan yang berlaku;
b. Tranparansi Proses
Transparansi proses terkait dengan prosedur pelaksanaan tugas yang berkaitan
dengan kecukupan informasi yang diberikan pada publik;
c. Transparansi Program
Transparansi program terkait dengan pertimbangan atas pencapaian dari tujuan
yang telah ditetapkan serta program yang memberikan hasil optimal;
d. Transparansi Kebijakan
Transparansi kebijakan terkait dengan keterbukaan setiap organ terkait atas
kebijakan-kebijakan yang diambil dalam rangka pencapaian tujuan.52
3. Kedudukan Prinsip Transparansi dalam Good Corporate Governance
a. Good Corporate Governance (GCG)
Perkembangan konsep Good Corporate Governance (GCG) atau disebut juga
tata kelola usaha yang baik sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum isu Corporate
Governance menjadi kosa kata yang paling hangat di kalangan eksekutif bisnis.
Bersamaan dengan dikembangkannya sistim korporasi di Inggris, Eropa dan Amerika
Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an), isu Corporate Governance telah
muncul ke permukaan meskipun masih berupa saran dan anekdot.53
52
Hamid Abidin, Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan, www.yahoo.com, diakses 20 April 2009.
53
Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam
Good Corporate Governance pada dasarnya digunakan untuk menentukan
arah dan pengendalian kinerja perusahaan seperti monitor dan mengendalikan
keputusan serta tindakan yang akan diambil, mempengaruhi implementasi strategi,
memberi perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham khususnya pemegang
saham minoritas serta hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders).54
Good Corporate Governance merupakan segala aturan hukum yang ditujukan
untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat mempertanggung-jawabkan
kegiatannya di hadapan pemegang saham dan publik.55
Istilah corporate governance untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh
Cadbury Committee pada tahun 1992, yang menggunakan istilah tersebut dalam
laporan mereka yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan ini
dipandang sebagai titik balik (turning point) yang sangat menentukan bagi praktek
corporate governance di seluruh dunia.56
Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai
seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara para pemegang saham,
54
Ibid.
55
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Jakarta: Books Terrace & Library, 2007), hal. 241.
56
Cadbury Report adalah sebutan lazim untuk The Report of Cadbury Committee on
Finansial Aspects of Corporate Governance: The Code of Best Practice, sebuah laporan yang
dikeluarkan oleh Cadbury-Schweppes tahun 1992. Komite ini dibentuk pada bulan Mei 1991 oleh London Stock Exchange dan profesi akuntan yang diketuai oleh Sir Adrian Cadbury untuk membahas aspek-aspek finansial corporate governance. Komite ini menghasilkan Code of The Best Practice yang kemudian wajib dilaksanakan oleh semua perusahaan terbuka di Kerajaan Inggris (Sumber: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Memahami Good Government Governance dan Good
manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan
lainnya baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan
tanggung-jawab mereka.57
Pembahasan mengenai Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat
dipisahkan dengan konsep dan sistim korporasi itu sendiri, serta keterkaitan hubungan
antara manajemen, direksi, dewan komisaris, shareholders dan stakeholders dalam
suatu korporasi. Hal ini mengakibatkan Good Corporate Governance (GCG)
berkembang pesat.
Setiap negara atau lembaga internasional memiliki definisi yang berbeda
berkenaan dengan Good Corporate Governance (GCG), antara lain:
1. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) menyatakan bahwa
corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka. Atau dengan kata lain
suatu sistim yang mengendalikan perusahaan;
2. World Bank
World Bank menyatakan bahwa corporate governance merupakan suatu
gabungan daripada hukum, peraturan serta praktek-praktek usaha yang
diterapkan dalam dunia korporasi, dengan tujuan untuk menarik masyarakat
57
pemodal melaksanakan efisiensi serta untuk eksistensi daripada usaha yang
dimaksud;
3. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No.KEP-117/MMBU/2002
tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) Keputusan Menteri BUMN tersebut menyatakan bahwa
corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh
organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya berlandaskan
peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.58
Banyak pendapat lain yang dikemukakan oleh negara-negara dan lembaga
internasional tentang definisi corporate governance, di mana masing-masing
mempunyai konsep dan tujuan tersendiri. Tetapi pada dasarnya semua memiliki suatu
persamaan dalam hal ingin dicapainya suatu kinerja perusahaan yang baik sehingga
memberi keuntungan bagi para pemegang saham dan stakeholder lainnya. Oleh
karena banyaknya pendapat dari berbagai negara dan lembaga internasional, akhirnya
Organization for Economic Corporation and Development (OECD) membuat suatu
rumusan mengenai Good Corporate Governance sehingga terdapat kesamaan
formulasi yang diberlakukan di setiap yurisdiksi hukum masing-masing negara.
Organization for Economic Corporation and Development (OECD) mendefinisikan
corporate governance sebagai suatu struktur yang olehnya para pemegang saham,
58
komisaris dan manajer menyusun tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk
mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja.59
Pada dasarnya pemahaman mengenai corporate governance dapat dibagi
menjadi 2 (dua) unsur, yaitu:
1. Unsur yang berasal dari dalam perusahaan
Unsur yang berasal dari dalam perusahaan terdiri dari pemegang saham, direksi,
dewan komisaris, manajer, pekerja atau serikat pekerja, sistim remunerasi
berdasarkan kinerja dan komite audit;
2. Unsur yang berasal dari luar perusahaan
Unsur yang berasal dari luar perusahaan terdiri dari kecukupan undang-undang
dan perangkat hukum lainnya, investor baik dari dalam maupun luar negeri,
institusi penyedia informasi, akuntan publik, konsultan hukum, institusi yang
memihak kepentingan publik bukan golongan, pemberi pinjaman dan pengesah
legalitas.60
Corporate governance mensyaratkan adanya struktur dan perangkat untuk
tercapainya tujuan dan pengawasan atas kinerja. Dalam hal ini corporate governance
harus dapat menjadi rangsangan atau pendorong bagi manajemen untuk mencapai
tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan atau badan hukum, dan dapat
59
Ibid.
60
memfasilitasi pemonitoran atau pengawasan yang efektif sehingga mendorong
perusahaan atau badan hukum untuk menggunakan sumber daya dengan efisien.61
Dalam hal pengembangan badan hukum seperti yayasan, diharapkan GCG
dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik. Kerangka corporate governance harus
menjadi pedoman strategik dari suatu badan usaha seperti halnya yayasan, mencakup
pemonitoran manajemen yang efektif oleh pengawas yayasan dan transparansi
pengurus dalam setiap kegiatan usaha yayasan berkaitan dengan pengungkapan yang
tepat waktu dan akurat.62
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan rangkain hubungan
antara manajemen perusahaan, shareholder dan stakeholder sehingga terbentuk sistim
dan struktur yang memungkinkan organ-organ yayasan atau stakeholder untuk
mengendalikan yayasan; mencakup proses pengambilan keputusan, pemantauan dan
pengawasan yayasan mendukung terakomodasinya aspirasi mereka dalam perumusan
tujuan yayasan serta pemantauan atas proses pencapaian tujuan tersebut berikut
kinerja yang telah dicapai.63
b. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan pentingnya corporate governance,
Organization for Economic Corporation Development (OECD) sebagai organisasi
internasional di bidang ekonomi dan pembangunan yang didirikan pada April 1998
telah mengembangkan seperangkat prinsip-prinsip yang dapat diterapkan secara
61
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.
62
Ibid.
63
fleksibel sesuai dengan keadaan, budaya dan tradisi masing-masing negara.
Prinsip-prinsip ini diharapkan menjadi titik rujukan bagi pemerintah (regulator) dalam
membangun framework bagi penerapan corporate governance.64
Prinsip-prinsip OECD menyangkut 5 (lima) bidang utama, yaitu:
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the right of shareholder);
2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham (the equitable
treatment of shareholders);
3. Peran para pemegang kepentingan yang terkait dengan perusahaan (the rule
of stakeholders);
4. Keterbukaan dan transparansi (disclosure and transparency);
5. Akuntabilitas para dewan (the responsibilities of board).65
Prinsip-prinsip OECD terkait langsung dengan permasalahan yang dihadapi
dunia usaha pada umumnya yakni masalah korupsi dan ketidakjujuran, tanggung
jawab sosial dan etika korporasi, tata kelola sektor publik dan reformasi hukum.66
Dalam usaha pencapain tujuan korporasi, terdapat 4 (empat) prinsip utama
dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang sejalan dengan
prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh Organization for Economic Corporation Development
(OECD), yaitu:
64
I Nyoman Tager, Op.Cit. hal. 30.
65
Ibid.
66
1. Keadilan atau kewajaran (fairness);
Prinsip ini tercermin melalui keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dengan memberi perlakuan yang sama terhadap para
pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham
asing melalui keterbukaan informasi serta melarang pembagian untuk pihak
sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam.67 Keadilan di sini merupakan
keadilan bagi semua pihak yang terkait dengan yayasan, baik para donator,
masyarakat maupun pemerintah untuk memperoleh perlindungan dari segala
bentuk penipuan oleh yayasan dalam bentuk informasi ataupun praktek tidak
sehat lainnya; 68
2. Transparansi atau keterbukaan (transparency)
Prinsip ini menekankan pada keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materiil dan relevan mengenai perusahaan. Dalam hal ini hak-hak para pemegang
saham harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya serta dapat
ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai
perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari
67
Ibid, hal. 49.
68