G. Metode Penelitian
3. Alat Pengumpulan Data
Bahan atau materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam konteks ini, data sekunder mempunyai peranan, yakni melalui data sekunder tersebut akan tergambar penerapan peraturan perundang-undangan tentang yayasan.
Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan berupa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
b. Bahan hukum skunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hasil penelitian para ahli.
49
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
c. Bahan hukum tertier berupa bahan yang dapat mendukung bahan hukum primer, terdiri dari kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia dan kamus besar Bahasa Indonesia.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Dan untuk melengkapi data yang berasal dari studi kepustakaan tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan wawancara terhadap organ- organ yayasan yaitu yang mewakili pembina, pengurus dan pengawas Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir dengan hal-hal yang khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya penelitian ini digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan perbandingan penelitian data-data sekunder.
BAB II
PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004
A. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan 1. Pengertian dan Karakteristik Prinsip Transparansi
Transparansi merupakan suatu prinsip yang sangat penting dalam suatu badan usaha. Prinsip ini menjamin adanya pengungkapan ataupun keterbukaan segala informasi yang berkaitan dengan performance serta berbagai permasalahan yang berkaitan dengan badan usaha secara tepat waktu dan akurat.50
Pengertian transparansi memberikan suatu petunjuk agar pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggung jawab dan menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip transparansi merupakan pelaksanaan keterbukaan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak terkait atas pelaksanaan kewenangan yang diberikan padanya. Prinsip ini terutama berkaitan erat dengan keterbukaan terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan ataupun program yang telah ditetapkan. Transparansi mempunyai karakteristik:
a. Adanya tujuan yang telah ditetapkan;
b. Penentuan standard yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan; c. Mendorong penerapan atau pemakaian standarisasi;
50
Adri Mustiko, Peran Prinsip Transparansi dalam Mewujudkan Good Corporate
Governance pada Perseroan Terbatas Terbuka, dikutip dari buku Corporate Governance oleh Tager I.
d. Mengembangkan standard organisasi dan operasional secara ekonomis.51
2. Fungsi Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan
Kehadiran dunia usaha sangat berperan penting dalam menopang kegiatan perekonomian masyarakat dan bangsa. Dunia usaha akan mendorong menguatnya sektor riel masyarakat dan sekaligus akan menyerap tenaga kerja serta mengurangi pengangguran. Perkembangan dunia usaha terutama di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan semakin bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Sehubungan dengan itu, sudah semestinya dunia usaha juga harus memiliki tata kelola usaha yang baik dan tidak merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para konsumen. Salah satu solusinya, perlu diberlakukannya dan ditegakkannya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) bagi dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya, sebagai pedoman dan parameter kinerja dunia usaha dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam hal ini kontrol dan pengawasan publik terhadap praktek bisnis dapat melibatkan baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan kalangan dunia usaha sendiri. Perkembangan bisnis sekarang menuntut adanya transparansi
51
YB. Sigit Hutomo, “Reformasi Yayasan Perspektif Hukum dan Manajemen, The Jakarta
manajemen dalam mengelola perusahaan. Pihak manajemen harus menyajikan kondisi perusahaan secara jelas, baik secara finansial maupun operasional. transparansi manajemen ini tidak lepas dari peran independen yaitu audit eksternal. Audit eksternal yang independen adalah akuntan publik dan akuntan pemerintah. Akuntan publik sebagai badan pemeriksa laporan keuangan perusahaan privat, sedangkan akuntan pemerintah dalam hal ini badan Pemeriksa Keuangan sebagai Pemeriksa Perusahaan Publik atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena itu perusahaan Indonesia dapat dipercaya masyarakat maupun investor jika sudah diperiksa laporan keuangan oleh akuntan dalam tahun-tahun belakangan ini berbagai tuntutan dari masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang baik merupakan suatu gejala yang sulit dihindari baik di sektor pemerintahan maupun sektor swasta.
Suatu badan usaha yang bergerak di sektor publik akan memberikan perhatian yang penuh terhadap prinsip transparansi dalam bentuk prosedur dan penekanan atas nilai-nilai yang direfleksikan pada kebijakan administratif sehingga memungkinkan masyarakat untuk menilai bentuk pertanggungjawaban yayasan dalam setiap aktivitasnya, terutama berkaitan dalam kegiatan usaha yayasan.
Ellwod menjelaskan ada 4 (empat) dimensi transparansi yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik atau badan hukum, yaitu:
a. Transparansi Kejujuran dan Transparansi Hukum
Transparansi kejujuran terkait dengan keterbukaan atas tindakan yang tidak bertentangan dalam bentuk penyalahgunaan jabatan (abuse a power), sedang
transparansi hukum berkaitan dengan jaminan akan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku;
b. Tranparansi Proses
Transparansi proses terkait dengan prosedur pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kecukupan informasi yang diberikan pada publik;
c. Transparansi Program
Transparansi program terkait dengan pertimbangan atas pencapaian dari tujuan yang telah ditetapkan serta program yang memberikan hasil optimal;
d. Transparansi Kebijakan
Transparansi kebijakan terkait dengan keterbukaan setiap organ terkait atas kebijakan-kebijakan yang diambil dalam rangka pencapaian tujuan.52
3. Kedudukan Prinsip Transparansi dalam Good Corporate Governance
a. Good Corporate Governance (GCG)
Perkembangan konsep Good Corporate Governance (GCG) atau disebut juga tata kelola usaha yang baik sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum isu Corporate Governance menjadi kosa kata yang paling hangat di kalangan eksekutif bisnis. Bersamaan dengan dikembangkannya sistim korporasi di Inggris, Eropa dan Amerika Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an), isu Corporate Governance telah muncul ke permukaan meskipun masih berupa saran dan anekdot.53
52
Hamid Abidin, Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan, www.yahoo.com, diakses 20 April 2009.
53
Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam
Good Corporate Governance pada dasarnya digunakan untuk menentukan arah dan pengendalian kinerja perusahaan seperti monitor dan mengendalikan keputusan serta tindakan yang akan diambil, mempengaruhi implementasi strategi, memberi perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas serta hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).54
Good Corporate Governance merupakan segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat mempertanggung-jawabkan kegiatannya di hadapan pemegang saham dan publik.55
Istilah corporate governance untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992, yang menggunakan istilah tersebut dalam laporan mereka yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point) yang sangat menentukan bagi praktek corporate governance di seluruh dunia.56
Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara para pemegang saham,
54
Ibid.
55
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Jakarta: Books Terrace & Library, 2007), hal. 241.
56
Cadbury Report adalah sebutan lazim untuk The Report of Cadbury Committee on
Finansial Aspects of Corporate Governance: The Code of Best Practice, sebuah laporan yang
dikeluarkan oleh Cadbury-Schweppes tahun 1992. Komite ini dibentuk pada bulan Mei 1991 oleh London Stock Exchange dan profesi akuntan yang diketuai oleh Sir Adrian Cadbury untuk membahas aspek-aspek finansial corporate governance. Komite ini menghasilkan Code of The Best Practice yang kemudian wajib dilaksanakan oleh semua perusahaan terbuka di Kerajaan Inggris (Sumber: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Memahami Good Government Governance dan Good
manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan tanggung- jawab mereka.57
Pembahasan mengenai Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat dipisahkan dengan konsep dan sistim korporasi itu sendiri, serta keterkaitan hubungan antara manajemen, direksi, dewan komisaris, shareholders dan stakeholders dalam suatu korporasi. Hal ini mengakibatkan Good Corporate Governance (GCG) berkembang pesat.
Setiap negara atau lembaga internasional memiliki definisi yang berbeda berkenaan dengan Good Corporate Governance (GCG), antara lain:
1. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) menyatakan bahwa corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka. Atau dengan kata lain suatu sistim yang mengendalikan perusahaan;
2. World Bank
World Bank menyatakan bahwa corporate governance merupakan suatu gabungan daripada hukum, peraturan serta praktek-praktek usaha yang diterapkan dalam dunia korporasi, dengan tujuan untuk menarik masyarakat
57
pemodal melaksanakan efisiensi serta untuk eksistensi daripada usaha yang dimaksud;
3. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No.KEP-117/MMBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Keputusan Menteri BUMN tersebut menyatakan bahwa corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.58
Banyak pendapat lain yang dikemukakan oleh negara-negara dan lembaga internasional tentang definisi corporate governance, di mana masing-masing mempunyai konsep dan tujuan tersendiri. Tetapi pada dasarnya semua memiliki suatu persamaan dalam hal ingin dicapainya suatu kinerja perusahaan yang baik sehingga memberi keuntungan bagi para pemegang saham dan stakeholder lainnya. Oleh karena banyaknya pendapat dari berbagai negara dan lembaga internasional, akhirnya Organization for Economic Corporation and Development (OECD) membuat suatu rumusan mengenai Good Corporate Governance sehingga terdapat kesamaan formulasi yang diberlakukan di setiap yurisdiksi hukum masing-masing negara. Organization for Economic Corporation and Development (OECD) mendefinisikan corporate governance sebagai suatu struktur yang olehnya para pemegang saham,
58
komisaris dan manajer menyusun tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja.59
Pada dasarnya pemahaman mengenai corporate governance dapat dibagi menjadi 2 (dua) unsur, yaitu:
1. Unsur yang berasal dari dalam perusahaan
Unsur yang berasal dari dalam perusahaan terdiri dari pemegang saham, direksi, dewan komisaris, manajer, pekerja atau serikat pekerja, sistim remunerasi berdasarkan kinerja dan komite audit;
2. Unsur yang berasal dari luar perusahaan
Unsur yang berasal dari luar perusahaan terdiri dari kecukupan undang-undang dan perangkat hukum lainnya, investor baik dari dalam maupun luar negeri, institusi penyedia informasi, akuntan publik, konsultan hukum, institusi yang memihak kepentingan publik bukan golongan, pemberi pinjaman dan pengesah legalitas.60
Corporate governance mensyaratkan adanya struktur dan perangkat untuk tercapainya tujuan dan pengawasan atas kinerja. Dalam hal ini corporate governance harus dapat menjadi rangsangan atau pendorong bagi manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan atau badan hukum, dan dapat
59
Ibid.
60
memfasilitasi pemonitoran atau pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan atau badan hukum untuk menggunakan sumber daya dengan efisien.61
Dalam hal pengembangan badan hukum seperti yayasan, diharapkan GCG dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik. Kerangka corporate governance harus menjadi pedoman strategik dari suatu badan usaha seperti halnya yayasan, mencakup pemonitoran manajemen yang efektif oleh pengawas yayasan dan transparansi pengurus dalam setiap kegiatan usaha yayasan berkaitan dengan pengungkapan yang tepat waktu dan akurat.62
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan rangkain hubungan antara manajemen perusahaan, shareholder dan stakeholder sehingga terbentuk sistim dan struktur yang memungkinkan organ-organ yayasan atau stakeholder untuk mengendalikan yayasan; mencakup proses pengambilan keputusan, pemantauan dan pengawasan yayasan mendukung terakomodasinya aspirasi mereka dalam perumusan tujuan yayasan serta pemantauan atas proses pencapaian tujuan tersebut berikut kinerja yang telah dicapai.63
b. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan pentingnya corporate governance, Organization for Economic Corporation Development (OECD) sebagai organisasi internasional di bidang ekonomi dan pembangunan yang didirikan pada April 1998 telah mengembangkan seperangkat prinsip-prinsip yang dapat diterapkan secara
61
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.
62
Ibid.
63
fleksibel sesuai dengan keadaan, budaya dan tradisi masing-masing negara. Prinsip- prinsip ini diharapkan menjadi titik rujukan bagi pemerintah (regulator) dalam membangun framework bagi penerapan corporate governance.64
Prinsip-prinsip OECD menyangkut 5 (lima) bidang utama, yaitu:
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the right of shareholder); 2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham (the equitable
treatment of shareholders);
3. Peran para pemegang kepentingan yang terkait dengan perusahaan (the rule of stakeholders);
4. Keterbukaan dan transparansi (disclosure and transparency); 5. Akuntabilitas para dewan (the responsibilities of board).65
Prinsip-prinsip OECD terkait langsung dengan permasalahan yang dihadapi dunia usaha pada umumnya yakni masalah korupsi dan ketidakjujuran, tanggung jawab sosial dan etika korporasi, tata kelola sektor publik dan reformasi hukum.66
Dalam usaha pencapain tujuan korporasi, terdapat 4 (empat) prinsip utama dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang sejalan dengan prinsip- prinsip yang dirumuskan oleh Organization for Economic Corporation Development (OECD), yaitu:
64
I Nyoman Tager, Op.Cit. hal. 30.
65
Ibid.
66
1. Keadilan atau kewajaran (fairness);
Prinsip ini tercermin melalui keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang- undangan yang berlaku dengan memberi perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam.67 Keadilan di sini merupakan keadilan bagi semua pihak yang terkait dengan yayasan, baik para donator, masyarakat maupun pemerintah untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk penipuan oleh yayasan dalam bentuk informasi ataupun praktek tidak sehat lainnya; 68
2. Transparansi atau keterbukaan (transparency)
Prinsip ini menekankan pada keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Dalam hal ini hak-hak para pemegang saham harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya serta dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan- perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari
67
Ibid, hal. 49.
68
keuntungan perusahaan.69 Transparansi di sini merupakan peningkatan keterbukaan atas informasi yang akurat dan tepat waktu atas kinerja yayasan;70 3. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban (accountability)
Prinsip ini menekankan tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris dan auditor. Akuntabilitas merupakan bentuk tanggung jawab manajemen terhadap perusahaan dan para pemegang saham.71 Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban manajemen melalui pengawasan efektif berdasarkan kesetaraan dan keseimbangan kekuasaan antara organ-organ yayasan;72
4. Tanggung jawab (responsibility)
Prinsip ini tercermin dalam bentuk pengakuan atas peranan pemegang saham sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dalam aspek keuangan. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yang tunduk kepada hukum dan bertindak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitarnya.73 Tanggung jawab adalah merupakan bentuk tanggung jawab
69
I Nyoman Tager, Op.Cit. hal. 49.
70
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.
71
I Nyoman Tager, Op.Cit, hal. 49.
72
Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.
73
yayasan sebagai anggota masyarakat untuk mematuhi ketentuan yang berlaku di suatu negara atau lingkungan masyarakat.74
Prinsip transparansi (transparency) mempunyai peranan dan kedudukan yang penting dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG). Pelaksanaan prinsip transparansi perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan agar suatu badan hukum seperti yayasan menjadi lebih efisien dan mampu memberikan pelayanan atau perbaikan pola kerja sehingga kinerja yayasan akan menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.
B. Pengaturan Prinsip Transparansi dalam UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004
1. Prinsip Transparansi dalam Pengaturan Yayasan Sebelum Keluarnya UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004
Yayasan di masa lalu, sebelum negara Republik Indonesia memiliki Undang- Undang Yayasan Tahun 2001, landasan hukumnya tidak begitu jelas, karena belum ada aturannya secara tertulis. Yayasan yang didirikan pada waktu itu menggunakan hukum kebiasaan yang ada dalam praktik. Demikian pula dalam menjalankan kegiatannya, mendasarkan pada hukum kebiasaan. Meskipun demikian, selama itu yayasan dikehendaki berstatus badan hukum. Belum adanya peraturan tertulis mengenai yayasan, berakibat tidak ada keseragaman hukum yang dijadikan dasar bagi sebuah yayasan dalam menjalankan kegiatan untuk dapat mencapai tujuan yang
74
dicita-citakan. Keadaan yang demikian tidak luput dari kelemahan yang dialami oleh yayasan.
Ada beberapa kelemahan yang dapat dijumpai dalam praktik, antara lain bahwa yayasan bersifat tertutup, status hukumnya tidak jelas, dan pengelolaannya belum ke arah profesional. Dengan belum adanya ketentuan tertulis tentang yayasan, menjadikan yayasan yang ada di negara kita pada waktu itu tampak bersifat tertutup. Sifat tertutup tersebut terasa di masyarakat, karena masyarakat pada umumnya tidak mengetahui tentang struktur organisasi suatu yayasan. Orang luar tidak mengetahui apa saja yang menjadi organ yayasan itu. Kemudian dari segi administrasi pendaftaran, tidak ada kewajiban bagi yayasan untuk melakukan pendaftaran ke salah satu instansi pemerintah, sehingga pihak pemerintah tidak dapat melakukan pengawasan terhadap kegiatan yayasan yang telah berdiri. Di samping itu juga tidak ada kewajiban bagi yayasan untuk mengumumkan dalam Berita Negara sehingga masyarakat tidak mengetahui secara resmi tentang adanya yayasan. Dari segi keuangan, tidak ada kewajiban bagi yayasan untuk mengumumkan laporan tahunan dengan menempel di papan pengumuman yayasan atau diumumkan melalui surat kabar, sehingga masyarakat tidak dapat mengetahui kondisi suatu yayasan. Selain sifatnya tertutup, yayasan juga berstatus tidak jelas, apakah sebagai badan hukum atau tidak. Seperti yang dikemukakan oleh Scholten, yang menghendaki bahwa yayasan sebagai badan hukum. Namun masalahnya, suatu organisasi dapat dikatakan sebagai badan hukum, harus melalui suatu proses yaitu adanya pengesahan dari pemerintah. Dengan tidak adanya peraturan tertulis tentang yayasan pada waktu itu,
mengalami kesulitan untuk dapat mengatakan bahwa yayasan itu adalah badan hukum.
Sebagaimana di atas tadi disebutkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Yayasan Tahun 2001, struktur organisasi yayasan tidak jelas. Jika dalam suatu perseroan terbatas organnya berupa RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), direksi dan komisaris. Direksi yang kerjanya mengurus perseroan diawasi oleh komisaris dan RUPS sebagai wadah untuk mengatasi persoalan yang ada dalam perseroan. Dalam organisasi yayasan pada waktu itu tidak jelas, apakah ada lembaga pengawasan seperti komisaris yang bertugas mengawasi pekerjaan pengurus yayasan. Di samping itu apakah ada lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam yayasan seperti RUPS? yang dapat mengangkat dan memberhentikan pengurus jika melakukan kesalahan yang merugikan yayasan. Kemudian tidak jelas pula bagaimana caranya yayasan mencari dana untuk kepentingan yayasan dan bagaimana cara penggunaan dana tersebut, apakah sebagian dapat dibagikan kepada pengurus maupun personel organ yayasan lainnya? selanjutnya tidak pula dapat diketahui dengan jelas tentang bagaimana pengurus mempertanggungjawabkan keuangan yayasan untuk setiap tahunnya. Dengan tidak jelasnya struktur organisasi dan masalah mengurus keuangan yayasan, merupakan salah satu alasan untuk mengatakan bahwa pengelolaan yayasan belum secara profesional alias secara tradisional.
2. Prinsip Transparansi dalam UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
Sebelum tahun 2001, peraturan tertulis tentang yayasan belum ada. Dalam KUH Perdata tidak dijumpai ketentuan mengenai yayasan. Demikian pula dalam KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak mengaturnya. Di Belanda telah memiliki KUH Perdata yang baru dan berlaku mulai tahun 1977, tampak bahwa yayasan diatur secara khusus bersama-sama dengan Rechtpersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 285 sampai Pasal 305. Pengaturan yayasan dalam pasal-pasal tersebut dilakukan secara sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya,