• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERAN DAN FUNGSI PENGURUS DALAM

A. Prinsip dalam Pengelolaan Yayasan

Untuk mencapai maksud dan tujuan daripada didirikannya yayasan, maka perlu dibentuk organ yang dinamakan pengurus. Pengurus menempati kedudukan sentral dalam mengendalikan yayasan dan hal ini memberikan tanggung jawab yang besar baik internal maupun eksternal dan pertanggungjawaban pengurus dapat dihubungkan dengan tugas dan wewenang yang melandasi kegiatan para pengurus.98

Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, dan pengurus yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan tersebut untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Hal ini berarti menunjukkan bahwa pengurus harus menjalankan tugasnya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan yayasan.99

Kewajiban pengurus dalam menjalankan tugasnya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab diatur dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa

98

Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan

Masyarakat (Suatu Tinjauan Mengenai Yayasan Sebagai Badan Hukum dalam Menjalankan Kegiatan Sosial), (Medan: Fa Hasmar, 1991), hal. 63.

99

setiap anggota pengurus menjalankan tugas dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan yayasan.100

Iktikad baik dan penuh tanggung jawab merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam menjalankan sebuah tugas atau pekerjaan. Iktikad baik dan kejujuran sangat penting dalam bekerja karena kejujuran akan mengesampingkan kecurangan-kecurangan yang akan terjadi, dan akan juga menghindari terjadinya bentuk-bentuk kejahatan.101

Di lain pihak kejujuran saja tidak cukup jika tidak disertai dengan tanggung jawab yang penuh. Dalam setiap pekerjaan selalu timbul permasalahan yang harus segera diatasi dan dalam mengatasinya diperlukan kecepatan dan ketepatan waktu, di sinilah tanggung jawab seseorang dalam melakukan pekerjaan mulai berbicara.102

1. Fiduciary Duty

Prinsip fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasal dari sistim hukum common law, di mana prinsip ini mengajarkan bahwa antara direktur dalam hal ini pengurus dengan perseroan atau yayasan terdapat hubungan fiduciary, sehingga pihak direktur atau pengurus yayasan bertindak seperti trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan sebaik-baiknya kepada perusahaan /yayasan.103

100

Gatot Supramono, Op.Cit. hal. 93.

101

Ibid.

102

Ibid.

103

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Bisnis, Diktat Mata Kuliah Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum USU, (Medan: 2008), hal. 11.

Pengurus dalam melakukan tugas berdasarkan kepercayaan yang diberikan kepadanya, maka dalam hal ini pengurus harus bertindak/berbuat untuk kepentingan yayasan secara keseluruhan dan bukanlah untuk kepentingan pribadi organ-organ yayasan dan harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.104

Pengurus dalam membuat keputusan harus bertolak dengan landasan bahwa tugas dan kedudukannya diperoleh berdasarkan 2 (dua) prinsip dasar, yaitu:

a. Fiduciary duty yaitu kepercayaan yang diberikan kepadanya, sehingga keputusan yang diambil harus dengan iktikad baik untuk kepentingan yayasan;

b. Duty of skill and care yaitu kepercayaan yang diberikan kepadanya berdasarkan kecakapan dan kehati-hatian, sehingga perbuatan yang dilakukan harus untuk tujuan yang benar sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.105 Prinsip-prinsip dalam doktrin fiduciary adalah:

a. Pengurus dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan yayasan (the conflict rule);

b. Pengurus tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memproleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan yayasan (the profit rule);

104

Chatamarrasjid, Op.Cit. hal. 95.

105

c. Pengurus tidak boleh mempergunakan atau menyalahgunakan milik yayasan untuk kepentingan dirinya sendiri atau pihak ketiga (the misappropriation rule).106

Prinsip di atas konsepnya berbeda satu sama lain, akan tetapi selalu diterapkan secara bersamaan dan berhimpitan. Dalam hubungan dengan pengurus tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi karena posisi yang dijabatnya, maka tindakan pengurus yang dapat merugikan yayasan adalah melakukan transaksi antara yayasan dengan dirinya sendiri ataupun mengambil kesempatan memperoleh keuntungan yang seharusnya untuk yayasan, dilaksanakannya sendiri bagi kepentingannya. Dalam buku korporasi hal ini biasa disebut self dealing dan corporate opportunity.107

Konsep kewajiban fiduciary didasari oleh agency theory di mana permasalahan agency muncul ketika kepengurusan badan hukum terpisah dari kepemilikan. Dengan kata lain, pembina, pengurus dan pengawas sebagai agent dalam suatu yayasan mempunyai kepentingan yang berbeda dengan pihak ketiga. Sehingga organ yayasan mempunyai kepentingan yang berbeda dengan pihak ketiga. Dalam hal ini organ yayasan terutama pengurus tidak mempunyai conflict of interest terhadap transaksi yang dilakukan oleh yayasan.108

Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika transaksi bisnis atau property yang dilakukannya bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya,

106

Ibid.

107

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 33. 108

melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain, di mana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Sementara itu, di lain pihak dia wajib mempunyai iktikad baik yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya.109

Antara orang yang mempunyai kapasitas fiduciary (capacity fiduciary) dengan baik yang diasuhnya atau harta benda yang diasuhnya, terdapat suatu hubungan khusus yang disebut dengan hubungan fiduciary (fiduciary relation). Dalam hal ini, seseorang percaya kepada orang lain, di mana orang lain tersebut bertindak dengan iktikad baik (good faith) dan dengan penghormatan yang baik (due regard) dan fair kepada kepentingan orang lain.110

Pengurus berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap keuntungan pribadi yang diperoleh karena jabatannya kepada yayasan, kemudian pengurus tidak boleh berada dalam posisi di mana kewajibannya terhadap yayasan bertentangan dengan kepentingan pribadinya (the profit rule). Dengan demikian apabila terdapat bertentangan antara kepentingan diri pengurus dan kepentingan yayasan, misalnya pengurus tidak dapat menjual miliknya pribadi kepada yayasan, karena dalam hal ini terdapat pertentangan kepentingan antara pribadi pengurus dengan kepentingan yayasan, pribadi pengurus menghendaki agar miliknya dapat terjual dengan harga

109

Ibid.

110

yang setinggi-tingginya, akan tetapi sebaliknya pengurus berkewajiban agar yayasan dapat membeli dengan harga yang serendah mungkin.111

Secara analogi, pengurus yayasan dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa:

a. Bertindak dengan iktikad baik;

b. Senantiasa memperhatikan kepentingan yayasan dan bukan kepentingan pembina, pengurus atau pengawas yayasan;

c. Kepengurusan yayasan harus dilakukan dengan baik, sesuai dengan tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya, dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa pengurus tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri;

d. Tidak diperkenan untuk melakukan tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan yayasan dengan kepentingan pengurus yayasan.112

Keempat hal tersebut menjadi penting, karena pada dasarnya keempat hal tersebut mencerminkan bahwa antara pengurus yayasan dan yayasan terdapat suatu bentuk hubungan saling ketergantungan, di mana:

a. Yayasan bergantung pada pengurus yayasan sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan pengurus yayasan;

111

Chatamarrasjid, Op.Cit. hal. 97.

112

b. Yayasan merupakan sebab keberadaan pengurus yayasan, maka tanpa yayasan tidak pernah ada pengurus yayasan.113

Rumusan Pasal 35 butir ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menyatakan pengurus yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan, di mana ketentuan tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa tugas dan tanggung jawab pengurus yayasan tersebut di atas adalah merupakan tanggung jawab seluruh pengurus yayasan. Setiap pengurus yayasan tidak secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada yayasan. Ini berarti setiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah satu atau lebih anggota pengurus yayasan akan mengikat pengurus yayasan lainnya, selama dan sepanjang tindakan, perbuatan atau perjanjian yang dibuat oleh anggota pengurus yayasan tersebut dilakukan masih dalam kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar yayasan.

Setiap tindakan anggota pengurus yayasan yang berada di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar yayasan hanya akan mengikat anggota pengurus lainnya, jika yang terakhir tersebut secara tegas menyetujui tindakan tersebut dan menyatakan dirinya terikat pada tindakan tersebut.

Konflik kepentingan ini terutama timbul apabila pengurus secara pribadi melakukan transaksi dengan yayasan atau pengurus mempekerjakan dirinya sendiri untuk memperoleh kontra prestasi dari yayasan. Apabila seseorang pengurus

113

melanggar fiduciary duty, maka pengurus yang memperoleh keuntungan dari pelanggaran tersebut, diwajibkan menanggung akibatnya, sebagaimana seorang constructif trustee, begitu pula setiap orang yang diketahui membantu terjadinya pelanggaran atau menerima keuntungan juga dibebani kewajiban untuk memegangnya sebagai seorang constructif trustee.114

Pihak Ketiga yang menerima sebidang tanah milik yayasan umpamanya, dan mengetahui bahwa tujuannya adalah tidak patut dan melanggar fiduciary duty wajib mempertanggungjawabkannya kepada yayasan, sebagai seorang yang dipercayai dan konstruktif.115

2. Piercing The Corporate Veil

Prinsip piercing the corporate veil atau lifting veil diartikan sebagai membuka cadar atau menebus kerudung, yang merupakan prinsip di mana pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga. Tanggung jawab pemegang saham terbatas sebesar jumlah saham yang dimilikinya, walaupun dalam keadaan tertentu pemegang saham dapat bertanggung jawab secara pribadi.116

Pengurus yayasan yang bertindak atas nama yayasan tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga. Dalam hal perbuatan melanggar hukum ataupun perbuatan curang suatu badan hukum, maka di sisi yang dihadapi adalah organisasi yang kompleks yaitu sekelompok orang yang terkait dalam suatu sistem kerja tertentu. Kewenangan bertindak pengurus badan hukum dirumuskan dalam anggaran

114

Chatamarrasjid, Op.Cit. hal. 98.

115

Ibid.

116

dasarnya, merupakan hukum positif yang mengikat semua pengurus dan para pendiri yang tidak dapat dikesampingkan apabila diminta pertanggungjawaban badan hukum tersebut.

Pertanggungjawaban secara pribadi ini dapat dikenakan pada pengurus yayasan apabila melanggar batas kewenangannya berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa pengurus tidak berwenang:

a. Mengikat yayasan sebagai penjamin utang;

b. Mengalihkan kekayaan yayasan kecuali dengan persetujuan pembina; c. Membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain.117

Apabila ketiga hal tersebut di atas dilakukan seorang pengurus yayasan maka dengan sendirinya pengurus tersebut dapat dikatakan telah menembus tirai kewenangannya, maka pertanggungjawabannya kepada pihak ketigapun dilakukan secara pribadi.

Prinsip piercing the corporate veil sebenarnya lebih tegas dijelaskan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimilikinya, tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum terpenuhi dan pemegang

117

Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

saham dalam hal ini terlibat baik secara langsung atau tidak dan dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi, terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan ataupun menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.118

Apabila Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut ditafsirkan kedalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, maka prinsip piercing the corporate veil tersebut dapat dikenakan pada pengurus yayasan apabila akta pendirian yayasan:

1. Belum disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM;

2. Pengurus mempergunakan yayasan untuk memperoleh keuntungan secara pribadi dengan cara:

a. Mengikat yayasan sebagai penjamin utang;

b. Mengalihkan kekayaan kecuali dengan persetujuan pembina; c. Membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain.

3. Pengurus melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya, misalnya yayasan membeli sebidang tanah dengan alasan pengembangan dengan harga yang tinggi, ternyata tanah yang dibeli tersebut adalah milik pengurus;

4. Pendirian yayasan belum diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

118

Dengan demikian maka seorang pengurus dalam memimpin operasional kegiatan yayasan kedudukannya hampir sama dengan direksi pada suatu perseroan, di mana kedua-duanya mempunyai tanggung jawab dan apabila hal ini dilanggar maka dapat dikenakan kesalahan berdasar prinsip piercing the corporate veil.

3. Ultra Vires

Prinsip Ultra Vires merupakan prinsip yang mengatur tindakan perseroan yang tidak dapat dilakukan keluar dari batas kekuasaan perseroan. Dalam hal ini kekuasaan perseroan dimuat dalam anggaran dasar sehingga perseroan tiodak dibenarkan bertindak di luar kekuasaan yang telah dirinci dalam anggaran dasarnya.119

Dalam hal ini yayasan memiliki maksud dan tujuan tertentu yang diatur dalam akta pendirian dan anggaran dasarnya, sehingga semua tindakan atau perbuatan hukum yayasan di luar cakupan maksud dan tujuan yayasan disebut sebagai perbuatan ultra vires.

Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat yayasan. Dalam hal ini ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires yayasan, yaitu:

a. Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggaran dasar yayasan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan yayasan;

119

b. Tindakan dari pengurus yayasan yang berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk anggaran dasar yayasan.120

Dalam melaksanakan tugasnya pengurus yayasan tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yayasan, akan tetapi dapat juga mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan yayasan dengan melakukan perbuatan yang menunjang dan memperlancar tugas-tugasnya, namun perbuatan itu masih berada dalam batas-batas kewenangan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajiban yang diberikan dalam anggaran sasar yayasan (intra vires) dan tidak bersifat ultra vires.121

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menentukan secara tegas mengenai tindakan ultra vires, di mana dikatakan bahwa setiap pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar yang mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga.122

Pengurus juga dapat diminta pertanggungjawabannya secara pribadi apabila membuat kesalahan atau kelalaian, sehingga menyebabkan usaha yang dikelola yayasan mengalami kepailitan. Bahkan dalam hal kepailitan terjadi akibat kesalahan atau kelalaian pengurus sehingga kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup

120

Chatamarrasjid, Op.Cit. hal. 99.

121

Ibid.

122

Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.123 (Pasal 39 butir (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001) jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

4. Transparansi dan Akuntabilitas Yayasan

Tiap pekerjaan mutlak memerlukan adanya pertanggungjawaban. Sampai sekarang banyak sekolah merasa hanya bertanggung jawab kepada Pemerintah atau Yayasan yang memberi uang dan kewenangan. Tidak banyak yang merasa bertanggung jawab kepada masyarakat. Seharusnya, karena sekolah mendidik anak (dari masyarakat), maka sekolah harus bertanggung jawab kepada masyarakat tentang pelaksanaan tugasnya, penggunaan dana (apa kekurangannya dan bagaimana sekolah mengharap bantuan dan dukungan masyarakat untuk mendidik anak secara bersama). Banyak pengalaman yang menyatakan bahwa jika sekolah dikelola secara terbuka dan siap bekerja sama, akan mengundang simpati sehingga masyarakat akan merasa senang memberikan dukungan atau bantuan yang diperlukan sekolah dalam usaha peningkatan layanan pendidikan untuk anak-anak mereka.

Untuk dapat mencapai hal tersebut perlu diterapkan konsep transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”. Transparan/terbuka, hal ini diperlukan dalam rangka menciptakan

123

Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

kepercayaan timbal balik antar pemangku kepentingan melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Akuntabel berhubungan dengan pertanggungjawaban untuk melaporkan, menjelaskan dan membuktikan kebenaran sebuah kegiatan atau keputusan kepada pemangku kepentingan. Tujuan dari lahirnya prinsip transparansi dan akuntabilitas ini antara lain:

1. Mengetahui pentingnya manajemen berprinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada pemberi amanat, termasuk masyarakat;

2. Memahami bahwa sekolah secara legal bertanggung jawab kepada Pemerintah atau Yayasan dan juga bertanggung jawab kepada masyarakat;

3. Mengetahui berbagai cara melaksanakan manajemen dengan prinsip Keterbukaan dan Akuntabilitas di sekolah.

Transparan/terbuka diperlukan dalam rangka menciptakan kepercayaan timbal balik antar pemangku kepentingan melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Akuntabel berhubungan dengan pertanggungjawaban untuk melaporkan, menjelaskan dan membuktikan kebenaran sebuah kegiatan atau keputusan kepada pemangku kepentingan transparansi dan akuntabilitas merupakan konsep baru yang populer dalam literatur serta perbincangan politik dan hukum Indonesia setelah masa pemerintahan Presiden Soeharto. Transparansi dan akuntabilitas berkaitan dengan

konsep governance yang tumbuh dalam khasanah politik selama dua puluh tahun terakhir.124

Good Governance agaknya telah menjadi ajang yang menarik bagi dua kekuatan tersebut. Bersaing atau berbagi peran di dalamnya. Terdapat beberapa perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. UNDP, misalnya, memberikan penekanan khusus pada pembangunan manusia yang berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan transformasi administrasi publik (UN Report, 1998). Sementara itu, Bank Dunia lebih memberikan perhatian pada pendayagunaan sumber daya sosial dan ekonomi bagi pembangunan. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menekankan pada penghargaan hak-hak asasi manusia, demokrasi dan legitimasi pemerintah. Terlepas dari itu semua, Good Governance seringkali dipahami sebagai implementasi otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam proses manajemen berbagai urusan publik dalam suatu negara. Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti transparasi, partisipatif, daya tanggap, wawasan kedepan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi & efektivitas, profesionalisme. Di atas semua itu, atribut utama Good Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam penyelesaian berbagai persoalan publik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu ditegakkan sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan absolut.

124

Ibrahim Assegaf dan Eryanto Nugroho, Tafsir Sempit Akuntabilitas dan Sisi Bisnis Yayasan, Jurnal Hukum Jentera, edisi 2 Tahun 2003, hal. 39.

Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah:

1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah:

a. Pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan;

b. Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders;

c. Adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku; d. Adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi; e. Konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah

ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.

2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah:

a. Penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal;

b. Akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara- cara mencapai sasaran suatu program;

c. Akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat;

d. Ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. Sedangkan Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.

Prinsip transparansi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti: a. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua

proses-proses pelayanan publik;

b. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam sektor publik;

c. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan melayani. Akuntanbilitas dan Transparansi Sebuah Tantangan. Belajar dari sepenggal cerita di atas, hal utama bagi pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan adalah adanya goodwill penyelenggara negara dan Kepercayaan Masyarakat. Baru kemudian disusul dengan ketegasan dari kepala

daerah untuk melaksanakannya. Tanpa modal awal tersebut maka pelaksanaan good governance (khususnya akuntabilitas dan transparansi) di suatu daerah akan terhambat. Sampai saat ini akuntabilitas dan transparansi masih dirasakan sebagai hal yang berat untuk dilaksanakan. Alasan adanya “rahasia dapur” tidak boleh diketahui masyarakat seringkali masih terdengar. Pengetahuan penyelenggara negara tentang apa yang harus dipublikasikan, dan apa yang memang menjadi rahasia negara masih

Dokumen terkait