• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Yayasan, yang dikenal juga sebagai stichting pada zaman Belanda, adalah bentuk badan hukum yang telah lama ada di Indonesia. Sementara peraturan yang mengatur mengenai badan hukum tersebut, masih tergolong baru. Peraturan mengenai yayasan pertama kali berlaku di Indonesia pada tanggal 6 Agustus 2001, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4132). Seiring dengan perkembangan kebutuhan dan hukum dalam masyarakat, serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum,1 beberapa pasal dalam Undang-Undang ini kemudian diubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430).

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, hanya beberapa pasal dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku menyebutkan adanya yayasan seperti Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680 dan Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), serta Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 Rv.

1 Penjelasan Umum Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

▸ Baca selengkapnya: contoh sk penetapan honorarium guru dari yayasan

(2)

(Reglement of de Rechtsvordering).2 Akan tetapi, baik perumusan yayasan maupun pendirian yayasan tidak diatur dalam peraturan-peraturan tersebut. Maka dari itu, pendirian yayasan di Indonesia dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin, dan yurisprudensi.3 Tidak adanya kepastian hukum inilah yang menyebabkan lembaga yayasan yang awalnya diperuntukkan hanya untuk kegiatan sosial berkembang untuk berbagai tujuan, bahkan menimbulkan penyalahgunaan yayasan itu sendiri karena mudahnya mendirikan badan hukum yayasan.4

Masyarakat cenderung mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, tetapi juga digunakan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas.5 Hal ini bertentangan dengan maksud dan tujuan didirikannya yayasan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diikuti dengan perubahannya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan. Undang-Undang tersebut juga diharapkan dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam pendirian yayasan, serta menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi yayasan

2 R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,

Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 111

3

Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis mengenai Yayasan sebagai suatu Badan Hukum Sosial), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1 (selanjutnya disebut Chatamarrasjid Ais 1)

(3)

sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuannya di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan mempunyai tujuan idiil.6 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, mendefinisikan yayasan sebagai “badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”. Terlihat jelas dalam perumusan definisi yayasan tersebut bahwa yayasan lebih tampak sebagai lembaga sosial yang didirikan bukan untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan, melainkan untuk membantu atau meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain.7

Pengertian yayasan tersebut menyatakan bahwa yayasan merupakan suatu badan hukum. Badan hukum (rechtspersoon) yang dimaksud adalah subjek hukum bukan manusia (bukan natuurlijk persoon) yang dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum.8 Status badan hukum tersebut diperoleh yayasan setelah akta pendirian yayasan yang dibuat oleh notaris memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.9

6

I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2002), hal. 60

7 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 1 8 Ibid., hal. 17

9 Pasal 11 (1) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

(4)

Sekalipun bukan merupakan manusia alamiah, badan hukum dianggap mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari manusia perorangannya.10 Ini sesuai dengan pengertian yayasan yang dikemukakan pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa yayasan adalah “badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan…” Kekayaan yang dipisahkan tersebut beralih kepemilikannya kepada yayasan. Maka, yayasan sebagai badan hukum dapat melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan kekayaannya tersebut.11

Tentunya pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban atas kekayaan terpisah yang telah menjadi milik yayasan tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya yayasan yang tertuang dalam Anggaran Dasar Yayasan terkait. Mengenai maksud dan tujuan yang tertuang dalam Anggaran Dasar Yayasan, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menentukan bahwa yayasan hanya dapat didirikan dengan “tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan”. Diundangkannya tujuan pendirian yayasan secara tegas dan jelas ini agar pendirian yayasan tidak disalahgunakan untuk mencapai tujuan komersial atau mencari keuntungan.12

Kemudian, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dengan tegas menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang “tidak mempunyai anggota”. Maksud dari tidak mempunyai anggota disini adalah tidak

(5)

adanya pemegang saham seperti dalam Perseroan Terbatas atau sekutu-sekutu seperti dalam Perseroan Komanditer atau anggota-anggota dalam badan usaha lainnya. Namun demikian, yayasan sebagai badan hukum memerlukan alat perlengkapan yang berwujud manusia alamiah untuk mengurus dan bertindak mewakilinya. Alat perlengkapan ini dikenal sebagai organ-organ yayasan yang terdiri atas pengurus, pengawas, dan pembina.13 Organ-organ tersebut tidak boleh saling merangkap.14 Larangan rangkap jabatan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.15

Ketiga organ tersebut memiliki fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing yang diatur dalam undang-undang. Pengaturan yang tegas mengenai fungsi, tugas dan kewenangan organ-organ yayasan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya konflik intern yayasan yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.

Penelitian ini akan lebih fokus pada salah satu organ yayasan, yaitu Pembina Yayasan. Pembina Yayasan adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas Yayasan yang meliputi antara lain:16

13

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

14 Pasal 29, Pasal 31 (3), Pasal 40 (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang

Yayasan

15 Penjelasan Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 16

(6)

1. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar Yayasan;

2. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan Pengawas Yayasan;

3. penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan; 4. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan; dan 5. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan. Besarnya kewenangan yang diberikan kepada Pembina Yayasan dikarenakan Pembina Yayasan adalah orang yang meletakkan maksud dan tujuan (visi dan misi) tertentu dari yayasan yang didirikan.17 Terlihat dari salah satu syarat pengangkatan anggota pembina yayasan dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa yang dapat menjadi anggota pembina yayasan adalah “orang perseorangan sebagai Pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan”.

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini terkait dengan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan. Pembayaran honorarium ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk pembagian kekayaan yayasan kepada Pembina Yayasan. Undang Yayasan (Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004) secara tegas dan jelas melarang adanya pembagian kekayaan yayasan kepada organ-organ yayasan, termasuk diantaranya Pembina Yayasan.

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyatakan bahwa jika yayasan melakukan kegiatan usaha, “yayasan tidak boleh

(7)

membagikan hasil kegiatan usaha yang dilakukannya kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan”. Ini ditegaskan lebih lanjut pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa:

(1) Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.

(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:

a. bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas; dan

b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh. (3) Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), ditetapkan oleh pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan yayasan.

Tercermin dalam kedua pasal tersebut bahwa terdapat larangan terhadap pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan dalam bentuk apapun kepada organ-organ yayasan, termasuk Pembina Yayasan. Adanya pengecualian yang dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Yayasan tersebut hanya berlaku bagi Pengurus Yayasan apabila Pengurus Yayasan bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan/atau Pengawas Yayasan, serta melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh, maka pengecualian tersebut jelas tidak berlaku pada Pembina Yayasan.

(8)

usaha yayasan merupakan kekayaan yayasan yang digunakan hanya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.18 Maksud dan tujuan yayasan yang dimaksud tentunya yang telah diatur dalam Undang-Undang Yayasan yaitu maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga anggota pembina yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap.19

Kemudian, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menentukan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Yayasan tersebut dapat dipidana dengan:

1. pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; dan

2. pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Larangan pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan dalam bentuk apapun yang juga disertai dengan sanksi pidana ini, menimbulkan protes dari Dahlan Pido, Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie, yang mengajukan permohonan untuk menguji dua pasal mengenai penerimaan honorarium dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 November 2014. Permohonan ini berujung pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015 yang diputuskan pada tanggal 15 April 2015 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 26 Agustus 2015.

18 Penjelasan Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

(9)

Dalam perkara yang berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015 tersebut, Dahlan Pido, sebagai pemohon, merasa bahwa adanya pasal-pasal dalam Undang-Undang Yayasan yang melarang penerimaan honorarium oleh Pembina dan Pengawas Yayasan, serta memberikan sanksi pidana bagi yang melanggarnya, merugikan hak-hak konstitusionalnya. Ia merasa adanya perlakukan diskriminatif terhadap Pembina dan Pengawas Yayasan dalam penerimaan honorarium karena Pengurus Yayasan tidak dilarang untuk menerima honorarium dari kekayaan yayasan.

Mahkamah, di lain pihak, berpendapat berbeda. Menurut pandangan Mahkamah, pasal-pasal yang melarang penerimaan honorarium tersebut sudah tepat karena ketentuan tersebut diatur untuk memisahkan kekayaan yayasan dengan kekayaan para organ yayasan sehingga para organ yayasan betul-betul bertanggung jawab atas kelangsungan yayasan untuk kegiatan beramal. Hakim Konstitusi Suhartoyo berpendapat bahwa peraturan ini adalah “untuk menjamin agar yayasan tidak disalahgunakan, sehingga seseorang Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap.”20

Meskipun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Dahlan Pido untuk seluruhnya, putusan ini patut dianalisis untuk mengetahui pokok pemikiran perancang Undang-Undang Yayasan yang melarang pengalihan kekayaan yayasan kepada

20 Agus Sahbani, “Pembina Yayasan Tetap Dilarang Terima Gaji”, (27 Agustus 2015),

(10)

organ-organ yayasan dengan mengecualikan Pengurus Yayasan. Dengan demikian, penting dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan pokok yang akan diteliti dan dianalisis serta dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tugas dan fungsi Pembina Yayasan dalam suatu yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?

2. Mengapa yayasan dilarang membayar honorarium kepada Pembina Yayasan menurut Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan?

(11)

C. Tujuan Penelitian

Dengan adanya perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan tugas dan fungsi Pembina Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

2. Untuk mengetahui alasan pelarangan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

3. Untuk menganalisis pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat baik secara teoretis maupun praktis, yakni sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

(12)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan serta memberikan pengertian lebih mendalam kepada organ-organ yayasan dan pihak-pihak yang terlibat dengan yayasan mengenai pokok pemikiran perancang undang-undang serta alasan dibalik pelarangan pemberian honorarium bagi Pembina Yayasan.

Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan, serta menambah pengetahuan masyarakat pada umumnya dan dunia perguruan tinggi dalam bidang yang berkaitan dengan yayasan. Selain itu, diharapkan agar karya tulis ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi perpustakan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan tentang atau yang bersangkutan dengan yayasan terutama mengenai pengaturan pemberian honorarium kepada Pembina Yayasan.

E. Keaslian Penulisan

(13)

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015)”. Akan tetapi, terdapat beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan Yayasan, yaitu sebagai berikut:

1. Gostan Adri Harahap, Nomor Induk Mahasiswa 037005015 dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Pengurus terhadap Usaha yang Dikelola Yayasan”.

Permasalahan:

a. Bagaimana pertanggungjawaban Pengurus Yayasan terhadap pengelolaan harta yayasan?

b. Bagaimana hubungan kerja antara Pengurus Yayasan dengan pengurus badan usaha yang didirikan yayasan?

c. Bagaimana tanggung jawab pengurus terhadap kerugian pada usaha yang didirikan yayasan?

2. Saadah, Nomor Induk Mahasiswa 067005023 dengan judul penelitian “Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004”.

Permasalahan:

a. Bagaimana tugas dan wewenang Pengurus Yayasan menurut Undang-Undang Yayasan?

(14)

c. Bagaimana kedudukan dan tanggung jawab Pengurus Yayasan dalam bidang pendidikan?

Berdasarkan pemeriksaan dari penelitian-penelitian terdahulu dalam arsip kepustakaan Universitas Sumatera Utara Medan, belum pernah dilakukan penelitian dengan judul maupun permasalahan yang sama. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya sebab bukan merupakan duplikasi atau plagiarisme dari penelitian yang telah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teoretis dan Konsepsi

1. Kerangka Teoretis

Penelitian memerlukan sebuah landasan atau pedoman dasar untuk menjalankan analisis penelitian. Landasan atau pedoman dasar tersebutlah yang akan diuraikan pada bagian ini sebagai kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis.21 Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.22

(15)

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan gejala yang diamati. Terdapat tiga unsur dalam teori yang berfungsi untuk memberikan pengarahan pada suatu penelitian, yaitu:23

a. Memberikan penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori.

b. Menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata.

c. Memberikan penjelasan atas gejala yang ditemukan.

Berikut ini adalah teori-teori yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini:

a. Teori Harta Kekayaan Bertujuan

Status badan hukum diperoleh yayasan setelah akta pendiriannya memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.24 Selain itu, status badan hukum yayasan juga dapat dilihat dari berbagai teori badan hukum. Salah satunya adalah teori harta kekayaan bertujuan.

Teori harta kekayaan bertujuan yang dipelopori oleh A. Brinz, yang kemudian diikuti oleh Van der Heijden, meyakini bahwa yang terpenting dalam suatu subjek hukum adalah “kekayaan yang diurus untuk suatu tujuan tertentu”.25 A. Brinz dalam bukunya Lehrbuch der Pandecten menyatakan bahwa:26

23

Sutan Reny Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: IBI, 1993), hal. 8

24

Pasal 11 (1) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

25 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013),

hal. 177

26 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 34 (selanjutnya disebut Chidir

(16)

Only human beings can be considered correctly as ‘person’. The law, however, protects purpose other than those concerning the interest of human beings. The property ‘owned’ by corporations does not ‘belong’ to anybody. But it may be considered as belonging for certain purposes and the device of the corporation is used to protect those purpose.

Teori ini meyakini bahwa hak-hak dari suatu badan hukum adalah hak-hak yang tidak ada pemiliknya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.27 Pembahasan tersebut jelas menggambarkan bahwa hanya manusia yang dapat diakui sebagai subjek hukum, akan tetapi teori ini mengakui adanya kekayaan yang dipisahkan dan tidak dimiliki oleh manusia, yang digunakan untuk tujuan tertentu. Kekayaan terpisah yang tidak dimiliki siapa-siapa dan memiliki tujuan tertentu inilah yang teori ini pandang sebagai badan hukum.

Penerapan teori ini pada yayasan dapat terlihat dari definisi yayasan oleh Riduan Syahrani yaitu “yayasan merupakan harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu”.28 Maka, yayasan merupakan tiap kekayaan yang tidak termasuk kekayaan orang maupun badan, yang diberi tujuan tertentu.29 Jadi, yayasan tidak memiliki anggota, yang ada hanyalah pengurusnya, yang melakukan segala kegiatan untuk mencapai tujuan yayasan dengan menggunakan kekayaan yang ditersendirikan tersebut.

27

R. Ali Rido, op.cit., hal. 10

28 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

1999), hal. 148

(17)

Ini sesuai dengan pandangan Van Apeldoorn yang menyatakan bahwa “yayasan adalah harta yang mempunyai tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya.”30 Jadi, ada harta dengan tujuan tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk sesuatu subjek, sehingga dalam pergaulan diperlakukan seolah-olah adalah subjek hukum. Maka, yayasan termasuk dalam kategori badan hukum sebagai kumpulan harta. Dalam kategori ini, badan hukum memiliki kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya, yaitu pendiri atau para pendiri yayasan, dimana kekayaan tersebut digunakan bagi kepentingan tertentu saja.31 Kekayaan ini, menurut teori harta kekayaan bertujuan A. Brinz, bukanlah milik siapa-siapa (manusia), melainkan milik tujuan yayasan itu sendiri (bukan manusia).32

Kekayaan yayasan yang ditersendirikan atau dipisahkan dari pemiliknya, sehingga menjadi kekayaan yayasan yang akan digunakan sesuai maksud dan tujuan yayasan tersebut dapat berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang berasal dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.33

Kekayaan tersebut kemudian digunakan untuk tujuan atau kepentingan tertentu. Tujuan atau kepentingan tertentu dalam hal ini adalah tujuan didirikannya yayasan,

30 Anwar Borahima, op.cit., hal. 64-66 31 Munir Fuady, op.cit., hal. 187 32 R. Ali Rido, op.cit., hal. 10 33

(18)

yaitu dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.34 Maka, yayasan dalam mengurus kekayaannya, harus sesuai dengan tujuan didirikannya yayasan sesuai dengan yang tercantum dalam anggaran dasarnya, yaitu tidak diperuntukkan untuk mencari keuntungan, tetapi memiliki tujuan dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Teori Harta Kekayaan Bertujuan dipandang dapat digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Teori Harta Kekayaan Bertujuan meyakini bahwa badan hukum memiliki kekayaan terpisah yang terikat pada suatu tujuan.

2) Kekayaan yayasan merupakan kekayaan yang terpisah dari pemiliknya dan dipergunakan sesuai dengan tujuan tertentu yang tercantum pada anggaran dasarnya, yaitu tujuan di bidang sosial, keagamaan dan/atau kemanusiaan.

b. Teori Tujuan Sosial

Sosial artinya “berkenaan dengan masyarakat.”35 Kemudian, sosial juga dapat berarti “suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan sebagainya).”36 Maka, yayasan memiliki tujuan yang sosial berarti yayasan memiliki tujuan yang berkenaan dengan masyarakat, serta memperhatikan kepentingan umum. Ini didukung oleh deskripsi F. Emerson Andrews tentang yayasan. Ia

34 Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

35 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia

(19)

mendeskripsikan yayasan sebagai “instrument for the contribution of private wealth to public purpose”.37 Ini berarti yayasan adalah sebuah alat atau cara untuk memberikan kontribusi dari kekayaan pribadi untuk kepentingan umum. Pandangan ini sesuai dengan definisi yayasan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyatakan bahwa yayasan “terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan,…”

Menurut Robert Clifton Weaver, terdapat empat alasan dilakukannya kegiatan yang bertujuan sosial, antara lain:38

1) Tindakan yang Altruistis (altruistic behaviour)

Tindakan yang altruistis adalah tindakan-tindakan yang “bersifat mendahulukan kepentingan orang lain.”39 Tindakan atau kelakuan yang altruistis merupakan perpanjangan dari kebutuhan dasar manusia untuk melindungi sesamanya.40

2) Kebanggaan (pride)

Seorang yang memiliki kekayaan berlebih dapat mendirikan sebuah lembaga yang dapat diingat sebagai kedermawanannya, serta perhatiannya

37 F. Emerson Andrews, American Foundation for Social Welfare, dalam Shelby M. Harrison,

“Foundation and Public Service”, The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 9, No. 1, Oktober 1949, (New Jersey: Blackwell Publishing Ltd., 1949), hal. 107

38

Development Assistance Committee, “Philanthropic Foundations and Development Co-operation”, DAC Journal, Vol. 4, No. 3, (Organisation for Economic Co-operation and Development, 2003), hal. 12-14

39 Pusat Bahasa, op.cit., hal. 44 40

(20)

pada kesejahteraan umum.41 Yayasan dapat menjadi salah satu pilihan lembaga yang didirikan.

3) Kewajiban dari Kepercayaan atau Agama yang Dianut (religion duty) Agama atau kepercayaan merupakan dorongan yang paling nyata dalam melakukan kegiatan sosial. Sebagian besar agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan di dunia memerintahkan umatnya untuk melakukan kegiatan amal, membebaskan kemiskinan dan penderitaan, serta menyambut orang yang baru dikenal.42 Sebagai contoh adalah agama Islam, yang penganutnya paling banyak di Indonesia, memiliki kewajiban zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.43 Tata cara perhitungan zakat ini bahkan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif.

4) Kepentingan Pribadi (self interest)

Terdapat beragam kepentingan pribadi sebagai alasan dari dilakukannya kegiatan sosial. Salah satu kepentingan pribadi yang paling mencolok adalah dalam hal pajak.44

41 Ibid., hal. 13 42 Ibid.

(21)

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yayasan yang bertujuan sosial menurut F. Emerson Andrews:45

1) Non-governmental 2) Non-profit

3) Possessing a principal fund of its own 4) Managed by its own trustees and directors

5) Promotes social, educational, charitable, religious or other activities serving the common welfare

Kriteria-kriteria tersebut dapat diterapkan pada yayasan di Indonesia. Unsur-unsur yayasan di Indonesia yang dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah sebagai berikut:46

1) Badan hukum yang memiliki kekayaannya sendiri

2) Tidak memiliki anggota, melainkan diurus dan diwakili oleh organ-organ yayasan

3) Memiliki tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga merupakan lembaga yang nirlaba karena ia social oriented, bukan profit oriented

Unsur-unsur ini sesuai dengan prinsip-prinsip yayasan yang diungkapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, antara lain:47

1) yayasan adalah badan hukum;

2) yayasan adalah lembaga yang tujuannya amal (charity);

45 F. Emerson Andrews, Philanthropic Foundations, (New York: Russell Sage Foundation,

1956), hal. 11

46

Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”

47 Suherman Toha, et.al., Penelitian Hukum tentang Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja

(22)

3) yayasan adalah lembaga dengan tujuan nirlaba (non profit);

4) yayasan adalah lembaga yang tujuannya sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Pada umumnya, para pakar di Indonesia berpendapat bahwa tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan tersebut haruslah diartikan tujuan amal.48 Arie Kusumastuti M. Suhardiadi berpendapat bahwa “keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”49

Teori tujuan sosial sebagai latar belakang dibentuknya yayasan dipandang dapat digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi tindakan manusia yang bertujuan sosial.

2) Yayasan termasuk salah satu tindakan yang dilatarbelakangi oleh tujuan sosial.

c. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan atau yang juga dikenal sebagai teori utilitarianisme, merupakan teori yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Utilitarianisme berakar dari kata utilitarian yang berarti didesain agar berguna atau bermanfaat dan praktis, menekankan pada fungsi (designed to be useful and practical rather than attractive), dan dari kata utility yang berarti keadaan atau situasi yang berguna atau memiliki

48 Ibid., hal. 105

(23)

kemanfaatan (the quality of being useful).50 Dari pengertian kedua kata tersebut, jelas bahwa teori ini memberikan penekanan pada kegunaan atau kemanfaatan dari sesuatu. Jika dihubungkan dengan kehidupan manusia, teori utilitarianisme memberikan penekanan pada tujuan dari kehidupan manusia, baik berupa tindakan, aktivitas, interaksi, maupun kehidupan itu sendiri.51

Maka pada pokoknya, prinsip utilitarianisme adalah “an action is right from an ethical point of view if and only if the sum total of utilities produceed by that act is greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place.”52 Prinsip tersebut pada intinya membandingkan besar utilitas atau kemanfaatan dari suatu tindakan yang dilakukan dengan tindakan lain yang dapat dilakukan. Jika tindakan yang dilakukan memiliki jumlah utilitas atau kemanfaatan yang lebih besar dari jumlah utilitas atau kemanfaatan dari tindakan lain yang dapat dilakukan, maka tindakan tersebut dianggap benar dari sudut pandang etis.

Dalam konteks hukum, teori ini meyakini bahwa “hukum berfungsi untuk memberikan manfaat yang sebesarnya kepada jumlah orang terbanyak.”53 Maka, kemanfaatan diletakkan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan dari hukum

50 Oxford University, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Seventh Edition, (New York,

Oxford University Press, 2005), hal. 1690

51

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 117

52 Manuel G. Velasquez, Business Ethics: Concepts and Cares, (New Jersey: Pearson

Education Inc., 2002), hal. 76

53 H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), (Bandung: PT

(24)

disini, diukur dengan seberapa besar kebahagiaan yang dapat diberikan hukum kepada manusia atau masyarakat.54

Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar dari teori kemanfaatan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham:55

1) Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, kemudian kepada orang banyak. Jeremy Bentham menyatakan bahwa tujuan utama hukum adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang yang sebanyak-banyaknya (the aim of law is the greatest happiness for the greatest number)

2) Prinsip itu harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama

3) Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat, maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan :

a) untuk memberi nafkah hidup (to provide subsistence)

b) untuk memberikan nafkah makanan berlimpah (to provide abundance) c) untuk memberikan perlindungan (to provide security)

d) untuk mencapai persamaan (to attain equity)

Rudolf von Jhering mengembangkan teori utilitarianisme yang dikemukakan Jeremy Bentham dengan menjelaskan bahwa “tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan” yang ditandai oleh upaya memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan, tetapi kepentingan individu mesti dipahami sebagai dan dijadikan “bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.”56

Maka jelas dalam pandangan Jhering bahwa tujuan hukum untuk memperoleh kebahagiaan atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya, hendaknya dihubungkan

54 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 117

55 Muhammad Erwin, Refleksi Kritis terhadap Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.

(25)

dengan kepentingan sosial. Dalam pandangannya, hukum bertujuan untuk “mengejar kemanfaatan dan menghindari kerugian, juga bertugas mengorganisir tujuan dan kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain.”57

Teori utilitarianisme yang diungkapkan oleh Jeremy Bentham dan Rudolf von Jhering memiliki sedikit perbedaan. Teori utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dikenal juga sebagai utilitarianisme yang individual (individual utilitarianism) karena pendapatnya yang menyatakan bahwa agar tidak terjadi homo homini lupus atau a man is a wolf to another man (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain), keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya.58 Sedangkan teori utilitarianisme yang diungkapkan oleh Rudolf von Jhering dikenal sebagai utilitarianisme yang bersifat sosial (social utilitarianism) karena ia menitikberatkan pada perlindungan kepentingan-kepentingan, sehingga kepentingan-kepentingan individu hendaknya dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan cara menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.59

Meskipun pendapat Jeremy Bentham dan Rudolf von Jhering memiliki sedikit perbedaan, keduanya sepakat bahwa tujuan utama hukum adalah untuk mengejar kebahagiaan atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya.

57

Bernard L. Tanya, et.al., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2013), hal. 99

58 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 118

59 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,

(26)

Dalam teori ini, seperti yang telah dijelaskan dalam konteks hukum di atas, ukuran baik buruknya suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak.60 Dari ukuran tersebut, jelas bahwa teori ini menekankan pentingnya konsekuensi dari perbuatan tersebut dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan. Kualitas moral suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya.61 Sedangkan dalam konteks hukum, pembentuk undang hendaknya melahirkan undang-undang yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat.62 Kebahagiaan inilah yang merupakan ukuran baik buruknya suatu perundang-undangan yang dilahirkan pembentuk undang-undang.

Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme) dipandang dapat digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Teori Kemanfaatan menitikberatkan pembentukan undang-undang untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara umum.

2) Undang-Undang Yayasan dibentuk dengan tujuan untuk memberikan manfaat sosial bagi orang yang sebanyak-banyaknya.

60

W. Friedmann, Legal Theory, 3rd Edition, (London: Stevens & Sons Ltd., 1953), hal. 211 (selanjutnya disebut W Friedmann 2)

61 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998),

(27)

2. Konsepsi

Suatu konsep atau kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoretis yang sering kali masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang dapat dijadikan pegangan konkrit dalam proses penelitian.63 Konsepsi sangat diperlukan dalam penelitian agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda dari definisi yang digunakan dalam penelitian ini. Definisi-definisi opersional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.64

b. Badan Hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.65

c. Organ yayasan merupakan alat perlengkapan yang berwujud manusia alamiah untuk mengurus dan bertindak mewakili yayasan.66 Organ-organ yayasan tersebut terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan.67

63

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 133

64 Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 65 Chidir Ali 2, op.cit., hal. 19

66 Rudhi Prasetya, op.cit., hal. 11 67

(28)

d. Pembina Yayasan adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang-Undang Yayasan atau Anggaran Dasar Yayasan.68

e. Anggaran Dasar adalah peraturan-peraturan penting yang menjadi dasar dari peraturan yang lain-lain (bagi perkumpulan dan lain-lain).69

f. Honorarium adalah upah sebagai imbalan jasa; upah di luar gaji.70

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum adalah sebuah proses untuk menemukan hukum yang mengatur aktivitas dalam masyarakat.71 Penelitian ini pada dasarnya adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.72

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dalam penyusunannya untuk menjawab rumusan masalah yang diteliti. Meray Hendrik Mezak mengartikan penelitian hukum normatif sebagai “penelitian yang ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma hukum itu sendiri, sehingga sering kali penelitian hukum normatif

68 Pasal 28 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 69

Pusat Bahasa, op.cit., hal. 64

70

Ibid., hal. 555

71 Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, Legal Research, (St. Paul, Minn: West Publishing

Company,1992), hal. 1

(29)

diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif”.73 Maka, penelitian tesis ini meneliti data-data yang dikumpulkan secara kualitatif, bukan secara kuantitatif.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif karena dalam menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan, jelas bahwa yang diteliti lebih mengutamakan bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif menekankan kepada bahan-bahan data sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoretis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis masalah yang dibahas.74

Penelitian hukum normatif meliputi berbagai objek kajian. Dalam penelitian ini, objek kajian yang diteliti ada tiga, yaitu:

a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif

Penelitian hukum normatif dengan objek kajian ini difokuskan untuk melakukan pengumpulan data terhadap hukum yang sedang berlaku di dalam suatu negara atau masyarakat.75 Penelitian dalam tesis ini menginventarisasi hukum positif atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan.

73

Ibid.

74 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13

75 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis

(30)

b. Penelitian terhadap asas-asas hukum

Penelitian hukum normatif dengan objek kajian ini meliputi penelitian terhadap:76

1) unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat hukum;

2) dan unsur nyata yang menghasilkan tata hukum tertentu.

Penelitian dalam tesis ini menganalisis pengaturan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 5/PUU-XIII/2015, sehingga unsur ideal dan unsur nyata dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dimengerti.

c. Penelitian yang berupa penemuan hukum in concreto

Objek kajian dalam penelitian hukum normatif ini merupakan putusan pengadilan yang bersifat nyata (konkret) yang kemudian akan dikaji dan dianalisis.77 Tesis ini akan menganalisis apakah peraturan dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara nomor 5/PUU-XIII/2015 sudah tepat.

Sifat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yang bertujuan memberikan suatu uraian deskriptif mengenai masalah yang diteliti. Penelitian yang

(31)

deskriptif analitis menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian.78 Penelitian ini diharapkan dapat menganalisis dan menggambarkan secara sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan yayasan pada umumnya dan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan secara khusus. 2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang mengutamakan data sekunder. Data sekunder dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.79 Bahan hukum primer ini bersifat mengikat80 dan merupakan bahan hukum yang memiliki tingkatan kekuatan hukum yang tertinggi dan menjadi landasan utama dalam menganalisis penelitian ini. Bahan-bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23)

78 Soerjono Soekanto, op.cit., hal. 63 79 Peter Mahmud Marzuki, op. cit., hal. 141

80 Meray Hendrik Mezak, “Jenis Metode dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, Law

(32)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5255)

4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756)

5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459)

6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430)

7) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4132)

(33)

9) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894)

10)Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan

11)Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif

12)Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015 b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum ini meliputi buku teks, kamus hukum, jurnal hukum dan komentar mengenai putusan pengadilan.81 Bahan hukum sekunder merupakan pendukung atau bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer,82 yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penyusunan tesis ini berupa buku-buku teks yang berhubungan dengan badan hukum yayasan, buku-buku teks yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dalam tesis ini, serta Risalah Sidang Perkara Nomor

81 Peter Mahmud Marzuki, op. cit., hal. 141 82

(34)

5/PUU-XIII/2015, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan dan Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum ini merupakan bahan informasi hukum83 yang dapat berasal dari referensi non-hukum seperti internet, majalah dan koran. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penyusunan tesis ini berupa kamus, informasi dari internet dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Studi dokumen dilakukan dengan membaca, mempelajari, memahami, dan menganalisis literatur, buku-buku, peraturan-peraturan perundang-undangan, jurnal atau artikel, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

(35)

secara lisan guna mencapai tujuan tertentu yang dapat dilakukan secara langsung, maupun tidak langsung.84 Narasumber dalam penelitian ini merupakan organ-organ yayasan, serta ahli-ahli hukum yang terlibat dalam penulisan Kompendium Hukum Yayasan,85 antara lain Dr. Henry P. Panggabean, S.H., M.S. dan Henni Wijayanti S.H., M.H.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yang dilakukan dengan membaca, mempelajari dan menganalisis literatur, buku-buku, peraturan-peraturan perundang-undangan, jurnal atau artikel dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Kemudian, data-data tersebut didukung dengan data primer yang diperoleh dengan menggunakan pedoman wawancara. 5. Analisis Data

Dalam suatu penelitian, analisis data berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal.86 Analisis data inilah yang kemudian digunakan untuk mencari jawaban dari rumusan permasalahan yang dibahas dan diteliti dalam tesis ini.

84

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hal. 95

85 Suyud Margono, et.al., Kompendium Hukum Yayasan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum

Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, 2012), hal. 15

86 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.

(36)

Analisis ini dilakukan secara kualitatif, artinya analisis tidak dilakukan berdasarkan perhitungan, melainkan berdasarkan pembenaran melalui kualitas pendapat para ahli, teori dan doktrin yang mempunyai rumusan hukum normatif itu sendiri.87 Analisis data secara kualitatif dilakukan pada hukum positif dan teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai pemberian honorarium kepada Pembina Yayasan.

Sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan untuk mengetahui kevaliditasan data-data tersebut.88 Keseluruhan data-data tersebut kemudian akan disistematiskan sehingga menghasilkan klarifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang diteliti.89 Dalam penelitian ini, masalah yang diteliti adalah mengenai larangan pembayaran honorarium kepada Pembina Yayasan. Data-data yang didapat lalu akan diinterpretasikan dan dijabarkan berdasarkan norma-norma dan teori-teori ilmu hukum yang berlaku, sehingga penyimpangan dalam pengambilan keputusan untuk rumusan masalah yang diteliti dapat dihindari.

Guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, penarikan kesimpulan dari data-data yang telah dianalisis tersebut akan dilakukan dengan menggunakan metode penalaran secara deduktif. Metode penalaran

87 Meray Hendrik Mezak, op.cit., hal. 94

88 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

(37)

ini menggunakan suatu pemikiran yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil atau prinsip-prinsip dalam bentuk proporsi-proporsi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.90

90 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji t kedua menunjukkan variabel religiusitas, pengetahuan dan lokasi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhdap minat menabung masyarakat pada bank

Berdasarkan kasus diatas, dpat disimpulkan bahwa sumber pencemarnya adalah logam berat arsen yang berasal dari air tanah pada mineral sulfida yang dibawah permukaan

Terkait dengan bentuk penalaran dalam tradisi ilmu al-bayan (istidlal bayani) ini, al-Jabiri menemukan karakter “pemaksaan epistemologis” dalam kegiatan bernalar,

Untung atau laba adalah selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian jika harga penjualan lebih dari harga pembelian?. Laba = harga penjualan –

™ dapat menentukan bentuk ekuivalen dari persamaan linear satu variabel dengan cara kedua ruas ditambah, dikurangi, dikalikan atau dibagi dengan bilangan yang sama;.. ™ dapat

Sebagaimana perkalian suatu konstanta dengan bentuk aljabar, untuk menentukan hasil kali antara dua bentuk aljabar kita dapat memanfaatkan sifat distributif perkalian

mengetahui bagaimana kehidupan sosial ekonomi pengemis penggendong anak yang berada di.

Begitu banyak janji Tuhan dalam Alkitab, butuh iman anda dan saya untuk semua dapat tereal- isasi dalam kehidupan kita di dunia ini!. Tuhan tidak tergerak oleh kebutuhan dan tangisan