• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epistemologi Islam Bayani menurut M. Abi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Epistemologi Islam Bayani menurut M. Abi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Epistemologi Islam Bayani menurut M. Abid al-Jabiry

Untuk memenuhi tugas materi :

Filsafat ilmu Dosen Pengampu :

Al-Ustadz Saiful Anwar, S.Pd.I

Disusun Oleh:

Asri Mukti Kusuma Sukmawati Usriyatul Iman

Rintan Tifani Angela

Pendidikan Agama Islam 2 FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR MANTINGAN, NGAWI

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pemikiran keislaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan melalui berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat pada perspektif dan metode tersebut tentunya.

Mukti Ali menyatakan bahwa dalam mempelajari dan memahammi Islam terdapat 3 (tiga) cara yang jelas yakni naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Ketiga pendekatan tersebut telah ada dalam pola pemikiran Rasulullah SAW dan terus dipergunakan oleh para ulama Islam setelah beliau wafat hingga saat ini. Ketiga metode tersebut dalam operasionalnya lebih dikenal dengan istilah pendekatan bayani, irfani dan burhani.

Tawaran pendekatan ini sengaja diarahkan pada upaya merekonstruksi pemahaman dalam wilayah baru yang belum ada teks hukumnya dengan menghargai tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi kesan arogansi intelektual. Upaya ini dilakukan melalui penggabungan teori sistem dan teori aksi di dalam perangkat analisisnya.

Dalam rangka mencapai suatu intepretasi yang tepat dalam memahami agama dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya diperlukan metode-meode yang dapat dipergunakan untuk mendapat pemahaman yang tepat. Islam yang diturunkan di Arab lahir dan berkembang seiring dengan adat budaya Arab. Hal ini memerlukan pengkajian yang komprehensif sebab sumber agama Islam yakni Al Qur’an dan Sunah berbahasa Arab. Sehingga untuk memahaminya wajib untuk memahami bahasa Arab.

(3)

dijelaskan di dalam teks masa lampau). Hampir tidak ada yang terlalu baru di masa kini berbanding masa lampau.

Jadi yang terjadi di dunia Islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu agama, tapi menggunungnya kata-kata yang dirumuskan ulang dari kata-kata yang sudah ada sebelumnya; tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Inilah yang mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme Islam; yang disebut oleh al-Jabiri sebagai aktivitas memberanakkan kata-kata (istitsmar al-alfadz).

Umat Islam sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan diwariskan secara turun-temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menyingkap rahasia dan hikmah ilahiyah di alam raya. Sudah pada tempatnya untuk memberikan porsi lebih banyak kepada aktivitas penalaran agar ciri khas manusia sebagai “makhluk yang bertindak berdasarkan ide” dapat teralisasi. Jika tidak,isi otak umat Islam tak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa ditemukannya bukti bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Guna mewujudkan hal tersebut para ulama menawarkan beberapa konsep pemikiran yang diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang Islam. Salah satu metode yang ditawarkan dan akan penyusun kaji yakni metode bayani.

Dalam makalah yang disajikan penyusun mencoba untuk memberikan gambaran tentang pengertian metode bayani beserta kaidah-kaidah yang dipakai dalam metode bayani tersebut. Selain itu juga akan penyusun sampaikan beberapa contoh pemakaian metode bayan dalam beberapa disiplin ilmu.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ialah mengenai definisi metode bayani, tujuan pendekatan bayani dan bagaimana penerapan metode bayani tersebut dalam disiplin ilmu.

(4)

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Metode Bayani

Metode bayani adalah sebentuk epistimologi yang menjadikan teks tertulis seperti Quran, hadis, pendapat atau fatwa ulama, sebagai basis utama untuk membentuk pengetahuan. Pola Bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada kajian bahasa dalam bentuk penafsiran gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki atau majazi. Bagaimana cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’i serta mana ayat yang zanni dan sebagainya.

Epistemologi bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau penalaran yang berpijak pada teks. Bagi al-Jabiri, istilah nalar bayani dimaksudkan sebagai sistem berpikir atau episteme yang menjadikan bahasa Arab sebagai basis bagi sistem penalarannya, serta menjadikan qiyas (analogi) sebagai metode berpikirnya.1

Dalam pandangan al-Jabiri, sistem pengetahuan bayani yang berporos pada persoalan bahasa dan teks memiliki persoalan-persoalan yang hingga saat ini masih menggelayuti pemikiran Arab modern dan kontemporer. Persoalan apa sebenarnya yang ditimbulkan oleh pola pikir berporos bahasa dan teks dalam nalar bayani tersebut? Sebagaimana lazim diketahui dalam tradisi linguistik dan hermeneutika, bahasa tidak saja berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi, tapi juga sarana berpikir, bahkan wahana untuk mengorganisasikan dunia.

Epistemologi bayani, secara historis sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok, seperti fiqh, ilmu al-qur’an, kalam dan teori sastra non-filsafat. Al-Jâbirî menjelaskan bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip dasar; pertama, prinsip diskontinyuitas atau keterpisahan (al-infisal), dan kedua, prinsip kontingensi atau kemungkinan ( al-tajwiz). Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu yang

(5)

mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.2

B. Tujuan Pendekatan Bayani

Metode bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para ulama (fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk :

1. Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafadz dan ‘ibarah yang zahir pula

2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an khususnya.3

Makna lafadz yang terkandung dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna dan lafadz. al Jabiri menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran Arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi landasan bagi metode fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai cabang ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.

Sedangkan dalam pandangan Syafi’i; Bayan adalah ungkapan yang mencakup berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama namun cabangnya berbeda-beda, sebagian percabangan tersebut mempunyai bayan yang lebih kuat dibanding yang lain. Selanjutnya Syafi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek-aspek bayan dalam wacana Al Qur’an dan membaginya menjadi 5 (lima) yaitu :

1. Teks yang tidak membutuhkan ta’wil atau penjelasan dikarenakan telah jelas dengan sendirinya

2. Teks yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan

3. Teks yang ditetapkan Allah dan teks tersebut dijelaskan oleh nabi

(6)

4. Teks yang tidak disebutkan Al Qur’an namun dijelaskan oleh Nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana teks Al Qur’an

5. Teks yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk berijtihad.4

Al Jabiri menukilkan pendapat Imam Syafi’i yang mengarahkan pola pemikiran secara horizontal dengan menghubungkan furu’ dengan ashl (qiyas) dan secara vertikal dengan mengaitkan satu kata dengan beragam kata dalam kajian-kajian fiqh,bahasa dan teologi.

C. Penerapan Metode Bayani dalam disiplin ilmu

1. Metode “Bayan” dalam Bahasa Arab dan Model Penalarannya

Menurut al-Jabiri, kemunculan dan pertumbuhan ilmu balaghah dalam lingkungan kebudayaan Arab-Islam tidak disebabkan oleh adanya pengaruh dari luar, melainkan dilatarbelakangi oleh kebutuhan internal dalam kebudayaan itu sendiri. Kemunculan ilmu balaghah ini terutama disebabkan oleh kebutuhan untuk menimba hukum-hukum agama dari teks al-Qur’an, khususnya berkenaan dengan hukum-hukum dalam bidang syari’ah dan akidah. Dalam bidang syari’ah, para pengkaji hukum dituntut untuk memiliki pengetahuan yang sistematis dan baku tentang metode-metode pengungkapan dan pemaparan yang dipakai oleh bahasa al-Qur’an. Sementara dalam bidang akidah, para teolog Muslim (mutakalimun) sangat menyadari tantangan dari “musuh-musuh” Islam terhadap kemukjizatan al-Qur’an, karenanya para teolog itu berupaya keras untuk mengangkat beberapa sisi yang menunjukan kemukjizatan al-Qur’an, khususnya pada level kebahasaan.

Dengan demikian, dalam pandangan al-Jabiri, bisa dikatakan bahwa para ahli balaghah telah berhasil membangun jilid kedua logika Arab, setelah jilid pertamanya dibangun oleh kalangan nuhah (ahli gramatika bahasa Arab). Kalau ahli nahwu mengawali pembentukan logika Arab dengan membuat aturan-aturan baku wacana bahasa Arab beserta kategori-kategori baku dan format logikanya, maka ahli balaghah menyempurnakannya dengan menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan dalam wacana bahasa Arab. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan mengungkapkan mekanisme-mekanisme bayan dan rasionalitas yang terkandung dalam sistem linguistik bahasa Arab.

(7)

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hakikat al-bayan itu sendiri? Menurut al-Jabiri, kalangan pakar balaghah seperti al-Mubarrid, al-‘Askari, ibn Wahb, al-Sakkaki dan al-Jurjani sepakat untuk mengatakan bahwa keseluruhan metode bayan dalam bahasa Arab semuanya bermuara pada satu metode ini, yakni: tasybih. Sebagai salah satu contoh, al-Jabiri mengutip kata-kata al-Jurjani tentang keutamaan tasybih berikut:

› Metode tasybih merupakan seni yang membutuhkan kecerdasan dan bakat yang maksimal, yang memberi kelembutan dan menggetarakan jiwa, dan mampu menyatukan makna-makna yang saling berbeda dan bertentangan dalam satu rumpun yang memikat, yang merangkai hal-hal yang terasa asing satu sama lainnya dalam satu simpul keserasian dan keakraban.

Bagi al-Jabiri, yang dimaksud dengan ilmu al-bayan dalam lingkungan kebudayaan Arab-Islam, khususnya dalam ilmu balaghah, pada hakikatnya tidak lain daripada tasybih yakni: mempertemukan antara dua hal yang berbeda jenisnya dan penyelarasan di antara keduanya. Melalui metode tasybih, dunia realitas dan dunia perasaan yang masing-masing berbeda jenis dan karakternya dileburkan ke dalam sebuah gambaran dunia yang umumnya bersifat inderawi. Sehingga metode tasybih digunakan untuk mengalihkan perhatian lawan bicara dari sesuatu yang ma’qul kepada sesuatu yang bersifat inderawi.

Karenanya rasionalitas atau burhan dalam tradisi ilmu al-bayan tidak lebih dari sekedar sebuah analogi (qiyas). Apa yang disebut dengan qiyas dalam konteks ini adalah penggambaran suatu hal yang majhul (tidak dikenal) dengan sesuatu hal yang ma’lum (yang sudah dikenal) melalui sifat, kondisi atau keserupaan yang terdapat di antara keduanya.

(8)

sangat efektif untuk mengalihkan pikiran pembaca atau pendengar dari satu gagasan ke gagasan berikutnya, tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bersuara guna mempertanyakannya. Dalam kondisi seperti ini, wacana dalam tradisi ilmu al-bayan menjadi sangat sarat dengan kata-kata, tapi miskin makna.

2. Metodologi “Bayan” Dalam Ilmu Ushul Al-Fiqh

Dalam kebudayaan Arab-Islam yang dikenal sebagai peradaban fiqih, upaya perumusan ilmu ushul al-fiqh yang dilakukan oleh al-Syafi’i ini memiliki signifikansi yang tidak kecil. Sebab, posisi ilmu ushul al-fiqh dalam fiqih seperti posisi logika dalam filsafat. Kalau ilmu fiqih adalah tata aturan bagi masyarakat, maka ilmu ushul al-fiqh merupakan tata aturan bagi nalar, bukan saja nalar fiqih, tapi juga nalar Arab-Islam secara keseluruhan. Sebab, meski pada awalnya ilmu ushul al-fiqh meminjam dasar-dasar metodis dari ilmu-ilmu lain seperti ilmu kebahasaan dan ilmu kalam, namun pada perkembangan berikutnya ilmu ushul al-fiqh justru menjadi pijakan bagi perkembangan ilmu-ilmu lain tersebut.

Dalam menerapkan bayan dalam ushul fiqh menurut al-Jabiri, al-Syafi’i menjawab pertanyaan tentang apa itu al-bayan yang ditulis dalam bagian pertama kitab al-Risalah. dimana al-Syafi’i menyatakan bahwa Bayan merupakan ungkapan yang mencakup berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama, namun cabangnya berbeda-beda. Bagi mereka yang menjadikan bahasa di mana al-Qur’an diturunkan dengan bahasa (bahasa Arab) sebagai bahasannya, persamaan dan percabangan ini tampak jelas (bayan) dan serasi, sekalipun sebagian lebih kuat aspek bayan-nya dari sebagian yang lain, dan tampak berbeda-beda bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab.

(9)

‘am-khas, serta petunjuk-petunjuk-petunjuknya. Orang-orang yang mau melakukan qiyas juga disyaratkan harus memiliki pengetahuan tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama sebelumnya, ijma, perselisihan umat serta pengetahuan tentang bahasa Arab.

Dalam penilaian al-Jabiri, apa yang disebut ijtihad oleh al-Syafi’i pada dasarnya adalah ijtihad dalam memahami teks keagamaan dalam wilayah sirkulasinya sendiri. Pemecahan masalah harus dicari di dalam dan melalui teks. Adapun qiyas ala al-Syafi’i sama sekali bukan ra’yu, melainkan “suatu proses yang dilakukan berdasarkan dalil sesuai dengan informasi yang telah ada dalam kitab dan sunnah. Dengan demikian, agar qiyas bisa berlangsung, maka harus ada khabar (teks) dalam kitab atau sunnah yang dijadikan sebagai sumber dan dalil, serta harus ada kesesuaian atau kemiripan makna antara kasus baru yang hendak dicari hukumnya (cabang) dengan sumbernya (asal). Dengan demikian, kata al-Jabiri, ijtihad dan qiyas ala al-Syafi’i adalah mekanisme berpikir yang berlangsung dengan menghubungkan antara satu sisi dengan sisi lainnya, serta tidak membangun dunia pemikiran dengan bertolak dari prinsip-prinsip. Karena objek kegiatan pemikiran model ini adalah teks, maka cakupan pemikiran menjadi terbatas pada “menarik kesimpulan” dari teks.

Bagi al-Jabiri, dengan rumusan metodis yang dibangunnya, al-Syafi’i adalah legislator utama bagi pembantukan nalar Islam. Posisi al-Syafi’i di dunia Arab-Islam bisa disejajarkan dengan Descartes dalam pemikiran Eropa modern. Melalui ilmu ushul al-fiqh-nya, al-Syafi’i telah memancangkan orientasi epistemologis dunia Arab-Islam yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Al-Syafi’i telah mengarahkan nalar Arab-Islam secara horizontal dengan menghubungkan antara asal di satu sisi, dengan cabang di lain sisi melalui qiyas, serta secara vertikal dengan mengaitkan satu kata dengan beragama makna pada satu sisi, dan satu makna dengan beragama kata di lain sisi dalam kajian-kajian fiqh, bahasa dan teologi (ilmu kalam). Di tangan al-Syafi’i, akal menjadi bersifat instrumental karena ia disubordinasikan sedemikian rupa pada teks-teks keagamaan, serta pemikiran bebas sebagaimana dipraktikkan oleh Abu Hanifah dikerangkeng dalam otoritas atsar.

3. Metodologi “Bayan” Dalam Ilmu Kalam

(10)

dari yang nyata (dunia riil) untuk mengukuhkan yang ghaib (masalah-masalah ketuhanan). Ini pula yang berlaku dalam studi-studi balaghah dan nahw seperti diungkapkan dalam salah satu pernyatan al-Jurjani, bahwa “al-tasybih qiyas” (emulasi atau perumpamaan merupakan salah satu bentuk analogi). Pertemuan beberapa disiplin ilmu ini pada akhirnya melahirkan satu bentuk nalar yang secara khusus terkait dengan hukum-hukum bahasa, dan itu berarti dengan teks (nash). Pada gilirannya, hal ini melahirkan himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum berpikir yang ditentukan dan dipaksakan (secara tidak sadar) sebagai episteme oleh kultur Arab yang terkait erat dengan faktor bahasa dan teks-teks agama tersebut. Ini adalah faktor-faktor epistemologis yang membentuk nalar bayani, sebuah sistem pengetahuan yang bersifat “menentukan” dan “memaksa”.

Dalam pengamatan al-Jabiri, kodifikasi dan sistematisasi sistem pengetahuan bayani ini dibuat oleh kalangan Sunni tatkala berhadapan dengan “pihak-pihak musuh yang berbahaya”. Apa yang dianggap sebagai musuh berbahaya itu adalah apa yang dalam pemikiran Islam klasik dikenal sebagai ‘ulum al-awail (ilmu-ilmu kuno) yang merupakan warisan dari ilmu-ilmu kuno pra-Islam, yang kemudian dilawankan dengan al-‘ulum al-naqliyyah (ilmu-ilmu yang diriwayatkan dan didasarkan pada teks-teks keagamaan). Apa sebenarnya yang terjadi ketika ulum al-awail dan ulum al-naqliyyah tersebut saling berhadapan?

Sebagaimana diamati oleh al-Jabiri, nalar bayani tersebut tidak hanya melahirkan cara-cara dan pola-pola pikir baku, tapi juga melahirkan sebuah pandangan dunia yang disebutnya sebagai ideologi. Ideologi atau pandangan dunia tersebut memiliki posisi signifikan yang tidak bisa ditawar-tawar ketika dihadapkan dengan ideologi-ideologi atau pandangan-pandangan dunia lainnya, seperti yang dibawa oleh ulum al-awail. Apa yang disebut terakhir ini menampakkan dirinya dalam berbagai tradisi pemikiran, mulai dari tradisi Yunani, Hellenisme, Persia kuno, hingga warisan Hermetisisme kaum Sabean. Dari tradisi ini, al-Jabiri mengamati dua bentuk episteme lain yang muncul dalam kebudayaan Arab, yakni nalar ‘irfani dan nalar burhani, yang masing-masing terlibat dalam konflik dengan nalar bayani.

(11)

BAB III KESIMPULAN

Al Jabiri mengutip pendapat al Sikaki yang menyatakan bahwa orang yang menguasai ilmu bayan sebagai satu-satunya landasan (ashl) bagi tasybih atau kinayah atau isti’arah dan mengikuti cara kerjanya guna menghasilkan sesuatu yang dicari hal itu akan membawanya memahami cara penataan dalil.

Dalam pendekatan bayani yang kental akan dominasi teks yang sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Namun hanya menggunakan metode bayani semata-mata tidaklah cukup karena terkadang tidak didapat penjelasan teks baik berupa teks Al Qur’an ataupun hadits yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi. Misal tentang masalah seni/tradisi yang ada dalam suatu masyarakat.

Selain itu terkadang meskipun ada nash atau teks normatif yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi namun teks tersebut sangat erat berhubungan dengan konteks historis dan sosiologis. Sehingga tidak cukup dengan hanya menggunakan pendekatan bayani saja. Jika hanya menggunakan pendekatan bayani saja maka akan menimbulkan pandangan keagamaan yang binnar opposition (hitam putih, halal haram, sunah-bid’ah), tertutup, kaku dan intoleran .

Oleh karena itu diperlukan pendekatan atau perspektif lain yang lebih bersifat terbuka, luwes dan toleran yakni pendekatan burhani dan pendekatan irfani. Penerapan analisis rasional-filosofis, anlisis konteks: historis, sosio, antropologis dan politis ideologis dengan tepat akan dapat mengungkapkan konteks dari risalah keagamaan dan mengungkap realitas sejarah, nilai-nilai spiritualis dan religius yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat tetap berpegang pada ajaran yang benar.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009

Soleh,A.Khudari, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012

Azami ,M.Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, terj. Yamin, Bandung, Pustaka hidayah,1996

Abdullah, M. Amin, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Suka Press, 2007.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: Lkis, 2008.

---,. INVOLUSI PENDIDIKAN ISLAM Mengurai Problematika dalam Perspektif Historis-Filosofis, Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.

Jurnal Studi Islam An Nur, vol.II, no.5.September2006.

Hadi, P. Hardono. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (Yogyakarta: Kanisius, 1994)

Muhammad Amien, Miska. Epistemologi Islam, Jakarta:UI Press, 1983.

M. Suyudi, Pendidikan Dalam Al-Qur’an (Telaah Epistemologis dengan

Pendekatan Bayani, Burhani dan ‘Irfani), Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003),

M. Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005)

Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,Jakarta,Ichtiar baru Van Hoeve,1997,Cet. 4 Jilid.3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna kejadian dysmenorrhea yang mengunakan KB Suntik

Menurut analisis struktur tabel input-output Provinsi Riau tahun 2012 mengenai peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Provinsi Riau, dapat ditarik kesimpulan

PK : Sardi orang yang ingin sukses hidupnya K : Maka Sardi harus bekerja kerasd. Pernyataan yang tepat untuk melengkapi premis di atas

Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK) biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan gawat darurat, oleh karena itu

Beberapa sifat baik dari peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain : (1) mineralisasi bahan organik akan melepaskan unsur hara tanaman secara lengkap (N, P, K,

Analisis kerapatan sambaran petir di Kabupaten Kulonprogo bertujuan untuk mengetahui wilayah yang memiliki intensitas kerapatan petir tinggi, serta faktor ketinggian

Tulisan ini ditujukan untuk memberikan tinjauan teoretis mengenai konsep konteks situasi dan aplikasi model teoretis Hallday (1985) tentang konteks situasi terhadap teks I

Hasil uji ANOVA dengan α=5% menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap kadar air, cooking yield , ekstensibilitas, elastisitas, dan organoleptik (warna dan kekenyalan)