• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

5. Kerangka Teori

Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses penelitian.30 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitian serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.31 Dekripsi teori disini menerangkan tentang variable yang diteliti, baik yang bersifat deskripstif (satu variable) atau lebih dari dua variable (hubungan, pengaruh dan komparatif)32

Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan, mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam

.

38

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, hal. 21.

31 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990, hal. 65.

32

Drs.Ridwan, M.B.A, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Peneliti dan Peneliti Pemula, Bandung: Alfabeta, 2006, hal. 7

penelitiannya, termasuk dalam merumuskan asumsi-asumsi dalam penelitiannya.33

5.1 Teori Demokrasi dan Demokratisasi

Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai berikut:

Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.

Dalam perkembangannya begitu banyak para ahli yang memberikan definisi yang beragam mengenai demokrasi. Menurut Abraham Lincoln demokrasi merupakan sistem dimana ada pemisahan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demokrasi merupakan sistem dimana rakyat bebas mengeluarkan pendapatnya. Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan. Menurut Robert Dahl, Demokrasi adalah suatu sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dipandang dari segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat,dan memiliki

33

O. Setiawan Djuaharie, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: Yrama Widya, 2001, hal. 55

segala kemampuan, sumberdaya dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan demi untuk memerintah diri merekas sendiri. Dan lain sebagainya para ahli mengemukakan teori mereka tentang demokrasi yang pada hakikatnya memiliki nilai atau esensi yang sama mengenai kekuasaan dan kedaulatan yang seutuhnya ditangan rakyat.

Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan). Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun menyerang kota lain.

Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya,

tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.

Warga kota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.

Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.

Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini

menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian berkembang. Namun model demokrasi kuno yang ada di awal peradaban ini tidaklah dapat dikatakan sebagai demokrasi sejati yang meletakkan kepentingan mayoritas diatas minoritas.

Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.

Sering kali, sebuah tirani hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.

Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang

kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.34

Menurut Dahl, negara yang demokratis tidak hanya mengakomodasi kompetisi politik secara ekstensi dan partisipatif, namun juga terdapat kebebasan berbicara didalamnya, pers serta pluralisme yang memudahkan rakyat untuk membentuk dan mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka dalam sebuah Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Mereka adalah justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.

34

Dokumen Resmi Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa untuk Demokrasi Politik Rakyat Miskin (LMND PRM) Sumatera Utara.

cara yang lebih bermakna. Dan untuk menjamin mekanisme tersebut, rakyat harus diberi kesempatan untuk:35

1. Merumuskan pilihan atau kepentingannya sendiri.

2. Memberitahukan preferensinya itu pada sesama warga Negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun kolektif.

3. Mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi berdasar isi atau asalnya.

Transisi menuju demokrasi tidak terlepas dari adanya gelombang demokratisasi ketiga yang melanda negara-negara di dunia pada masa 1970-an. Gelombang demokratisasi ini terjadi pertama kali terjadi di Eropa Selatan misalnya di Portugal, Yunani dan Spanyol yang kala itu ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter di negara masing-masing. Di Asia, gelombang ini pun ikut terjadi yang pertama kalinya di India pada tahun 1997 dan diikuti oleh Turki, Filipina, Korea, Taiwan dan Pakistan.

Proses demokratisasi sendiri mempunyai tiga model:

1. Model liniear. Model demokratisasi klasik yang memberikan hak-hak sipil ke hak-hak-hak-hak politis bahkan hingga ke hak-hak-hak-hak sosial. Model ini memberikan pemahaman tentang persatuan nasional,

35

Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru, Yogyakarta: APMD Press, 2003, hlm. 9.

perjuangan politik yang panjang dan tidak menentu, dan suatu keputusan sadar untuk mengadopsi hukum-hukum demokrasi. Model ini tercerminkan dalam pengalaman Eropa akhir abad ke-19 dan beberapa pengalaman negara Amerika Latin.

2. Model siklis despotisme dan demokrasi yang berseling-seling. Biasanya elit-elit penguasa menerima legitimasi bentuk-bentuk demokrasi secara dangkal. Pemilu dilangsungkan dengan tempo waktu yang berkelangsungan akan tetapi jarang sekali pemerintah berganti dari hasil pemilu tersebut. Dan juga campur tangan militer mampu mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintahan dalam segala bidang termasuk ekonomi politik dan tatanan publik secara efektif.

3. Model dialektis. Dalam model ini menjelaskan kelas menengah menyebabkan tekanan yang makin meningkat terhadap rezim otoriter yang ada untuk memperluas partisipasi dan persaingan. Dan pada akhirnya hingga terjadi suatu keretakan dalam sistem politik yang memaksa penggulingan rezim otoriter yang ada dan pelembagaan rezim demokratis. Dalam perjalanan waktu rezim otoriter akan runtuh dan terjadilah sistem demokrasi yang lebih stabil, lebih seimbang dan lebih langgeng.

Semua model ini menekankan keinginan akan perkembangan demokrasi yang stabil dan perluasan partisipasi politik yang relatif terlambat dalam urutan perubahan. Namun demikian mengingat keinginan umum akan parisipasi politik dan peningkatan dalam mobilisasi sosial yang dihasilkan oleh perkembangan

ekonomi, maka kecenderungan yang menonjol adalah partisipasi dan persaingan. Inilah mungkin salah satu penyebab mengapa ekonomi di Negara Dunia Ketiga belum dapat merangsang munculnya rezim demokratik yang lebih stabil.

Terdapat lima macam perubahan yang menyebabkan terjadinya gelombang demokratisasi ketiga antara lain sebagai berikut:36

1. Merosotnya legitimasi dan dilemma kerja. Semakin mendalamnya masalah-masalah legitimasi yang dihadapi oleh system-sistem otoriter di dunia dimana nilai-nilai demokrasi telah diterima banyak orang, ketergantunga rezim-rezim itu pada legitimasi kinerja dan melemahnya legitimasi akibat kalah perang, kegagalan ekonomi dan “kejutan minyak” pada tahun 1973-1974 dan 1978-1979.

2. Pertumbuhan ekonomi dan krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global yang luar biasa pada tahun 1960-an yang telah mengakibatkan meningkatnya standar hidup, taraf pendidikan dan membesarnya kelas menengah kota di banyak negeri.

3. Perubahan keagamaan. Perubahan-perubahan yang mencolok pada doktrin dan kegiatan Gereja Katolik yang termanifestasi dalam Dewan Vatikan Kedua tahun 1963-1965 serta transformasi gereja-gereja nasional dari posisi sebagai pembela status quo menjadi penentang otoritarianisme dan pendukung reformasi social, ekonomi dan politik.

4. Kebijakan baru pelaku eksternal. Perubahan-perubahan dalam kebijakan para pelaku luar negeri, termasuk sikap baru masyarakat Eropa pada akhir dasawarsa 1960 untuk memperluas keanggotaannya, pergeseran besar kebijakan AS ke arah promosi hak-hak asasi manusia demokrasi di negeri-negeri lain mulai tahun 1974, serta perubahan dramatis yang dilakukan Gorbachev dalam kebijakan Uni Soviet ke arah mempertahankan kekuasaan Uni Soviet.

5. Efek demonstrasi atau efek bola salju dari transisi-transisi awal menuju demokrasi pada gelombang ketiga, yang diperkuat oleh sarana komunikasi internasional, dalam merangsang dan menyediakan model bagi upaya mengubah rezim di negeri-negeri lain selanjutnya.

Berdasarkan pemaparan mengenai demokrasi dan yang menyebabkan terjadinya gelombang demokratisasi diatas, dapat ditarik dua kesimpulan hipotesa.

Pertama, demokrasi yang terjadi dibelahan dunia manapun sekarang ini dapat dikatakan bukanlah demokrasi yang sejatinya, yang meletakkan kepemimpinan diatas kepentingan mayoritas. Melainkan demokrasi yang semu yang ingin menemukan pola terbaik dalam perkembangannya. Kedua, konsepsi demokratisasi menjadi suatu pembelajaran baru bagi Negara-negara dunia ketiga dalam menentukan pola pemerintahan dan politik Negara berkembang.

Pemikiran tentang Negara sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Beberapa ahli fisafat dari Yunani bahkan mempunyai deskripsi yang berbeda-beda mengenai Negara. Aristoteles menyatakan Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Sedangkan Cicero, pemikir Roma menegaskan Negara adalah timbulnya pemikiran sehat masyarakat banyak bersatu untuk keadilan, dan berpartisipasi bersama dalam keuntungan.37

Dilain pihak Penulis Francis Jean Bodin mengatakan Negara adalah asosiasi beberapa keluarga dengan kesejahteraan yang layak, dengan alasan yang sehat setuju untuk dipimpin oleh penguasa tertinggi. Phillimore menyatakan Negara adalah: orang- orang yang secara permanent mendiami suatu wilayah tertentu, dijilid dengan hukum- hukum kebersamaan, kebiasaan dan adat-istiadat didalam satu kebijaksanaan. Bluntschli mengatakan Negara adalah organisasi kebijaksanaan orang-orang diwilayah tertentu. Gettell menegaskan Negara adalah komunitas oknum-oknum, secara permanent mendiami wilayah tertentu, menuntut dengan sah kemerdekaan diri dari luar dan mempunyai sebuah organisasi pemerintahan, dengan menciptakan dan menjalankan hukum secara menyeluruh didalam lingkungan. Definisi Gattel lebih mengena dari pada definisi yang lainnya, wilayah yang dihuni oleh komunitas masyarakat, karna merasa tertindas, maka merdeka menjadi hak mereka menentukan hidup mereka sendiri.

Menurut Marx & Engels, munculnya negara adalah akibat dari pembagian sosial dari kerja. Negara tak lain dan tak bukan adalah mesin yang dipakai oleh

satu kelas untuk menindas kelas lain. Bagi kaum Proletar negara digunakan untuk memperjuangkan kebebasan dan menindas lawan-lawan, setelah kebebasan tercapai maka negara tidak perlu ada.

Negara adalah alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya. Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan bawah (infra strukture). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan. Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan “bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan.

Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut.

Perkembangan Negara dalam sejarah perkembangan masyarakat menurut Marx dimulai pada masyarakat komunal primitive. Pada awalnya masyarakat komunal primitf tidaklah mengenal Negara. Pada masa ini belum ada pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Karena pada masa ini alat-alat produksi dan

juga pengetahuan manusia masih primitive, kegiatan semua anggota masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Yang ada hanyalah pembagian kerja seperti berburu, bercocok tanam dan lainnya.

Masyarakat kelas muncul ketika kekuatan produksi bertambah dan menghasilkan produksi yang berlebih. Perampasan terhadap hasil produksi dilakukan oleh kelompok lain. Proses pengambilan tersebut terjadi tidaklah dengan cara damai melainkan melalui kekerasan atau dengan cara lain. Dan terjadilah perbudakan yang merupakan awal dari adanya kelas-kelas dari masyarakat. Produksi pada masa perbudakan didasarkan atas kerja kaum budak itu sendiri. Dan sepanjang sejarah timbul pemberontakan-pemberontakan budak yang ingin bebas dari tuan budak. Proses inilah yang mengantarkan system berganti dari perbudakan menuju feodalisme.

Pada masa feodalisme yang menjadi kelas yang tidak terdamaikan adalah tuan tanah dan tani hamba. Penguasa feodal adalah penguasa absolut di wilayah kekuasaannya. Hanya dialah yang berhak membawa senjata setiap waktu, dialah yang menjadi polisi, dialah yang menjadi constable, dialah hakim satu-satunya, hanya dialah yang berhak mengeluarkan uang, dialah menteri keuangan. Dia menjalankan semua peran klasik yang kini dijalankan negara yang kita kenal sekarang. Inilah awal dari munculnya Negara. Meskipun harus dipahami bahwa Negara yang ada bukanlah negara yang dijalankan oleh kelas berkuasa.

Tidak hanya sekitar masalah kekuasaan, seperti tentara, keadilan, keuangan. Di genggaman tangan bangsawan ini juga terdapat ideologi, hukum, filasafat, ilmu pengetahuan, seni. Orang yang menjalankan peran-peran tersebut adalah orang miskin yang, guna mempertahankan hidupnya, terpaksa menjual

keahlian mereka kepada seorang tuan tanah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Dalam kondisi demikian, minimal selama ketergantungannya penuh, perkembangan idelogi dikendalikan sepenuhnya oleh kelas penguasa: yang dengan sendirinya memerintahkan “produksi ideologi” yang dengan sendirinya mampu membiayai “ideolog-ideolog”.

Dalam perkembangannya revolusi borjuis melahirkan suatu system yang baru yang semakin menghisap yaitu kapitalisme. Masyarakat baru ini tidak lagi didominasi tuan-tuan tanah melainkan oleh kapitalisme, oleh kapitalis-kapitalis modern. Seperti kita ketahui, kebutuhan keuangan akan negara modern-kekuasaan terpusat baru, seperti monarki absolut- semakin membesar, mulai dari abad 15 sampai abad 16 dan selanjutnya. Uang dari para kapitalis, para pedagang, dan para bankir komersial adalah pengisi secara besar-besaran pundi-pundi negara. Sejak masa itu, sebagai pamrih dari pembayaran kapitalis atas proses jalannya negara, mereka akan mengharapkan negara menempatkan diri sepenuhnya menjadi pelayan mereka. Mereka akan membuat hal ini terasa dan dimengerti secara jelas melalui hukum yang mereka buat dan institusi yang mereka bangun.

Kekuasaan Negara adalah sebuah kekuasaan permanen. Kekuasaan ini dijalankan oleh sejumlah tertentu institusi yang diisolasi dan independen dari pengaruh yang dapat berubah-ubah dan tidak stabil seperti hak pilih universal. Institusi seperti inilah yang harus dianalisa kalau kita ingin mengetahui di mana kekuasaan yang sebenarnya berada: “Pemerintahan datang dan pergi, tetapi polisi

dan para administrator (pejabat) tetap tidak berubah.”38

Dalam keadaan normal, tidak ada kebutuhan akan adanya pengawas-pengawas. Bahkan di Moskow, contohnya, tidak ada petugas yang mengumpulkan ongkos bus: para penumpang memasukkan uang mereka ketika mereka naik, baik ada ataupun tidak ada orang yang mengawasi mereka. Di masyarakat yang tingkat perkembangan kekuatan-kekuatan produksinya rendah, di saat setiap orang bersaing untuk mendapatkan penghidupan pribadi dari pendapatan nasional yang sangat kecil, sebuah aparatur pengawas yang besar sangat dibutuhkan.

Negara adalah di atas segalanya, institusi-institusi permanen: tentara (bagian permanen dari tentara -staf jendral, pasukan khusus), polisi, polisi khusus, polisi rahasia, pejabat tinggi departemen-departemen Negara, badan keamanan nasional, hakim-hakim, dan lain-lain -semua institusi yang terbebas dari pengaruh hak pilih universal.

Pada konsepsi dasar Negara borjuis - tanpa memandang apakah bentuknya lebih ataupun kurang demokratis - terdapat asumsi fundamental, berhubungan dengan asal mula negara: Sifat dari negara tetaplah antagonistik, atau agak tidak adaptif, terhadap kebutuhan-kebutuhan dari kolektivitas. Negara adalah, secara definitif, sekelompok orang yang menjalankan peran-peran yang pada awalnya dijalankan oleh semua anggota kolektivitas. Orang-orang ini tidak menghasilkan kerja-kerja produktif tetapi menggantungkan diri kepada anggota masyarakat lainnya.

38

Dokumen Resmi Komite Politik Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM PRD)

Menurut Gramsci, Negara memiliki alat-alat koersif yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata melakukan koersif saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan juga terhadap masyarakat sipil.

Dokumen terkait