• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.3. Kerangka Pemikiran

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena SDL diperlukan disetiap kegiatan manusia (Sitorus, 2004).

Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2004).

Perkembangan budaya, kegiatan dan kepadatan penduduk yang relatif cepat umumnya terjadi di perkotaan. Perkembangan ini dibaringi dengan kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menunjangan keberlanjutan hidup.

Lahan yang berada diperkotaan telah diperuntukan untuk pengembangan sentra ekonomi dan berbagai infrastruktur mengakibatkan nilai ekonomi lahan semakin mahal sehingga masyarakat lokal yang berada disekitar perkotaan terdesak ke pinggiran kota bahkan masuk dalam wilayah kawasan lindung/konservasi.

Pada tahun 1993 kebutuhan lahan untuk pengembangan Kota dan Kabupaten Jayapura mulai meningkat, dikarenakan kedua daerah ini telah dimekarkan. Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua) membutuhkan lahan yang sangat luas untuk pembangunan berbagai infrastruktur perkantoran, jalan, perumahan dan sentra-sentra ekonomi yang membuat tidak ada pilihan lain untuk terhindar dari konversi lahan kawasan lindung bagi pembangunan. Sementara itu kebutuhan lahan untuk masyarakat melakukan kegiatan seperti pertanian/perkebunan, pengambilan kayu, pertambangan galian C dan pariwisata memberikan pihan mereka pada penggunaan lahan yang berada pada kawasan lindung/konservasi.

Kawasan CAPC merupakan kawasan yang penting bagi perlindungan flora dan fauna endemis Papua yang terwakili disini, sebagai kawasan penyimpan dan pensuplai air bagi penduduk Jayapura dan sekitarnya serta sebagai penyangga kehidupan bagi suku Tepra, Ormu, Moy, Sentani, Humbolt selaku masyarakat pemilik ulayat dan masyarakat/penduduk disekitarnya.

Pengelolaan kawasan CAPC tergolong dalam terminalogi kawasan/hutan konservasi yang tercantum pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Potensi kawasan CAPC, saat ini sebagian besar mengalami keadaan rusak berat akibat perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan galian C, pembangunan pemukiman dan infrastruktur/jalan yang melintasi wilayah inti CAPC. Kegiatan-kegiatan diatas ada yang mendapat legitimasi hukum dalam bentuk ijin prinsip dan pinjam pakai yang di dasari dengan terjemahan peraturan perundang-undangan dan adapula yang dilakukan secara illegal, oleh sebab itu perlu diidentifikasi peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengelolaan kawasan konservasi dan faktor pengambat dan pendorong yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan CAPC, mengetahui potensi sumber air bersih dan nilai ekonominya bagi penduduk Jayapura, menganalisis alternatif yang optimal untuk pengelolaan CAPC dan menyusun strategi pengembangan CAPC. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan, perlu dilakukan analisis terhadap institusi yang menyangkut dengan peraturan perundang-undangan serta fungsi dan kewenangan dari lembaga/institusi yang berkaitan dalam pengelolaan CAPC.

Institusi merupakan suatu sisten kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tak terlepaskan dari lingkungan. (Pakpahan, 1990 dalam Kartodihardjo, 1998). Menurut North (1991) dalam Kartodihardjo (1998), institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu intitusi adalah instrumen yang mengatur hubungan individu.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, yang di break down dengan Perda Nomor 16 Tahun 1993 tentang RUTRW Kota Jayapura (Watori, 2003) dan RUTRW Kabupaten Jayapura (Bappeda Kab. Jayapura, 2001) telah diatur dengan baik ruang-ruang yang akan dilakukan kegiatan, sedangkan untuk daerah - daerah yang dilindungi seperti CAPC diberikan ruang yang disebut buffer zone untuk kegiatan masyarakat setempat seperti perkebunan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman serta berbagai infrastuktur adat maupun pemerintah. Hal-hal diatas dengan jelas telah di Perdakan dan tersusun dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah kedua pemerintah daerah, namun dalam implemetasi terjadi inkonsisten terhadap RUTRW yang dikeluarkan oleh kedua pemerintah. Salah satu yang menjadi masalah urgen adalah pengelolaan terhadap sumberdaya lahan yang berada pada kawasan konservasi CAPC. Sebagai indikator adalah ancaman terhadap biodiversity, hutan

dan air yang semakin hari berkurang. Berbagai gejala alam seperti longsor, erosi dan banjir terjadi di kedua wilayah administratif.

Keberadaan kawasan CAPC memberikan manfaat yang besar bagi penduduk yang berada disekitarnya dan Jayapura pada umumnya. Pada kawasan ini telah berlangsung lama kearifan tradisional masyarakat adat untuk melakukan konservasi secara tradisional namun dengan kebijakan pemerintah dan tuntutan ekonomi maka nilai-nilai adat lambat laun mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada wilayah selatan CAPC, dimana masyarakat tidak lagi mempertahankan cycloop sebagai ibu dalam apresiasi dan kepercayaan adat mereka, namun sebaliknya dibiarkan untuk dirusaki atau diperkosa demi mencapai kenikmatan sesaat dengan berbagai kegiatan seperti: pertambangan golongan C, pemukiman, perladangan berpindah, pembangunan jalan, pariwisata, pelayanan jasa dan penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging).

Kebijakan pemerintah dan adat berupa pemberian izin kegiatan pertambangan, pengambilan kayu, pemukiman, perladangan dan pertanian, pariwisata dan penebangan hutan pada kawasan ini telah memberikan implikasi jelek terhadap kawasan yang dilindungi dan dibanggakan oleh penduduk Jayapura. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang mengesampingkan fungsi dan manfaat ekologi/lingkungan dan sosial budaya yang mengakibatkan berbagai benturan dalam pemahaman kebijakan pada level masyarakat.

Berbagai fenomena sosial yang terjadi akibat kebijakan pemerintah membuat gaya hidup/budaya setempat menjadi kendor dan mengikuti tren konsumtif yang ingin mengkonsumsi seluruh sumberdaya alam yang ada dalam kawasan ini, tanpa memperhitungkan status kawasan, tetapi lebih banyak memperhitungkan status sosial yang berdampak pada pemenuhan ekonomi.

Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini akan mengkaji seberapa jauhkah faktor pendukung dan pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan seberapa jauh pandangan atau persepsi mereka terhadap kawasan ini sehubungan dengan penyelenggaraan Otonomi Khusus Provinsi Papua. secara lebih rinci dapat dilihat pada kerangka pemikiran pada Gambar 1.

Dokumen terkait